Tapi begitu melihat muka Ratih yang cemberut, Aji pun luluh. "Jangan cemberut begitu, Sayangku. Baiklah, ayo kita naik ke atas!" ucapnya seraya menggandeng tangan istrinya.
Senyum Ratih pun mengembang lebar. Dengan penuh semangat 69 dia berjalan di samping Aji.
keserasian sepasang suami istri itu tak pelak mengundang perhatian para pengunjung yang berada di lantai bawah. Tatapan kedua bola mata mereka tak lepas hingga keduanya sudah menapaki anak tangga.
Sambutan yang sama pun mereka alami. Lantai dua yang sedikit riuh dan juga dipadati para pengunjung, baik lelaki dan perempuan, seketika mendadak mendadak hening.
Bagi pengunjung lelaki, mata mereka tidak henti mengagumi dan menikmati kecantikan Ratih. Begitu pula tatapan mata pengunjung wanita yang tak lepas dari wajah rupawan Aji. Mereka semua dibuat terkesima dengan keserasian sepasang suami istri yang menurut mereka sangat sempurna.
Aji dan Ratih tidak peduli meski merek
Empat pendekar yang beranjak keluar dari tempat makan itu serentak menghentikan langkah mereka, ketika melihat Aji dan Ratih ternyata belum beranjak pergi meninggalkan tempat makan tersebut. Dengan perlahan serta hati-hati mereka mendekati keduanya."Tuan Aji ..." sapa salah satu dari mereka.Aji dan Ratih serentak menolehkan arah pandang mereka ke belakang. Melihat bahwa yang menyapa mereka adalah empat orang berpenampilan pendekar yang amtadi satu ruangan dengan mereka, keduanya pun membalikkan badannya masing-masingSuami Ratih itu menyatukan kedua alisnya karena bingung. Dia merasa tidak mengenal keempat lelaki yang berpenampilan seperti pendekar tersebut."Siapa kalian? Apa kalian mengenalku?""Maaf, Tuan. Mungkin saat ini Tuan bingung, Kami dari pasukan Khusus kerajaan Cakrabuana di bawah pimpinan Tuan Antasena.""Bagaimana kalian bisa mengenaliku?""Wajah Tuan sangat familiar bagi kami pasukan khus
Diandra dan Ratih terkejut melihat kepulan asap hitam yang keluar dari kepala lelaki tampan itu.Ratih jelas tahu apa yang sedang dilakukan Aji, tapi tidak bagi Diandra. Gadis yang usianya kira-kira 17 tahun itu tidak paham apa yang sedang terjadi pada Aji, dan takut jika suami Ratih itu melakukan sesuatu hal kepada ibunya.Melihat kekuatiran di mata Diandra, Ratih memeluk gadis yang matanya mulai berair itu dan membisikinya pelan. "Tenang, jangan takut, suamiku sedang mengobati ibumu. Racun di dalam tubuh ibumu sedang diserap Kakang Aji.""Benarkah?" Diandra melepaskan pelukan Ratih dan memandang kedua bola mata wanita cantik itu."Apa untungnya aku berbohong padamu?" Ratih tersenyum sambil membalas pertanyaan ringan Diandra.Hembusan napas lega keluar dari bibir merah Diandra. Gadis yang sebenarnya memiliki wajah cantik, tapi sayang tidak terawat itu, kemudian memandang wajah ibunya yang sudah terlihat lebih cerah. Gurat hitam y
"Aku juga berpikiran seperti itu. Tapi siapa wanita yang menjadi korban dan di mana kita harus mencarinya?" Aji menghela napas berat. Dia merasa pikirannya buntu karena tidak ada informasi penunjang untuk membantu menyelesaikan kasus yang sedang terjadi."Apa salah satu dari kalian ada yang pernah melihat wanita itu?" lanjut Aji bertanya."Aku pernah melihatnya, Tuan. Saat wanita itu melapor kepada paduka raja, aku sempat melihatnya ketika memasuki aula.""Apa kau melihatnya dengan jelas?""Meskipun tidak sampai tamat melihat wajahnya, Tapi aku masih bisa mengenali kalau bertemu dengannya, Tuan." jawab anggota pasukan khusus yang berbadan tinggi dan kekar."Namamu siapa?" tanya Aji lagi."Namaku Sumarta, Tuan.""Baiklah. Kalian berempat carilah wanita itu di desa ini. Kalau sudah bertemu dia, jaga dengan nyawa kalian dan laporkan kepadaku!"perintah Aji."Siap, Tuan. Kami akan segera mencariny
Sesampainya di dalam kamar, Ibunya Diandra tampak sudah baikan dan bahkan bisa duduk di bibir ranjang. Bibir wanita itu merekah lebar melihat kedatangan Aji dan Ratih.Di saat mereka berdua keluar, Diandra bercerita banyak tentang sifat sepasang suami istri tersebut yang begitu banyak membantu, terutama di saat Aji menyerap racun di tubuh ibunya."Bibi sudah baikan rupanya," ujar Aji. Dia melangkah mendekati wanita tersebut, "Biar aku periksa sekali lagi untuk memastikan racunnya sudah keluar semua atau belum. Lihat tangannya, Bi."Ibu Diandra memberikan tangan kanan untuk diperiksa Aji. Wanita yang sudah terlihat kecantikannya itu tanpa ragu membiarkan Aji meraih tangannya.Dengan mata terpejam, lelaki tampan itu memeriksa detak nadi dan aliran darah, serta mengalirkan lagi tenaga dalamnya untuk membersihkan sisa-sisa racun yang masih menempel di bagian tubuh wanita tersebut."Sudah, Bi. Tidak ada racun lagi yang tersisa di tubuh Bibi.
