"Aku juga berpikiran seperti itu. Tapi siapa wanita yang menjadi korban dan di mana kita harus mencarinya?" Aji menghela napas berat. Dia merasa pikirannya buntu karena tidak ada informasi penunjang untuk membantu menyelesaikan kasus yang sedang terjadi.
"Apa salah satu dari kalian ada yang pernah melihat wanita itu?" lanjut Aji bertanya.
"Aku pernah melihatnya, Tuan. Saat wanita itu melapor kepada paduka raja, aku sempat melihatnya ketika memasuki aula."
"Apa kau melihatnya dengan jelas?"
"Meskipun tidak sampai tamat melihat wajahnya, Tapi aku masih bisa mengenali kalau bertemu dengannya, Tuan." jawab anggota pasukan khusus yang berbadan tinggi dan kekar.
"Namamu siapa?" tanya Aji lagi.
"Namaku Sumarta, Tuan."
"Baiklah. Kalian berempat carilah wanita itu di desa ini. Kalau sudah bertemu dia, jaga dengan nyawa kalian dan laporkan kepadaku!"
perintah Aji."Siap, Tuan. Kami akan segera mencariny
Sesampainya di dalam kamar, Ibunya Diandra tampak sudah baikan dan bahkan bisa duduk di bibir ranjang. Bibir wanita itu merekah lebar melihat kedatangan Aji dan Ratih.Di saat mereka berdua keluar, Diandra bercerita banyak tentang sifat sepasang suami istri tersebut yang begitu banyak membantu, terutama di saat Aji menyerap racun di tubuh ibunya."Bibi sudah baikan rupanya," ujar Aji. Dia melangkah mendekati wanita tersebut, "Biar aku periksa sekali lagi untuk memastikan racunnya sudah keluar semua atau belum. Lihat tangannya, Bi."Ibu Diandra memberikan tangan kanan untuk diperiksa Aji. Wanita yang sudah terlihat kecantikannya itu tanpa ragu membiarkan Aji meraih tangannya.Dengan mata terpejam, lelaki tampan itu memeriksa detak nadi dan aliran darah, serta mengalirkan lagi tenaga dalamnya untuk membersihkan sisa-sisa racun yang masih menempel di bagian tubuh wanita tersebut."Sudah, Bi. Tidak ada racun lagi yang tersisa di tubuh Bibi.
Apa mungkin ibunya Diandra adalah sosok yang sedang dibicarakan dua orang di dalam rumah besar itu? Pertanyaan itu menggelayut memenuhi pikiran Aji.Jika benar adanya, maka ibunya Diandra harus segera dijaga seketat mungkin. Bukan tidak mungkin jika mereka tahu wanita itu sekarang baik-baik saja, maka jalan kekerasan bisa saja akan mereka ambil untuk menyelamatkan karir Adipati Ranamungkarna.Sebuah kecerobohan yang dilakukannya membuat sebuah genting melorot hingga jatuh ke bawah. Aji tak kuasa menahan jatuhnya genting tersebut yang langsung menghujam tanah dan memancing keingintahuan prajurit yang sedang berjaga. Beberapa orang kepala desa juga dibuat terkejut dengan jatuhnya genting tersebut.Mereka bergegas mendekati lokasi jatuhnya genting yang berada di sisi samping rumah. Sebagian pasang mata melihat ke atas dan melihat sosok berpakaian hitam yang sedang memandang mereka."Siapa kau!? Apa yang kau
"Bagaimana, Sumarta?" tanya Aji penasaran."Be-benar wanita ini, Tuan," jawab Sumarta terbata-bata. Dia tidak menyangka jika yang mereka cari ternyata begitu dekat."Memangnya ada apa, Kakang?" tanya Ratih dan gendis hampir bersamaan.Aji menoleh kepada ibu Diandra yang dalam keadaan tertidur pulas. Takut jika pembicaraan mereka mengganggu, Aji mengajak mereka bertiga keluar.Setelah berada di ruang tamu dan duduk di lantai beralas tikar pandan, Aji member perintah kepada Sumarta untuk memberitahu ketiga temannya. Setelah itu dia berusaha menjelaskan pelan-pelan, terutama kepada Diandra. Sebisa mungkin dia tidak ingin membuat gadis itu terpukul."Jadi begini, Diandra ... Kedatangan Adipati Ranamungkarna ke desa ini ternyata untuk mencari ibumu," ucapnya mengawali pembicaraan.Diandra terpaku mendengar ucapan pembuka Aji. Dia masih belum tahu apa maksud Adipati Ranamungkarna mencari ibunya."Tapi men
Para prajurit Adipati Ranamungkarna hanya bisa melongo melihat 4 anggota pasukan khusus itu begitu hormat kepada Aji. Pikiran mereka hanya bisa menduga-duga jika lelaki tampan itu adalah salah seorang pejabat penting istana. Jika tidak, mana mungkin sekelas anggota pasukan khusus begitu hormat kepadanya.Lelaki berkepala gundul itu menatap Aji dengan tajam. Sedetik berikutnya, dia tertawa lantang sampai kumis tebal yang melintang bagai Bengawan solo di atas bibirnya, bergerak naik turun mengikuti ayunan kepalanya."Hahahaha ...! Mereka berempat saja tidak akan sanggup menghadapiku, apalagi kamu!"Aji hanya tersenyum kecil mendapati serangan verbal seperti itu. Baginya, ancaman yang jauh lebih parah sudah seringkali dia dengar. Dan semua ancaman itu selalu berakhir kematian bagi yang mengancamnya."Buat kalian para prajurit kadipaten Majasari, jika tidak ingin berurusan dengan istana, sebaiknya kalian pergi dari tempat ini dan
