“Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.
Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.
“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”
“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.
“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirnya dia mengaku. Nyaris merengek seperti bayi.
“Kau sengaja ingin menghancurkan keluargaku, kan?” Tanyaku dengan intonasi tinggi.
“Aku hanya memakai identitasmu, agar para wanita mau berkencan denganku. Statusku yang seperti ini, membuat wanita menjauh, Drew.”
“Lalu, di mana Daisy dan Vespa butut sekarang?”
Evans mengerutkan dahi. “Siapa mereka?”
Aku menarik kera kemeja Evans lagi. “Jangan pura-pura bodoh, Evans. Di mana mereka bersembunyi? Kau dalang di balik semua rencana ini, kan?”
“Sumpah, aku tidak mengerti maksudmu? Siapa Daisy? Siap Vespa Butut?”
“Kau pura-pura bodoh ya?” Aku semakin menarik kera kemeja Evans. Laki-laki itu tampak frustrasi, sampai menangis dan berteriak kencang.
“Aku tidak tahuuu. Sungguh aku tidak tahu siapa mereka! Jangan bunuh aku.”
Aku kenal betul dengan Evans. Dulu, waktu masih kecil, dan kami sering bermain bersama. Evans sangat takut dengan belalang. Ketika Evans takut, dia akan mengeluarkan ekspresi ketakutan seperti ini. Artinya, Evans memang tidak kenal dengan Daisy dan Vespa Butut.
“Kau kenal Kareen?”
Evans terdiam. “Yah, aku pernah berkencan dengan dia selama sebulan. Tapi setelah itu, aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”
“Kau kabur kan, ketika tahu kalau dia hamil?”
Evans menunduk. Dan sudah aku tebak kalau jawabannya benar.
“Kau tidak mau tanggung jawab?” Tanyaku lagi.
“Aku sudah meminta Kareen untuk menggugurkan kandungannya. Tapi, Kareen tidak mau. Sedangkan aku, belum siap menikah dan menjadi seorang Ayah.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Daisy itu adiknya Kareen. Kemarin, dia sempat menuduhku telah menghamili Kareen. Karena kau pakai identitasku!”
“Aku minta maaf, Drew. Tidak akan aku ulangi lagi.”
“Dan vespa butut adalah pacarnya Daisy. Dia membawa kabur uang Alexa. Mereka semua punya rencana untuk menguntit keluargaku dan menghancurkannya. Jadi aku pikir, kau adalah dalang di balik semua ini.”
Evans tampak terkejut mendengar ceritaku. “Sungguh, aku tidak tahu apa-apa tentang hal itu, Drew. Kau sudah mencari keberadaan Kareen?”
Aku mengangguk. “Mereka pindah, entah kemana.”
Evans menatap lurus ke depan sambil menghela napas panjang. “Maafkan aku atas kekacauan ini.”
“Hah, yasudahlah. Aku masih mencari tahu tentang keberadaan Vespa Butut. Dia harus membayar semua perbuatannya!” Aku memukul stir kemudi dengan kencang. “Kau boleh keluar dari mobilku,” aku membuka kunci pintu mobil.
“Thanks,” sahut Evans. Lantas keluar dari mobilku dan bergegas pergi.
****
Keesokan harinya, aku dibuat terkejut dengan kehadiran Daisy di kantorku. Maksudku, dia sudah duduk di kursi singgasananya.
Tapi tunggu dulu, ada yang berbeda dari penampilan Daisy hari ini.
Daisy memotong rambutnya jadi pendek sebahu, dan memakai kacamata.
"Selamat pagi, Pak." Daisy menyapa ketika aku lewat di depannya.
"Pagi," balasku. Ada sesuatu yang aneh dari penampilan Daisy, dia tidak sekadar berubah dari segi fisik. Melainkan raut wajah, atau mata yang bengkak. Meskipun Daisy pakai kacamata, aku bisa melihat dengan jelas, kalau matanya bengkak.
Tunggu dulu, aku juga melihat jidatnya memar.
Daisy terlihat salah tingkah saat aku berhenti di depannya, hanya untuk memperhatikannya saja. Daisy langsung duduk di kursi kembali, sambil pura-pura berkutat di depan komputer.
“Kau kemana saja?” Tanyaku to the point.
