Beranda / Semua / Ms. Manager And Her Brother / Sambutan Ethan Kepada Rosie

Share

Sambutan Ethan Kepada Rosie

Penulis: Ursa Mayor
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Rosie Sarfosa  duduk di kursi hidrolik  sambil melipat tangan ke dada. Wanita berparas oriental itu sudah menginjak usia dua puluh sembilan tahun beberapa bulan lalu. Usia yang tidak bisa dikatakan tua dalam menduduki jabatan manajer. Hari ini, dia sedang memusatkan fokus sampai dahinya mengerut dalam memikirkan rencana pemasaran untuk Youth Serum, sebuah produk kecantikan yang baru saja launching sebulan. Sesekali dia membuka laporan penjualan di dalam layar komputer. Tangan dengan jari lentik itu lihai memainkan tetikus sambil menggigit ibu jari kanan yang lentik kemudian mereview satu persatu grafik penjualan produk.

  Tidak hanya itu yang Rosie lakukan, Rosie juga mencatat hasil review di notebook dan menyiapkan presentasi untuk rapat direksi. Hal itu selalu dilakukan Rosie setiap awal dan akhir bulan. Belum lagi urusan lainnya seperti menetapkan tujuan dan sasaran jalannya operasional perusahaan. Setiap strategi penjualan kepada konsumen pun harus dia pikirkan matang-matang untuk bahan analisa terhadap pangsa pasar. Pekerjaan seperti itu saja membuat dirinya jenuh. Akan tetapi, itu sudah tugasnya sebagai seorang yang duduk di kursi manajer pemasaran.

"Permisi!" Suara seorang pria dari luar setelah pintu ruangannya diketuk. 

"Masuk!" perintah Rosie.

   Pria dengan setelan kemeja warna biru, celana hitam kain dan pantofel dengan potongan rambut cepak masuk ke ruangan Rosie. Sebuah map biru di tangan dia sodorkan begitu dia berdiri di hadapan Rosie.

"Ada beberapa dokumen yang harus kamu tanda tangani,” ucap pria itu.

"Tidak bisakah kamu nunjukin sedikit rasa  sopanmu kepada atasan?" Rosie menatap pria itu lurus-lurus.

"Maaf!" Pria berwajah oriental khas Asia Timur itu menundukkan kepala, menyadari kesalahannya kepada Sang Manajer.

    Rosie menerima map dengan perasaan kesal. Tangannya meraih benda kecil panjang dari lepitan blazzer kemudian menandatangani selembar kertas yang di dalam map setelah membaca sekilas kemudian mengembalikannya. 

"Apa kita gak bisa perbaiki-,"

 "Saya pulang duluan, hari ini cukup lemburnya." Rosie memotong kata-kata pria tersebut sembari berdiri lalu melenggang.

 "Kerja keras yang bagus hari ini!" Rosie memberi pujian pada seluruh staff divisi pemasaran. Mereka bekerja tepat di depan ruangan Rosie yang hanya dibatasi dengan kaca, jadi Rosie bisa mengawasi apa yang dilakukan mereka. Sambil menyunggingkan senyum, Rosie memberi semangat seperti itu pada beberapa karyawan yang lembur. 

"Tepuk tangan untuk kita hari ini!" Rosie lalu megadu kedua telapak tangannya. Sesaat kemudian, ruangan itu riuh karena tepuk tangan dan seruan.

Pria yang tadi di ruangan Rosie pun entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Rosie, ikut larut dalam suasana.

    Rosie menaiki mobil sedannya,  menginjak pedal gas, melajukan mobil di jalanan ke arah apartemen miliknya di kawasan hunian elit kota G. Sepanjang perjalanan dia sesekali memikirkan pria yang masuk ke ruangannya tadi.

  Pria itu adalah Mario Minoru, calon suami yang gagal Rosie nikahi karena sebuah kesalah pahaman yang terjadi di kantor tepat sebulan sebelum hari pernikahan mereka. Waktu itu, Rosie diangkat menjadi manajer pemasaran namun, Mario menganggap  Rosie mendapat posisi tersebut karena "penghiburan" yang Rosie berikan pada direktur. Begitulah rumor yang tersebar di kantor, padahal semua itu adalah hasil kerja keras Rosie sendiri saat menjadi supervisor, dia melakukan yang terbaik sekuat tenaga. 

