“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans."
Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu.
“Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer.
Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?”
“Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat.
“Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!"
Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?"
“Kau.”
“Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.”
“Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
“Ooh. Tidak perlu, nanti akan sembuh sendiri,” jawab Daisy enteng, sambil melanjutkan pekerjaannya lagi.
“Ini perintah, Daisy. Kau tidak boleh membantahku,” kataku. Lalu kembali masuk ke dalam ruangan.
Bahkan, sebelum Daisy sempat membantah lagi.
***
Pukul lima sore, akhirnya pekerjaan aku dan Daisy selesai. Kami keluar gedung bersama menuju basement.
Aku mengerutkan kening, ketika Daisy membuka pintu belakang mobilku.
“Daisy, kau sedang apa?”
Daisy menatapku dan menutup pintu mobil kembali. “Maaf, aku pikir, aku boleh masuk.”
“Yah, boleh. Tapi kau duduk di depan, bukan di belakang.”
“Ng … aku di belakang saja, Pak,” ujar Daisy tidak enak hati.
“Kau anggap aku ini supirmu?”
“Ha?”
“Iya, aku supirmu. Dan kau nyonya yang duduk di belakang? Begitu?”
Daisy tercengang. “Sorry,” lalu duduk di depan bersamaku.
Aku menatap Daisy lagi—yang duduk diam tanpa mengenakan seatbelt-nya. Aku menghela napas, lalu mendekatkan diri ke arahnya. Daisy terperanjat, lalu refleks menamparku.
“Aw!” Aku meringis. Entah, untuk yang keberapa kali.
“Apa yang kau lakukan?”
“Kau belum pasang seatbelt!” Bentakku.
Daisy terperanjat kaget.
“Kau memang hobby menampar orang lain ya?”
“Ma-maaf.”
Aku segera memakaikan sabuk pengaman untuk Daisy. Kemudian, mobil kami melesak meninggalkan basement gedung perusahaan.
Lagu maroon five terus berkoar di stereo mobilku. Sedangkan aku dan Daisy saling diam, terpaku memandang jalanan di depan.
“Bagaimana pacarmu?” Aku memulai percakapan.
Daisy menoleh ke arahku. “Ha?”
“Pacarmu,” kataku lagi.
“Ooh ….” Daisy memandang ke depan. “Aku tidak tahu. Dia tidak ada kabarnya lagi.”
“Kau yakin? Ng … maksudku, kau tidak berusaha untuk menyembunyikan dia kan?”
“Tidak!” Daisy berseru. “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan dia.”
“Yasudah, kenapa kau marah-marah.”
Daisy mendengus kesal. “Lagipula, aku kan sudah janji akan melunasi uang kakakmu.”
“Berapa sih hutang ayahmu dengan Vespa Butut itu?” Tanyaku.
“25.000 USD,” jawab Daisy.
“Berarti hutangmu sudah lunas. Jadi, kau tidak perlu lagi bergantung padanya. Aplagi, menikah dengan si Vespa Butut.”
Daisy hanya diam tidak menanggapi.
“Kau masih mencintai Vespa Butut?” Aku bertanya lagi. Karena diam Daisy membuatku ambigu. Sebenarnya, bagaimana perasaan Daisy dengan Vespa Butut itu?
Daisy menggeleng pelan. “Aku cuma takut, tidak ada lelaki yang akan melindungiku lagi."
“Memangnya, vespa butut melindungimu?”
Daisy mengangguk. “Setidaknya, dia selalu melindungiku, setiap kali ada laki-laki jahat yang menggangguku. Aku sudah terbiasa hidup dengan Tonny.”
“Daisy, masih banyak laki-laki yang lebih layak bersanding denganmu. Dibandingkan si Vespa Butut bodoh itu.”
Setelah mamakan waktu setengah jam, akhirnya kami sampai di salah satu rumah sakit langgananku. Aku membawa Daisy untuk bertemu Dokter—yang biasa menangani keluargaku—setiap kali mereka sakit.
Dokter Gideon memeriksa kondisi luka memar yang ada di tubuh Daisy. Wanita itu sempat meringis berkali-kali setiap kali Dokter Gideon memeriksa keadaannya.
“Lukanya tidak terlalu serius,” kata Dokter Gideon sambil menuliskan resep. “Aku akan memberiksan obat untuk penghilang rasa sakit dan nyeri, ya,” lanjut Dokter Gideon lagi.
