Debora terduduk di sudut kamar, tidak sanggup melihat peperangan panas Gerald dengan gadis panggilannya. Debora berusaha menutup mata dan telinganya, namun suara mereka yang saling berteriak merasuk di telinga luarnya, menyalurkan gelombang ke gendang telinga dan berubah menjadi getaran untuk masuk ke dalam telinga bagian dalam. Getarannya terespon juga oleh saraf matanya hingga membentuk bayangan-bayangan erotis yang seolah nyata, meski dia sudah menutup mata dan menyembunyikan kepalanya menunduk di sela tubuh dan kedua lututnya.
Tubuhnya bergetar, karena siksaan mental yang Gerald berikan begitu terasa menyakitkan dari pada siksaan fisik yang bisa segera diobati. Terbayangkan bagaimana seorang wanita normal dalam artian tidak memiliki ganguan mental, suka atau kecanduan dengan pornografi, dipaksa melihat adegan seksual secara langsung. Ada rasa jijik, takut dan marah yang menjadi satu.
Debora yang terisak sampai tidak menyadari
Dalam pesta, Debora tidak dapat menolak saat diajak bersulang dengan anggur merah oleh pasangan Kang setelah makan malam. Meski sudah dilarang oleh Gerald, saat Debora mengacungkan gelas kedua, Debora tetap meminumnya, dengan alasan menghormati tuan rumah dan menunjukkan kegembiraannya.Karena tidak biasa minum, setelah menghabiskan dua gelas Debora merasa pusing. Debora tidak mampu berdiri tegak, sendirian. Gerald yang tidak pernah meninggalkan Debora, membawa Debora untuk keluar dari ruangan menuju ke dek bagian atas dari kapal mewah itu, sebuah kolam renang kecil, melengkapi kemewahan kapal mewah itu. Gerald membawa Debora duduk di pinggir dek, di samping kolam. Menikmati malam yang cerah dari tengah laut menuju Singapura.“Kapal ini bergerak ke mana Tuan?” tanya Debora saat menatap ke depan mereka, pemandangan kota Singapura.“Singapura. Sebentar lagi kita sampai di Marina,” jawab Gerald tanpa m
Debora sudah terlelap dalam selimutnya, saat Gerald masuk ke kamar. Gerald mengusap kepala Debora, dan memandangnya dengan iba.“Lelaki seperti itu yang membuatmu jatuh cinta,” ucap lirih Gerald kemudian menghela nafas panjang. Gerald sudah mengetahui, rahasia terbesar Dokter Irfan.Gerald kemudian berbaring di samping Debora, setelah berganti kaos dan celana piyama berbahan sutera. Dengan tenang, Gerald tidur dan tanpa mengganggu Debora lagi. Gerald biarkan Debora bermimpi indah sebelum gadis itu tahu siapa kekasihnya yang sebenarnya.“Letha, izinkan aku merawat anak kita. Aku berjanji, akan menyanyanginya sepenuh hati,” seru Gerald dalam tidurnya hingga membuat Debora terbangun. Jam di ponselnya masih menunjukkan pukul tiga pagi. Sebutir air mata lolos dari mata Gerald yang terpejam. Gumaman yang tidak jelas, Gerald ucapkan dengan raut muka sedih. Debora tidak dapat mendengarnya dengan jelas kata-kata yang diucapk
Dua jam setelah prosesi pernikahan, Gerald langsung membawa Debora terbang ke Jepang. Legalitas pernikahan dan restu kedua orang tua sudah di tangan, meski dokumen pernikahan belum tercetak. Gerald sudah memiliki Debora sepenuhnya, tapi tidak dengan hati Debora, yang masih mencintai Dokter Irfan. Gerald pun tahu itu, namun bukan menjadi masalah besar baginya, karena Debora dalam keadaan sadar menandatangani perjanjian pernikahan mereka.“Lihatlah, kanal berita online sudah memeberitakan pernikahan kita, kamu sudah memulai rencana balas dendam kamu,” kata Gerald menunjukkaan situs berita online dari ponsel pintarnya.Debora menatap layar ponsel Gerald, bersamaan juga dengan masuknya notifikasi pesan dari beberapa akun media sosial miliknya yang banjir ucapan selamat dari teman-temannya disertai potongan gambarnya melakukan prosesi pernikahan. Orang-orang yang penasaran dengan Debora, ramai-ramai mengikuti akun sosial media Debora.