  Meskipun di dadanya Rosie menyimpan rasa sakit hati pada Mario, wanita itu harus bertindak profesional di kantor. Mengesampingkan urusan perasaan dan fokus pada pekerjaan. Setiap kali Mario mengajaknya makan di luar jam kantor, Rosie selalu menolak dengan berbagai alasan. Wanita itu selalu saja  menghindari obrolan pribadi di luar topik pekerjaan apabila kebetulan sedang perjalanan bisnis dengan Mario.

  Mobil Rosie sudah memasuki area parkir apartemen. Setelah memarkir mobilnya dia menaiki lift untuk sampai ke lantai 4. Keluar dari lift, ia menuju ruang nomor 402. Dia terperangah ketika mendapati pintu apartemennya sedikit terbuka. Karena takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak, dia segera masuk ke dalam berniat mengecek keadaan di dalam.

 "Eh, Bu Manajer sudah pulang!" seru seseorang dari dapur. Mendapati adiknya di sana, kedua mata Rosie membeliak, kebingungan. Sudah empat tahun, dia tidak bertemu dengan adik laki-lakinya itu. 

"Kapan kamu kembali dari Jepang?" Rosie meletakkan tas di atas meja tamu lalu berjalan menghampiri adiknya. 

"Baru aja-,” Ethan melihat arlojinya-."ya, sekitar 30 menit yang lalulah kira-kira," imbuh pemuda itu. 

"Kenapa gak minta dijemput?" Rosie menuangkan air ke gelas dari keran dispenser. 

"Aku gak mau ngerepotin, lagian Kakak pasti sibuk."

   Rosie kemudian menenggak cairan bening itu hingga tandas. Gelas kosong bekas minumnya pun diletakkan dengan kasar.

"Oh iya, gimana kamu bisa masuk?" Rosie memincingkan mata. menaruh curiga kepada Ethan.

"Ah, soal itu, kayaknya Kakak gak ngunci pintu. Udah kebuka sedikit waktu aku datang. Entah apa jadinya tempat tinggalmu ini kalau aku gak segera tiba,” terang Ethan

  Ethan merasa bangga bak pahlawan kampung yang menyelamatkan tempat tinggal seseorang dari upaya kemalingan.

   Mendengar penjelasan Ethan, Rosie kemudian diam. Wajah wanita itu memerah menyadari dirinya seteledor itu. Demi  menyembunyikan rasa malu pada Ethan, dia berkata ketus, “Kalau mau kopi, buat sendiri!” Lalu melangkah ke kamar. 

“Sikap dinginmu itu masih gak hilang juga, ya. Kita udah gak ketemu lima tahun, masak gak ada niatan seduhin adiknya kopi?"  protes Ethan. 

“Apa  kamu gak kangen aku?’’ bisik Ethan. Dia mendekap tubuh kakaknya erat-erat dari belakang.

“Lepasin! Kamu ngapain, sih? Mending kamu mandi sana, badan kamu bau!" Rosie meronta sekuat tenaga namun, dekapan Ethan semakin erat. Semakin Rosie meronta, semakin erat Ethan memeluk badannya yang ramping. 

   Rosie berhenti meronta ketika matanya menyorot noda merah di punggung tangan Ethan. 

“Kamu habis ngebunuh?” tuduh Rosie.

 “Apa maksudnya?”

    Rosie menarik tangan Ethan kuat-kuat kemudian mengangkatnya. Dengan begitu, dia berhasil melepas dekapan Ethan.

“Ini apa?” Rosie  mendelik.

“Waduh, pasti sisa darah korban kecelakaan tadi.” Ethan mengempas  tangan Rosie yang kurus, pergi ke balik konter dapur dan mencuci tangannya dengan air mengalir di water sink.

“Menolong korban kecelakaan itu merepotkan,” keluhnya Ethan sembari menekan botol sabun cuci piring beraroma lime.

“Itu tugasmu sebagai dokter. Jangan ngeluh!”

    Rosie  melangkah ke kamar dengan kesal. Sementara, Ethan hanya tersenyum.

  Sejak perceraian kedua orang tua mereka sepuluh tahun lalu, kepribadian Rosie yang ceria dan hangat mendadak berubah menjadi dingin, sifat yang suka bercanda pun hilang entah kemana. Rosie sudah kehilangan selera humornya sejak saat itu. Dia berubah menjadi gadis dengan ambisi dan selalu serius dalam hal apapun. Prinsip hidup Rosie sudah bulat sejak saat itu, entah apa yang merubahnya. Bahkan Ethan lupa kapan terakhir kali melihat senyum Rosie untuk dirinya. Walaupun Ethan tidak menyukai kehidupan yang terlalu serius seperti Rosie, dia tidak pernah sekalipun menertawakan prinsip hidup Rosie. Sementara, Ethan berjalan dengan prinsip hidupnya sendiri, “Hidup akan indah jika dibawa santai.”

