"Ternyata aku salah menilai dirimu, Orang tua. Lumayan juga, menurutku," ucap Aji sambil memberikan serangan berulang kali.
"Hanya lumayan kau bilang? Aku belum mengeluarkan semua kemampuanku!" bentak Wiro Sentiko setelah berhasil menghindari beberapa serangan yang mengincar tubuhnya. Dia sebenarnya dibuat terkejut dengan ucapan lawannya tersebut, sebab jika lelaki tampan itu menganggapnya lumayan, maka kemampuannya bisa jadi di atasnya.
Aji kembali bergerak melakukan serangan dengan bertubi-tubi dan semakin cepat. Wiro sentiko terlihat kesulitan menyambut serangan yang datang kepadanya. Pola serangan Aji hampir tidak bisa ditebak dan gerakan serangannya mengundang decak kagum bagi siapapun yang melihatnya.
"Masih ada kesempatan kalau kau ingin mundur, Orang Tua!" cibir Aji setelah melihat napas Wiro Sentiko mulai memburu kencang.
"Jangan bermimpi, bajingan tengik!"
Wiro Sentiko mengangkat tangannya, seketika belasan telapak tanga
"Sudah saatnya mengirimmu menemui Dewa kematian, Orang tua!"Aji mencabut pedang Naga Bumi dari sarungnya. Bilah pedang berwarna hitam yang dipegangnya seketika mengeluarkan aura kemerahan yang begitu panas."Tidak mungkin! Bagaimana dia bisa menguasai pedang pusaka yang memiliki energi begitu besar?" gumam Wiro Sentiko. Keringatnya mengalir deras, bercampur dengan darahnya yang juga tak henti mengalir dari lukanya.Seingatnya, bisa dihitung dengan jari saja dia mengalami situasi seperti sekarang. Namun semuanya melawan pendekar yang secara umur sudah sangat tua. Tapi kali ini, yang sudah membuatnya menjadi pecundang adalah seorang pendekar muda.Secara perlahan, energi panas yang keluar dari bilah pedang Naga Bumi menekan lelaki tua itu begitu kuat. Bahkan saking kuatnya energi panas yang menerpa tubuhnya, keringat yang mengucur keluar dari tubuhnya seketika mengering."Selamat bersenang-senang di dalam neraka!" dingin dan
Ratih dan ketiga gadis itu akhirnya keluar dari kompleks perguruan aliran hitam tersebut. Selepas itu, Aji berjalan memasuki sebuah ruangan dan mengambil lentera yang masih menyala.Dengan cepat, satu persatu bangunan yang ada di tempat itu terbakar hebat. Aji tidak menyisakan satu pun bangunan yang dibiarkannya berdiri tanpa ada api yang menyelimuti.Dari luar, lelaki tampan itu bersama Ratih dan ketiga gadis lainnya, memandang lautan api yang berkobar hebat. Mayoritas bangunan yang terbuat dari kayu, dan ditambah angin yang berhembus kencang, membuat kobaran api secara cepat melalap habis komplek perguruan aliran itu .Setelah dipastikan tidak ada lagi bangunan yang bisa dimanfaatkan, mereka pun beranjak pergi untuk mengambil kuda hitam yang sejak semalam terikat di sebuah pohon kecil."Di mana rumah kalian? Apa jauh dari hutan ini?" tanya Ratih, di sela-sela mereka berjalan.Salah satu gadis berinisiatif menjawab untuk me
Malam itu, Aji dan Ratih menginap di rumah besar gadis yang telah mereka berdua selamatkan. Setidaknya untuk malam itu mereka bisa tidur dengan nyenyak hingga keesokan paginya.Suara ayam jantan yang berkokok bersahutan di pagi hari, seolah menjadi pertanda aktifnya kembali kehidupan di bumi. Seiring dengan pancaran sinar sang Surya yang menghangatkan Bumi, aktifitas manusia pun kembali berulang seperti sebelum-sebelumnya.Begitu juga dengan Aji dan Ratih. Mereka berdua terbangun dari tidurnya, setelah suara ayam jantan yang bernyanyi merdu menerobos masuk ke dalam gendang telinga.Setelah sarapan bersama pemilik rumah, Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan menuju gunung Merapi. Tanpa mereka berdua sadari, di saat sarapan bersama tadi, si juragan kaya memberi perintah kepada istrinya untuk memasukan dua kantong koin emas ke dalam bungkusan kain yang selalu dibawa Aji dan Ratih.Dalam pikiran lelaki setengah baya tersebut, mungkin saja k
"Pertanyaan klasik." Aji tertawa kecil seraya memandang keempat orang berbaju merah yang menatapnya penuh amarah. "Kalau tidak ingin aku ikut campur, kalian jangan main keroyok seperti itu! Apa kalian tidak malu mengeroyok orang tua seperti beliau? Dan lagi, apa bagaimana tanggapan keluarga kalian jika tahu "Jika mereka tahu kalau kalian tidak ubahnya banci yang beraninya hanya kepada lelaki tua?""Bedebah! Apa kau baru saja muncul di dunia persilatan hingga tidak mengenal kami empat Pendekar Celurit Merah? Melawan siapapun, kami akan tetap berempat sesuai julukan kami!" sahut seorang dari mereka."Hahaha ...! Kalian ini sebenarnya tak lebih dari 4 orang banci. Kalian bergabung karena takut untuk berdiri sendiri, bukan? Kalau kalian lelaki sejati, beranikah melawan beliau sendiri-sendiri?"Cibiran yang dilakukan Aji membuat keempat orang berpakaian merah itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tidak mungkin memenuhi permintaan lela
