Aku melihat Angelina duduk di kursi Daisy ketika aku melangkah keluar dari lift. Angelina adalah sekretaris manager operasional di lantai lima.
“Pagi, Pak Drew.” Perempuan itu berdiri dan sedikit menunduk untuk menyapaku.
“Pagi,” jawabku ragu. Lalu menatap ke sekeliling. “Mana Daisy?”
“Hari ini Daisy nggak bisa hadir.” Angelina menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini surat sakitnya,” lanjut Angelina.
Aku mengernyit sambil membuka isi amplop tersebut. Ternyata isinya surat keterangan dari Dokter yang menyimpulkan kalau Daisy sakit lambung.
Aku menyimpan kembali surat Dokter tersebut di amplop. Aku menghela napas berat sebelum menatap Angelina. “Kau yang menggantikan Daisy?”
“Untuk sementara waktu, iya Pak.”
“Terus bosmu?”
“Pak Roy sedang dinas di luar kota.”
“Oh, baiklah.” Hanya itu responsku. Setelahnya, aku masuk ke dalam ruangan.
Aku duduk di kursi sembari menyandarkan punggung. Aku memutar kursiku dan menatap gedung-gedung pencakar langit dari jendela kaca. Kemudian aku mengambil ponsel dari saku celana dan mencoba untuk menghubungi Daisy.
Aku penasaran, mengapa dia tidak masuk kerja hari ini. Apakah dia membenciku karena kejadian kemarin?
Aku yakin Daisy tidak selemah itu, hanya karena kalimat sarkasme yang aku lontarkan padanya.
Lagian aku benar, apa hebatnya sih pacar Daisy? Tidak ada apa-apanya dibandingkan aku.
Ngomong-ngomong tentang teleponku, sial! Nomor Daisy tidak aktif. Hal itu membuatku jadi cemas.
Setiap menit yang aku lewati untuk bekerja hanya sia-sia. Aku jadi kepikiran tentang Daisy. Wajahnya terus terlintas di otakku.
Ah, aku tidak bisa diam di sini!
Aku kembali menyimpan ponsel di saku celana, dan beranjak dari kursi.
Baru saja aku membuka pintu ruanganku, si cerewet Alexa sudah muncul dengan suara melengking.
“Drew!”
“Aku sibuk.” Aku melewati tubuh Alexa. Tapi si cerewet menarik tanganku.
“Tunggu dulu, ini penting.”
“Ada apa sih? Kenapa kau selalu menggangguku?”
“Aku minta tolong agar kau mencari buronan ini,” kata Alexa to the point.
Aku mengerutkan dahi. “Buronan? Lapor saja ke polisi, kenapa lapor denganku?”
“Lambat!” Alexa menggerutu kesal. “Kau kan, punya mata-mata hebat. Aku percaya adikku ini bisa segalanya.” Lalu Alexa menampilkan raut wajah sedih agar aku kasihan padanya. “Tolonglah, laki-laki ini menipuku. Dia bilang, dia menjual tas branded yang aku incar sejak lama karena stock di sini sudah habis. Dan setelah aku transfer duitnya. Dia melarikan diri, Drew.” Alexa menangis di atas pundakku.
Aku berusaha mendorong kepalanya menjauh karena Angelina memperhatikanku. Si cerewet berhasil bikin aku malu!
“Aku sudah mencari tahu orangnya, dan aku menemukan wajah dia di cctv rumahku.”
“Darimana kau tahu, kalau itu orangnya?”
“Kami pernah bertemu sekali ketika dia menawarkan tas branded itu. Ternyata dia mengintai rumahku, Drew.” Alexa memegang tanganku. “Kalau Andreas tahu, matilah aku.”
“Kasih tahu sajalah suamimu.”
“Kau gila ya!”
“Bukan aku yang gila, tapi kau.”
Alexa semakin merengek di depanku. Dia menggoncang-goncang tubuhku sambil memohon. “Please, tolong aku. Hanya kau satu-satunya harapanku, Drew.”
“Huft, kau selalu bikin aku susah saja.” Aku memutar bola mata jengah. Si cerewet menyebalkan. Dia selalu seperti ini, setiap kali ada maunya.
