Saudara kandung Joyorono itu kembali melakukan serangan cepat. Tombak tajamnya diarahkannya menuju dada Aji.
Suami Ratih itu tersenyum kecil melihat serangan yang dilancarkan Joyonoto. Tanpa melakukan tangkisan, dia hanya perlu menarik sedikit tubuhnya ke samping untuk menghindari tusukan tombak lawan yang melintas mulus di depan dadanya.
Namun serangan Joyonoto tidak berhenti sampai di situ saja, dia melakukan serangan susulan beruntun mengincar titik vital pendekar tampan yang menjadi lawannya kali ini.
Tapi Aji bukan pendekar kemarin sore yang bisa ditaklukan dengan mudah. Dia bergerak acak untuk menghindari serangan Joyonoto yang semakin cepat. Itu dilakukannya sambil membaca alur serangan yang dilepaskan lawannya tersebut.
"Kecepatannya terus meningkat," gumamnya pelan. Dia belum bisa mengukur sampai sejauh mana kekuatan lelaki yang sedang bertarung dengannya tersebut.
Setelah belasan kali menghindari serangan lawan, Aji mulai mela
Aji bisa bernapas lega setelah kakek moyangnya itu memberi saran kepadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, dia Kembali mencabut pedang Naga Bumi setelah melihat lawannya tidak lagi menggunakan tombaknya, melainkan mengeluarkan pedang berwarna hitam dari balik punggungnya."Kau akan melihat bagaimana istimewanya pedang setan kesayanganku ini!" Joyonoto mendesis pelan."Pedangku tidak perlu berkenalan dengan pedangmu!" cibir Aji.Pedang hitam di tangan Joyonoto kemudian mengeluarkan asap hitam yang mengepul lumayan tebal. Saudara kandung Joyorono itu lalu menarik kaki kanannya ke belakang dan menjadikannya tumpuan untuk melesat ke depan. Dengan kecepatan tinggi, Joyonoto menyerang Aji yang sudah bersiap untuk meladeninya.Benturan dua pedang pusaka yang sama-sama berwarna hitam itu pun tak terelakkan. Dalam beberapa benturan, Aji bisa merasakan jika asap tebal yang keluar dari pedang hitam Joyonoto juga mengandung racun, sama seperti sera
Aji hanya menanggapi dengan acuh tak acuh ucapan lawannya. Matanya malah sibuk melihat ke tempat lain, tepatnya tempat istrinya bertarung bersama dengan Sakuntala.Merasa tidak dihargai, Joyonoto langsung bergerak memberi serangan kepada pendekar tampan itu. Pedang setannya kembali mengepulkan asap beracun. Tapi bagi Aji yang sudah lumayan kenyang asam garam dunia persilatan, asap beracun tersebut bukan suatu halangan yang berarti.Aji melompat mundur dua langkah ketika ujung Pedang Setan hampir saja membobol perutnya. Kecepatan Joyonoto yang terus bertambah seiring dengan pengerahan tenaga dalamnya yang tersisa, memaksa Aji harus sedikit bekerja keras menutup pertahanannya.Seakan tak mau melepaskan buruannya, Joyonoto kemudian melompat ke depan dan membabatkan pedangnya menuju kepala Aji yang terbuka. Dengan cepat, pendekar 25 tahun itu langsung melakukan tangkisan, hingga membuat kedua terpental ke belakang.Pertemuan dua senjata pusaka tersebut
Setelah mengambil Pedang Setan milik Joyonoto, Aji berjalan mendekati Sakuntala yang sedang termangu menatap begitu banyak jasad bergeletakan di sekitar perguruannya. Lelaki tua itu masih belum melihat di bagian dalam perguruannya yang tadi juga terjadi pertempuran."Kakek, sebaiknya kita masuk dulu ke dalam untuk melihat keadaan," ucap Aji, setelah dia berada di samping lelaki tua itu.Sakuntala menoleh sebentar sebelum menganggukkan kepalanya. Embusan napas berat terdengar meluncur deras dari bibir keriputnya.Sakuntala, Aji dan Ratih berjalan memasuki komplek perguruan. Situasi yang sama juga terjadi di dalam. Begitu banyak tubuh tak bernyawa yang berserakan bagai onggokan sampah tak berguna.Beberapa murid perguruan tampak memapak teman-temannya yang terluka. Ada juga yang sambil bercucuran air mata menggotong saudara seperguruan yang sudah tiada.Pandangan mata Sakuntala nanar menatap itu semua. Rasa geram tidak b
