Sinar matahari menyengat kulit orang-orang yang berkerumun di jalanan Kota G. Baru saja terjadi sebuah kecelakaan tunggal. Korbannya adalah seorang pengendara sepeda motor. Di antara kerumunan itu, seorang pria berwajah tirus dengan potongan rambut undercut, berpakaian musim dingin sedang berjongkok di samping pria yang menjadi korban kecelakaan tunggal. Dengan sigap, pria itu memeriksa pupil korban. Saat dia merasakan terjadi pendarahan pada bagian lengan korban, dia segera memposisikan lengan korban lebih tinggi dari jantung.
“Seseorang, tolong panggilkan ambulans!” teriakknya ke arah kerumunan. Beberapa dari mereka kemudian mengeluarkan smartphone secara bersamaan.“Cukup satu saja yang panggil ambulans!” Pria itu membentak. Melihat reaksi dari mereka yang menggenggam smartphone kuat-kuat, dia lantas merebut salah satu ponsel dari tangan wanita berpakaian kantoran. Menekan tombol kemudian berkata setelah sambungan terhubung“Halo, ambulans. Telah terjadi kecelakaan lalu lintas di Jalan Raya Habitat, Kota G. Kondisi korban saat ini mengalami pendarahan pada pelipis dan kemungkinan luka dalam dan perlu penanganan lebih lanjut.”[Baiklah, kami akan mengirim ambulans segera]Dia mengembalikan ponsel kepada pemiliknya kemudian menekan-nekan dada korban, segera dia menjampit hidung dan memberi napas buatan. Sesaat kemudian, dada pria itu mengembung, dia kembali melakukan resusitasi jantung, mengulangi menekan-nekan jantung sambil sesekali memberi napas buatan. Tidak lama, pria itu terbatuk-batuk. Mereka yang berkerumun pun bersorak lega. Memuji pria itu bak pahlawan yang datang entah dari mana.
Suara sirine ambulans mendekat. Setelah sampai di tempat kejadian, mobil berwarna putih dengan tulisan nama rumah sakit berhenti tepat di tempat kejadian. Empat orang petugas medis yang salah satunya adalah dokter turun dari bagian belakang mobil, lengkap dengan tandu. Tubuh pria yang tergeletak di trotoar itu kemudian diangkat dengan hati-hati ke atas tandu, dipindahkan ke dalam mobil ambulans. Salah seorang petugas menutup bagian belakang mobil setelah rekannya masuk begitu juga dengan korban kecelakaan. Dia berlari bergegas masuk ke dalam mobil.Suara sirine dari mobil ambulans seolah memecah kota. Begitu mobil itu melaju, kerumunan manusia itu membubarkan diri, menyebar ke segala arah, melanjutkan ke tempat tujuan yang sempat tertunda.
Tidak jauh dari tempat itu, seorang gadis penjual burger sedang membersihkan meja bersama seorang rekannya yang sedang sibuk membersihkan konter truk.
“Setiap bulan ada aja yang kecelakaan di perempatan itu, ya,” ucap gadis berparas ayu. Tubuhnya ramping semampai. Namanya Yunri Han, gadis yatim-piatu yang hidup seorang diri selepas meninggalkan panti asuhan. Ibunya meninggal saat dia masih kecil sedangkan ayahnya pergi entah kemana. Berita terakhir yang dia dengar adalah ayahnya bekerja untuk seorang kaya di kota G.
“Yah, tontonan seru untuk kita,” jawab rekannya yang berambut keriting dari balik konter.
“Hus! Kalau ngomong jangan sembarangan. Masa musibah orang kamu anggap sebagai tontonan.” Yunri nyeletuk kesal.
“Oh ya, bagaimana anak-anak di Yayasan itu?” tanya rekannya lagi.
Tirta, begitulah rekan Yunri dipanggil. Pria itu adalah pemilik waralaba Burgerdel. Mereka berdua dulu teman satu panti asuhan. Setiap hari Selasa, Kamis dan Sabtu Yunri mencari uang tambahan di kedai burger milik Tirta.
“Seperti biasanya. Tapi, kamu tahu Le Regar, kan? Anak itu masih bermasalah dengan tulisannya.”
Pria yang tadi menolong korban itu memandang bagian belakang ambulans yang semakin menjauh. Suara sirinenya pun semakin samar terngiang di telinga. Lambat laun, mobil itu menghilang dari pandangan matanya, dia mencangklong ranselnya. Melanjutkan perjalanan sembari menarik koper.Ethan Darius, itulah nama pria yang menolong korban kecalakan tunggal tadi. Pria berusian dua puluh enam tahun itu baru saja tiba di Indonesia setelah menempuh pendidikan dokter di salah satu universitas ternama di Jepang selama empat tahun.