Debora dan Gerald sudah sampai di Tokyo, sore hari. Mereka langsung menuju ke rumah orang tua Letha.“Tuan, sebaiknya bawa buah tangan kalau mau menemui orang tua,” kata Debora setelah melihat Gerald tidak membawa apapun untuk menemui orang tua Letha.“Ada hadiah untuk ayah Letha dalam koper Thomas,” jawab Gerald singkat.“Hmm, lebih baik, tambah lagi Tuan. Buah atau kue untuk putri Tuan. Anak kecil akan mudah bersimpatik dengan seseorang yang perhatian padanya,” jelas Debora lagi.Gerald nampak berpikir dan menoleh pada Debora.“Ginny anaknya girly atau tomboy Tuan?”Gerald bingung menjawabnya, Gerald kemudian menunjukkan foto-foto Ginny yang dia simpan di ponselnya. Debora melihat foto-foto Ginny mengulum senyum. Putri kesayangan Gerlad begitu menggemaskan, dan terlihat sangat feminism, dengan rambut panjang dan barang-bara
Keesokan paginya, di jam berangkat sekolah Ginny, Gerald sudah sampai di depan rumah keluarga Letha. Dengan alasan mengantar pakaian ganti untuk Debora, Gerald berhasil masuk lagi dalam rumah. Ginny sudah siap dengan seragam putih berdasi biru dan rok biru, sebuah jas dengan bordir logo dan nama sekolah menghias di dada kiri, menghangatkan Ginny. Senyum manis mengembang di wajah imut Ginny saat melihat Gerald datang dari pantulan kaca. Debora sedang mengepang rambut Ginny di depan kaca dalam kamar Ginny.“Mami, Daddy sudah datang,” kata Ginny dengan ceria. Bagaikan oase di padang tandus yang menyejukkan hati Gerald, mendengar kata daddy dari mulut Ginny. “Masuk Daddy, rambut Ginny sedang di kepang lucu.”Gerald tersenyum dan melangkahkan kaki, masuk dalam kamar Ginny. Kamar yang sangat sederhana, hanya ada satu kasur ukuran nomor dua, sebuah lemari dan sebuah meja belajar yang berfungsi menjadi menjadi meja rias juga.
Satu minggu berlalu, Gerald harus kembali ke rutinitasnya sebagai pemilik perusahaan yang bernama sama dengan nama putrinya Genobe. Entah dulu, apa Letha sengaja memberi nama putrinya dengan nama yang merupakan singkatan nama Gerald, agar suatu saat Gerald menyadari Ginny adalah anaknya.Selama satu minggu dia sudah menghabiskan hari-harinya bersama Ginny, dari siang sampai malam, bahkan dua malam kemarin, Ginny menginap di hotel bersama dirinya dan Debora, karena Ginny tidak mau berpisah dengan Debora.“Debora,” panggil Gerald saat mereka sudah tiba di hotel lagi, setelah mengantar Ginny yang telah seharian di hotel bersama mereka sejak pulang sekolah. Gerald mendekati Debora yang sedang menghapus riasannya di depan meja rias, dan duduk di ujung ranjang menatap Debora dari pantulan kaca.Mereka sudah memakai piyama masing-masing, karena malam sudah sangat larut, dan besok pagi mereka harus kembali ke Jakarta.Debor
Derit pintu pun terbuka, Ginny sudah memotong rambutnya sendiri. Semua orang terkejut melihat keadaan Ginny, gunting masih ada di tangan kanannya. Debora segera memeluk Ginny, dan meminta maaf.Ginny melepaskan guntingnya dan membalas pelukan Debora dengan erat.“Maafkan mami dan daddy yang tidak paham keinginan kamu cantik. Mami janji sama Ginny, akan selalu bersama Ginny,” kata Debora dengan spontan, Debora tidak sadar akan efeknya di kemudian hari untuk dirinya dan Ginny.“Mami janji ya, tidak akan meninggalkan Ginny. Ginny sayang Mami,” kata Ginny kemudian menangis lagi. Gerald berjongkok dan mendekati Debora dan Ginny, tangan kokohnya memeluk mereka berdua dalam satu rengkuhan. Gerald ikut hancur melihat kondisi psikis anaknya yang tidak bisa di duga. Kalau sampai terlambat, bisa saja Ginny melukai dirinya sendiri.“Daddy minta maaf ya Sweet heart,&rdq