“Mana coba, aku lihat wajah buronan kamu itu,” kataku.
Alexa buru-buru mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai membuka galery. Lalu dia memperlihatkan hasil jepretannya.
“Ini ….”
Aku mengernyit ketika memperhatikan wajah familier buronan yang tertangkap cctv di rumah Alexa. Aku coba menge-zoom fotonya sampai benar-benar yakin kalau tebakan aku tidak salah.
Laki-laki—yang kata Alexa—buronan, ternyata dia adalah si vespa butut, pacar Daisy. Luar biasa!
Rupa-rupanya, pacar Daisy ini penipu. Tapi ngomong-ngomong, apakah Daisy tahu kalau pacarnya seorang penipu?
“Kirim fotonya ke ponselku sekarang. Aku akan pergi mencari buronan yang kau bilang itu,” kataku sambil melangkah cepat melewati tubuh Alexa.
Aku menekan lift dan masuk ke dalam. “Angelina, kalau ada yang mencariku. Bilang saja aku sibuk. Dan, tolong batalkan semua janji temuku hari ini.” Aku menatap Angelina.
“Baik Pak,” jawab Angelina. Kemudian pintu lift tertutup.
***
Siang ini aku mengunjungi rumah Daisy. Tapi tidak ada seorang pun di dalam. Aku sudah mengetuk, sampai berteriak. Tetap saja tidak ada yang membukakan pintu untukku.
Para tetangga bilang, kalau mereka semua sudah pindah rumah. Dan tetangga juga tidak tahu, di mana alamat rumah baru Daisy dan kakaknya.
Ah, sialan! Aku mengumpat kesal setelah kembali masuk ke dalam mobil. Aku coba untuk menghubungi Daisy kembali, dan hasilnya nihil.
Aku menyandarkan kepala di stir kemudi sambil memikirkan sesuatu.
Bukankah ini aneh? Pertama, Kakak Daisy—Clara—datang ke kantorku dan marah-marah tentang Evans. Kedua, Daisy juga datang ke rumahku dan marah-marah tentang Evans. Ketiga, Daisy melamar pekerjaan di perusahaanku. Keempat, Alexa memakai jasa catering Clara. Seolah-olah Clara mencari cara agar masuk ke keluargaku yang lain. Dan keempat, si vespa butut, pacar Daisy telah menipu Alexa dan membawa kabur uangnya.
Ini masuk akal. Mereka semua berencana dan sengaja masuk ke dalam keluargaku karena keluargaku kaya raya. Dan setelah vespa butut berhasil mengambil keuntungan yang banyak dari Alexa, mereka semua langsung kabur.
Astaga, hal ini membuatku pusing. Atau jangan-jangan, Evans juga masuk ke dalam skenario mereka? Sialan!
Akhirnya hari ini, aku pulang dengan tangan kosong.
***
Aku berdiri di balkon kamarku sambil menatap langit yang tampak mendung malam ini. Bulan kesepian, tanpa ditemani oleh bintang-bingang. Aku menimbang-nimbang ponselku sambil menunggu kabar dari Rehan.
Rehan adalah kaki tanganku. Sudah hampir tiga tahun, dia bekerja denganku sebagai mata-mata. Biasanya, Rehan memata-matai klienku, agar aku tahu rencana apa yang akan klienku lakukan. Untuk kali ini, Rehan aku tugaskan untuk memata-matai si Vespa Butut dan juga Evans. Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan Evans. Dan rumah lamanya juga sudah tidak berpenghuni. Terakhir kali, aku dengar kabar Evans sekitar satu tahun lalu, saat Ayahnya meninggal dan ibunya pindah ke kota lain untuk menikah.
Bahkan, aku juga tidak tahu apa pekerjaan Evans sekarang. Yang aku tahu, Evans sering menggunakan namaku untuk menyamar di depan para wanita.
Lima menit kemudian, ponselku berdering. Dan Rehan menghubungiku.
"Bagaimana?" Tanyaku to the point setelah kami tersambung.
