"Papa udah bilang kan, kamu harus lebih tekun lagi jadi supervisor!"
Mario duduk tertunduk di hadapan ayahnya. Pria berdarah Jepang itu menciut di hadapan pria paruh baya sekaligus ayahnya. Harwan Minoru, begitulah pria paruh baya itu dipanggil. Sebagai presiden direktur Absolute Beauty Chemical, Harwan adalah pria yang tegas dalam kepemimpinanya. Ketegasan itu berlaku juga untuk Mario, Sang Putera Tunggal.Perusahaan kosmetik itu Harwan bangun dari titik nol bersama dengan sahabatnya yang sudah meninggal. Di usia senja Harwan seharusnya sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu kepada Mario. Akan tetapi, tidak juga kunjung serah jabatan itu diberikan kepada Sang Putera. Alih-alih menggantikan dirinya, Pak Harwan malah meletakkan Mario sebagai supervisor pemasaran bersama dengan Rosie.
Pak Harwan melengos, beranjak dari posisinya mendekat ke Jendela.
“Kalau begini terus, kamu gak bisa gantiin posisi Ayah. Bahkan, mantan pacarmu yang sekarang menjabat jadi manajer lebih cocok di posisi Ayah.”
Mario hanya tertunduk, meremas kuat-kuat celana kain warna navy yang dikenakan. Rahangnya bergetar menahan kekesalan. Dia ingin mengumpat tetapi Mario hanya berkata, “Ma-maaf.” Suara bergetar keluar dari balik tenggorokan Mario.
Harwan berbalik, memandang lurus-lurus puteranya.
“Setidaknya bekerja dengan baik. Jangan mau dikalahkan oleh wanita!”
“Orang yang jadi presdir di perusahaan ini bukan orang yang lemah. Sekalipun kamu adalah puteraku, kamu gak bisa instan dapat posisi ini. Bahkan kalau ada orang yang kerjanya memenuhi standarku, aku akan menyerahkan posisi presiden direktur sekalipun tidak ada hubungan darah di antara kami." Suara parau pria bertubuh tambun itu mengejutkan Mario.
Pak Harwan sudah sering membentak Mario, membandingkan dengan beberapa anak teman bisnis dan bahkan mempermalukan Mario, tetapi baru kali ini Harwan membuat Mario mencemaskan jabatan. Seharusnya, Mariolah yang berhak atas jabatan presdir.
Mario tidak ingin berlama-lama di ruang itu, kalimat ayahnya berputar-putar di kepala, mendengung di telinga. Lantas, Mario bangkit dari tempat duduknya. Melakukan ojigi sebagai tanda hormat.
“Aku pergi dulu,” ucapnya kepada Sang Ayah.
Ya, keluarga Minoru masih memegang budaya Jepang terutama kedisiplinan dan rasa hormat terhadap orang tua. Akan tetapi, etos kerja yang penuh dengan keseriusan sepertinya tidak mendarah daging di dalam jiwa Mario.
***
Mario menenangkan pikiran dengan sekaleng kopi, duduk di ataas bangku panjang di bawah pohon rindang. Mario menengadah setelah menenggak kopi. Perkataan Sang Ayah terngiang di daun telinganya yang tipis. Setiap kali Sang Ayah mengatakan tentang jabatan presiden direktur, saat itulah dia merasa seperti anak tiri. Tetap saja, standar Sang Ayah selalu tinggi. Belakangan, yang membuat hatinya sakit adalah harus dibandingkan dengan Rosie, mantan kekasih yang gagal dia nikahi karena tuduhannya yang tidak masuk akal.
Jika saja, Mario mendengarkan kata hatinya dulu, sekarang ini pasti tidak ada penyesalan. Mimpi Mario bukanlah meneruskan bisnis keluarga tetapi, dia ingin menjadi seorang produser grup idol. Mario sudah berkali-kali menentang hatinya karena ayah, menugubur dalam cita-citanya untuk menjadi seorang produser grup idol di Jepang dan terpaksa mengambil jurusan manajemen bisnis.
"Kalau melamun gini, pasti mikirin hal yang sebenarnya gak harus kamu pikirin." Seorang wanita dengan berkaki jenjang dengan pakaian formal tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan Mario sambil melipat tangan ke dada.
"Udah sering aku bilang, kalau nyesel di belakang gak ada gunanya. Mending balik ke Jepang , deh!" Wanita itu kemudian duduk di sebelah Mario dan menyenderkan punggung dengan santai pada sandaran bangku panjang itu.