Bab terkait

  • Ms. Manager And Her Brother   Dilarang Merokok di Apartemen Rosie

    Kerlap-kerlip lampu kota membuat pesona kota semakin indah, menawan. Dari balkon, kendaraan yang lewat di jalan tol bak kunang-kunang yang merayap di tanah. Empat tahun di Jepang membuat Ethan merindukan kota kelahirannya itu. Seakan tidak puas dengan pemandangan malam Negeri Sakura yang sudah setiap hari dia lihat. Ethan mengingat baik-baik kata orang, “Seburuk-buruknya negeri sendiri tetap saja tempat paling nyaman untuk hidup.” Berbekal cangkir di tangan kirinya, Ethan menikmati suguhan kota yang memanjakan mata. Sesekali dia meneguk kopinya kemudian mengeluarkan bungkus rokok dari kantong celana. Mengeluarkan sebatang dari kotaknya. Melepit diantara gigi seri atas dan bawah. Ibu jarinya menekan pemantik untuk menyulut ujung rokok. Dihisapnya pelan-pelan, dikebulkannya asap tipis dari lubang hidung. Tidak ada yang bisa mengalahkan kenikmatan seperti itu dalam kehidupan para pecandu nikotin. "Kamu akan masuk angin kalau lama-lama di luar!" Suara Rosie dari ruang tamu mengagetk

  • Ms. Manager And Her Brother   Beres-Beres Kamar Rosie

    Matahari pagi merangsek masuk menembus kaca jendela kamar Rosie yang gordennya lupa dia tutup. Semalam, Rosie terlalu lelah dengan lemburnya jadi, wanita itu langsung melempar badan ke king size dan langsung terlelap begitu badannya merasakan kenyamanan king size. Setelah selesai mematut diri di depan cermin Rosie sudah siap berangkat dengan setelan blazer putih dan celana kain berwarna senada. Di Balik blazer itu, dia hanya mengenakan kemeja warna krim. Hanya dengan berpakaian kerja seperti itu saja, wanita itu tampak berkarisma. Tidak dapat dipungkiri lagi aura seorang leader menguar dari dirinya. Derap sepatu heels beradu dengan permukaan lantai saat dia keluar dari kamar. Matanya lantas menyoroti Ethan yang masih pulas di atas sofa dengaan selimut tipis warna biru langit. Membiarkan adiknya seperti itu, Rosie melenggang ke balik konter dapur. Menarik lim

  • Ms. Manager And Her Brother   Mario Yang Tersulut

    "Papa udah bilang kan, kamu harus lebih tekun lagi jadi supervisor!" Mario duduk tertunduk di hadapan ayahnya. Pria berdarah Jepang itu menciut di hadapan pria paruh baya sekaligus ayahnya. Harwan Minoru, begitulah pria paruh baya itu dipanggil. Sebagai presiden direktur Absolute Beauty Chemical, Harwan adalah pria yang tegas dalam kepemimpinanya. Ketegasan itu berlaku juga untuk Mario, Sang Putera Tunggal. Perusahaan kosmetik itu Harwan bangun dari titik nol bersama dengan sahabatnya yang sudah meninggal. Di usia senja Harwan seharusnya sudah pensiun dan menyerahkan perusahaan itu kepada Mario. Akan tetapi, tidak juga kunjung serah jabatan itu diberikan kepada Sang Putera. Alih-alih menggantikan dirinya, Pak Harwan malah meletakkan Mario sebagai supervisor pemasaran bersama dengan Rosie. Pak Harwan melengos, beranjak dari posisinya mendekat ke Jendela. “Kalau begini terus, kamu gak

