Home / Romansa / Mr. Perfect / Chapter 4

Share

Chapter 4

Author: Penulis Rahasia
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Plak!

Lagi?

Dia menamparku lagi?

Daisy mendorong tubuhku, dan menamparku. Tamparannya begitu keras, dan juga kencang.

“Berani sekali kau menciumku!” Dia membentakku. Matanya melebar, dan tampak berapi-api. “Memangnya kau anggap aku ini apa? Perempuan murahan, hah?!”

Aku tersenyum miring. “Kau sama saja dengan kakakmu yang hamil di luar nikah itu,” ujarku sarkasme.

“Kurang ajar kau, Drew!” Daisy ingin menamparku lagi. Tapi aku segera menahan tangannya.

“Jika kau tidak menghargai aku sebagai bosmu. Aku akan memperlakukanmun seperti ini lagi. Membuat kau, sebagai wanita murahanku. Bahkan, lebih dari menciummu.” Aku menatap Daisy tajam.

Daisy menutup bibirnya rapat-rapat dan mulai meredamkan ego, serta amarahnya.

Aku segera melepas tangan Daisy.

Daisy tidak berbicara apa-apa lagi, dia membuka pintu dan keluar dari ruanganku.

Aku tertawa puas ketika pintu ruanganku kembali tertutup. Perempuan arogan seperti Daisy, sebentar lagi akan bertekuk lutut di hadapanku. Dan memohon untuk meminta hatiku. Seperti perempuan lain yang berhasil jatuh ke perangkap buaya darat, Drew Layn.

****

Hari ini, Emma sudah tidak lagi bekerja di perusahaanku. Dia pamit sambil memberikan undangan pernikahan. Itu membuat hatiku terluka, karena aku belum sempat berkencan dengan dia. Tapi, Emma sudah menjadi milik orang lain. Secara sah, pula.

Kini hanya ada Daisy sendiri yang akan bekerja di bawah tekananku. Sebagai sekretarisku. Aku melemparkan beberapa berkas di atas mejanya. Membuat Daisy mendongak, menatapku.

“Aku mau, semua pekerjaan ini selesai besok pagi,” kataku penuh penekanan.

Daisy tidak membantah atau marah-marah seperti biasanya. Dia hanya menghela napas dan menjawab, “baik, Pak.”

Membuat keningku mengernyit. Wah, tumben.

“Jangan lupa, buatkan aku kopi. Ingat, gulanya hanya satu sendok saja. Aku tidak suka terlalu manis.” Perintahku.

Daisy kembali menjawab, “baik Pak.”

Sepertinya dia sudah bisa nurut dan jatuh ke dalam perangkapku.

“Bagus!” Lalu, aku berbalik badan dan melangkah kembali menuju ruanganku.

Lima belas menit kemudian, pintu ruanganku diketuk. Daisy masuk sambil membawa nampan berisi kopi. Dia langsung menaruh gelas kopi tersebut di atas mejaku, dengan sopan.

“Ini kopinya, Pak. Sesuai yang kamu inginkan.”

“Terima kasih,” jawabku.

“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Daisy membalikan badannya, hendak pamit.

“Tunggu.” Aku menghentikan langkah Daisy.

Daisy berhenti.

“Duduk dulu,” pintahku. Daisy kembali membalikkan badan menghadapku, dan duduk di depanku. “Umurmu berapa?”

“Dua puluh lima tahun. Bukannya sudah jelas tertera di riwayat hidupku?”

Aku cukup kaget karena ternyata dia lima tahun lebih muda dariku.

“Aku malas membacanya.” Aku mengibaskan tangan. “Kau sudah menikah?”

Daisy menggeleng. “Belum. Tapi aku pikir, sebentar lagi aku akan menikah.”

“Kau sudah punya pacar?”

Daisy mengangguk semangat. Sedetik kemudian dia menatapku curiga. “Kenapa kau bertanya hal privasi padaku, Pak? Apakah itu salah satu pertanyaan wajib untuk setiap karyawanmu?”