Lalu Dokter Gideon menatapku. “Pacar barumu?” Ngomong-ngomong, Dokter Gideon hanya dua tahun lebih tua dariku. Dia duda anak satu. Kami cukup akrab dan sering kumpul bersama setiap kali ada acara penting.
“Dia sekretarisku,” jawabku.
“Oke, kau bisa tebus obatnya di apotek.” Dokter Gideon memberikan selembar resep padaku.
Kemudian kami pamit dan kembali melanjutkan perjalanan, setelah berhasil menebus obat di apotek.
“Dia sudah punya pacar?” Tiba-tiba Daisy bertanya, ketika kami dalam perjalanan.
“Siapa?”
“Dokter Gideon.”
Aku menatap Daisy sepintas sambil menyipitkan mata tajam. “Dia duda. Kenapa?”
Daisy menggeleng sambil senyum-senyum sendiri. “Dia tampan juga.”
“Dasar gila,” ledekku. Kembali fokus pada jalanan di depan.
“Kau sebut aku apa tadi?” Sepertinya Daisy tidak terima.
“Gila. Wanita gila.” Aku memperjelas kalimatku.
“Kenapa kau sebut aku gila? Aku hanya mengaguminya.”
“Yup. Kau bukan seleranya. Jadi jangan bermimpi.”
Daisy mendengus kesal. Ia melipat tangan di dada dan kembali menatap lurus ke depan.
***
Aku tidak memberitahu Evans, kalau aku dan Daisy akan datang mengunjunginya. Rehan bilang, kalau Evans sedang ada di showroom tempat dia bekerja. Jadi, kami langsung menuju ke sana.
“Evans ….” Aku melihat Evans sedang memperbaiki sesuatu di kolong mobil.
Evans langsung keluar dari kolong mobil, dan kaget saat melihat kehadiranku.
“Drew?” Evans mengambil kain untuk membersihkan tangannya. “Sedang apa kau di sini?”
“Perkenalkan, ini Daisy.” Aku menunjuk Daisy. “Dia adiknya Kareen.”
“Shit!” Evans mengumpat. Lalu melempar kainnya ke lantai dan berlari.
Mengetahui hal itu, Daisy langsung mengambil kunci inggris di lantai dan mengejar Evans.
“Mau kemana kau, laki-laki bajingan!”
Evans masuk ke dalam ruangan officenya dan mengunci pintu. Sedangkan Daisy, terus memukul pintu dengan kunci inggris, sambil berteriak.
“Keluar kau, sekarang juga! Atau, aku akan membunuhmu, Evans! Kau sudah membuat kakakku hamil.”
Teriakan Daisy, mampu membuat rekan kerja Evans keluar dari ruangan mereka masing-masing. Dan para pelanggan, ikut menonton aksi Daisy.
“Keluar kau, Evans! Aku akan menghancurkan pintu ini, jika kau tidak keluar!” Teriak Daisy lagi penuh emosi.
Salah seorang laki-laki—yang aku tebak adalah manager dari showroom ini, datang menghampiri Daisy.
“Permisi, Bu, apa yang sedang terjadi?” Tanya lelaki itu dengan lembut. Sepertinya, dia juga takut dengan Daisy. Aku hanya tertawa memperhatikan mereka semua, sambil melipat tangan di dada. Ini pertunjukan yang menarik, bukan?
“Laki-laki bajingan yang ada di dalam, sudah menghamili kakaku. Aku hanya minta pertanggung jawabannya saja! Dia sengaja kabur dari kami!” Ujar Daisy marah-marah.
Lelaki itu pun mengetuk pintu Evans. “Evans, jika kau tidak keluar. Kau akan dipecat.”
“Pak, tolong bilang sama wanita itu, untuk tidak membunuhku.” Teriak Evans dari dalam dengan suara bergetar.
“Kau akan mati, jika kau tidak keluar!” Maki Daisy.
Akhirnya Evans membuka pintunya. Daisy hendak melayangkan kunci inggris ke kepala Evans, tapi aku segera menahan tangannya.
“Lepaskan aku, Drew. Bajingan ini harus mati!” Seru Daisy sarkastis.
“Tolong aku, Pak.” Evans berdiri di balik punggung bosnya.