  • Ms. Manager And Her Brother   Cinta Kandas

    “Ada apa, Mario? Kenapa kamu mendadak marah begini?” Rosie kebingungan dengan tingkah Sang Kekasih yang tiba-tiba saja murka. “Kamu yang kenapa!” bentak Mario. Rosie berdiri dari tempat duduknya. Mencoba menenangkan Mario yang mendadak marah. Dada pria itu kembang kempis, memandang wajah Rosie penuh amarah. “Tenang dulu, sebenarnya ada apa?” “Kamu gak perlu nanya kenapa. Jujurlah, Rosie. Kamu mendapatkan posisi ini karena penghiburan yang kamu berikan pada papaku, kan?” Mario meminta penjelasan. Rosie menggelengkan kepala sembari berkata, “Itu gak benar. Kamu seharusnya percaya dengan kemampuanku ini. Lihatlah hasil kerjaku! Aku dan tim pemasaran yang bekerja keras untuk ini. Bahkan produk perawatan wajah pria-,” “Sudah cukup, Rosie! Aku tidak mau mendengar penjelasanmu lagi. Jika kamu memang tidak melakukan “penghiburan” untuk mendapatkan jabatan manajer, buktikan padaku bahwa itu tidak benar!” tuntut Mario. “Bukankah kamu yang seharusnya paling percaya padaku? Bukankah

  • Ms. Manager And Her Brother   Gadis Penjual Burger : Yunri Han

    Hari kamis yang sedikit gerimis tidak menyulutkan semangat Tirta dan Yunri untuk memarkir lapak mereka di pinggir jalanan kota G. Diantara pedagang kaki lima yang setiap hari buka, lapak merekalah yang terlihat paling mencolok. Mobil Van putih yang dimodifikasi menjadi sebuah stand burger berdiri di deretan pedagang kaki lima itu. “Kayaknya, hari ini akan sepi deh!” Tirta mengeluarkan kepalanya dari konter dagangan, memandang ke langit dengan wajah masam. “Ini masih gerimis, belum juga badai,” sahut Yunri yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengelap meja. Yunri Han, itulah nama lengkap gadis itu. Usianya bulan lalu baru saja menginjak usia dua puluh lima tahun. Dia besar di panti asuhan bersama dengan Tirta, teman sepenanggungan yang sudah dia anggap seperti seorang kakak sendiri. Yunri sebenarnya bukan anak yatim-piatu, desas-desus bahwa orang tuanya masih hidup sempat terdengar di telinganya. Akan tetapi, Yunri bukannya memilih mencari tahu kebenaran kabar itu, dia lebih

  • Ms. Manager And Her Brother   Ambisi Rosie

    Ruang Presdir terlalu luas hanya untuk dua orang manusia saja di siang itu. Rosie bahkan harus membiarkan waktu makan siangnya molor sedikit hanya untuk bertemu dengan Pak Harwan yang tengah duduk di belakang mejanya. Pria berbadan tambun itu menyatukan kedua tangannya dengan tatapan yang tertuju ke arah Rossi, menunggu penjelasan Rosie. "Karena Youth Serum masih tergolong produk baru, mungkin akan kalah dengan pesaing di pangsa pasar, tetapi kami dari akan berusaha agar dalam waktu dua bulan Youth Serum diiterima oleh kalangan muda.” Mendengar pejelasan Rosie, Pak Harwan melengos asal-asalan. “Inilah yang saya suka dari kamu. Muda dan penuh optimisme.” Ujung bibir Rosie melengkung ke atas, mendengar pujian sang Presdir. “Terima kasih,” ucap Rosie. Pak Harwan beranjak dari tempat duduk, mendekat ke jendela dan memandang keluar. Pemandangan gedung pencakar langit dan kota tampak jelas dari kantornya itu. “Kenapa kamu membatalkan pernikahan dengan Mario?” tanya Pak Harwa

  • Ms. Manager And Her Brother   Ganti Rugi Buku

    Matahari tampak malu-malu menunjukkan dirinya di balik awan putih yang menggantung di langit Kota G. Hari Minggu membuat jalanan sedikit lenggang. Sebagian warga kota melepaskan penatnya di akhir pekan untuk sekadar berjalan-jalan atau menikmati family time setelah seminggu dijejali pekerjaan apapun profesi mereka. Tidak kecuali dengan Ethan, selepas membersihkan diri dan mengganti piyama dengan kaos rumahan dan bahawan celana pendek kasual, dia pergi dari apartemen Rosie sekadar untuk menikmati udara di luar. Dengan segelas es kopi seharga sepeluh ribuan yang dia beli dari kedai jalanan. Tangan kiri Ethan memegang es kopi sementara, tangan kanannya asik memainkan smartphone. Bruk! Pandangan Ethan baru teralihkan ketika dia menyadari seorang gadis sudah terkulai di trotoar, di dekat gadis itu sebuah buku yang tampak baru kotor, sampul hingga setengah bagian dari buku itu basah karena tumpahan es kopi milik Ethan. “Ish, jadi rusak gini!” Buru-buru gadis itu m