"Pak, aku sulit menemukan jejak Tonny. Tapi, aku berhasil menemukan Evans. Kabarnya, Evans sekarang bekerja sebagai montir si showroom dekat kontrakannya yang baru. Sekarang, Evans sedang minum-minum di bar sekitar sini," jelas Rehan panjang lebar.
"Dia mabuk?" Tanyaku.
"Nyaris."
"Kalau begitu, kau harus berusaha untuk menahannya. Segera kirim lokasinya, aku akan ke sana sekarang juga."
"Baik, Pak."
Sambungan terputus. Aku buru-buru mengambil jaket dari lemari dan kunci mobil di atas nakas. Aku langsung menuju mobil dan melaju mobilku dengan kecepatan tinggi menuju tempat Evans.
Selama di perjalanan, suara klakson mobilku terus berbunyi nyaring untuk menyingkirkan mobil-mobil yang menghalangi jalanku. Tidak sampai satu jam, aku sudah sampai di bar tempat Evans mabuk.
Aku memakirkan mobil di pelataran bar. Dan segera masuk ke dalam bar.
Evans sedang duduk di depan bartender sambil menegak gelas minumannya. Sesekali dia menghisap rokok, dan mengepulkan asap rokoknya ke udara.
"Evans!" Seruku.
Evans berhasil menoleh. Ketika Evans tahu, kalau aku ada di sana bersamanya. Evans langsung menyulut rokoknya di asbak dan beranjak dari kursi.
Evans sialan itu ingin berlari menjauh, tapi aku segera mengejar dan memukul wajahnya sampai dia tersungkur ke lantai.
"Dasar bajingan!" Aku menindih tubuh Evans, dan memukul laki-laki itu berulang kali.
“Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirny
“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans." Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu. “Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer. Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?” “Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat. “Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!" Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?" “Kau.” “Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.” “Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert
Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar
Seharian bekerja membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku butuh hiburan dan mangsa baru. Malam ini, aku pergi ke kelab malam sambil menikmati sebotol wiski. Aku duduk di depan bar, sesekali menatap ke lantai dansa dan mencari perempuan cantik yang bisa aku ajak tidur malam ini. “Hai ….” Salah seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Matanya agak sipit, bibirnya sedikit tebal, dan berbadan sexy. “Maukah kau berdansa denganku?” Perempuan itu menarik dasiku, sambil tersenyum centil. “Namamu?” Tanyaku. “Eva.” Eva berbisik di telingaku. “Aku bisa meluangkan waktu untukmu.” Aku memperhatikan tubuhnya lagi dari atas sampai ujung kaki. Aku menyukai kaki Eva yang jenjang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja sosok Daisy terlintas di otakku.
Ponselku berdering dan nama Rehan berkelap-kelip di layar. “Ya?” Sahutku setelah panggilan kami tersambung. “Pak, saya menemukan keberadaan Vespa Butut di Hotel Calton,” ujar Rehan, setelah aku menyuruh Rehan untuk memat-matai Vespa Butut beberapa hari ini. Aku ingin, Daisy segera tahu seperti apa laki-laki brengsek yang coba Daisy pertahankan selama ini. Aku mengernyit. Hotel Calton adalah hotel murahan yang dikenal sebagai tempat para laki-laki hidung belang yang kere. “Kau yakin?” Aku memastikan. “Aku yakin, Pak. Nomor kamarnya 202.” “Oke.” Aku memutuskan sambungan sepihak dan keluar dari ruangan. Daisy masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
“Daisy, tunggu … kau mau kemana?” Aku berusaha menarik lengan Daisy, saat perempuan itu ingin menyebrangi jalan dan menunggu di halte bus.“Aku mau pulang, Pak.” Daisy menarik tangannya dari sentuhanku.“Kita pulang bersama.”“Aku bisa pulang sendiri.”“Okey, aku minta maaf.” Akhirnya, aku mengakui kesalahanku.Daisy berhenti memberontak dan menghadapku. “Kenapa kau lakukan ini semua, Pak?”“Aku peduli padamu.”“Sejak kapan, kau peduli dengan karyawanmu? Bukankah, dari dulu kau selalu mengincar karyawan untuk kau ajak berkencan? Maaf Pak, aku tidak tertarik.”
