Lelaki tampan itu kemudian menoleh kepada Ratih, "Kau di sini saja dan jaga kuda kita. Tapi jika ada anggota mereka yang datang ke sini, kau bebas membunuh mereka!"
Ratih tersenyum lalu mengangguk. "Kakang tidak perlu kuatir. aku bisa menjaga diri jika hanya melawan kroco-kroco seperti mereka," jawabnya.
Aji mengangguk. Dia lalu mengalihkan pandangannya kepada puluhan anggota aliran hitam yang sudah bersiap untuk menyerang.
Sakuntala memandang heran kepada Aji yang tidak juga mengeluarkan pedangnya. "Kau tidak memakai senjata?"
Aji tersenyum kecil sebelum menjawab, "Aku akan memakai senjata mereka untuk membunuh mereka sendiri, Kek."
"Kau terlalu nekat, Aji," kata Sakuntala seraya menggelengkan kepalanya.
Aji hanya tersenyum menanggapi ucapan Sakuntala. Dia kembali memandang puluhan anggota aliran hitam untuk menganalisa senjata mana yang akan dia rebut pertama kali.
Sakuntala dan Darmo Jagal kemudian bergerak menjauh untu
Lelaki tua itu terjungkal ke tanah dengan begitu keras. Kebanggaannya selama ini kembali diruntuhkan oleh musuh lamanya."Bangunlah, Darmo Jagal! Aku tahu kau belum mengeluarkan sepenuhnya kemampuanmu!" ucap Sakuntala keras dan sedikit dibumbui cibiran Darmo Jagal bangkit sambil menahan rasa malunya. Yang ada di pikirannya hanya rasa benci dan marah yang membuncah."Kau akan menyesal karena memberiku kesempatan, Sakuntala!" desisnya.Sakuntala terkekeh mendengar ancaman tersebut, "Baguslah kalau kau masih punya nyali, Darmo Codet," cibirnya.Dia menyelipkan kembali tongkat bambunya karena merasa sudah tidak lagi membutuhkannya.Satya merasa sangat terhina karena masih diberi kesempatan untuk melawan. Dia akhirnya menggunakan tenaga dalamnya yang tersisa untuk menarik energi panas yang ada di sekitarnya.Tidak lama kemudian, angin panas menderu dari berbagai penjuru dan berpusat di tubuhnya.Sakuntala te
Mereka bertiga kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Ratih menaiki kuda hitam, sedang Aji dan Sakuntala berlari menggunakan ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki.Selang satu setengah jam berikutnya, firasat buruk yang dirasakan Sakuntala benar-benar terjadi. Perguruan Bambu Kuning yang diampunya, ternyata mendapat serangan dari perguruan Darah Iblis.Sebenarnya, anggota perguruan Darah Iblis yang menyerang perguruan Bambu Kuning adalah bantuan yang ditunggu-tunggu oleh Darmo Jagal. Tetapi karena kesalahan informasi, bala bantuan itu menuju langsung perguruan Bambu Kuning, sehingga pecahlah pertempuran secara prematur."Bedebah!" umpat Sakuntala, setelah melihat perguruannya diserang oleh perguruan aliran hitam. Mata tuanya juga melihat dua orang berwajah kembar yang hanya mengamati jalannya pertarungan dari atas sebuah pohon."Joyonoto, Joyorono!" ucapnya pelan.Aji memandang ke arah pandangan mata Sakunt
"Bagaimana kau bisa memiliki perisai api?" Joyorono tidak bisa menahan rasa penasarannya, hingga memutuskan untuk bertanya. Tapi sayang jawaban yang diharapkannya ternyata harus membuatnya meradang."Aku tidak harus menjawab pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Bersiaplah!" sahut Aji."Bangsat...! Meskipun kau mempunyai perisai api, kami tidak takut. Kau akan tetap mati di tangan kami!" hardik Joyorono. Matanya mendelik lebar seakan ingin mencabik-cabik tubuh Aji. Emosinya sudah begitu memuncak dan butuh untuk dilampiaskan.Sementara itu, akibat bertarungnya Aji melawan 2 pendekar kembar membuat peta pertarungan yang semula imbang, kini kembali secara perlahan dikuasai anggota perguruan Darah Iblis.Melihat hal itu, Ratih melompat dari punggung kudanya dan kemudian berlari menuju arena pertempuran. Dia berpikir, setidaknya ilmu kanuragan yang dimilikinya bisa sedikit banyak membantu untuk kembali membalikkan keadaan.D
"Mana aku tahu! Baru pertama kali ini aku bertemu dan melawannya," balas Joyonoto. Arah edar pandangnya masih tetap tertuju kepada pedang Naga Bumi yang berada di dalam genggaman Aji."Tapi aku tidak yakin jika itu adalah pedang Naga Bumi. Mana mungkin pedang legenda aliran hitam bisa dimiliki pendekar aliran putih? Meskipun begitu, berhati-hatilah dan jangan lengah!" tambahnya.Kedua pendekar aliran hitam itu sedikit banyak mengerti tentang pedang Naga Bumi yang begitu melegenda. Selain Darmo Jagal, mereka juga mendapat perintah untuk merebut Kitab Naga Bumi oleh Ki Tunggul Anom, ketua pusat perguruan Darah Iblis.Joyorono mengangguk. Pedang di tangannya bergerak memutar setengah lingkaran, sebelum tiba-tiba tubuhnya melesat memberi serangan. "Pedang Penebas Gelombang!"Saking kuatnya tebasan yang dilepaskannya hingga menciptakan deru angin yang berdesing di telinga.Aji melompat dua langkah menyamping untuk menghinda
