“Ada apa, Mario? Kenapa kamu mendadak marah begini?” Rosie kebingungan dengan tingkah Sang Kekasih yang tiba-tiba saja murka.
“Kamu yang kenapa!” bentak Mario.
Rosie berdiri dari tempat duduknya. Mencoba menenangkan Mario yang mendadak marah. Dada pria itu kembang kempis, memandang wajah Rosie penuh amarah.
“Tenang dulu, sebenarnya ada apa?”
“Kamu gak perlu nanya kenapa. Jujurlah, Rosie. Kamu mendapatkan posisi ini karena penghiburan yang kamu berikan pada papaku, kan?” Mario meminta penjelasan.
Rosie menggelengkan kepala sembari berkata, “Itu gak benar. Kamu seharusnya percaya dengan kemampuanku ini. Lihatlah hasil kerjaku! Aku dan tim pemasaran yang bekerja keras untuk ini. Bahkan produk perawatan wajah pria-,”
“Sudah cukup, Rosie! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Jika kamu memang tidak melakukan “penghiburan” untuk mendapatkan jabatan manajer, buktikan padaku bahwa itu tidak benar!” tuntut Mario.
“Bukankah kamu yang seharusnya paling percaya padaku? Bukankah seharusnya kamu yang berdiri di depan sebagai seorang kekasih untuk percaya pada kekuatan wanitanya?”
Mario terdiam mendengar perkataan Rosie, akan tetapi kata-kata Giesta telah meracuni pikirannya sehingga akal sehat pria berwajah khas Asia Timur itu tidak lagi memercayai kekasihnya itu. Padahal selama ini, Mario sendiri yang ada di samping Rosie selama perjalanan karir wanita yang dicintai itu. Tampaknya, dia lebih memercayai Giesta.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Rosie yang tirus. Rosie bergetar, sekujur tubuhnya seaka beku sesaat sembari mengelus bekas gambar Mario di pipinya. Dia memandang Mario lekat-lekat penuh amarah. Suara Rosie bergetar, dadanya seakan dihentak oleh sesuatu.
“Seorang wanita yang tidak dihargai kerja kerasnya akan menjadi lebih kuat.”
Mereka beradu tatap. Saling memegang kendali akan amarah masing-masing. Kepercayaan Rosie seakan luntur seketika akibat sebuah tamparan.
“Dengar, Mario!” Rosie mengacungkan telunjuk di depan wajah Mario. “Suatu hari, aku akan membuktikan bahwa kerja kerasku ini akan membuahkan penyesalan pada dirimu. Tamparan malam ini yang kamu hadiahkan padaku akan menamparmu balik dengan cara yang lebih keras!”
Mario bergetar, pria itu hanya bisa menggigit bibir sembari memandang Rosie lekat-lekat. Menyadari sudah kasar pada kekasihnya, dia memegang erat-erat tangan yang tadinya digunakan untuk menampar Rosie.
“Pernikahan kita akan dibatalkan. Katakan pada ayahmu jika aku tidak akan menikah dengan pria kasar sepertimu. Sekarang pergi dari sini!”
“Ro-Rosie!” panggil Mario ketika Rosie berbalik. Memandang keluar jendela, penuh kecewa dan amarah di dadanya. Hati Rosie begitu sakit namun dia memelankan nadanya mengusir Mario.
“Pergilah, hubungan kita mulai sekarang hanya sebatas rekan kerja.” Rosie menelan air mata yang berhenti di sudut bibirnya.
Mario menggenggam tangannya kuat-kuat. Jawaban tidak dia dapatkan, pertengkaran yang tidak berarti dan pernikahan yang dibatalkan oleh Rosie semua membuat pikirannya kacau saat dia keluar dari apartemen mewah itu. Pikirannya berantakan padahal, dia hanya ingin jawaban yang jujur dari Rosie.