“Aku hanya ingin memastikan, wanita mana yang layak untuk aku kencani.”

Kedua alis Daisy terangkat. “Kau juga mengencani karyawanmu?”

“Kecuali, Emma.” Aku membantah. “Aku tidak sempat mengencaninya.”

Daisy geleng-geleng kepala. “Kau bos yang gila.”

“Kau mulai tidak sopan lagi padaku.” Aku menunjukknya.

Daisy menutup mulut dengan kedua tangannya. “Ups. Maaf, Pak.”

“Tenang saja, Daisy. Kalau pun, kau tidak punya pacar. Kau juga bukan tipeku. Aku tidak akan pernah berkencan denganmu.”

“Kenapa?”

“Karena kakimu pendek. Aku tidak suka dengan wanita berkaki pendek. Bahkan, kau hanya sebatas pundakku.”

Daisy cemberut. Sepertinya dia tampak kesal dengan penghinaanku atas bentuk tubuhnya. Aku, kan, bicara jujur.

“Yasudah, kembali bekerja.” Perintahku lagi. Dan Daisy langsung beranjak dari ruanganku.

****

Aku berdiri di jendela kaca ruangan lantai dua buluh delapan sambil menyesap pelan kopi buatan Daisy yang sudah dingin. Sekarang pukul lima sore, Daisy dan beberapa karyawan pulang.

Dai jendela kaca ini, aku bisa melihat Daisy keluar dari kantor dan menghampiri laki-laki yang mengendarai Vespa—tengah berhenti di pinggir jalan.

Aku sedikit tertawa. Ternyata itu pacarnya? Yang hanya punya vespa butut.

Aku memotret Daisy dan pacarnya dari jendela kaca ruanganku. Lalu mengetikkan sebuah pesan untuk Daisy.

Kau dan Vespa butut pacaramu. Hahaha!

Daisy membalas pesanku.

Ini kebahagiaanku.

Singkat, padat, jelas, dan menyebalkan. Mari kita lihat nanti, seberapa bahagia Daisy bersama pacarnya itu.

Tak lama kemudian, ponselku berdering nyaring. Nama Nela, berkal-kelip di layarnya. For your information, Nela adalah perempuan yang tidak sengaja aku temui di tempat gym. Kaliah tahu, di antara semua perempuan yang aku kencani. Bokong Nela-lah yang paling bagus dan padat. Air liurku saja sampai tumpah setiap kali mengingatnya. Khusus untuk Nela, aku akan mengajaknya kencan berkali-kali.

“Ya, sayang.” Ingat, panggilan ‘sayang’ adalah kata kuncinya.

“Kamu sudah makan, Drew? Aku lapar, bisakah kita makan bareng?” Suaranya lembut dan terdengar mendesah di seberang sana. Bikin bulu kudukku meremang.

“Belum sayang. Kau di mana sekarang?”

“Aku di apartemen.”

“Aku akan menjemputmu.”

***

Aku memarkirkan mobil Suv seharga 209.500 US dollar milikku di pelataran sebuah restaurant mewah di pesisir selatan. Aku membuka pintu mobil untuk Nela seperti lelaki gantleman pada umumnya.

Si bokong sexy melangkah dengan anggun. Laki-laki buaya darat yang lewat di sekitar kami, matanya tidak berhenti menatap lekuk tubuh Nela. Tanganku berada di belakang punggung Nela, dan membawanya masuk ke dalam restaurant.

Kami duduk di kursi dekat jendela kaca yang langsung mengarah pada pemandangan pantai. Aku sudah membooking tempat spesial sebelum datang ke restaurant ini.

Seorang pelayan menghampiri kami. Pelayan laki-laki itu tidak berhenti menatap dada Nela yang bulat.

Aku berhedem. “Hem, kalau kau mau ikut makan dengan kami. Kau lebih baik ambil kursimu, dan duduk di sebelah pacarku.” Aku menyindir pelayan itu.

Pelayan tersebut langsung kikuk. “Maaf Pak.” Ia menunduk.

Setelah memesan makanan, dan pelayan pergi meninggalkan kami. Nela tertawa melihatku. “Kau posesif ya, Drew.”