"Masih aja keras kepala!" Giesta lagi-lagi menggerutu namun tidak dihiraukan oleh Mario. Mario terdiam, mendengar semua ocehan sepupunya itu."Kalau mau hancurin orang sekalian aja, sayangnya kamu itu gak sekejam ayahmu.""Diam!" bentak Mario, dia semakin kesal dengan Giesta. Tukang kompor yang selalu membakar dan menghancurkan ambisinya.
"Maaf ya, kalau boleh kasi saran- "
"Aku harus pergi!" Mario menyambar kalimat Giesta sebelum wanita itu menyelesaikannya. Beranjak dari tempat duduk, melenggang menjauh dari Giesta.
"Masih aja keras kepala!" celetuk Giesta sekali lagi.
Giesta Sudrajat, sepupu Mario yang berparas anggun, berwawasan luas, tetapi wawasannya itu dipergunakan untuk kepentingan dirinya sendiri. Meskipun Giesta adalah anak orang kaya, dia tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Wanita itu juga yang menjadi kompor atas gagalnya hubungan Mario dengan Rosie ke jenjang lebih tinggi.
***
Malam itu, pesta kenaikan jabatan Rosie dirayakan di sebuah bar kelas VIP. Bukan hanya perayaan kenaikan jabatan, tetapi sekaligus perayaan atas kejayaan salah satu produk perawatan wajah untuk pria yang berhasil menduduki puncak penjualan nomor satu di Indonesia. Rosie dan Mario duduk di sofa memanjang yang empuk. Sambil sesekali meneguk wine mewah.
“Hari ini, kamu jadi bintangnya, Sayang.” Mario berbisik ke telinga Rosie yang mengenakan dress merah. Mario pun tidak ingin kalah dalam urusan tampilan di pesta sepenting itu. Mario tampak gagah dengan setelan jas rapi dan dasi double windsor knot. Tampilan sempurna putera presdir. Dua orang itu tampak bahagia, menikmati hiburan dansa dari para anggota departemen pemasaran.
Rosie hanya tersenyum manis. Dia bangga pada dirinya sendiri karena mampu memimpin anggotanya. Bukan Rosie namanya jika dia tidak berambisi dan mendapatkan apa yang dia mau dalam karir.
Beberapa dari mereka pun larut dalam alunan musik sambil berdansa. Tiba-tiba, musik berhenti. Sang Presiden berdiri tegak di hadapan mereka. Melihat sosok pimpinan berbadan tambun namun gagah, mereka menghentikan aktivitasnya untuk memasang telinga, mendengarkan sambutan dari Sang Presiden.
“Saya tidak bisa mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada departemen pemasaran. Kalian sudah bekerja keras dan tentu saja, salah satu produk kita bisa mencapai puncak karena kalian di bawah arahan Bu Rosie Sarfosa.”
Riuh tepuk tangan pun bergemuruh di ruang bar VIP itu.
“Silakan, Bu Rosie mendekat ke saya!”
Rosie pun berdiri, membungkuk ke seluruh orang dari departemen pemasaran dan menebar senyum. Dengan anggun dia mendekat ke calon ayah mertua sekaligus pimpinan tertinggi dari Absolute Beauty Chemical itu.
“Selamat untuk jabatan Manajer. Silakan sepatah dua patah kata untuk disampaikan kepada anggota tim.” Sang Presdir pun menyerahkan waktunya.
“Terima kasih!”
Di tengah kata sambutan Rosie, Giesta yang datang entah darimana itu duduk di sebelah Mario. Dia memandang Rosie sinis.
“Selamat atas kenaikan jabatan calon istrimu,” ucap Giesta.
“Makasih.” Mario menyambut.
“Aku iri dengan Rosie. Dia sudah bekerja keras memberikan -,” Giesta menggerakan jari telunjuk dan jari tengahnya-.”penghiburan pada Paman,” imbuh Giesta.“Dia bekerja begitu keras!” Mario menukas, tanpa mengalihkan pandangan kepada Rosie yang sedang berpidato di depan sana, dia melempar dua jempol dan dibalas dengan kedipan nakal Rosie.
Giesta mendekatkan wajahnya ke Mario, membisikkan sesuatu yang membuat pria itu terkesiap. Matanya membeliak memandang wajah Giesta yang menyeringai.
“Itu gak mungkin!”
“Yah, mana mungkin kamu percaya. Aku hanya sepupu yang ingin mengatakan hal sebenarnya.” Giesta melengos, dia beranjak kemudian membaur dengan orang-orang yang berpesta berbarengan dengan pidato Rosie yang ditutup dengan riuh tepuk tangan.