Sebagai seorang lelaki, dia terlalu mudah termakan omongan wanita lain yang bahkan sama sekali tidak tahu menahu tentang kehidupan Rosie. Hati Mario sudah remuk karena perbuatannya sendiri. Hancur karena gamparan tangan yang dilayangkan. Tidak pernah dia bayangkan sebelumya jika amarah wanita adalah api yang bisa membakar jiwa seorang lelaki menjadi abu.
Seperginya Mario dari kediaman Rosie, Rosie berbaring di atas king size miliknya dengan dress pesta yang masih belum dia tanggalkan. Isak tangis keluar dari balik tenggorokannya. Hatinya masih terluka, pipinya masih terasa nyeri. Baru sekali ini Rosie diperlakukan kasar padahal sebelumya Mario memperlakukan Rosie layaknya seorang ratu. Sikap Mario itulah yang membuat Rosie luluh dan menetapkan Mario menjadi satu-satunya tambatan hati. Akan tetapi, malam ini semua berakhir begitu saja karena tuduhan Mario yag tidak berdasar.
Rosie begitu hancur, dia tidak tahu lagi bagaimana pandangannya terhadap laki-laki. Pikirannya kalut akan pertengkaran mereka. Padahal, hanya dua bulan lagi mereka menuju pelaminan namun malam ini harus kandas begitu saja.
***Rosie bukanlah wanita yang mau larut dalam kesedihan apalagi sakit hatinya itu disebabkan oleh seorang laki-laki yang tidak punya pendirian seperti Mario. Keesokan harinya, dengan mata yang masih sembab Rosie datang ke kantor. Dengan polesan make up yang natural dan pakaian kerja yang membuatnya tampak seperti wanita berkelas, dia menapaki lantai gedung warna putih itu. Bibirnya menyebar senyum kepada setiap yang menyapa.
“Pagi Bu Rosie!”
“Pagi, Manajer Rosie!”
Begitulah mereka yang berpapasan menyapa di pagi yang cerah itu. Dengan ramah pula, Rosie menyunggingkan senyum dan membalas salam yang penuh gairah itu.
“Pagi!” ucapnya.
Langkah Rosie terhenti ketika seorang lelaki berdiri menghalangi jalannya. Dari gestur tubuh pun Rosie sudah hapal yang membuatnya melengos malas lalu melipat tangan ke dada. Rosie membuang wajah malas, tidak ingin memandang Mario yang sudah menampar dirinya tadi malam tanpa mendengar penjelasan.
“Dengerin aku, Ros!” ucap Mario.
Rosie memandang benda melingkar di tangannya, mencari alasan untuk berkilah.
“Aku gak ada waktu buat bahas yang semalam!” Rosie hendak melewati Mario tetapi, tangan Mario menahan lengan Rosie.
“Rosie!” panggil Mario memelas.
Rosie mengempas tangan Mario dengan kasar. Melenggang melewati manta tunangannya itu kemudian masuk ke ruangan bertuliskan “Departemen Pemasaran.”
Rosie melewati para anggota tim yang bekerja dengan serius di meja masing-masing sementara dia sendiri masuk ke ruangan kaca, tempat yang disediakan khusus untuk dirinya sebagai seorang manajer.
Dia memandang para anggotanya yang bekerja dengan serius dari balik kaca, melihat sendiri timnya dalam berkordinasi satu sama lain. Matanya nyaris tidak berkedip karena kekompakkan yang terjalin di luar sana. Mereka yang mengantarkan Rosie pada posisinya sekarang. Orang-orang yang percaya pada dirinya untuk mengemban tugas sebagai seorang pemimpin karena dirinya layak.
“Apa-apaan yang semalam itu!” Rosie bergumam kemudian duduk di kursi hidrolik miliknya. Dia tidak ingin memikirkan tentang kandasnya hubungan dengan Mario. Toh juga, sekali Rosie menetapkan keputusan, keputusannya itu tidak akan berubah dengan mudah.