Saudara kandung Joyorono itu kembali melakukan serangan cepat. Tombak tajamnya diarahkannya menuju dada Aji.Suami Ratih itu tersenyum kecil melihat serangan yang dilancarkan Joyonoto. Tanpa melakukan tangkisan, dia hanya perlu menarik sedikit tubuhnya ke samping untuk menghindari tusukan tombak lawan yang melintas mulus di depan dadanya.Namun serangan Joyonoto tidak berhenti sampai di situ saja, dia melakukan serangan susulan beruntun mengincar titik vital pendekar tampan yang menjadi lawannya kali ini.Tapi Aji bukan pendekar kemarin sore yang bisa ditaklukan dengan mudah. Dia bergerak acak untuk menghindari serangan Joyonoto yang semakin cepat. Itu dilakukannya sambil membaca alur serangan yang dilepaskan lawannya tersebut."Kecepatannya terus meningkat," gumamnya pelan. Dia belum bisa mengukur sampai sejauh mana kekuatan lelaki yang sedang bertarung dengannya tersebut.Setelah belasan kali menghindari serangan lawan, Aji mulai mela
Aji bisa bernapas lega setelah kakek moyangnya itu memberi saran kepadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia Kembali mencabut pedang Naga Bumi setelah melihat lawannya tidak lagi menggunakan tombaknya, melainkan mengeluarkan pedang berwarna hitam dari balik punggungnya."Kau akan melihat bagaimana istimewanya pedang setan kesayanganku ini!" Joyonoto mendesis pelan."Pedangku tidak perlu berkenalan dengan pedangmu!" cibir Aji.Pedang hitam di tangan Joyonoto kemudian mengeluarkan asap hitam yang mengepul lumayan tebal. Saudara kandung Joyorono itu lalu menarik kaki kanannya ke belakang dan menjadikannya tumpuan untuk melesat ke depan. Dengan kecepatan tinggi, Joyonoto menyerang Aji yang sudah bersiap untuk meladeninya.Benturan dua pedang pusaka yang sama-sama berwarna hitam itu pun tak terelakkan. Dalam beberapa benturan, Aji bisa merasakan jika asap tebal yang keluar dari pedang hitam Joyonoto juga mengandung racun, sama seperti sera
Aji hanya menanggapi dengan acuh tak acuh ucapan lawannya. Matanya malah sibuk melihat ke tempat lain, tepatnya tempat istrinya bertarung bersama dengan Sakuntala.Merasa tidak dihargai, Joyonoto langsung bergerak memberi serangan kepada pendekar tampan itu. Pedang setannya kembali mengepulkan asap beracun. Tapi bagi Aji yang sudah lumayan kenyang asam garam dunia persilatan, asap beracun tersebut bukan suatu halangan yang berarti.Aji melompat mundur dua langkah ketika ujung Pedang Setan hampir saja membobol perutnya. Kecepatan Joyonoto yang terus bertambah seiring dengan pengerahan tenaga dalamnya yang tersisa, memaksa Aji harus sedikit bekerja keras menutup pertahanannya.Seakan tak mau melepaskan buruannya, Joyonoto kemudian melompat ke depan dan membabatkan pedangnya menuju kepala Aji yang terbuka. Dengan cepat, pendekar 25 tahun itu langsung melakukan tangkisan, hingga membuat kedua terpental ke belakang.Pertemuan dua senjata pusaka tersebut
Setelah mengambil Pedang Setan milik Joyonoto, Aji berjalan mendekati Sakuntala yang sedang termangu menatap begitu banyak jasad bergeletakan di sekitar perguruannya. Lelaki tua itu masih belum melihat di bagian dalam perguruannya yang tadi juga terjadi pertempuran."Kakek, sebaiknya kita masuk dulu ke dalam untuk melihat keadaan," ucap Aji, setelah dia berada di samping lelaki tua itu.Sakuntala menoleh sebentar sebelum menganggukkan kepalanya. Embusan napas berat terdengar meluncur deras dari bibir keriputnya.Sakuntala, Aji dan Ratih berjalan memasuki komplek perguruan. Situasi yang sama juga terjadi di dalam. Begitu banyak tubuh tak bernyawa yang berserakan bagai onggokan sampah tak berguna.Beberapa murid perguruan tampak memapak teman-temannya yang terluka. Ada juga yang sambil bercucuran air mata menggotong saudara seperguruan yang sudah tiada.Pandangan mata Sakuntala nanar menatap itu semua. Rasa geram tidak b