Suara tawa yang melengking kuat terdengar dari bibir wanita tua itu. Dia sebenarnya terkejut karena seingatnya sudah mengarahkan pemuda itu untuk menuju puncak gunung Kahuripan, tapi dia menutupi rasa terkejutnya dengan tawanya yang melengking.
"Dan kau memfitnah harimau itu agar ada yang bisa mengalahkannya! Pengecut!"
Wanita tua itu semakin terkejut. Kerutan di wajahnya semakin tebal karena belangnya sudah terkuak lebar.
"Bedebah ... Kau telah berani memasuki perguruanku tanpa ijin. Aku akan membunuhmu!" bentak Nyai Bidara.
"Melawan harimau itu saja kau tidak bisa mengalahkannya, apalagi melawanku!" cibir Aji. Dia lalu bersiap dengan kuda-kudanya untuk melakukan pertarungan dengan wanita tua itu.
"Berarti kau sudah bertemu dengan manusia harimau itu?" Dahi Nyai Bidara yang keriput terlihat semakin tebal.
"Kalau iya kenapa? Kenapa kau begitu terkejut mendengarnya? Bahkan kami sudah bertarung, untungnya kami berdua sa
Setelah melakukan tangkisan, Jaya harus bergerak mundur karena dua serangan lain sudah mengarah ke tubuhnya. Pedang di tangannya bergerak cepat menangkis kedua pedang yang bersiap menusuknya itu.Suara dentingan akibat senjata mereka yang beradu pun kerap terdengar. Jaya yang tidak mau berlama-lama lagi dalam pertarungn itu, menambah tenaga dalam dan mempercepat gerakannya.Fokus matanya hanya untuk mencari kelemahan kombinasi serangan yang mereka keluarkan. Gerakan mereka bertiga yang rapi dan saling menutupi sedikit menyulitkan Jaya yang hendak melakukan serangan balasan."Pedang Halilintar!"Bilah pedang yang dipegang Jaya mengeluarkan kilatan seperti petir yang menyambar-nyambar. Dia menggunakan jurus pedang terkuatnya itu untuk segera mengakhiri pertarungan.Gerakan lelaki itu semakin cepat dan berhasil merusak kombinasi serangan ketiga tetua perguruan Pemuja Iblis tersebut.Jaya menarik tubuhnya satu langkah ke samping untu
"Pedang itu? Bagaimana dia bisa menguasainya?" tanya Nyai Bidara kepada suaminya."Entahlah, kita harus mencari jalan untuk kabur dari tempat ini," bisik suami Nyai Bidara."Kita serang saja, Kang! Tampaknya kita akan sulit melepaskan diri."Suami Nyai Bidara mengangguk. Mereka berdua pun menyiapkan kuda-kuda dengan kokoh. Dalam satu tarikan nafas, suami Nyai Bidara menyerang Jaya dengan segenap kemampuannya.Di saat suaminya bertarung melawan Jaya, Nyai Bidara melesat dengan begitu cepatnya hingga hampir saja berhasil keluar dari pintu gerbang perguruan. Tapi tiba-tiba saja Aji sudah mencegatnya tepat di bawah pintu gerbang."Kau mau kemana Nyai Bidara? Kau kira aku akan tertipu akal busukmu?""Kau ...! Bukankah kau tadi mendatangi istrimu?" Wajah keriput wanita tua itu semakin terlihat keriput karena terkejut dan juga ketakutan."Siapa bilang aku menuju ruangan tempat menyekap korban yang kau culik? Aku sudah paham
Perasaan Ratih dibuat bahagia dengan sikap Aji yang selalu membuatnya melayang-layang dengan berbagai pujian yang dilontarkannya. Selain begitu perhatian, Ratih juga menilai jika suaminya tersebut memiliki misi romantis yang kerap ditunjukkannya."Bagaimana Aji, apakah masih ada korban lainnya di dalam?" tanya Jaya, setelah Aji dan Ratih sudah berada di dekatnya.Aji menggeleng pelan. "Semua sudah keluar, termasuk istriku ini," jawabnya."Ternyata kalian benar-benar serasi. Semoga jodoh kalian bisa langgeng hingga maut memisahkan," balas Jaya dengan senyum yang mengembang lebar.Akhirnya Jaya bisa tersenyum dan bahkan tertawa lantang di malam itu. Dia yang selama puluhan tahun bermeditasi di puncak gunung Kahuripan, tentunya sudah bosan dengan rasa kesepian seorang diri. Dengan hadirnya Aji dan Ratih sebagai temannya, dia bisa merasakan kebahagiaan tersendiri.Sesampainya di luar pintu gerbang, Aji berhenti dan membalikkan b
Dalam perjalanan panjang menuju Kerajaan Kalingga yang membutuhkan waktu sekitar 14 hari, beberapa kali mereka membantu para pedagang ataupun penduduk yang sedang dirampok ataupun mendapat masalah lain. Sejauh ini mereka tidak halangan yang bisa membuat perjalanan menjadi lebih lama. Selain itu mereka juga harus melewati Kotaraja Suryanegara terlebih dahulu.Di hari ke 8, saat mereka hampir tiba di kotaraja kerajaan Suryanegara, perjalanan mereka terhenti setelah terjadi perang besar cukup jauh di depan mereka.Mereka hanya melihat dari jauh tanpa berpikir untuk ikut terlibat, karena mereka memang tidak ada kaitannya dengan perang yang sedang terjadi, dan juga tidak ingin terlibat di dalamnyaJaya tampak tertegun dengan perang besar yang terjadi di depan matanya itu, seolah dia sedang berpikir tentang sesuatu. Kenyitan tebal di dahinya menandakan itu."Ayo kita kembali ke desa tadi, sekalian untuk mencari informasi tentang perang i