“Pelayan itu kurang ajar. Dia melihat tubuhmu seolah ingin menjamahnya.”

Nela kembali tertawa. “Tadi kau sebut aku pacarmu?”

“Itu trick agar dia tidak mengganggumu lagi, Nela.”

“Kalau kau serius, juga tidak masalah.” Nela menyentuh tanganku yang tergeletak di meja.

Aku hanya menyeringai geli. Sesexy apapun Nela, aku tetap berpendirian teguh untuk tidak memiliki hubungan serius dengan perempuan. Kalau sekadar teman kencan, yah hanya teman kencan saja. Bukan untuk pacaran, apalagi menikah.

Pelan-pelan aku melepas sentuhan Nela. Kemudian punggungku bersanda di kursi sambil melipat tangan di dada ketika aku melihat wajah familier masuk ke dalam restaurant.

Yup, itu Daisy. Dan pacarnya yang punya vespa butut.

Aku mengerutkan dahi dan bertanya-tanya. Mengapa mereka ada di restaurant mahal ini? Memangnya pacar Daisy, si vespa butut itu mampu bayar makanan di restauran ini?

Aku tekekeh geli sembari menggelengkan kepala takjub.

“Kau kenapa Drew?” Nela ikut melihat ke mana arah pandanganku. “Kau kenal dengan mereka?”

“Yup.” Aku beranjak dan menghampiri mereka.

Betapa terkejutnya Daisy saat melihat keberadaanku.

“Hai …..” aku melambai.

“Kau?” Daisy nyaris berteriak. “Sedang apa kau di sini?”

Aku tidak langsung menjawab dan menatap pacarnya. Ah, tidak setampan diriku. Lalu aku melirik ke arah Daisy lagi. “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini? Tempat ini tidak cocok untukmu dan pacarmu, Daisy.”

“Apa maksudnya?” Pacar Daisy, si vespa butut menatapku seolah tidak terima.

“Dimana kau parkir vespamu?” Tanyaku pada si Vespa Butut.

“Cukup!” Daisy berseru. Lalu menggandeng erat tangan pacarnya. “Ayo kita pergi sayang.”

Aku membiarkan mereka pergi, dan tertawa.

Daisy dan vespa butut duduk tak jauh dariku. Aku terus memperhatikan mereka sambil memotong steak.

“Drew ….” Nela memanggil namaku.

Aku sedikit kaget sampai steakku lompat ke piring Nela. “Maaf Nela.” Aku segera membersihkan kekacauan.

“Ah, iya, tidak apa-apa. Kau terlihat gelisah, Drew.”

“Aku tidak gelisah.” Aku kembali melanjutkan makanku. “Ayo kita lanjut makannya.”

Selanjutnya aku melihat Daisy dan Vespa Butut selesai makan lebih cepat dariku. Mereka memanggil pelayan dan meminta bill. Ketika bill datang, Vespa Butut mulai merogoh saku celana, baju, dan dompetnya. Ia terlihat gelisah. Lalu berbicara pada Daisy. Aku tidak bisa mendengar kalimat mereka, tapi aku lihat sepertinya Daisy juga panik.

“Drew ….” Nela kembali menyebut namaku. “Kalau kita sudah selesai makan, kita pulang saja.”

Aku melihat piring Nela sudah kosong, sedangkan steakku masih ada seperempat. Tapi aku sudah tidak berselera makan. Aku memanggil pelayan yang berdiri hening di meja Daisy dan Vespa butut.

Pelayan itu menghampiri kami.

“Boleh aku minta bill?”

“Baik, Pak.” Pelayan hendak pergi.

“Tunggu sebentar ….” Aku memanggil pelayan itu kembali.

“Iya, Pak?”

“Kenapa mereka?” Aku mengedikkan bahu ke arah meja Daisy.

Pelayan itu sedikit mencondongkan wajah. “Pacarnya tidak membawa dompet.”