  • Ms. Manager And Her Brother   Sebait Sajak

    “Aku sudah ganti rugi bukumu, loh. Rawat dengan baik!” ucap Ethan sembari keluar dari toko buku. “Ma-makasih!” “Cuma makasih?” Ethan melipat tangan ke dada. “La-lalu mau apa lagi?” “Es kopiku gimana?” tanya Ethan. Yunri tidak kaget, seperti dugaan sebelumnya, persis yang dia bayangkan terhadap Ethan. Pria di hadapannya itu akhirnya meminta hal yang setimpal. “Kalau aku harus ganti es kopimu juga, aku gak akan mau kamu belikan buku pengganti!” protes Yunri. Yunri merogoh saku celananya. Berharap mendapatkan uang dari tiap kantung yang melekat di badannya. Seingatnya, dia mendapat kembalian dari pembelian buku yang sudah dirusak Ethan, tetapi harapannya sirna. Tidak ada sesuatu yang dia dapat sebagai alat tukar selain uang koin perak pecahan lima ratus rupiah. Jumlahnya tidak lebih dari enam keping atau setara dengan tiga ribu rupiah kalau ditotal. “Aku gak pegang uang saat ini!” ucap Yunri jujur. Ethan melengos asal-asalan. “Gak apa, aku hanya bercanda aja. Bye!

Bab terbaru

  • Ms. Manager And Her Brother   Bagian Akhir

    Dua Bulan Kemudian. Setelah proses persidangan yang panjang, sidang putusan pun ditetapkan pagi itu. “Dengan ini, menyatakan terdakwa Saudara Mario Minoru telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan kejahatan penculikan terencana serta melakukan penganiayaan hingga menyebabkan korban, Saudara Ethan Darius mengalami luka tembak serta menyebabkan luka berat kepada korban Saudara Jonathan sebagaimana yang telah didakwa dalam dakwaan primen penuntut umum. Menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Mario Minoru dengan pidana hukuman empat tahun penjara.” Ethan dan Rosie bersamaan mengela napas lega. Hari itu merupakan hari kemenangan mereka atas ambisi Mario. Setelah putusan itu, para hadirin pun bernajak dari kursi masing-masing setelah para hakim meninggalkan meja. Mario pun digiring keluar oleh petugas kejaksaan. Akan tetapi, tepat saat Mario melewati Rosie, pria itu berkata. “Aku akan membalasnya,” ucapnya penuh dendam seraya digiring keluar melewati ruan

  • Ms. Manager And Her Brother   Jonathan Kembali

    Ethan tersenyum tipis, lantas Mario tancap gas melajukan kendaraannya. Ethan memandang mobil Mario yang semakin menjauh lantas tersenyum menyeringai. Seakan penuh kemenangan karena rencana yang dibuat berljalan lancar. Sambil berjalan mendekat ke gedun yayasan, Ethan mengeluarkan smartphone dan menghubungi Rosie/“Kakak, aku mendapatkannya. Tidak akan aman jika aku membawanya. Aku sekarang di yayasan,” Ethan mengabarkan. ”Bagus! Tunggulah beberapa lama lagi, aku akan datang sebentar lagi,” perintah Rosie. Rosie melipat tangannya ke dada berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang, jika dia langsung menemui Ethan kemungkinan Mario akan mencurigainya terlebih lagi ini adalah jam kerja. Mario langsung pulang ke apartemen selepas bekerja. Buru-buru pria itu memeriksa brankas di bawah temoat tidur. Menekan beberapa digit nomor sehingga brankas itu terbuka. Melihat dokumen itu masih aman, Mario lega dan kemudian meletakkannya kembali ke dalam brankas. Ketika Ethan meminta unt