“Bukankah aku sudah mengirimkan surat sakit dari Dokter, Pak?” Katanya dengan santai. Seolah-olah dia tidak merasa bersalah sama sekali atas perbuatan pacarnya. Atau, dia pura-pura tidak tahu kalau pacarnya telah membawa pergi uang Alexa?
Sepertinya, Daisy ini pandai berakting. Dan kali ini, aku tidak boleh tertipu.
“Sebenarnya, apa yang sedang kau rencanakan?”
Daisy mendongak menatapku sambil mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Setelah kabur, kau berani kembali datang ke perusahaanku?”
“Siapa yang kabur? Aku tidak kabur. Sudah kubilang, kalau aku sakit. Aku sudah punya buktinya.”
Aku menyeringai hambar. Dan melipat tangan di dada. “Aku mencarimu sampai ke rumah. Tapi kau tidak ada. Kau berencana kabur sambil membawa uang kakakku, kan?”
Kursi berderit ketika Daisy berdiri. “Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura lagi, Daisy. Katakan saja yang sejujurnya, di mana pacarmu sekarang?” Aku memelototi Daisy.
“Kenapa dengan pacarku? Apalagi yang kau mau. Kau ingin menghina kami lagi? Kau ingin menghina pacarku lagi, karena dia cuma punya vespa?”
Wanita arogant ini terus membela diri dan pacarnya. Dia bersikap seolah-olah tidak punya kesalahan. Membuatku sangat geram.
“Si Vespa Butut sialan itu, udah membawa kabur uang kakaku! Di mana kau sembunyikan dia!?” Aku berteriak. Emosiku semakin kalut.
Sedangkan Daisy, masih saja memasang wajah tanpa dosa. Dia semakin bersikap arogant. “Uang apa maksudmu? Jangan fitnah orang sembarangan?” Daisy tak kalah berteriak.
Aku langsung mendorong Daisy, sampai ia terduduk di kursi. Lalu mengunci tubuh Daisy dengan kedua tanganku yang berada di sudut kursinya. “Pacarmu berani menipu kakakku dan membawa kabur uang Alexa sebanyak 35.000 USD.”
Seketika mata Daisy langsung terbelalak dan mulutnya menganga. Ia terlihat kaget.
Hal itu membuatku muak. Karena aku yakin, Daisy hanya pura-pura kaget, agar aku percaya kalau dia bukan dalang dari kebohongan pacarnya.
“Berhenti berakting, Daisy,” sindirku halus. Kali ini nadaku lebih rendah.
Daisy menggeleng. “Aku tidak akting. Dan aku….” Daisy tampak gagap. “Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku juga tidak tahu, kalau Tonny sudah membohongi kakakmu.”
“Kau masih berakting?”
“Tidak, Pak. Dua hari yang lalu, Tonny datang ke rumahku untuk pinjam uang di kantor. Tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaan dia. Sampai akhirnya ….” Daisy membuka kacamata, dan membawa sejumput rambutnya ke belakang daun telinga. Lantas, aku melihat ada memar di mata kiri dan pipi kirinya. “Tonny memukulku. Dia mengancam akan membunuhku.” Daisy gemetaran. “Untungnya, kakaku, Clara, langsung mengusirnya.”
Jeda sejenak. Aku melepaskan Daisy di kursi dan melangkah mundur.
“Setelah itu, aku dan keluargaku memilih untuk pindah rumah agar Tonny tidak menemuiku lagi.” Bibir Daisy bergetar. “Maaf, Pak Drew. Aku tidak tahu, kalau ternyata Tonny mengincar kakakmu dan membawa kabur uangnya.” Daisy menututp wajahnya dengan telapak tangan dan menangis.
Aku kaget saat mengetahui kekerasan yang dilakukan Tonny pada Daisy. Tapi aku masih bingung, haruskah aku mempercayai Daisy dan air matanya?
“Sudah lama sebenarnya aku ingin menghindar dari Tonny. Tapi, dia terus datang dan datang lagi padaku. Aku tidak bisa pergi dari hidupnya,” jelas Daisy lagi, masih menangis.
“Kenapa?” Tanyaku singkat.
“Sebelum ayahku meninggal. Ayah punya hutang yang banyak pada Tonny. Sampai akhirnya ayah meninggal, dan kami tidak sanggup membayar hutang Ayah. Aku terpaksa menjadi tahanan Tonny dan harus menikah dengannya.”
“Tapi kau bilang, kau bahagia hidup dengan Tonny.”
