"Bagaimana, Sumarta?" tanya Aji penasaran.
"Be-benar wanita ini, Tuan," jawab Sumarta terbata-bata. Dia tidak menyangka jika yang mereka cari ternyata begitu dekat.
"Memangnya ada apa, Kakang?" tanya Ratih dan gendis hampir bersamaan.
Aji menoleh kepada ibu Diandra yang dalam keadaan tertidur pulas. Takut jika pembicaraan mereka mengganggu, Aji mengajak mereka bertiga keluar.
Setelah berada di ruang tamu dan duduk di lantai beralas tikar pandan, Aji member perintah kepada Sumarta untuk memberitahu ketiga temannya. Setelah itu dia berusaha menjelaskan pelan-pelan, terutama kepada Diandra. Sebisa mungkin dia tidak ingin membuat gadis itu terpukul.
"Jadi begini, Diandra ... Kedatangan Adipati Ranamungkarna ke desa ini ternyata untuk mencari ibumu," ucapnya mengawali pembicaraan.
Diandra terpaku mendengar ucapan pembuka Aji. Dia masih belum tahu apa maksud Adipati Ranamungkarna mencari ibunya.
"Tapi men
Para prajurit Adipati Ranamungkarna hanya bisa melongo melihat 4 anggota pasukan khusus itu begitu hormat kepada Aji. Pikiran mereka hanya bisa menduga-duga jika lelaki tampan itu adalah salah seorang pejabat penting istana. Jika tidak, mana mungkin sekelas anggota pasukan khusus begitu hormat kepadanya.Lelaki berkepala gundul itu menatap Aji dengan tajam. Sedetik berikutnya, dia tertawa lantang sampai kumis tebal yang melintang bagai Bengawan solo di atas bibirnya, bergerak naik turun mengikuti ayunan kepalanya."Hahahaha ...! Mereka berempat saja tidak akan sanggup menghadapiku, apalagi kamu!"Aji hanya tersenyum kecil mendapati serangan verbal seperti itu. Baginya, ancaman yang jauh lebih parah sudah seringkali dia dengar. Dan semua ancaman itu selalu berakhir kematian bagi yang mengancamnya."Buat kalian para prajurit kadipaten Majasari, jika tidak ingin berurusan dengan istana, sebaiknya kalian pergi dari tempat ini dan
Tanpa diduga si Gundul maupun keempat temannya, tebasan pedang besar itu dihindari Aji hanya dengan menggeser kakinya satu langkah. Setelah itu, lelaki tampan tersebut meraih leher si Gundul dan mencengkeramnya dengan begitu kuat hingga terdengar suara tulang yang remuk beberapa kali.Kreeek! Kreeek!Melihat Aji hanya dalam satu serangan bisa membunuh dengan keji membuat penilaian keempat teman si Gundul terhadap lelaki tampan itu berubah. Wajah tampan dan bibir yang selalu menyunggingkan senyum, nyatanya berbanding terbalik dengan kebengisan Aji dalam membunuh.Lutut mereka bergetar kuat, degup jantung berdetak kencang bagai pacuan kuda, dan keringat dingin merembes keluar melalui pori-pori, adalah suatu pertanda jika keempatnya dalam puncak ketakutan. Jangankan berlari, untuk bergeser satu langkah saja kaki mereka terasa begitu berat.Seorang dari keempatnya tiba-tiba menjatuhkan pedangnya dan duduk berlutut. 3 orang temannya men
Begitu mereka semua masuk ke dalam ruangan, tidak terlihat seorangpun berada di dalamnya."Cepat cari mereka!" perintah Aji. Matanya memandang sekeliling ruangan yang cukup luas tersebut. Ada 3 buah lemari besar, serta seperangkat kursi dan meja. Di dekat meja kursi tersebut, terdapat tumpukan buku kitab yang tertata rapi.Satu persatu lemari besar itu dibuka untuk mencari keberadaan Adipati Ranamungkarna dan juga kepala desa surananta.Tapi ternyata yang mereka temukan bukan kedua orang itu, melainkan tumbukan harta yang jumlahnya hampir tidak bisa dihitung."Sepertinya mereka berdua sudah pergi tuan lapor seorang anggota pasukan khusus sembari menunjukkan jendela yang sedikit terbuka.Tak ingin buruannya kabur, Aji memberi perintah kepada Sumarta dan ketiga temannya untuk keluar dari rumah besar itu dan mencarinya di sekitar.Sementara empat orang lainnya dia beri perintah untuk mengumpulkan tumpukan harta benda yang disinyalir
Aji tersenyum tipis ketika melihat keterkejutan di wajah Adipati Ranamungkarna. "Kenapa terkejut setelah melihatku? Kalau saja aku tahu perbuatanmu, sudah sejak di tempat makan itu kau kuhabisi!" "Apa kesalahanku? Aku tidak bersalah apapun!" Adipati Ranamungkarna mencoba membela diri."Percuma kau bicara. Semua bukti sudah ada. besok aku akan mengadilimu di depan penduduk desa ini!" sahut Aji. Dia ganti menatap kepala desa Surananta."Dan kau ...! Sebagai seorang pemimpin di desa, seharusnya kau bisa mengayomi rakyatmu. Bukan malah berniat membunuh mereka!" sambung Aji.Kepala desa Surananta hanya bisa menunduk menatap kedua kakinya. Hanya karena tergiur dengan upah yang dijanjikan Adipati Ranamungkarna, dia sampai mengorbankan jabatan dan juga bahkan kehidupannya."Mereka berempat orang-orang yang kau sewa untuk membunuh ibunya Diandra, bukan?"Pemimpin desa tersebut tetap diam. Dia tidak berani untuk berkata apapun