Mario tertegun, dia hanya memandang Rosie yang berjalan mendekat dengan senyum sumringah. Rosie mengecup pipi kekasihnya, tanda terima ksih karena sudah mendukungnya sampai di titik ini.
Melihat air muka calon suaminya, Rosie terheran-heran. Padahal tadi Mario sangat antusias ketika riuh tepuk tangan penyambutan memanggil dirinya.
“Kamu kenapa, Sayang?” Rosie menelengkan kepala. Sesaat kemudian, Mario mengalihkan pandangan. Mengangkan gelas kaca dan meneguk wine di hadapannya.
“Kita bicarakan saat pesta ini selesai,” ucap Mario.
***
Pesta berakhir larut malam, beberapa keluar dari dalam bar VIP itu dengan keadaan mabuk. Acara yang luar biasa bagi departemen pemasaran di malam minggu. Manajer baru dan tantangan baru akan mulai mereka hadapi di hari senin.
Sepanjang keluar dari bar kelas VIP hingga di mobil, Rosie tidak lagi bertanya kepada Mario. Dia tahu, kekasihnya itu dalam mood buruk dan pertengkaran pasti akan terjadi jika Rosie tidak membiarkan Mario mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Jadi, Rosie memilih membiarkan Mario meyetir mobil tanpa obrolan yang menyenangkan tentang malam ini hingga mobil yang dikendarai Mario sudah memasuki area parkir apartemen Rosie.
Segera setelah memarkir mobilnya, Mario keluar dan membukakan pintu untuk Rosie.
“Keluar!” bentak Mario.
“Ke-kenapa?”
Mario menarik tangan Rosie, menutup pintu mobil kemudian mencengkeram pergelangan tangan Rosie kuat-kuat.
“Mario, lepasin!” Rosie memberontak namun, Mario tetap tidak melepaskan cengkeramannya hingga sampai ke hunian Rosie dengan menggunakan lift.
Mario menghempaskan Rosie ke sofa. Mata pria itu memerah, sudah tidak kuasa lagi menahan amarahnya.
“Ada apa, Mario? Kenapa kamu mendadak marah begini?” Rosie kebingungan dengan tingkah Sang Kekasih yang tiba-tiba saja murka. “Kamu yang kenapa!” bentak Mario. Rosie berdiri dari tempat duduknya. Mencoba menenangkan Mario yang mendadak marah. Dada pria itu kembang kempis, memandang wajah Rosie penuh amarah. “Tenang dulu, sebenarnya ada apa?” “Kamu gak perlu nanya kenapa. Jujurlah, Rosie. Kamu mendapatkan posisi ini karena penghiburan yang kamu berikan pada papaku, kan?” Mario meminta penjelasan. Rosie menggelengkan kepala sembari berkata, “Itu gak benar. Kamu seharusnya percaya dengan kemampuanku ini. Lihatlah hasil kerjaku! Aku dan tim pemasaran yang bekerja keras untuk ini. Bahkan produk perawatan wajah pria-,” “Sudah cukup, Rosie! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Jika kamu memang tidak melakukan “penghiburan” untuk mendapatkan jabatan manajer, buktikan padaku bahwa itu tidak benar!” tuntut Mario. “Bukankah kamu yang seharusnya paling percaya padaku? Bukankah
Hari kamis yang sedikit gerimis tidak menyulutkan semangat Tirta dan Yunri untuk memarkir lapak mereka di pinggir jalanan kota G. Diantara pedagang kaki lima yang setiap hari buka, lapak merekalah yang terlihat paling mencolok. Mobil Van putih yang dimodifikasi menjadi sebuah stand burger berdiri di deretan pedagang kaki lima itu. “Kayaknya, hari ini akan sepi deh!” Tirta mengeluarkan kepalanya dari konter dagangan, memandang ke langit dengan wajah masam. “Ini masih gerimis, belum juga badai,” sahut Yunri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja. Yunri Han, itulah nama lengkap gadis itu. Usianya bulan lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Dia besar di panti asuhan bersama dengan Tirta, teman sepenanggungan yang sudah dia anggap seperti seorang kakak sendiri. Yunri sebenarnya bukan anak yatim-piatu, desas-desus bahwa orang tuanya masih hidup sempat terdengar di telinganya. Akan tetapi, Yunri bukannya memilih mencari tahu kebenaran kabar itu, dia lebih
Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa
Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m
“Aku sudah ganti rugi bukumu, loh. Rawat dengan baik!” ucap Ethan sembari keluar dari toko buku. “Ma-makasih!” “Cuma makasih?” Ethan melipat tangan ke dada. “La-lalu mau apa lagi?” “Es kopiku gimana?” tanya Ethan. Yunri tidak kaget, seperti dugaan sebelumnya, persis yang dia bayangkan terhadap Ethan. Pria di hadapannya itu akhirnya meminta hal yang setimpal. “Kalau aku harus ganti es kopimu juga, aku gak akan mau kamu belikan buku pengganti!” protes Yunri. Yunri merogoh saku celananya. Berharap mendapatkan uang dari tiap kantung yang melekat di badannya. Seingatnya, dia mendapat kembalian dari pembelian buku yang sudah dirusak Ethan, tetapi harapannya sirna. Tidak ada sesuatu yang dia dapat sebagai alat tukar selain uang koin perak pecahan lima ratus rupiah. Jumlahnya tidak lebih dari enam keping atau setara dengan tiga ribu rupiah kalau ditotal. “Aku gak pegang uang saat ini!” ucap Yunri jujur. Ethan melengos asal-asalan. “Gak apa, aku hanya bercanda aja. Bye!