Aku puas, karena akhirnya Tonny di penjara, dengan bukti-bukti yang kuat kalau dia memang menggelapkan dana kakakku.Tapi sepertinya, berbeda dengan Daisy. Dia tampak sangat murung selama bekerja.“Ehem ….” Aku berdehem sembaru berjalan menghampiri meja Daisy.Daisy langsung mendongak. Terlihat seperti kaget saat mengetahui keberadaanku ada di dekatnya.“Pak ….” “Ya. Apa yang membuatmu termenung?”“Aku ….” Daisy gagu. “Aku tidak menung. Aku hanya, sedang mengecek schedulemu.” Aku mencondongkan kepala ke arah monitor Daisy. Dan dia tidak membuka folder apapun di komputernya.“B
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal
“Daisy?”Aku menatap wanita di hadapannya sekali lagi. Memperhatikan lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan seragam sama persis seperti yang digunakan oleh para pelanar yang duduk di lobby tadi.“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyaku untuk memastikan.Sepertinya, Daisy juga belum sadar dengan kehadiranku di depannya. Karena dia begitu terkejut.“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Drew?”“Aku meeting dengan klienku. Mereka pemilik perusahaan ini.”“Apa?” Daisy menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan bilang kalah kau—“ aku menggaruk alisku sejenak. “Kau melamar pekerjaan di sini?”Daisy diam sambil menundukkan kepalanya. Tanps perlu aku ketahui jawaban yang keluar dari mulut indah Diasy, aku sudah tahu jawabannya pasti “IYA”“Daisy….” Aku berusaha menelaah kata-kataku.“Sebentar, aku harus pergi ke toilet karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.” Daisy pergi menuju toilet wanita.Aku tidak pergi dari tempat ini, dan tetap ingin
"Kasih aku waktu untuk berpikir ulang. Paling tidak satu minggu,” ujar Daisy."Satu Minggu? Kau gila!" Tentu saja aku yang bisa gila nantinya."Lima hari.""Tidak, tiga hari. Aku hanya ingin menunggu waktumu tiga hari. Aku menerima keputusanmu, apapun itu. Tapi dengan syarat, jangan larang aku untuk menemuimu. Dan membuatmu kembali mencintaiku."***Tiga hari?Daisy meminta waktu selama tiga hari lagi untuk berpikir.Itu maksudnya apa? Apakah dia bisa saja menolakku sewaktu-waktu?Ah, aku tidak habis pikir dengan Daisy.Mengapa bisa dia membuatku jadi segila ini!“Permisi, Pak.”Sofie melongokan kepalanya di depan pintu ruangan kantorku.Kalian belum tahu, ya? Kalau aku mengganti sekretarisku lagi.Iya, kakinya jenjang seperti yang lain. kecuali Daisy. Cukup Daisy saja yang berkaki pendek, agar aku tetap bisa mengingat; kalau Daisy adalah sekretaris yang berhasil bikin aku jatuh cinta.Kalian bertanya-tanya dimana sekretarisku yang lama? Sarah? Dia sudah aku pecat karena membuat Alice
"Drew, maafkan aku sudah tidak mempercayaimu." Alexa menghampiriku ketika mereka semua keluar dari rumahku.Aku tidak ingin melihat Alice lagi di hidupku. Untuk itu, aku ingin Rehan membawa mereka jauh-jauh. Dan memberikan mereka sejumlah uang untuk hidup lebih layak. Aku begini, hanya karena kasian dengan Kezie."Sudah aku bilang, seharusnya kau mempercayaiku." Aku menyipitkan mata tajam pada si cerewet yang selalu saja memarahiku."Ibu juga minta maaf, karena menyalahkanmu telah menelantarkan Kezie. Ternyata, dia bukan darah dagingmu." Ibu memelukku, bersama dengan Ayah.Sedangkan Daisy sejak tadi, di sepanjang kejadian hanya diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apapun. Mungkin karena merasa bersalah telah menuduhku."Kau tidak minta maaf padaku?"Aku menyindirnya.Dia masih diam."Seharusnya kau minta maaf." Aku sindir kembali."Baiklah." Daisy menghela napas. "Aku minta maaf.""Minta maaf yang tulus, don