Tokyo
Hari-hari Debora bersama Ginny dan orang tua Letha, membuat Debora merasa benar-benar menjadi ibu seutuhnya, juga perhatian orang tua yang lengkap. Pasangan Subono memperlakukan Debora dengan sangat baik, bahkan menganggap Debora sebagai anak mereka, karena pembawaan Debora yang santun dan berbudi pekerti baik.
Waktu dua minggu menjadi masa-masa penilaian untuk keluarga Subono terhadap Debora, apa Debora benar-benar bisa di percaya untuk menjadi ibu bagi Ginny, yang tidak lahir dari rahimnya. Keluarga Subono khawatir jika mereka menyerahkan Ginny pada Gerald dan Debora, Ginny akan menderita, dan takutnya Ginny akan mendapat penyiksaan dari istri Gerald.
Namun, kekhawatiran mereka menjadi berlebihan setelah mengenal keseharian Debora yang tulus pada Ginny. Sebagai ibu, Debora tidak segan mengingatkan Ginny dan memarahi Ginny jika Ginny salah.
Seperti tadi pagi, Debora mendapat laporan sensei Hikaru, jika Ginny memukul teman sekelasnya. Meski teman se
JakartaGerald dan Debora sudah sampai di Jakarta, di malam hari. Ginny tertidur di pangkuan Debora, saat dalam perjalanan dari bandara ke rumah Gerald. Gerald menggendong Ginny menuju ke kamar Ginny, yang sudah Gerald siapkan sebelumnya.“Nona kecil imut sekali Mas,” seru bik War saat membukakan pintu Gerald. “Nyonya, selamat datang,” sapa Bik War pada Debora yang berjalan di belakang Gerald dengan membawa tas punggung Ginny.“Malam Bik, maaf menganggu istirahatnya,” jawab Debora dengan senyum manisnya, meski wajahnya terlihat lelah, Debora masih manis.“Mau di siapkan makan malam Mas, Nyonya?”“Kami sudah makan Bik, terima kasih,” jawab Gerald sambil berjalan menaiki tangga. Debora pun mengikuti Gerald. Kamar yang dulu sempat di tempati Debora saat menginap semalam di rumah Gerald sudah berubah menjadi kamar untuk Ginny. Dekorasinya sudah bergant
Debora sudah di mal terbesar dan terlengkap di Jakarta, dengan di antar pak Yanto dan didampingi istrinya Arum. Ginny begitu bersemangat memilih pakaian saat berada di stan khusus pakaian anak-anak dan remaja.“Mami, uang daddy nanti habis enggak, kalau Ginny ingin beli pita rambut dan mainan juga?” tanya Ginny dengan polosnya, saat mereka di kasir membayar belanjaan miliknya yang sudah satu trolly penuh.Tiga orang dewasa yang menemaninya belanja hanya tersenyum saja melihat kepolosan Ginny. Apalagi mereka tahu, kekayaan Gerald tidak akan habis kalau hanya untuk belanja kebutuhan Ginny.“Kita lihat dulu belanjaan Ginny nanti apa, yang jelas beli yang diperlukan saja ya sayang,” jawab Debora menggantung, tidak melarang juga mengizinkan.“Mbak, saya antar ini ke mobil dulu ya,” kata Yanto dengan lima kantong belanjaan, berpamitan pada Debora.&l
Debora menuju ke kantornya untuk menjemput Anita, sebelum pergi ke apartemen yang ditempati Vera.Debora tidak masuk dalam kantornya menghindari banyak pertanyaan dari teman-temannya, apalagi dia juga membawa Ginny. Mereka menunggu di depan kantor di dalam mobil. Tak lama setelah dihubungi Anita pun nampak berlari keluar dari kantor.“Hai, mimpi apa aku semalam bisa naik mobil mewah begini,” seru Anita yang biasa ceplas-ceplos begitu pak Yanto membuka pintu mobil di depan.“Biasa saja kali Say, semua mobil sama,” jawab Debora cuek. Ginny yang semula berbaring dengan kepala di pangkuan Debora terbangun karena suara lantangnya Anita.“Ada gadis cantik. Hai, boleh kenalan cantik?” Anita membungkuk ke belakang dan mengulurkan tangannya pada Ginny yang duduk di samping Debora.Anita mengucapkan namanya dan Ginny pun menjawab dengan ramah. “Kakak senang deh berkenalan den
Debora harus memenuhi panggilan Kepolisian mengenai kasus Deviana, Debora tidak bisa mangkir lagi untuk memberi kesaksian yang akan memberatkan Deviana di pengadilan nanti. Bersama Thomas dan pengacara Gerald Debora datang ke kantor Polisi.Debora di minta untuk menceritakan bagaimana dia mengenal Deviana, dan kenapa dirinya sampai mendapat pekerjaan dari Deviana.Awalnya Debora nampak takut, namun pengacara Gerald meyakinkan semua akan dia tangani dengan baik. Debora pun menceritakan Deviana sebagai teman kuliahnya dan alasab Debora menemui Deviana setelah lama tidak bertemu adalah, ingin mencari uang untuk biaya pengobatan ibunya. Debora pun mengakui bahwa dirinya tergiur dengan imbalan besar dan cepat.Pertanyaan pun beralih pada kasus pemukulan pada bule partner Deviana. Debora ketakutan, tangannya bergetar, lidahnya pun seolah kelu, membuat Debora lama menjawab. Dan akhirnya sang pengacara mewakili Debora menjawab, dengan alasan, Debora masih tr