Dengan kedua tangan terikat ke belakang, Adipati Ranamungkarna dan kepala desa Surananta dipaksa berlutut di tanah. Kondisi keduanya saat ini jauh berbeda dengan di saat-saat mereka masih berkuasa, baik di kadipaten Majasari maupun di desa tersebut.Tidak terlihat tatapan mata garang yang selama ini mereka tunjukkan. Kebanggaan mereka berdua seketika runtuh dengan pandangan begitu banyaknya pasang mata yang seperti menelanjangi keduanya.Setelah ditunggu untuk beberapa lama, Aji, Ratih, Diandra dan ibunya akhirnya sampai di depan kedua terdakwa."Angkat wajahmu dan lihat siapa yang ada di depanmu, Ranamungkarna! Kau bukan Adipati lagi, jadi aku tidak akan menyebutmu dengan sebutan itu!" kata Aji dengan nada yang sedikit keras.Rasa malu membuat Ranamungkarna yang disebut Aji bukan lagi menjadi seorang Adipati, tak mampu mengangkat wajahnya. Dia tetap tertunduk menatap tanah yang menjadi tumpuannya berlutut.Sumarta terlihat geram
"Enak saja kau bicara! Kenapa baru sekarang mengakuiku sebagai putrimu, kemarin kemana saja? Setelah keadaanmu seperti ini baru sadar. Kau tak lebih dari sampah yang pantas dihina!" Diandra tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Kedua bola matanya memerah terbakar emosinya yang memuncak."Sudah berapa banyak wanita seperti ibuku yang menjadi korban kebejatanmu, biadab?" sambungnya.Kodratnya sebagai wanita pun muncul. Jika sedang marah, tidak akan mungkin mengomel dalam waktu singkat.Aji mengulum senyum melihat kemarahan Diandra yang terlampiaskan. Dia merasa beruntung karena istrinya selama ini tidak pernah marah sampai sebegitunya. Paling hanya ngambek, itupun cuma sesaat saja karena dia pasti bisa mencairkan kemarahan istrinya.Pandangan lelaki tampan itupun tertuju kepada pengerjaan tiang gantungan yang letaknya tidak jauh dari tempatnya berdiri.Para penduduk laki-laki tampak begitu bersemangat dalam mengerjakannya. Mereka berpiki
Kegembiraan jelas tergambar di wajah para penduduk desa. Kini mereka tinggal mencari pemimpin baru menggantikan Surananta.Setelah proses eksekusi selesai, Aji dan Ratih serta Diandra bersama ibunya, kembali ke rumah tempat ibu dan ana itu berdiam selama iniDalam pandangannya Aji bisa melihat kelegaan sudah dirasakan ibu dan anak tersebut. Terutama Gayatri, dia sudah mendapat keadilan dari musibah yang dialaminya 17 tahun lalu. Raut kesedihan yang dirasakannya sudah menghilang sama sekali, berganti semangat untuk menjalani hidup tanpa ada cercaan dan hinaan yang dialamatkan padanya."Bibi, jika kalian ingin keluar dari desa ini, pergilah ke istana. Bibi bisa bilang kepada paduka raja jika aku yang menyuruh, beliau pasti mengabulkan apapun permintaan Bibi," kata Aji.Gayatri menggeleng serasa menyunggingkan senyum. "Tidak perlu, Aji. Aku hanya minta keadilan saja selama ini untuk membersihkan nama baikku. Dan Bibi ucapkan terima kasih banyak k
Aji menghela napas panjang. Dia kemudian mengangguk dan terpaksa mengiyakan permintaan istrinya. Lagipula dia juga belum tahu jumlah kekuatan perguruan aliran hitam yang hendak mereka datangi.Tapi jika ditilik dari namanya yang cukup terkenal menurut penduduk, perguruan aliran hitam itu paling tidak besar kekuatannya sebanding dengan perguruan pedang naga milik mertuanya, atau sedikit lebih besar.Aji kembali memandang jauh ke depan. Rimbunnya pepohonan membuat jarak pandangnya terbatas dan tidak bisa menemukan sedikitpun bangunan tertangkap kedua bola matanya."Kau sudah siap?" tanya Aji seraya menoleh sedikit kepada Ratih yang berada di belakangnya."Selalu siap, Suamiku tercinta," jawab Ratih. Kedua tangannya memeluk erat perut Aji.Secara perlahan, Aji memacu kudanya menyusuri jalan setapak yang mengarah ke atas bukit.Semakin naik ke atas, suasana yang muncul begitu berbeda. Aji dan Ratih merasakan sesuatu seperti sedang mengamat