Sakit hati? Rosie hanya harus membuang itu jauh-jauh dari dalam pikirannya. Dia harus fokus demi produk baru yang akan rilis. Melupakan percintaan dan bersikap profesional, hanya itu yang ada dalam pikirannya sekarang sekalipun Mario ada di sampingnya sebagai seorang asisten departemen pemasaran. Tangan Rosie mulai aktif di atas keyboard dan membuka laporan penjualan. Dia mulai meneliti angka dan grafik penjualan untuk produk perawatan wajah pria yang sudah menduduki posisi nomor satu dalam pangsa pasar di Indonesia. Hasil kerja yang membuat dirinya bangga sekaligus harus mengorbankan cintanya pada Mario. Kebanggaan yang datang bersamaan dengan sebuah pengorbanan. Itulah yang saat ini terjadi pada diri Rosie. Rosie selalu ingat pada pesan ibunya. Menyimpannya di kepalanya dan menerapkan pada kehidupannya.Hari kamis yang sedikit gerimis tidak menyulutkan semangat Tirta dan Yunri untuk memarkir lapak mereka di pinggir jalanan kota G. Diantara pedagang kaki lima yang setiap hari buka, lapak merekalah yang terlihat paling mencolok. Mobil Van putih yang dimodifikasi menjadi sebuah stand burger berdiri di deretan pedagang kaki lima itu. “Kayaknya, hari ini akan sepi deh!” Tirta mengeluarkan kepalanya dari konter dagangan, memandang ke langit dengan wajah masam. “Ini masih gerimis, belum juga badai,” sahut Yunri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja. Yunri Han, itulah nama lengkap gadis itu. Usianya bulan lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Dia besar di panti asuhan bersama dengan Tirta, teman sepenanggungan yang sudah dia anggap seperti seorang kakak sendiri. Yunri sebenarnya bukan anak yatim-piatu, desas-desus bahwa orang tuanya masih hidup sempat terdengar di telinganya. Akan tetapi, Yunri bukannya memilih mencari tahu kebenaran kabar itu, dia lebih
Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa
Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m
“Aku sudah ganti rugi bukumu, loh. Rawat dengan baik!” ucap Ethan sembari keluar dari toko buku. “Ma-makasih!” “Cuma makasih?” Ethan melipat tangan ke dada. “La-lalu mau apa lagi?” “Es kopiku gimana?” tanya Ethan. Yunri tidak kaget, seperti dugaan sebelumnya, persis yang dia bayangkan terhadap Ethan. Pria di hadapannya itu akhirnya meminta hal yang setimpal. “Kalau aku harus ganti es kopimu juga, aku gak akan mau kamu belikan buku pengganti!” protes Yunri. Yunri merogoh saku celananya. Berharap mendapatkan uang dari tiap kantung yang melekat di badannya. Seingatnya, dia mendapat kembalian dari pembelian buku yang sudah dirusak Ethan, tetapi harapannya sirna. Tidak ada sesuatu yang dia dapat sebagai alat tukar selain uang koin perak pecahan lima ratus rupiah. Jumlahnya tidak lebih dari enam keping atau setara dengan tiga ribu rupiah kalau ditotal. “Aku gak pegang uang saat ini!” ucap Yunri jujur. Ethan melengos asal-asalan. “Gak apa, aku hanya bercanda aja. Bye!