“Ini namanya gaya apa mami?” tanya Ginny, saat Debora mengeringkan rambutnya dan membutnya bervolume.“Layer pendek, Cantik. Nanti kalau teman-teman tanya itu namanya ya. Ginny bisa cari di laman pencarian, namanya gaya rambut ini ‘layer pendek’, suka enggak?”“Suka Mami, beda,” jawab Ginny menggeleng-gelengkan kepala. Menengok rambutnya. Debora kemudian memakaikan penjepit rambut kupu-kupu yang biasa dia pakai, jika dia menggerai rambutnya.“Sudah siap? Daddy antar Ginny dulu, baru daddy ke hotel dan kembali ke Jakarta,” kata Gerald yang sudah selesai mandi.Ginny mengangguk dan tersenyum dengan manisnya. Keceriaannya kembali lagi, menenangkan hati Gerald yang akan kembali bekerja.Tepat pukul tujuh, Gerald mengantar Ginny ke sekolahnya bersama Debora. Sekolah di mulai pukul delapan tiga puluh. Gerald meminta Debo
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U
Meski Debora yakin Gerald akan mengizinkan dirinya menerima tamu di rumah, apalagi jika orang-orang yang selalu baik dengan dirinya juga sang ibu. Namun, demi melegakan sang ibu, yang tetap merasa tidak enak hati pada Gerald, hanya karena rumah itumilik Gerald, Debora pun menelepon Gerald. “Belum ada satu jam aku pergi, kamu sudah meneleponku, kangen ya, Babe?” tanya Gerald dengan wajah sumringah keluar dari mobilnya, menerima panggilan telepon Debora. Debora tersenyum mengakui, dirinya memang sudah merindukan Gerald, terlepas dari dirinya yang ingin memberi kabar akan mengundang tetangga kontrakannya ke rumah. “Pasti lagi tersenyum sekarang ya,” kata Gerald menggoda Debora dengan hembusan nafas Debora yang terdengar oleh Gerald. Gerald sudah sangat hafal apapun tentang Debora. “Ada apa Babe?” “Aku mau minta izin Gee,” jawab Debora sambil tersenyum senang. “Untuk?” tanya Gerald sambil terus melangkah memasuki lobby gedung kantornya. “T
Gerald tidak dapat menyangkal lagi jika hatinya telah terpaut pada Debora, dia rela memberikan seluruh jiwa dan raganya pada wanita yang telah mengandung anaknya itu. Gerald begitu memanjakan Debora, membuat Debora terkadang geli sendiri. Perlakuan Ginny pada Debora pun seolah tidak mau kalah dengan daddy-nya. Seolah mereka sedang berlomba untuk menyenangkan hati Debora. “Kalian ini, jangan manjakan aku seperti ini Gee. Nanti aku jadi pemalas. Tidak kamu, tidak Ginny. Ibu juga sama saja,” protes Debora saat Gerald melayani semua kebutuhannya. Bahkan satu minggu pertama sejak Debora di rumah, Gerald semakin sering di rumah dari pada ke kantor. Gerald dengan setia menemani Debora. Menggendong Debora saat waktunya mandi, dan menjadi tugas Ginny untuk menyisir rambut Debora. “Aku tahu kamu bukan pemalas, aku manjakan kamu, karena aku sayang kamu dan anak kita,” jawab Gerald dengan senyum. “Ginny juga sudah tidak sabar ingin lihat adiknya ‘kan. Jadi
Gerald tak melepaskan pandangannya dari Debora sejak aktivitas panas mereka di kamar mandi. Dia berada di dekat Debora dengan sabarnya. “Gee, geli deh, dengan sikap kamu yang seperti ini,” kata Debora merasa risih teus di perhatikan oleh Gerald dengan pandangan mesum.“Aku ‘kan kangen kamu,” jawab Gerald dengan senyum menyimpan sejuta keinginan.“Tadi ‘kan sudah puas. Berapa kali coba, hah!” tanya Debora heran. “Ini dipasang lagi ‘kan gara-gara kamu, yang tidak bisa kontrol barang kamu,” imbuh Debora sambil memegang selang oksigennya. Debora merasa sesak, karena jantungnya yang bekerja terlalu berat dengan aktifitas gila yang Gerald lakukan padanya tanpa henti, selama satu jam di kamar mandi.“Maaf,” jawab Gerald dengan senyum dan mencium tangan Debora.Kondisi Debora yang baru sadar dari koma di paksa untuk melayani nafsu Gerald yang Debora kira hanya sebent