“Kita bicarakan hal ini baik-baik, Daisy,” kataku. Lalu menatap Pak Manager. “Boleh kami meminjam ruangan ini sebentar untuk bicara?”
Pak Manager langsung mengangguk. “Silakan, silakan.”
Aku langsung menarik Evans dan Daisy ke dalam ruangan. Aku membuat mereka duduk terpisah, agar Daisy tidak terlalu brutal.
“Kenapa kau kabur?!” Daisy langsung memulai percakapannya dengan mata menyipit tajam.
“Aku ….” Evans tampak gemetaran. “Aku, belum siap menjadi Ayah.”
“Tapi, kau harus bertanggung jawab!”Teriak Daisy.
“Aku … aku tidak tahu harus bagaimana. Aku dan Kareen tidak mungkin bersatu.”
“Kenapa tidak mungkin?”
“Karena aku tidak mencintai Kareen.”
“Sialan!” Daisy beranjak dari kursi dan hendak melompat ke arah Evans. Lalu mencabik-cabik lelaki itu. Tapi, sebelum hal itu terjadi. Aku segera menarik Daisy, dan membawanya kembali duduk.
“Tenang, Daisy…,” sahutku.
“Kau minta aku untuk tenang? Aku tidak bisa!” Bentak Daisy padaku. Lantas Daisy kembali menatap Evans. “Aku tidak peduli, apa alasanmu. Aku hanya ingin kau bertanggung jawab, Evans! Kau harus menafkahi kakakku dan juga anak di dalam kandungannya!”
Evans diam. Dia menatapku dengan nelangsa. Aku hanya mengangkat bahu.
“Kareen tidak tahu, kalau sebenarnya aku ini orang miskin,” kata Evans putus asa.
“Sekarang dia sudah tahu. Dia tahu, kalau selama ini, kau menggunakan identitas Drew. Tapi bagaimanapun juga, kau yang sudah menghamili Kareen. Bukan Drew.”
“Yup!” Aku ikut menyambung.
“Oke baiklah. Tapi, beri aku waktu untuk mempersiapkan semuanya. Termasuk secara financial dan juga mental. Secepatnya, aku akan menikahi Kareen,” jelas Evans.
“Apa jaminanmu?”
“Apa jaminanku! Kau sudah tahu semuanya tentangku, kan? Kau bisa mencariku di mana saja. Apalagi, Drew ada di pihakmu sekarang.”
“Aku butuh Kartu identitasmu.” Daisy mengulurkan tangan.
Evans mengeluarkan kartu identitasnya dari dompet. Lalu memberikannya pada Daisy.
“Oke?” Tanya Evans memastikan, ketika Daisy memeriksa kartu identitas Evans.
“Aku butuh surat pernyataan di atas matrai. Dan Drew sebagai saksinya. Jika kau berbohong, siap-siap kau akan masuk penjara. Aku punya pengacara untuk mengangkat kasusmu.” Daisy mengancam. Berhasil membuat Evans takut.
Evans pun tampak pasrah. Dia hanya mengangguk. “Baik, baik. Aku setuju.”
Setelah itu, Daisy mulai membuat surat pernyataan yang di tandatangani di atas matrai. Lalu, Daisy juga meminta nomor ponsel Evans, jika sewaktu-waktu Evans diajak untuk menemui Kareen.
Setelah semua proses yang bikin heboh selesai. Aku dan Daisy kembali menuju mobil.
“Kau punya pengacara?” Tanyaku, mengingat ancaman Daisy kepada Evans. Seolah-olah, Daisy punya segalanya untuk membuat Evans K.O
“Tidak,” jawab Daisy singkat.
“Lalu, pengacara yang kau bilang tadi pada Evans?”
“Aku kan, punya kau sebagai jaminan.”
“Aku?” Aku menunjuk diriku sendiri.
“Yup!” Daisy mengangguk mantap. “Kau adalah sepupunya Evans. Sekarang, kau ada di pihakku. Jadi, jika suatu hari nanti Evans kabur. Kau yang akan menyediakan pengacara untukku.”
“Apa?”
Yukkk bantu dukung karyaku. Jangan lupa vote dan comment yah!