“Awalnya aku pikir, yah … aku bahagia. Tapi, sejujurnya aku juga tersiksa. Di satu sisi, aku membenci Tonny. Tapi di sisi lain, aku mencintai Tonny. Aku berharap, dia bisa berubah dan mengikhlaskan semua hutang Ayahku. Ternyata, Tonny terus memaksaku untuk menebus semua hutang ayahku dan memaanfaatkanku.”
Daisy menarik napas dalam-dalam, dan coba untuk menghapus air matanya. “Maafin aku, seharusnya aku tidak menangis begini. Sebagai permintaan maaf, aku janji akan mengganti uang kakakmu.”
Alisku terangkat. “35.000 USD? Kemana kau ingin mencari uang sebanyak itu?”
“Potong saja gajiku. Dan aku akan bekerja denganmu seumur hidup sampai hutangku lunas,” kata Daisy sungguh-sungguh.
Aku menyeringai geli. “Dasar wanita arogant yang gila.”
Itu kalimat terakhirku, sebelum meninggalkan Daisy dan masuk ke dalam ruanganku.
“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans." Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu. “Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer. Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?” “Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat. “Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!" Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?" “Kau.” “Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.” “Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert
Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar
Seharian bekerja membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku butuh hiburan dan mangsa baru. Malam ini, aku pergi ke kelab malam sambil menikmati sebotol wiski. Aku duduk di depan bar, sesekali menatap ke lantai dansa dan mencari perempuan cantik yang bisa aku ajak tidur malam ini. “Hai ….” Salah seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Matanya agak sipit, bibirnya sedikit tebal, dan berbadan sexy. “Maukah kau berdansa denganku?” Perempuan itu menarik dasiku, sambil tersenyum centil. “Namamu?” Tanyaku. “Eva.” Eva berbisik di telingaku. “Aku bisa meluangkan waktu untukmu.” Aku memperhatikan tubuhnya lagi dari atas sampai ujung kaki. Aku menyukai kaki Eva yang jenjang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja sosok Daisy terlintas di otakku.
Ponselku berdering dan nama Rehan berkelap-kelip di layar. “Ya?” Sahutku setelah panggilan kami tersambung. “Pak, saya menemukan keberadaan Vespa Butut di Hotel Calton,” ujar Rehan, setelah aku menyuruh Rehan untuk memat-matai Vespa Butut beberapa hari ini. Aku ingin, Daisy segera tahu seperti apa laki-laki brengsek yang coba Daisy pertahankan selama ini. Aku mengernyit. Hotel Calton adalah hotel murahan yang dikenal sebagai tempat para laki-laki hidung belang yang kere. “Kau yakin?” Aku memastikan. “Aku yakin, Pak. Nomor kamarnya 202.” “Oke.” Aku memutuskan sambungan sepihak dan keluar dari ruangan. Daisy masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
“Daisy, tunggu … kau mau kemana?” Aku berusaha menarik lengan Daisy, saat perempuan itu ingin menyebrangi jalan dan menunggu di halte bus.“Aku mau pulang, Pak.” Daisy menarik tangannya dari sentuhanku.“Kita pulang bersama.”“Aku bisa pulang sendiri.”“Okey, aku minta maaf.” Akhirnya, aku mengakui kesalahanku.Daisy berhenti memberontak dan menghadapku. “Kenapa kau lakukan ini semua, Pak?”“Aku peduli padamu.”“Sejak kapan, kau peduli dengan karyawanmu? Bukankah, dari dulu kau selalu mengincar karyawan untuk kau ajak berkencan? Maaf Pak, aku tidak tertarik.”