Aku mengangkat alis, dan nyaris tertawa. “Serahkan bill mereka, biar aku saja yang bayar.” Aku sengaja berbicara dengan nada tinggi sampai Daisy dan Vespa Butut menatap ke arahku.

Mereka kaget. Begitu juga dengan Nela.

“Apa Drew?!”

Related chapters

  • Mr. Perfect   Chapter 5

    “Drew, kau kenal dengan mereka?”“Kenapa kau bayar makan mereka?“Drew, kenapa kau diam saja?”Nela tidak berhenti mengoceh di sepanjang perjalanan ketika kami pulang. Telingaku dibuatnya panas.Aku menghentikan mobilku di sisi kiri jalan sampai Nela nyaris terpental ke dasbor mobil.“Drew!” Nela menatapku. Dari ekspresinya, sepertinya dia marah. “Ada apa denganmu.”“Turun dari mobilku,” perintahku.“Apa?”“Turun dari mobilku sekarang. Kau cerewet.”“Kau ….” Dia terlihat kesal

  • Mr. Perfect   Chapter 6

    Hari ini adalah hari Minggu yang menyebalkan. Alexa datang menggedor-gedor kamarku dan memaksaku untuk segera bangkit dari kasur pukul sebelas siang. Biasanya aku selalu bangun pukul dua siang di hari Minggu.Carie naik ke atas punggungku seperti kuda dan berteriak, “Paman Drew ayo bangun!”Alexa dan anaknya adalah paket sempurna yang berhasil bikin aku tidak nyaman hidup di dunia.“Ada apa sih?” Aku membentak Alexa, bukan Carie. Sambil menelungkupkan tubuh dan menenggelamkan wajahku di bantal.“Please temani aku dan Carie ke mall. Hari ini aku harus membelikan kado untuk Andreas. Postur tubuhmu dan suamiku sama persis.” Alexa mengeluarkan suara memohon. Dan terdengar sangat menyebalkan.

  • Mr. Perfect   Chapter 7

    Aku membawa Daisy baring di sofa yang ada di dalam ruanganku. Kening Daisy berdarah akibat dorongan kencang Nela yang membuat kepala Daisy terbentur meja.Aku segera mengambil mangkuk dari pantry dan mengisinya dengan air hangat. Lalu aku mulai mengompres luka kecil Daisy dengan saputanganku.Daisy pingsan cukup lama. Aku menatap wajahnya dengan saksama. Ternyata Daisy terlihat cantik juga dengan bibirnya yang tipis.Aku menyentuh wajah Daisy yang selembut sutra. Lalu mendekatkan wajahku. Rasanya aku ingin mencicipi bibir Daisy sekali lagi. Ciuman pertamaku dengan Daisy sangat berkesan.Tak lama kemudian tiba-tiba saja Daisy membuka mata dengan lebar.“Apa yang kau lakukan padaku?” Daisy menendang kemaluanku dengan sepatu hak tingginya.

  • Mr. Perfect   Chapter 8

    Aku melihat Angelina duduk di kursi Daisy ketika aku melangkah keluar dari lift. Angelina adalah sekretaris manager operasional di lantai lima. “Pagi, Pak Drew.” Perempuan itu berdiri dan sedikit menunduk untuk menyapaku. “Pagi,” jawabku ragu. Lalu menatap ke sekeliling. “Mana Daisy?” “Hari ini Daisy nggak bisa hadir.” Angelina menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini surat sakitnya,” lanjut Angelina. Aku mengernyit sambil membuka isi amplop tersebut. Ternyata isinya surat keterangan dari Dokter yang menyimpulkan kalau Daisy sakit lambung. Aku menyimpan kembali surat Dokter tersebut di amplop. Aku menghela napas berat sebelum menatap Angelina. “Kau yang menggantikan Daisy?” “Untuk sementara waktu, iya Pak

  • Mr. Perfect   Chapter 9

    “Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirny

  • Mr. Perfect   Chapter 10

    “Aku akan mempertemukan kau dengan Evans." Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu. “Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer. Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?” “Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat. “Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!" Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?" “Kau.” “Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.” “Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”