"Dan lebih parahnya lagi, rakyat ini seperti tidak ada harganya di mata paduka raja. Beliau memasang mata-mata di setiap tempat untuk mengawasi rakyatnya. Jika ada rakyat yang mengkritisi atau berbicara tidak baik tentang beliau, tidak lama pasti akan ditangkap dan dihukum penjara.""Lalu kenapa Paman berani berbicara buruk tentang paduka raja? Apa Paman tidak takut hukuman penjara?""Berani karena benar, takut karena salah. Itu prinsip yang aku pegang, Kisanak. Mati sekarang atau mati nanti, itu sama saja buat paman. Toh semua manusia pasti mati juga akhirnya."Aji termenung mendengar ucapan lelaki itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, sebegitu parahkah pemerintahan di kerajaan Suryanegara, sehingga rakyatnya begitu antipati terhadap rajanya.Lima orang lelaki bertubuh tegap dengan pedang tergantung di pinggang tiba-tiba berdiri setelah lelaki itu selesai berucap. Mereka mendekati lelaki yang berbicara dengan Aji."Kau sudah berani berbicara b
Jaya menoleh kepada Aji yang langsung disambut anggukan lelaki tampan tersebut.Lelaki tersebut kemudian mengajak ketiganya ke rumahnya yang terletak di ujung desa.Setelah sampai di rumah lelaki itu, Aji dibuat heran dengan rumah yang besar dan bisa dibilang mewah."Selamat datang di gubukku yang kecil ini. Mari, silahkan masuk!"Suasana yang sejuk dirasakan mereka bertiga di dalam rumah besar tersebut. Atap yang tinggi ditambah dengan beberapa jendela yang besar memungkinkan panas matahari tidak sampai ke bawah. Hembusan angin yang masuk melewati jendela membuat mereka bertiga merasa nyaman di dalam rumah itu.Sesaat kemudian seorang wanita setengah baya datang membawa cemilan dan minuman untuk mereka bertiga."Silahkan dinikmati camilan alakadarnya ini, Kisanak. Mohon maaf jika aku tidak bisa menjamu kalian dengan baik," kata lelaki itu ramah."Wah, Ini lebih dari cukup, Kisanak," balas Aji sambil tersenyum, "Ruma
"Terima kasih. Aku memang berharap bantuan darimu, Aji. Aku sendirian tidak akan bisa melakukannya," balas Jaya. Dia kemudian terdiam untuk beberapa saat."Sebenarnya ayahku yang diberi tugas untuk menjaga pedang pusaka itu. Tapi beliau merasa sudah terlalu lama hidup dan menyerahkan amanah itu kepadaku. Namun sayang aku melalaikan amanah itu." tambahnya.Aji tersenyum lebar, "Semua orang pasti punya kesalahan, dan aku tidak menyalahkanmu. Setidaknya sekarang ada aku yang akan membantumu. Tinggal bagaimana caranya kita mengambil Pedang serat alam dari tangan raja bengis itu.""Ada lagi yang belum aku beritahukan kepadamu. Untungnya saat itu aku hanya memberikan separuh dari kitab Serat Alam kepada paduka raja. Sehingga dia tidak bisa memaksimalkan kemampuan pedang pusaka itu," kata Jaya seraya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan memberikannya kepada Aji"Bawalah ini, kita rebut kembali pedang Serat Alam dan separuh bagian dari kitab ini."Aji
Aji melirik ke arah Jaya dan memberi isyarat agar jangan menyerang terlebih dahulu. Dia tahu jika teman barunya itu sudah terbakar emosi."Sabar kita habisi mereka setelah keluar dari desa ini," kata Aji pelan.Jaya mengangguk sambil menahan amarahnya. Dia bisa membaca rencana Aji yang tidak ingin jatuh korban dari pihak penduduk."Hahaha ...! Kau cantik sekali dan memiliki kecantikan berbeda dengan yang lainnya. Paduka raja pasti akan memberiku hadiah besar jika bisa membawamu ke istana," ucap pemimpin prajurit tersebut kepada Ratih.Putri Kiki Mangkubumi itu melengos wajah dan tidak menyahuti ucapan lelaki tersebut. Apa yang dilakukan Ratih tentunya membuat pemimpin prajurit itu murka, "Kau berani mengacuhkanku! Seharusnya kau bangga dan senang bisa tinggal di istana. Dan aku yakin, kau akan menjadi wanita yang istimewa di mata paduka!"Ratih tetap diam dan tidak sedikitpun memandang lelaki yang berada di sampingnya itu."Bawa para g