Ethan memasuki lift di sebuah gedung apartemen mewah. Dua orang pria yang juga ada di lift bersama Ethan memandangnya dengan tatapan aneh. Bukan karena Ethan tampan atau karena kedua pria itu tertarik kepada sesama jenis melainkan, cara berpakaian Ethan yang membuat Ethan bagaikan benda antik. Maklum, di Jepang saat ini sedang musim dingin sehingga Ethan pergi dengan pakaian musiman. Akan tetapi, Indonesia adalah negara tropis, musim dingin dan pakaiannya adalah hal yang tabu. Wajar saja, dia menjadi pusat perhatian di lift itu.
Pintu lift pun terbuka, Ethan dan dua pria tadi keluar beriringan. Mereka berpisah di lorong. Ethan mengambil jalur kiri di ujung lorong kemudian berdiri di depan kamar apartemen nomor 402. Tangannya gamang memencet bel apartemen tempat tinggal kakak perempuannya. Dia ingin segera melepas kerinduan dengan kakak.
Hanya dengan sedikit dorongan yang tidak sengaja, pintu apartemen yang dia kira terkuci itu melebar, terbuka menyambut Ethan. Tidak ada siapapun di dalam sana bahkan, sosok perempuan yang dia rindukan.
Ethan menyeret koper, masuk lebih dalam ke bagian tengah hunian kakaknya. Matanya takjub, disuguhi pemandangan apartemen luas dengan furnitur mewah di dalamnya. Dapur yang menyatu dengan ruang tamu tanpa sekat menambah kesan minimalis namun tetap mewah.“Dasar ceroboh!” celetuk Ethan begitu melihat hunian kakaknya sepi. Dia kemudian masuk, menyeret tas lalu melempar badan ke atas sofa kulit berwarna biru muda, melepaskan rasa lelahnya di sana.
Bertahun-tahun tinggal di negeri yang menerapkan tingkat kedisiplinan tinggi tidak lantas membuat Ethan membawa kebiasaan itu ke Indonesia. Dia bahkan ingin merasakan bagaimana nikmatnya melanggar aturan dan bertingkah semaunya. Sekarang, dia terbebas dari belengu aturan kedisiplinan.
Pulang ke Indonesia adalah hal paling diinginkan Ethan. Dia sudah rindu dengan wajah kakaknya yang asli. Selama ini hanya berkabar lewat video call dan itu pun singkat jika ada keperluan. Rosie terlalu sibuk untuk meladeni candaan Ethan yang bagi Rosie hanya basa-basi. Perjalanan dari Tokyo-Jakarta yang memang menguras tenaga padahal hanya duduk dalam pesawat. Ethan melepas pakaian musim dingin yang tentu saja sudah tidak cocok lagi dengan iklim Indonesia yang panas. Melempar pakaian itu sembarangan lantas merebahkan diri di sofa untuk melepaskan penatnya. Dia juga menyalakan AC yang ada di ruang tamu itu. "Ah, kimochi!" Ethan merasakan udara yang berembus dari AC. Sejuk dan begitu nyaman. Sesaat setelah merasakan hawa dingin yang menerpa seluruh tubuhnya, Ethan pun berpikir bagaiaman akan menyambut kakak perempuannya nanti. Sekadar memberi kejutan tapi, meskipun Ethan memberi kejutan nantinya, kakak perempuannya pasti hanya akan memasang ekspresi datar.
Rosie Sarfosa duduk di kursi hidrolik sambil melipat tangan ke dada. Wanita berparas oriental itu sudah menginjak usia dua puluh sembilan tahun beberapa bulan lalu. Usia yang tidak bisa dikatakan tua dalam menduduki jabatan manajer. Hari ini, dia sedang memusatkan fokus sampai dahinya mengerut dalam memikirkan rencana pemasaran untuk Youth Serum, sebuah produk kecantikan yang baru saja launching sebulan. Sesekali dia membuka laporan penjualan di dalam layar komputer. Tangan dengan jari lentik itu lihai memainkan tetikus sambil menggigit ibu jari kanan yang lentik kemudian mereview satu persatu grafik penjualan produk. Tidak hanya itu yang Rosie lakukan, Rosie juga mencatat hasil review di notebook dan menyiapkan presentasi untuk rapat direksi. Hal itu selalu dilakukan Rosie setiap awal dan akhir bulan. Belum lagi urusan lainnya seperti menetapkan tujuan dan sasaran jalannya operasional perusahaan. Setiap strategi penjualan kepada konsumen pun
Kerlap-kerlip lampu kota membuat pesona kota semakin indah, menawan. Dari balkon, kendaraan yang lewat di jalan tol bak kunang-kunang yang merayap di tanah. Empat tahun di Jepang membuat Ethan merindukan kota kelahirannya itu. Seakan tidak puas dengan pemandangan malam Negeri Sakura yang sudah setiap hari dia lihat. Ethan mengingat baik-baik kata orang, “Seburuk-buruknya negeri sendiri tetap saja tempat paling nyaman untuk hidup.” Berbekal cangkir di tangan kirinya, Ethan menikmati suguhan kota yang memanjakan mata. Sesekali dia meneguk kopinya kemudian mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana. Mengeluarkan sebatang dari kotaknya. Melepit diantara gigi seri atas dan bawah. Ibu jarinya menekan pemantik untuk menyulut ujung rokok. Dihisapnya pelan-pelan, dikebulkannya asap tipis dari lubang hidung. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan seperti itu dalam kehidupan para pecandu nikotin. "Kamu akan masuk angin kalau lama-lama di luar!" Suara Rosie dari ruang tamu mengagetk