  • Ms. Manager And Her Brother   Meretas Brankas

    Jonathan menceritakan semua tentang stempel Ethan. Semua kini terasa jelas di mata Rosie. Bahkan tidak hanya tentang perusahaan. Kurang lebih dua jam berada di ruang inap itu, Rosie pun paham meskipun ayahnya terkesan tidak peduli dan memperlakukan Ethan secara buruk hingga perselingkuhan ayahnya. Hati Rosie yang beku itu perlahan mencair. Semua tampak jelas. “Jadi, tugasku sekarang hanya menanyai Om Clayton tentang itu.” Rosie menarik kesimpulan.“Iya. Kalau kamu benar-benar ingin membantu anak wartawan itu mengungkap kebenarannya, lebih baik ajak saja dia. Supaya gak salah paham,” saran Jonathan.“Baiklah. Aku akan pergi menemui Ethan.” Rosie melirik jam melingkar di tangannya. Bangkit dari duduknya. Bersamaan dengan keluarnya Rosie, muncul seorang perawat dan dokter dari pintu ruang rawat ayahnya.“Pak, apa dia putri anda?” tanya Sang Dokter.“Benar. Dia berlian luar biasa.” Jonathan memandang ke arah berlalunya Rosie. Rosie duduk di dekat brankar Ethan.“Kamu udah pul

  • Ms. Manager And Her Brother   Stampel Ethan

    Seperti pembicaraan mereka lewat telepon tadi pagi, Dicky dan Rosie bertemu di kedai tempat mereka berjanji. Malam itu, Dicky pun tampak memasang raut serius.“Ada apa?” tanya Rosie.“Bu Rosie, begini.” Dicky menjeda kalimatnya. “Tidak ada bukti yang bisa saya temukan jika kematian ayah saya adalah akibat dari pemecahan perusahaan itu.”“Lalu?”“Sepertinya saya tidak punya alasan untuk membantu Bu Rosie untuk terlibat jauh dengan masalah ini. Tidak ada alasan lagi untuk saya berkhianat pada perusahaan tempat saya bekerja,” imbuh Dicky.“Hanya itu saja yang mau disampaikan?” Alis Rosie berkernyit. Jika hanya menyampaikan kabar begini, seharusnya disampaikan lewat telepon saja. Akan tetapi, sepertinya Dicky memiliki maksud lain.“Apa kamu yakin tidak ingin menyelidikinya?” tanya Rosie. Dicky menelan salivanya sendiri. Membetulkan posisi duduk yang mendadak berubah tidak nyaman.“Ibumu berteriak histeris saat saya datang kesana dengan name tag yang menggelayut di depan dada saya

  • Ms. Manager And Her Brother   Maaf Itu Gratis tapi, Bukan Murahan

    “Siapa yang tidak ingin melawan saat terdesak?” Pandangan Mario belum lepas dari pria yang duduk berseberangan dengannya. Pria itu pun melengos asal-asalan.“Yah, kalau Pak Mario tidak bicara, bagaimana saya bisa bantu?” Mario tersenyum mengintimidasi. “Aku sudah kalah. Jadi, tidak ada yang perlu kubicarakan. Aku akan membusuk di penjara.”“Itu namanya pasrah!”“Bukan pasrah tapi, mengakui kesalahan dan merenung apa yang sudah menjadi resikoku. Atas perbuatanku.” Keseriusan Mario terpancar pada matanya itu. “Ya sudah, jika memang tak bersedia untuk dibela, saya rasa ini hanya buang-buang waktu saja.” Pak Han bangkit dari duduknya. Sementara, Mario digiring oleh polisi yang bertugas pagi itu. Masuk ke dalam sel, Mario duduk di pojokan. Memeluk lutut. Kecamuk di hatinya akibat perbuatan yang sudah dia lakukan dan kesalahannya pada Rosie serasa ingin membuatnya berteriak. Akan tetapi, sel yang terasa semakin sempit dan lubang di hatinya akibat perbuatannya sendiri menahan di

  • Ms. Manager And Her Brother   Perasaan Tirta

    Ethan tersenyum masam melihatrona di wajah Yunri. Sesaat kemudian pemuda itu terkekeh.“Hahaha.”“Apaan sih!” Yunri malu-malu kesal.“Kamu suka sama aku, kan?” Mendadak Ethan jadi serius.“Dih, mana ada aku suka sama kamu!”“Terus tadi itu apa?” Desakkan Ethan membuat Yunri gelagapan. Gadis itu jadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana menyembunyikan getar di dadanya. Malu dan perbuatan yang nyaris saja membuatnya jatuh lebih dalam ke dalam perasaan lebih dalam.“Itu-”“Selamat malam!” Yunri terselamatkan oleh suara Tirta yang tiba-tiba masuk dengan sebuah parsel buah di tangannya. “Tirta!” sapa Yunri seraya berlari ke arah pemuda itu.“Ini.” Tirta menyodorkan benda di tangannya kepada Yunri. Dengan sigap, Yunri pun mengambil benda itu.“Kamu apa kabar?” tanya Tirta seraya mendekat ke brankar.“Apa kabar? Lihat, dadaku ini bolong, nyaris gak bisa menikmati burgermu lagi,” sahut Ethan seraya menunjuk dada kirinya yang terperban.“Jangan sensitif begitu dong, Tirta kan cuma nanya.”