"Kau jangan bersedih cucuku! Dari setiap kejadian, pasti ada hikmah yang bisa diambil. Dan dari kejadian yang kakek alami, akhirnya kakek bisa bertemu denganmu lagi, juga istrimu. Semua sudah menjadi suratan takdir." Prayoga tersenyum menatap Aji. Tidak terlihat raut kesedihan di mata lelaki tua itu, meski dia harus meninggal dengan cara yang tidak seharusnya."Nanti setelah kau bertemu Tetua Damarjaya, kau akan bertemu ayah kandungmu yang selama ini tidak pernah kau lihat wajahnya. Tetua Damarjaya akan mengungkap siapa dirimu sebenarnya," sambung Prayoga."Kakek, tolong katakan siapa ayahku!" pinta Aji.Prayoga tersenyum sebelum tubuhnya berangsur menghilang menjadi sinar kecil-kecil seperti kunang-kunang yang berterbangan.Namun sebelum benar-benar menghilang, Aji mendengar Prayoga berpesan kepadanya, "Jika kau nanti memiliki seorang putra, berilah dia nama seperti namaku! Kelak kau akan tahu maksudnya. Selamat tinggal Aji, tetap
Tapi begitu melihat muka Ratih yang cemberut, Aji pun luluh. "Jangan cemberut begitu, Sayangku. Baiklah, ayo kita naik ke atas!" ucapnya seraya menggandeng tangan istrinya.Senyum Ratih pun mengembang lebar. Dengan penuh semangat 69 dia berjalan di samping Aji.keserasian sepasang suami istri itu tak pelak mengundang perhatian para pengunjung yang berada di lantai bawah. Tatapan kedua bola mata mereka tak lepas hingga keduanya sudah menapaki anak tangga.Sambutan yang sama pun mereka alami. Lantai dua yang sedikit riuh dan juga dipadati para pengunjung, baik lelaki dan perempuan, seketika mendadak mendadak hening.Bagi pengunjung lelaki, mata mereka tidak henti mengagumi dan menikmati kecantikan Ratih. Begitu pula tatapan mata pengunjung wanita yang tak lepas dari wajah rupawan Aji. Mereka semua dibuat terkesima dengan keserasian sepasang suami istri yang menurut mereka sangat sempurna.Aji dan Ratih tidak peduli meski merek
Empat pendekar yang beranjak keluar dari tempat makan itu serentak menghentikan langkah mereka, ketika melihat Aji dan Ratih ternyata belum beranjak pergi meninggalkan tempat makan tersebut. Dengan perlahan serta hati-hati mereka mendekati keduanya."Tuan Aji ..." sapa salah satu dari mereka.Aji dan Ratih serentak menolehkan arah pandang mereka ke belakang. Melihat bahwa yang menyapa mereka adalah empat orang berpenampilan pendekar yang amtadi satu ruangan dengan mereka, keduanya pun membalikkan badannya masing-masingSuami Ratih itu menyatukan kedua alisnya karena bingung. Dia merasa tidak mengenal keempat lelaki yang berpenampilan seperti pendekar tersebut."Siapa kalian? Apa kalian mengenalku?""Maaf, Tuan. Mungkin saat ini Tuan bingung, Kami dari pasukan Khusus kerajaan Cakrabuana di bawah pimpinan Tuan Antasena.""Bagaimana kalian bisa mengenaliku?""Wajah Tuan sangat familiar bagi kami pasukan khus
Diandra dan Ratih terkejut melihat kepulan asap hitam yang keluar dari kepala lelaki tampan itu.Ratih jelas tahu apa yang sedang dilakukan Aji, tapi tidak bagi Diandra. Gadis yang usianya kira-kira 17 tahun itu tidak paham apa yang sedang terjadi pada Aji, dan takut jika suami Ratih itu melakukan sesuatu hal kepada ibunya.Melihat kekuatiran di mata Diandra, Ratih memeluk gadis yang matanya mulai berair itu dan membisikinya pelan. "Tenang, jangan takut, suamiku sedang mengobati ibumu. Racun di dalam tubuh ibumu sedang diserap Kakang Aji.""Benarkah?" Diandra melepaskan pelukan Ratih dan memandang kedua bola mata wanita cantik itu."Apa untungnya aku berbohong padamu?" Ratih tersenyum sambil membalas pertanyaan ringan Diandra.Hembusan napas lega keluar dari bibir merah Diandra. Gadis yang sebenarnya memiliki wajah cantik, tapi sayang tidak terawat itu, kemudian memandang wajah ibunya yang sudah terlihat lebih cerah. Gurat hitam y
"Aku juga berpikiran seperti itu. Tapi siapa wanita yang menjadi korban dan di mana kita harus mencarinya?" Aji menghela napas berat. Dia merasa pikirannya buntu karena tidak ada informasi penunjang untuk membantu menyelesaikan kasus yang sedang terjadi."Apa salah satu dari kalian ada yang pernah melihat wanita itu?" lanjut Aji bertanya."Aku pernah melihatnya, Tuan. Saat wanita itu melapor kepada paduka raja, aku sempat melihatnya ketika memasuki aula.""Apa kau melihatnya dengan jelas?""Meskipun tidak sampai tamat melihat wajahnya, Tapi aku masih bisa mengenali kalau bertemu dengannya, Tuan." jawab anggota pasukan khusus yang berbadan tinggi dan kekar."Namamu siapa?" tanya Aji lagi."Namaku Sumarta, Tuan.""Baiklah. Kalian berempat carilah wanita itu di desa ini. Kalau sudah bertemu dia, jaga dengan nyawa kalian dan laporkan kepadaku!"perintah Aji."Siap, Tuan. Kami akan segera mencariny