Matahari pagi merangsek masuk menembus kaca jendela kamar Rosie yang gordennya lupa dia tutup. Semalam, Rosie terlalu lelah dengan lemburnya jadi, wanita itu langsung melempar badan ke king size dan langsung terlelap begitu badannya merasakan kenyamanan king size. Setelah selesai mematut diri di depan cermin Rosie sudah siap berangkat dengan setelan blazer putih dan celana kain berwarna senada. Di Balik blazer itu, dia hanya mengenakan kemeja warna krim. Hanya dengan berpakaian kerja seperti itu saja, wanita itu tampak berkarisma. Tidak dapat dipungkiri lagi aura seorang leader menguar dari dirinya. Derap sepatu heels beradu dengan permukaan lantai saat dia keluar dari kamar. Matanya lantas menyoroti Ethan yang masih pulas di atas sofa dengaan selimut tipis warna biru langit. Membiarkan adiknya seperti itu, Rosie melenggang ke balik konter dapur. Menarik lim
"Papa udah bilang kan, kamu harus lebih tekun lagi jadi supervisor!" Mario duduk tertunduk di hadapan ayahnya. Pria berdarah Jepang itu menciut di hadapan pria paruh baya sekaligus ayahnya. Harwan Minoru, begitulah pria paruh baya itu dipanggil. Sebagai presiden direktur Absolute Beauty Chemical, Harwan adalah pria yang tegas dalam kepemimpinanya. Ketegasan itu berlaku juga untuk Mario, Sang Putera Tunggal. Perusahaan kosmetik itu Harwan bangun dari titik nol bersama dengan sahabatnya yang sudah meninggal. Di usia senja Harwan seharusnya sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu kepada Mario. Akan tetapi, tidak juga kunjung serah jabatan itu diberikan kepada Sang Putera. Alih-alih menggantikan dirinya, Pak Harwan malah meletakkan Mario sebagai supervisor pemasaran bersama dengan Rosie. Pak Harwan melengos, beranjak dari posisinya mendekat ke Jendela. “Kalau begini terus, kamu gak
“Ada apa, Mario? Kenapa kamu mendadak marah begini?” Rosie kebingungan dengan tingkah Sang Kekasih yang tiba-tiba saja murka. “Kamu yang kenapa!” bentak Mario. Rosie berdiri dari tempat duduknya. Mencoba menenangkan Mario yang mendadak marah. Dada pria itu kembang kempis, memandang wajah Rosie penuh amarah. “Tenang dulu, sebenarnya ada apa?” “Kamu gak perlu nanya kenapa. Jujurlah, Rosie. Kamu mendapatkan posisi ini karena penghiburan yang kamu berikan pada papaku, kan?” Mario meminta penjelasan. Rosie menggelengkan kepala sembari berkata, “Itu gak benar. Kamu seharusnya percaya dengan kemampuanku ini. Lihatlah hasil kerjaku! Aku dan tim pemasaran yang bekerja keras untuk ini. Bahkan produk perawatan wajah pria-,” “Sudah cukup, Rosie! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Jika kamu memang tidak melakukan “penghiburan” untuk mendapatkan jabatan manajer, buktikan padaku bahwa itu tidak benar!” tuntut Mario. “Bukankah kamu yang seharusnya paling percaya padaku? Bukankah
Hari kamis yang sedikit gerimis tidak menyulutkan semangat Tirta dan Yunri untuk memarkir lapak mereka di pinggir jalanan kota G. Diantara pedagang kaki lima yang setiap hari buka, lapak merekalah yang terlihat paling mencolok. Mobil Van putih yang dimodifikasi menjadi sebuah stand burger berdiri di deretan pedagang kaki lima itu. “Kayaknya, hari ini akan sepi deh!” Tirta mengeluarkan kepalanya dari konter dagangan, memandang ke langit dengan wajah masam. “Ini masih gerimis, belum juga badai,” sahut Yunri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja. Yunri Han, itulah nama lengkap gadis itu. Usianya bulan lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Dia besar di panti asuhan bersama dengan Tirta, teman sepenanggungan yang sudah dia anggap seperti seorang kakak sendiri. Yunri sebenarnya bukan anak yatim-piatu, desas-desus bahwa orang tuanya masih hidup sempat terdengar di telinganya. Akan tetapi, Yunri bukannya memilih mencari tahu kebenaran kabar itu, dia lebih
Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa
Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p