Aku puas, karena akhirnya Tonny di penjara, dengan bukti-bukti yang kuat kalau dia memang menggelapkan dana kakakku.Tapi sepertinya, berbeda dengan Daisy. Dia tampak sangat murung selama bekerja.“Ehem ….” Aku berdehem sembaru berjalan menghampiri meja Daisy.Daisy langsung mendongak. Terlihat seperti kaget saat mengetahui keberadaanku ada di dekatnya.“Pak ….” “Ya. Apa yang membuatmu termenung?”“Aku ….” Daisy gagu. “Aku tidak menung. Aku hanya, sedang mengecek schedulemu.” Aku mencondongkan kepala ke arah monitor Daisy. Dan dia tidak membuka folder apapun di komputernya.“B
“Dreww!” Ah! Sial! Aku sudah hafal dengan pemilik suara tersebut. Aku mengambil bantal di sisi kiri dan menutup wajahku dengan bantal. Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu kamarku terbuka dengan cara di banting. “Drew! Kenapa kau tidak angkat teleponku?” Yap. Siapa lagi kalau bukan si menyebalkan. Alexa. “Astaga, Drew. Kau belum siap-siap?” Aku bisa membayangkan ekspresi Alexa begitu melihat kamarku yang sedang berantakan. “Drew!” Alexa menarik bantalku. “Ini sudah pukul dua siang. Dan kau masih tidur?” Alexa geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang. “Dasar pemalas.” “Apa mau mu sih, Alexa? Kenapa kau selalu menggangguku tidur?” “Temani aku ke pesta pernikahan Dean hari ini.” Aku mengucek mataku dan mema
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal
“Daisy?”Aku menatap wanita di hadapannya sekali lagi. Memperhatikan lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan seragam sama persis seperti yang digunakan oleh para pelanar yang duduk di lobby tadi.“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyaku untuk memastikan.Sepertinya, Daisy juga belum sadar dengan kehadiranku di depannya. Karena dia begitu terkejut.“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Drew?”“Aku meeting dengan klienku. Mereka pemilik perusahaan ini.”“Apa?” Daisy menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan bilang kalah kau—“ aku menggaruk alisku sejenak. “Kau melamar pekerjaan di sini?”Daisy diam sambil menundukkan kepalanya. Tanps perlu aku ketahui jawaban yang keluar dari mulut indah Diasy, aku sudah tahu jawabannya pasti “IYA”“Daisy….” Aku berusaha menelaah kata-kataku.“Sebentar, aku harus pergi ke toilet karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.” Daisy pergi menuju toilet wanita.Aku tidak pergi dari tempat ini, dan tetap ingin
"Kasih aku waktu untuk berpikir ulang. Paling tidak satu minggu,” ujar Daisy."Satu Minggu? Kau gila!" Tentu saja aku yang bisa gila nantinya."Lima hari.""Tidak, tiga hari. Aku hanya ingin menunggu waktumu tiga hari. Aku menerima keputusanmu, apapun itu. Tapi dengan syarat, jangan larang aku untuk menemuimu. Dan membuatmu kembali mencintaiku."***Tiga hari?Daisy meminta waktu selama tiga hari lagi untuk berpikir.Itu maksudnya apa? Apakah dia bisa saja menolakku sewaktu-waktu?Ah, aku tidak habis pikir dengan Daisy.Mengapa bisa dia membuatku jadi segila ini!“Permisi, Pak.”Sofie melongokan kepalanya di depan pintu ruangan kantorku.Kalian belum tahu, ya? Kalau aku mengganti sekretarisku lagi.Iya, kakinya jenjang seperti yang lain. kecuali Daisy. Cukup Daisy saja yang berkaki pendek, agar aku tetap bisa mengingat; kalau Daisy adalah sekretaris yang berhasil bikin aku jatuh cinta.Kalian bertanya-tanya dimana sekretarisku yang lama? Sarah? Dia sudah aku pecat karena membuat Alice
"Drew, maafkan aku sudah tidak mempercayaimu." Alexa menghampiriku ketika mereka semua keluar dari rumahku.Aku tidak ingin melihat Alice lagi di hidupku. Untuk itu, aku ingin Rehan membawa mereka jauh-jauh. Dan memberikan mereka sejumlah uang untuk hidup lebih layak. Aku begini, hanya karena kasian dengan Kezie."Sudah aku bilang, seharusnya kau mempercayaiku." Aku menyipitkan mata tajam pada si cerewet yang selalu saja memarahiku."Ibu juga minta maaf, karena menyalahkanmu telah menelantarkan Kezie. Ternyata, dia bukan darah dagingmu." Ibu memelukku, bersama dengan Ayah.Sedangkan Daisy sejak tadi, di sepanjang kejadian hanya diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apapun. Mungkin karena merasa bersalah telah menuduhku."Kau tidak minta maaf padaku?"Aku menyindirnya.Dia masih diam."Seharusnya kau minta maaf." Aku sindir kembali."Baiklah." Daisy menghela napas. "Aku minta maaf.""Minta maaf yang tulus, don