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert
Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar
Seharian bekerja membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku butuh hiburan dan mangsa baru. Malam ini, aku pergi ke kelab malam sambil menikmati sebotol wiski. Aku duduk di depan bar, sesekali menatap ke lantai dansa dan mencari perempuan cantik yang bisa aku ajak tidur malam ini. “Hai ….” Salah seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Matanya agak sipit, bibirnya sedikit tebal, dan berbadan sexy. “Maukah kau berdansa denganku?” Perempuan itu menarik dasiku, sambil tersenyum centil. “Namamu?” Tanyaku. “Eva.” Eva berbisik di telingaku. “Aku bisa meluangkan waktu untukmu.” Aku memperhatikan tubuhnya lagi dari atas sampai ujung kaki. Aku menyukai kaki Eva yang jenjang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja sosok Daisy terlintas di otakku.
Ponselku berdering dan nama Rehan berkelap-kelip di layar. “Ya?” Sahutku setelah panggilan kami tersambung. “Pak, saya menemukan keberadaan Vespa Butut di Hotel Calton,” ujar Rehan, setelah aku menyuruh Rehan untuk memat-matai Vespa Butut beberapa hari ini. Aku ingin, Daisy segera tahu seperti apa laki-laki brengsek yang coba Daisy pertahankan selama ini. Aku mengernyit. Hotel Calton adalah hotel murahan yang dikenal sebagai tempat para laki-laki hidung belang yang kere. “Kau yakin?” Aku memastikan. “Aku yakin, Pak. Nomor kamarnya 202.” “Oke.” Aku memutuskan sambungan sepihak dan keluar dari ruangan. Daisy masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
“Daisy, tunggu … kau mau kemana?” Aku berusaha menarik lengan Daisy, saat perempuan itu ingin menyebrangi jalan dan menunggu di halte bus.“Aku mau pulang, Pak.” Daisy menarik tangannya dari sentuhanku.“Kita pulang bersama.”“Aku bisa pulang sendiri.”“Okey, aku minta maaf.” Akhirnya, aku mengakui kesalahanku.Daisy berhenti memberontak dan menghadapku. “Kenapa kau lakukan ini semua, Pak?”“Aku peduli padamu.”“Sejak kapan, kau peduli dengan karyawanmu? Bukankah, dari dulu kau selalu mengincar karyawan untuk kau ajak berkencan? Maaf Pak, aku tidak tertarik.”
Aku puas, karena akhirnya Tonny di penjara, dengan bukti-bukti yang kuat kalau dia memang menggelapkan dana kakakku.Tapi sepertinya, berbeda dengan Daisy. Dia tampak sangat murung selama bekerja.“Ehem ….” Aku berdehem sembaru berjalan menghampiri meja Daisy.Daisy langsung mendongak. Terlihat seperti kaget saat mengetahui keberadaanku ada di dekatnya.“Pak ….” “Ya. Apa yang membuatmu termenung?”“Aku ….” Daisy gagu. “Aku tidak menung. Aku hanya, sedang mengecek schedulemu.” Aku mencondongkan kepala ke arah monitor Daisy. Dan dia tidak membuka folder apapun di komputernya.“B
“Dreww!” Ah! Sial! Aku sudah hafal dengan pemilik suara tersebut. Aku mengambil bantal di sisi kiri dan menutup wajahku dengan bantal. Tak lama kemudian, aku mendengar suara pintu kamarku terbuka dengan cara di banting. “Drew! Kenapa kau tidak angkat teleponku?” Yap. Siapa lagi kalau bukan si menyebalkan. Alexa. “Astaga, Drew. Kau belum siap-siap?” Aku bisa membayangkan ekspresi Alexa begitu melihat kamarku yang sedang berantakan. “Drew!” Alexa menarik bantalku. “Ini sudah pukul dua siang. Dan kau masih tidur?” Alexa geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang. “Dasar pemalas.” “Apa mau mu sih, Alexa? Kenapa kau selalu menggangguku tidur?” “Temani aku ke pesta pernikahan Dean hari ini.” Aku mengucek mataku dan mema
Aku berdiri di ambang pintu ruanganku, bersedekap, sambil memperhatikan Daisy dari jauh. Pertemuan mengejutkan dengan Daisy yang pergi ke pesta bersama Gideon membuatku curiga. Sebenarnya, mereka ada hubungan apa, sih?Ponselku berdering nyaring. Membuat kepala Daisy mendongak dan mencari si pemilik handphone. Lalu, mata kami berserobok. Daisy agak terkejut saat melihat keberadaanku. Aku segera mengambil ponsel dari saku celana dan masuk ke dalam ruangan sambil menerima panggilan telepon.“Apa?” Sahutku setelah terhubung dengan panggilan Alexa.“Kau ini, tidak pernah sopan dengan kakakmu!” Alexa menggerutu di seberang sana.“Iya. Kenapa?” Aku merubah intonasi menjadi lebih lembut. Lalu, berjalan menuju kursiku dan duduk bersandar di sana.