Rosie sudah terlarut dalam pekerjaannya sebagai seorang manajer, urusan percintaan bahkan sudah tidak terpikir lagi di balik tempurung kepalanya. Hal yang membuatnya tetap bersemangat hanyalah pekerjaan dan rutinitas di balik kursi manajer. Akan tetapi, hari ini Rosie sengaja mengambil cuti seharian. Pagi-pagi ketika matahari sudah mulai meninggi, Rosie mengawali paginya dengan secangkir kopi di balkon sembari menjatuhkan mata pada pemandangan kota di depannya. “Yo, selamat pagi, Kak Ros!” sapa Ethan. Pemuda itu baru datang dari luar dengan kaos yang basah di bagian punggung karena keringat. Celana training dan sepatu sport merk terkenal menjadi alas kakinya. Napasnya masih sedikit berat karena efek olahraga. “Darimana aja kamu?” Rosie menoleh. Memandangi adiknya yang sedang mengeringkan leher dengan handuk. “Udah jelas aku berkeringat begini. Ya
Tidak sampai dua jam mereka berada di rumah Om Clayton, mereka pamit pulang dengan alasan menghindari kemacetan lalu lintas kota. Akan tetapi, kepadatan lalu lintas kota metropolitan memang tidak dapat dihindarkan. Rosie harus memelankan laju kendaraannya begitu memasuki jalanan kota Jakarta yang padat. “Pergi macet, pulang juga macet!” keluh Ethan. Ethan bahkan nyaris tidak dapat mengedarkan pandangan ke hal yang menyejukkan mata. Selain pemandangan sekumpulan besi yang melaju sekena pengendalinya yang tepat ada di depan matanya itu. “Ternyata memang lebih baik di Kota G,” imbuh Ethan. Rosie memasang kacamata hitam, menghalau cahaya yang menyilaukan mataya tanpa memerdulikan adik lelaki yang nyeloteh tentang lalu lintas. “Kakak, ngomong-omong apa dengan minta bantua Om Clayton itu gak berlebihan?” tanya Ethan pada kakak perempuannya itu. “Berlebihan gimana?” Rosie melirik ke kaca spion seraya menjawab pertanyaan Ethan dengan pertanyaan. “Maksudku, jarang sekali Kak Ros minta
Musik mengalun kencang di bar itu. Lampu remang-remang bergonta ganti warna menyentuh kulit siapa saja yang ada di bawahnya. Para pengunjung yang asik menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik yang dimainkan oleh DJ. Mario meneguk minuman beralkohol di sebelah wanita yang mengenakan dress seksi ditemani oleh seorang pria yang menggoda gadis satunya yang juga duduk di sofa.. Meski hanya sesekali pergi ke sana, tempay itu adalah pelarian Mario pasca hubungannya kandas dengan Rosie. Tempat membuang semua kekalutan pikirannya. “Kamu tahu kan Lee. Ayahku lebih percaya Rosie yang memegang jabatan daripada aku. Terlebih lagi, sekarang sangat sulit karena aku tidak berhasil menikahi wanita itu.” Mario mengeraskan suaranya yang kalah oleh music agar terdengar oleh Lee. “Itu salahmu sendiri menuduhnya macam-macam. Padahal tidak ada bukti,” komentar pria keturunan Korea Selatan yang juga sahabat masa kecilnya itu. Lee Jung Gi, pria keturunan Korea Selatan. Ayahnya merupakan teman baik
Tengah malam, Mario datang ke apartemen Rosie. Mengetuknya dengan keras dalam keadaan mabuk karena alkohol. “Rosie! Rosie!” Pintu apartemen Rosie digedor dengan keras. Beberapa tetangga yang masih terjaga keluar untuk melihat siapa yang membuat gaduh malam-malam begini. Ethan yang menggunakan sofa sebagai tempat tidurnya sontak terbangun dari mimpinya yang indah. Dia menggeliat sejenak, menguap kemudian berjalan menuju pintu dengan mata sayu. “Rosie! Rosie! Buka!” “Hoaahem. Siapa sih malam-malam begini!” gerutu Ethan. Ethan memincingkan mata, mengintip dari interkom siapa manusia tidak beretika yang mengganggu menggedor pintu apartemem tengah malam dan mengganggu ketenangan. Pupil mata Ethan langsung melebar, mendapati Mario yang tampak sempoyongan di depan pintu. Tanpa pikir panjang, Ethan membukakan pintu apartemen. Begitu pintu apartemen terbuka, Mario menyemburkan muntahannya hingga mengotori piyama biru langit bermotif bintang yang melekat di badan Ethan. Sesaat kemu
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p