Empat orang pendekar Celurit merah kembali bergerak dengan cepat seperti tadi. Aji kemudian menggunakan ajian langkah angin dan bergerak lebih cepat dari pada mereka."Bagaimana dia bisa bergerak secepat itu?Percepat gerakan, kita tutup langkah dia!" salah seorang dari mereka berseru memberi perintah.Mereka berempat kemudian mengalirkan tenaga dalamnya masing-masing, dan bergerak cepat mengimbangi pergerakan Aji. Pertarungan seperti kelebatan bayangan pun terjadi dengan begitu cepat.Para penduduk yang mengetahui pertarungan itu hanya berani melihat dari jarak jauh. Mereka takut terkena dampak pertarungan yang sedang terjadi.Sudah lebih dari 100 kali serangan terjadi. Namun serangan Aji belum sekalipun bisa mengenai tubuh lawannya. Dia kemudian menambah lagi kecepatannya dan berbalik menekan lawannya.Seorang pendekar Celurit merah terkena sambaran cakar Aji di punggungnya. Darah mulai merembes keluar membasahi pakai
Serangan mereka yang tidak lagi menggunakan formasi, bisa dipatahkan Aji dengan mudah. Tebasan dan ayunan Celurit besar yang mereka gunakan untuk membuka pertahanan Aji, selalu bisa terbaca arah gerakannya. Dan itu membuat emosi ketiganya semakin meningkat.Jika ditilik dari kemampuan, Lodra dan Ki Ageng secara kekuatan masih lebih tinggi dari pada mereka berempat. Satu yang mereka tidak sadari, sengaja Aji membiarkan beberapa kali tubuhnya terkena serangan karena bertujuan untuk meninggikan kepercayaan diri yang mereka berempat miliki.Dalam pengalaman yang selama ini sudah dia dapatkan dalam setiap pertarungan, rasa percaya diri yang berlebihan bisa membuat seorang pendekar meremehkan lawannya. Dan itu sangat berpotensi bisa menjadi bumerang yang akan menyerang dirinya sendiri. Taktik ittulah yang tadi dilakukan Aji selama pertarungan.Dan terbukti, ketika pikiran mereka dibalut kepercayaan diri yang begitu tinggi, dua orang dari pendekar Cel
"Kau terlalu lama berpikir!" Aji mendengus kesal.Dalam sepersekian detik berikutnya, tiba-tiba terdengar suara mengerang kesakitan dan disusul ambruknya seorang pendekar Celurit Merah yang tersisa.Tanpa disadari siapapun, lelaki tampan itu melesatkan tongkat bambu kuning di tangannya dengan begitu cepat. Dengan tepat, tongkat bambu kuning itu menembus jantung lelaki yang berada tidak jauh di depannya.Aji berjalan mendekati lelaki yang sudah tergeletak tak bernyawa itu dan mencabut tongkat bambu kuning yang masih tertancap di jantungnya.Sementara satu orang yang masih hidup tapi mengalami luka berat, hanya bisa menatap teman-temannya yang sudah tewas. Dia merasa sudah tidak ada gunanya lagi untuk hidup lebih lama. Dan keputusan tragis pun harus diambilnya. Dia menggorok lehernya sendiri hingga tewas di tempat.Aji tidak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan lelaki itu. Padahal sedianya dia perlu informasi sedikit dengan bertany
"Jikalau ada orang yang paling bersedih karena kehilangan Kakek Prayoga, akulah orangnya. Selain karena beliau yang sudah menyelamatkan aku dari kematian, beliau juga yang mengajari agar aku bisa menjadi pribadi yang berguna buat orang lain. Dan berkat berbagai ilmu yang beliau berikan kepadaku, aku bisa menjadi seperti sekarang ini. Jasa Kakek Prayoga tidak akan bisa tergantikan buatku," ucap Aji.Meski terpukul dengan kehilangan sosok yang begitu berarti buatnya, tapi dia tidak mau terpuruk dalam kesedihan. Dia sadar jika nyawa manusia hanyalah titipan semata, dan jika pemiliknya menginginkan kembali, maka dia berhak mengambilnya kapan saja. Sakuntala menghela napasnya. Dia paham benar kesedihan yang dirasakan lelaki tampan di depannya itu. "Oh, iya ... Namaku Sakuntala. Kalau tidak salah, namamu Aji, bukan? Prayoga sebelum meninggal sempat menyebut namamu.""Benar, Kek ... Namaku Aji, dah dia, Ratih, Istriku."Sakuntala mengangguk da