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal
“Daisy?”Aku menatap wanita di hadapannya sekali lagi. Memperhatikan lekat-lekat dari atas kepala hingga ujung kaki. Dia menggunakan seragam sama persis seperti yang digunakan oleh para pelanar yang duduk di lobby tadi.“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanyaku untuk memastikan.Sepertinya, Daisy juga belum sadar dengan kehadiranku di depannya. Karena dia begitu terkejut.“Seharusnya aku yang bertanya. Apa yang kau lakukan di sini, Drew?”“Aku meeting dengan klienku. Mereka pemilik perusahaan ini.”“Apa?” Daisy menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan bilang kalah kau—“ aku menggaruk alisku sejenak. “Kau melamar pekerjaan di sini?”Daisy diam sambil menundukkan kepalanya. Tanps perlu aku ketahui jawaban yang keluar dari mulut indah Diasy, aku sudah tahu jawabannya pasti “IYA”“Daisy….” Aku berusaha menelaah kata-kataku.“Sebentar, aku harus pergi ke toilet karena sudah tidak tahan untuk buang air kecil.” Daisy pergi menuju toilet wanita.Aku tidak pergi dari tempat ini, dan tetap ingin
"Kasih aku waktu untuk berpikir ulang. Paling tidak satu minggu,” ujar Daisy."Satu Minggu? Kau gila!" Tentu saja aku yang bisa gila nantinya."Lima hari.""Tidak, tiga hari. Aku hanya ingin menunggu waktumu tiga hari. Aku menerima keputusanmu, apapun itu. Tapi dengan syarat, jangan larang aku untuk menemuimu. Dan membuatmu kembali mencintaiku."***Tiga hari?Daisy meminta waktu selama tiga hari lagi untuk berpikir.Itu maksudnya apa? Apakah dia bisa saja menolakku sewaktu-waktu?Ah, aku tidak habis pikir dengan Daisy.Mengapa bisa dia membuatku jadi segila ini!“Permisi, Pak.”Sofie melongokan kepalanya di depan pintu ruangan kantorku.Kalian belum tahu, ya? Kalau aku mengganti sekretarisku lagi.Iya, kakinya jenjang seperti yang lain. kecuali Daisy. Cukup Daisy saja yang berkaki pendek, agar aku tetap bisa mengingat; kalau Daisy adalah sekretaris yang berhasil bikin aku jatuh cinta.Kalian bertanya-tanya dimana sekretarisku yang lama? Sarah? Dia sudah aku pecat karena membuat Alice
"Drew, maafkan aku sudah tidak mempercayaimu." Alexa menghampiriku ketika mereka semua keluar dari rumahku.Aku tidak ingin melihat Alice lagi di hidupku. Untuk itu, aku ingin Rehan membawa mereka jauh-jauh. Dan memberikan mereka sejumlah uang untuk hidup lebih layak. Aku begini, hanya karena kasian dengan Kezie."Sudah aku bilang, seharusnya kau mempercayaiku." Aku menyipitkan mata tajam pada si cerewet yang selalu saja memarahiku."Ibu juga minta maaf, karena menyalahkanmu telah menelantarkan Kezie. Ternyata, dia bukan darah dagingmu." Ibu memelukku, bersama dengan Ayah.Sedangkan Daisy sejak tadi, di sepanjang kejadian hanya diam seribu bahasa. Dia tidak bisa berkata apapun. Mungkin karena merasa bersalah telah menuduhku."Kau tidak minta maaf padaku?"Aku menyindirnya.Dia masih diam."Seharusnya kau minta maaf." Aku sindir kembali."Baiklah." Daisy menghela napas. "Aku minta maaf.""Minta maaf yang tulus, don