  • Ms. Manager And Her Brother   First Kiss

    Cahaya matahari masuk melalui ventilasi yang terbuat dari besi. Ruang besuk itu hanya berukuran dua kali tiga metar. Ukuran yang cukup bagi orang yang ingin membesuk para kriminal demi sekadar bertanya kabar. Seperti yang dilakukan Giesta hari ini, wanita itu duduk berseberangan dengan Mario. “Paman tidak akan mengirimkan pengacara untukmu di pengadilan nanti, itulah yang kudengar,” ucap Giesta. Mario tidak berkata apapun, yang dia lakukan hanya tertunduk. Entah pemuda itu sedang menyesali perbuatannya atau kecewa karena ayahnya tidak akan membantu mengirimkan pengacara saat sidang nanti. “Mario, aku akan membantumu!” tawar Giesta. “Hahaha, membantuku? Kamu saja menjadi Manajer di Nature Chemical karena bantuan ayahku. Sekarang malah mau membantu bagaikan seorang pahlawan kesiangan.” Mario tersenyum menyeringai. “Jangan meremehkanku, Mario. Aku membantumu sebagai seorang saudara. Jabatanku sekarang gak ada hubungannya dengan niatanku membantumu jadi, jangan dikaitkan, ya!” uca

  • Ms. Manager And Her Brother   Wawancara Dengan Yunri

    Yunri sengaja memilih kedai kopi kecil yang nyaris tidak ada pembelinya. Gadis itu sengaja karena privasinya bisa terjaga saat wawancara dengan pengacara di depannya. Setelah memesan dua cup es coffe mocca, , mereka pun memilih tempat paling pojok. Pak Yana mengeluarkan tablet lengkap dengan pensil dan bersiap menulis setiap pengakuan Yunri. Sama seperti yang dilakukan saat mewawancari Ethan sebelumnya. “Nona Yunri, apa sudah benar-benar siap?” tanya Pak Yana. Yunri mengangguk pelan tanda dirinya sudah siap ditanyai apapun tentang masalah yang melibatkannya. “Saya disclaimer dulu sebelum kita mulai. Kalau ada pertanyaan yang membuat Nona Yunri tidak nyaman, Nona Yunri bisa bilang kalau itu tidak nyaman untuk Nona. Saya akan mengganti pertanyaannya. Nona juga tidak harus menjawab semua pertanyaan yang saya tanyakan karena itu hak Nona.” Pak Yana memperingatkan.“Iya.” Sebelum mereka memulainnya, pelayan pun datang menjeda seraya membawa pesanan mereka. Berlalu setelah mele

  • Ms. Manager And Her Brother   Seudzon

    Sore hari, Pak Yana pun datang ke ruang rawat Ethan hanya untuk menanyai pemuda itu demi keperluan sidang tentunya setelah berkonstultasi terlebih dahulu dengan dokter yang menangani Ethan. Setelah mendapatkan persetujuan, barulah Sang Pengacara melakukan tugasnya. “Maaf mengganggu sore-sore begini, Mas Ethan.” Pak Yana memulai pembicaraan dengan basa-basi.“Apa Mas Ethan sudah siap dan yakin dengan wawancara ini?” tanya Pak Yana sebelum melangkah lebih jauh.“Pak Yana, saya hanya tertembak, bukan meninggal. Apa Pak Yana enggak lihat kalau saya sesehat ini?” Ethan menngangkat kedua lengannya, memperlihatkan otot bisep yang menonjol tapi, sesaat kemudian dia meringis. “Aduh!”“Gak usah sok kuat!” ketus Rosie.” Ethan lantas menurunkan kedua tangannya, mengela napas lantas berkata, “Kita mulai sekarang saja, Pak. Biar cepat.”“Baiklah. Pak Yana bersiap mengetik pada sebuah tablet di tangannya. “Bagaimana kejadian waktu Mas Ethan diculik?” Pak Yana mengawali wawancaranya dengan p

DMCA.com Protection Status