Gerald mengajak Debora pulang, sampai dirinya tidak kembali lagi ke kantor. Gerald tahu betul rasanya patah hati, mengingatkan dirinya saat Letha di miliki orang lain.Gerald meminta Debora untuk beristirahat, sedang dirinya akan bermain dengan Ginny.Melihat Debora pulang, Ginny terus lengket pada Debora, Gerald melihat Debora terpaksa tersenyum, Gerald kemudian mengajak Ginny untuk ke rumah kedua orang tuanya, dengan alasan mereka ingin bertemu dan sudah kangen dengan Ginny setelah pertemuan mereka yang sebentar kemarin.Begitu Gerald dan Ginny pergi, Debora masuk dalam kamar, dia berendam dengan air hangat. Debora memanjakan dirinya selama satu jam. Aroma coklat yang sengaja Debora letakkann di samping bath up, membuatnya rileks. Rasa capeknya pun hilang dengan hangatnya air yang menyentuh kulitnya.Merasa baikan, Debora ke dapur dan memasak untuk makan malam, setelah sebelumnya bertanya Gerald akan pulang atau tidak.Gerald dan Ginny pulang tep
Gerald masih bercanda dengan Ginny di samping rumah setelah sarapan. Meski Thomas sudah menunggunya untuk memimpin rapat para direksi, Gerald tidak perduli.Sampai pukul sepuluh, Gerald belum juga ada tanda-tanda untuk menyudahi permainan gamenya bersama Ginny sambil tertawa-tawa. Thomas pun meminta bantuan Debora, untuk mengingatkan bahwa rapat itu penting.“Sayang, sudah dulu mainnya, daddy harus kerja. Sudah siang, daddy juga sudah di tunggu banyak orang,” kata Debora mendekati anak dan bapak yang guling-guling di atas karpet di pinggir taman.Ginny dan Gerald kompak membelitkan mata pada Debora, karena sudah di ganggu. Debora pun tak mau kalah dia pura-pura sedih dan sesegukan.“Ok, kalau tidak ada yang mau beranjak dari sini. Mami pergi,” kata Debora berbalik.“Mami … jangan pergi!” seru Ginny kemudian mengejar Debora yang sudah berjalan dua langkah. “Daddy, cepat berangkat, nanti terlamba
Fatmasari merasa marah dengan keangkuhan Gerald, apalagi Debora juga tidak memberinya muka sedetik pun. Belum pernah dirinya diperlakukan seperti pengemis, dirinya selalu mendapatkan yang dia inginkan.Manda pura-pura menangis, dirinya merasa kalah dari Debora. Manda pun meminta uang pada Fatmasari untuk mempercantik diriya lagi, menurut Manda Gerald suka dengan Debora karena warna kulit Debora yang eksotis, jarang wanita sekarang memilikinya. Banyak wanita yang ingin kulitnya putih, namun Debora tetap mempertahankan kulit khas orang Indonesia yang sedikit kecoklatan.Fatmasari merasa pusing dengan permintaan anak kesayangannya. Dia pun mengajak Manda ke rumah kakeknya. Mencoba membujuk kakek Manda, agar membantu Manda. Karena rencana awal mereka gagal.“Kok ke rumah kakek sih, Ma. Kita ke salon saja Ma. Manda tidak mau kalah dengan Debora.” Manda berteriak-teriak di dalam mobil membuat Fatma tambah pusing.Begitu sampai di rumah sang kakek, M
Saat Gerald sedang di kantor, Debora yang sedang makan di sebuah restoran bersama Bertha, mama Gerald dan juga Ginny, tanpa sengaja bertemu Dokter Irfan di toilet. Debora belum siap untuk bertemu dengan Dokter Irfan yang ternyata lebih brengsek dari Gerald, di balik kelembutan dan sikapnya yang penuh perhatian.“Bora! Dengerin aku dulu,” panggil Dokter Irfan pada Debora yang ingin kembali ke restoran namun di halangi oleh Dokter Irfan di depan toilet.“Maaf, Fan. Aku enggak mau ketemu kamu,” jawab Debora mencoba melepaskan cekalan tangan Dokter Irfan di lengannya. “Lepaskan Fan, anak dan mertua ku menunggu!” seru Debora kesal.“Tidak aku tidak akan melepaskan kamu, sebelum kamu mau dengar penjelasanku,” jawab Dokter Irfan menarik Debora ke sebuah sudut di antara toilet dan bagian restoran.“Tidak Fan, jangan paksa aku! Sakit!” seru Debora ingin menangis.Dokter Irfan menggeleng. &ldq