  • Mr. Perfect   Chapter 11

    Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert

  • Mr. Perfect   Chapter 12

    Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar

Latest chapter

  • Mr. Perfect   Chapter 80

    “Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis

  • Mr. Perfect   Chapter 79

    Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan

  • Mr. Perfect   Chapter 78

    TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad

  • Mr. Perfect   Chapter 77

    Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak

  • Mr. Perfect   Chapter 76

    “Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp

  • Mr. Perfect   Part 75

    “Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal

  • Mr. Perfect   Part 74

    “Daisy?”Aku menatap wanita di hadapannya sekali lagi. Memperhatikan lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan seragam sama persis seperti yang digunakan oleh para pelanar yang duduk di lobby tadi.“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyaku untuk memastikan.Sepertinya, Daisy juga belum sadar dengan kehadiranku di depannya. Karena dia begitu terkejut.“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Drew?”“Aku meeting dengan klienku. Mereka pemilik perusahaan ini.”“Apa?” Daisy menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan bilang kalah kau—“ aku menggaruk alisku sejenak. “Kau melamar pekerjaan di sini?”Daisy diam sambil menundukkan kepalanya. Tanps perlu aku ketahui jawaban yang keluar dari mulut indah Diasy, aku sudah tahu jawabannya pasti “IYA”“Daisy….” Aku berusaha menelaah kata-kataku.“Sebentar, aku harus pergi ke toilet karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.” Daisy pergi menuju toilet wanita.Aku tidak pergi dari tempat ini, dan tetap ingin

  • Mr. Perfect   Chapter 73

    "Kasih aku waktu untuk berpikir ulang. Paling tidak satu minggu,” ujar Daisy."Satu Minggu? Kau gila!" Tentu saja aku yang bisa gila nantinya."Lima hari.""Tidak, tiga hari. Aku hanya ingin menunggu waktumu tiga hari. Aku menerima keputusanmu, apapun itu. Tapi dengan syarat, jangan larang aku untuk menemuimu. Dan membuatmu kembali mencintaiku."***Tiga hari?Daisy meminta waktu selama tiga hari lagi untuk berpikir.Itu maksudnya apa? Apakah dia bisa saja menolakku sewaktu-waktu?Ah, aku tidak habis pikir dengan Daisy.Mengapa bisa dia membuatku jadi segila ini!“Permisi, Pak.”Sofie melongokan kepalanya di depan pintu ruangan kantorku.Kalian belum tahu, ya? Kalau aku mengganti sekretarisku lagi.Iya, kakinya jenjang seperti yang lain. kecuali Daisy. Cukup Daisy saja yang berkaki pendek, agar aku tetap bisa mengingat; kalau Daisy adalah sekretaris yang berhasil bikin aku jatuh cinta.Kalian bertanya-tanya dimana sekretarisku yang lama? Sarah? Dia sudah aku pecat karena membuat Alice

  • Mr. Perfect   Chapter 72

    "Drew, maafkan aku sudah tidak mempercayaimu." Alexa menghampiriku ketika mereka semua keluar dari rumahku.Aku tidak ingin melihat Alice lagi di hidupku. Untuk itu, aku ingin Rehan membawa mereka jauh-jauh. Dan memberikan mereka sejumlah uang untuk hidup lebih layak. Aku begini, hanya karena kasian dengan Kezie."Sudah aku bilang, seharusnya kau mempercayaiku." Aku menyipitkan mata tajam pada si cerewet yang selalu saja memarahiku."Ibu juga minta maaf, karena menyalahkanmu telah menelantarkan Kezie. Ternyata, dia bukan darah dagingmu." Ibu memelukku, bersama dengan Ayah.Sedangkan Daisy sejak tadi, di sepanjang kejadian hanya diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apapun. Mungkin karena merasa bersalah telah menuduhku."Kau tidak minta maaf padaku?"Aku menyindirnya.Dia masih diam."Seharusnya kau minta maaf." Aku sindir kembali."Baiklah." Daisy menghela napas. "Aku minta maaf.""Minta maaf yang tulus, don

DMCA.com Protection Status