Tanpa diduga si Gundul maupun keempat temannya, tebasan pedang besar itu dihindari Aji hanya dengan menggeser kakinya satu langkah. Setelah itu, lelaki tampan tersebut meraih leher si Gundul dan mencengkeramnya dengan begitu kuat hingga terdengar suara tulang yang remuk beberapa kali.Kreeek! Kreeek!Melihat Aji hanya dalam satu serangan bisa membunuh dengan keji membuat penilaian keempat teman si Gundul terhadap lelaki tampan itu berubah. Wajah tampan dan bibir yang selalu menyunggingkan senyum, nyatanya berbanding terbalik dengan kebengisan Aji dalam membunuh.Lutut mereka bergetar kuat, degup jantung berdetak kencang bagai pacuan kuda, dan keringat dingin merembes keluar melalui pori-pori, adalah suatu pertanda jika keempatnya dalam puncak ketakutan. Jangankan berlari, untuk bergeser satu langkah saja kaki mereka terasa begitu berat.Seorang dari keempatnya tiba-tiba menjatuhkan pedangnya dan duduk berlutut. 3 orang temannya men
Begitu mereka semua masuk ke dalam ruangan, tidak terlihat seorangpun berada di dalamnya."Cepat cari mereka!" perintah Aji. Matanya memandang sekeliling ruangan yang cukup luas tersebut. Ada 3 buah lemari besar, serta seperangkat kursi dan meja. Di dekat meja kursi tersebut, terdapat tumpukan buku kitab yang tertata rapi.Satu persatu lemari besar itu dibuka untuk mencari keberadaan Adipati Ranamungkarna dan juga kepala desa surananta.Tapi ternyata yang mereka temukan bukan kedua orang itu, melainkan tumbukan harta yang jumlahnya hampir tidak bisa dihitung."Sepertinya mereka berdua sudah pergi tuan lapor seorang anggota pasukan khusus sembari menunjukkan jendela yang sedikit terbuka.Tak ingin buruannya kabur, Aji memberi perintah kepada Sumarta dan ketiga temannya untuk keluar dari rumah besar itu dan mencarinya di sekitar.Sementara empat orang lainnya dia beri perintah untuk mengumpulkan tumpukan harta benda yang disinyalir
Aji tersenyum tipis ketika melihat keterkejutan di wajah Adipati Ranamungkarna. "Kenapa terkejut setelah melihatku? Kalau saja aku tahu perbuatanmu, sudah sejak di tempat makan itu kau kuhabisi!" "Apa kesalahanku? Aku tidak bersalah apapun!" Adipati Ranamungkarna mencoba membela diri."Percuma kau bicara. Semua bukti sudah ada. besok aku akan mengadilimu di depan penduduk desa ini!" sahut Aji. Dia ganti menatap kepala desa Surananta."Dan kau ...! Sebagai seorang pemimpin di desa, seharusnya kau bisa mengayomi rakyatmu. Bukan malah berniat membunuh mereka!" sambung Aji.Kepala desa Surananta hanya bisa menunduk menatap kedua kakinya. Hanya karena tergiur dengan upah yang dijanjikan Adipati Ranamungkarna, dia sampai mengorbankan jabatan dan juga bahkan kehidupannya."Mereka berempat orang-orang yang kau sewa untuk membunuh ibunya Diandra, bukan?"Pemimpin desa tersebut tetap diam. Dia tidak berani untuk berkata apapun
Dengan kedua tangan terikat ke belakang, Adipati Ranamungkarna dan kepala desa Surananta dipaksa berlutut di tanah. Kondisi keduanya saat ini jauh berbeda dengan di saat-saat mereka masih berkuasa, baik di kadipaten Majasari maupun di desa tersebut.Tidak terlihat tatapan mata garang yang selama ini mereka tunjukkan. Kebanggaan mereka berdua seketika runtuh dengan pandangan begitu banyaknya pasang mata yang seperti menelanjangi keduanya.Setelah ditunggu untuk beberapa lama, Aji, Ratih, Diandra dan ibunya akhirnya sampai di depan kedua terdakwa."Angkat wajahmu dan lihat siapa yang ada di depanmu, Ranamungkarna! Kau bukan Adipati lagi, jadi aku tidak akan menyebutmu dengan sebutan itu!" kata Aji dengan nada yang sedikit keras.Rasa malu membuat Ranamungkarna yang disebut Aji bukan lagi menjadi seorang Adipati, tak mampu mengangkat wajahnya. Dia tetap tertunduk menatap tanah yang menjadi tumpuannya berlutut.Sumarta terlihat geram