Apa mungkin ibunya Diandra adalah sosok yang sedang dibicarakan dua orang di dalam rumah besar itu? Pertanyaan itu menggelayut memenuhi pikiran Aji.Jika benar adanya, maka ibunya Diandra harus segera dijaga seketat mungkin. Bukan tidak mungkin jika mereka tahu wanita itu sekarang baik-baik saja, maka jalan kekerasan bisa saja akan mereka ambil untuk menyelamatkan karir Adipati Ranamungkarna.Sebuah kecerobohan yang dilakukannya membuat sebuah genting melorot hingga jatuh ke bawah. Aji tak kuasa menahan jatuhnya genting tersebut yang langsung menghujam tanah dan memancing keingintahuan prajurit yang sedang berjaga. Beberapa orang kepala desa juga dibuat terkejut dengan jatuhnya genting tersebut.Mereka bergegas mendekati lokasi jatuhnya genting yang berada di sisi samping rumah. Sebagian pasang mata melihat ke atas dan melihat sosok berpakaian hitam yang sedang memandang mereka."Siapa kau!? Apa yang kau
"Bagaimana, Sumarta?" tanya Aji penasaran."Be-benar wanita ini, Tuan," jawab Sumarta terbata-bata. Dia tidak menyangka jika yang mereka cari ternyata begitu dekat."Memangnya ada apa, Kakang?" tanya Ratih dan gendis hampir bersamaan.Aji menoleh kepada ibu Diandra yang dalam keadaan tertidur pulas. Takut jika pembicaraan mereka mengganggu, Aji mengajak mereka bertiga keluar.Setelah berada di ruang tamu dan duduk di lantai beralas tikar pandan, Aji member perintah kepada Sumarta untuk memberitahu ketiga temannya. Setelah itu dia berusaha menjelaskan pelan-pelan, terutama kepada Diandra. Sebisa mungkin dia tidak ingin membuat gadis itu terpukul."Jadi begini, Diandra ... Kedatangan Adipati Ranamungkarna ke desa ini ternyata untuk mencari ibumu," ucapnya mengawali pembicaraan.Diandra terpaku mendengar ucapan pembuka Aji. Dia masih belum tahu apa maksud Adipati Ranamungkarna mencari ibunya."Tapi men
Para prajurit Adipati Ranamungkarna hanya bisa melongo melihat 4 anggota pasukan khusus itu begitu hormat kepada Aji. Pikiran mereka hanya bisa menduga-duga jika lelaki tampan itu adalah salah seorang pejabat penting istana. Jika tidak, mana mungkin sekelas anggota pasukan khusus begitu hormat kepadanya.Lelaki berkepala gundul itu menatap Aji dengan tajam. Sedetik berikutnya, dia tertawa lantang sampai kumis tebal yang melintang bagai Bengawan solo di atas bibirnya, bergerak naik turun mengikuti ayunan kepalanya."Hahahaha ...! Mereka berempat saja tidak akan sanggup menghadapiku, apalagi kamu!"Aji hanya tersenyum kecil mendapati serangan verbal seperti itu. Baginya, ancaman yang jauh lebih parah sudah seringkali dia dengar. Dan semua ancaman itu selalu berakhir kematian bagi yang mengancamnya."Buat kalian para prajurit kadipaten Majasari, jika tidak ingin berurusan dengan istana, sebaiknya kalian pergi dari tempat ini dan
Tanpa diduga si Gundul maupun keempat temannya, tebasan pedang besar itu dihindari Aji hanya dengan menggeser kakinya satu langkah. Setelah itu, lelaki tampan tersebut meraih leher si Gundul dan mencengkeramnya dengan begitu kuat hingga terdengar suara tulang yang remuk beberapa kali.Kreeek! Kreeek!Melihat Aji hanya dalam satu serangan bisa membunuh dengan keji membuat penilaian keempat teman si Gundul terhadap lelaki tampan itu berubah. Wajah tampan dan bibir yang selalu menyunggingkan senyum, nyatanya berbanding terbalik dengan kebengisan Aji dalam membunuh.Lutut mereka bergetar kuat, degup jantung berdetak kencang bagai pacuan kuda, dan keringat dingin merembes keluar melalui pori-pori, adalah suatu pertanda jika keempatnya dalam puncak ketakutan. Jangankan berlari, untuk bergeser satu langkah saja kaki mereka terasa begitu berat.Seorang dari keempatnya tiba-tiba menjatuhkan pedangnya dan duduk berlutut. 3 orang temannya men