Rosie sudah terlarut dalam pekerjaannya sebagai seorang manajer, urusan percintaan bahkan sudah tidak terpikir lagi di balik tempurung kepalanya. Hal yang membuatnya tetap bersemangat hanyalah pekerjaan dan rutinitas di balik kursi manajer. Akan tetapi, hari ini Rosie sengaja mengambil cuti seharian. Pagi-pagi ketika matahari sudah mulai meninggi, Rosie mengawali paginya dengan secangkir kopi di balkon sembari menjatuhkan mata pada pemandangan kota di depannya. “Yo, selamat pagi, Kak Ros!” sapa Ethan. Pemuda itu baru datang dari luar dengan kaos yang basah di bagian punggung karena keringat. Celana training dan sepatu sport merk terkenal menjadi alas kakinya. Napasnya masih sedikit berat karena efek olahraga. “Darimana aja kamu?” Rosie menoleh. Memandangi adiknya yang sedang mengeringkan leher dengan handuk. “Udah jelas aku berkeringat begini. Ya
Tidak sampai dua jam mereka berada di rumah Om Clayton, mereka pamit pulang dengan alasan menghindari kemacetan lalu lintas kota. Akan tetapi, kepadatan lalu lintas kota metropolitan memang tidak dapat dihindarkan. Rosie harus memelankan laju kendaraannya begitu memasuki jalanan kota Jakarta yang padat. “Pergi macet, pulang juga macet!” keluh Ethan. Ethan bahkan nyaris tidak dapat mengedarkan pandangan ke hal yang menyejukkan mata. Selain pemandangan sekumpulan besi yang melaju sekena pengendalinya yang tepat ada di depan matanya itu. “Ternyata memang lebih baik di Kota G,” imbuh Ethan. Rosie memasang kacamata hitam, menghalau cahaya yang menyilaukan mataya tanpa memerdulikan adik lelaki yang nyeloteh tentang lalu lintas. “Kakak, ngomong-omong apa dengan minta bantua Om Clayton itu gak berlebihan?” tanya Ethan pada kakak perempuannya itu. “Berlebihan gimana?” Rosie melirik ke kaca spion seraya menjawab pertanyaan Ethan dengan pertanyaan. “Maksudku, jarang sekali Kak Ros minta
Musik mengalun kencang di bar itu. Lampu remang-remang bergonta ganti warna menyentuh kulit siapa saja yang ada di bawahnya. Para pengunjung yang asik menggoyangkan tubuh mengikuti alunan musik yang dimainkan oleh DJ. Mario meneguk minuman beralkohol di sebelah wanita yang mengenakan dress seksi ditemani oleh seorang pria yang menggoda gadis satunya yang juga duduk di sofa.. Meski hanya sesekali pergi ke sana, tempay itu adalah pelarian Mario pasca hubungannya kandas dengan Rosie. Tempat membuang semua kekalutan pikirannya. “Kamu tahu kan Lee. Ayahku lebih percaya Rosie yang memegang jabatan daripada aku. Terlebih lagi, sekarang sangat sulit karena aku tidak berhasil menikahi wanita itu.” Mario mengeraskan suaranya yang kalah oleh music agar terdengar oleh Lee. “Itu salahmu sendiri menuduhnya macam-macam. Padahal tidak ada bukti,” komentar pria keturunan Korea Selatan yang juga sahabat masa kecilnya itu. Lee Jung Gi, pria keturunan Korea Selatan. Ayahnya merupakan teman baik
Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan
Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt
Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul
Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya
“Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di
Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”
Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca
Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele
Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p