“Lepas, Fatma.” Dengan kasarnya Bachtiar melepaskan tangan Fatmasari dari lengannya. Tubuh Fatmasari terdorong dan membentur dinding tangga.Bachtiar tidak mempedulikan Fatmasari, dengan langkah cepat dia mengejar Debora yang sudah keluar dari restoran. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan lagi, jika dia ketinggalan.“tunggu, Nak. Papa masih mau bicara!” seru Bachtiar tergopoh – gopoh.Debora masuk dalam mobil, begitupun Pancawati. Mereka sudah tidak sabar lagi untuk pergi dari restoran itu.“Papa untuk apa mengejar mereka? Papa mau tinggal dengan mereka?” seru Manda penuh amarah.“Iya, Papa mau tinggal dengan mereka,” jawab Bactiar dengan keras sambil terus berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Mobil Gerald telah berjalan meninggalkan restoran, tidak mungkin lagi baginya untuk mengejar dengan kakinya.“Papa memang tidak pernah Sayang dengan Manda,” seru M
Bachtiar merasa begitu senang mendapat kesempatan untuk mendekati Debora dan Pancwati lagi. Dia tahu jika keputusan Debora sangat berpengaruh pada kebaikan Gerald dan Pancawati. Untuk itu Bactiar akan membujuk Debora untuk memberinya kesempatan memperbaiki diri menjadi ayah yang baik untuk Debora.‘Kalau Debby bisa menerimaku lagi, Gerald pasti tidak akan segan lagi untuk memberiku kekayaan. Wati saja sekarang begitu cantik dan terawat,’ gumam Bachtiar dalam hati, ‘hmm …, dia juga sudag memekai perhiasan mahal sekarang, artinya dia sudah hidup enak dalam perlindungan Gerald,’ batin Bachtiar lagi dengan menyeringai dan membayangkan akan hidup enak, dan lebih terhormat lagi bersama Pancawati sebagai mertua dari seorang Gerald.“Mau ke mana lagi Babe?” tanya Gerald menuntun Debora yang kembali masuk ke restoran.“Masuk lagi Gee, biar cepat selesai. Aku sudah malas bertemu dengan orang itu dan keluarganya. Seola
Debora masih khawatir dengan Pancawati, meski sang Ibu sudah nampak di depan matanya. Debora tidak ingin sang Ibu terpedaya dengan ucapan Bachtiar.“Gee, kita duduk di sana aja yuk!” ajak Debora pada Gerald menunjuk sebuah bangku kosong yang tak jauh dari Pancawati dan Bachtiar berada.“Jangan Babe, kita di sini saja, kalau terjadi sesuatu yang membahayakan Ibu, baru kita mendekat,” jawab Gerald memaksa Debora untuk duduk di meja yang di pilih Gerald, “tenang saja, enggak akan terjadi apapun pada Ibu,” kata Gerald lagi menenangkan Debora yang masih khawatir.Baru sebentar Gerald dan Debora duduk, dari ujung restoran terdengar teriakan Pancawati yang marah pada Bachtiar.Semua pengunjung restoran ikut menoleh pada meja sepasang pria dan wanita yang sudah tak lagi muda itu.Pancawati terlihat mengancam Bachtiar, bahkan tangan Pancawati pun selalu menepis tangan Bachtiar yang akan menyentuh tangannya.Debora
Debora tidak menemukan ibunya di rumah. Seluruh sudut rumah Gerald sudah dia hampiri, namun belum juga menemukan Pancawati.“Mami, cari siapa?” teriak Ginny dari balkon kamarnya saat melihat Debora keluar dari taman samping rumah.“Lihat nenek, engak sayang?” jawab Debora sekaligus bertanya balik pada Ginny tentang keberadaan Pancawati.“Tadi Ginny lihat Nenek naik taxi Mi, pergi sendirian,” jawab Ginny dengan polosnya.Debora segera masuk ke rumah, mendengar jawaban Ginny. Ruang tengah menjadi tujuannya untuk mencari ponselnya yang seingat dirinya dia letakkan di atas meja untuk di tambah daya, di samping televisi.Debora menelepon Pancawati dengan rasa khawatir, tidak biasanya sang ibu pergi tanpa pamit padanya. Pesan pun tidak di tinggalkan oleh Pancawati di ponselnya.“Ada apa Babe? Gelisah banget, sampai enggak dengar aku jalan,” tanya Gerald mengecup kepala Debora yang berdiri di pinggir
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U
Meski Debora yakin Gerald akan mengizinkan dirinya menerima tamu di rumah, apalagi jika orang-orang yang selalu baik dengan dirinya juga sang ibu. Namun, demi melegakan sang ibu, yang tetap merasa tidak enak hati pada Gerald, hanya karena rumah itumilik Gerald, Debora pun menelepon Gerald. “Belum ada satu jam aku pergi, kamu sudah meneleponku, kangen ya, Babe?” tanya Gerald dengan wajah sumringah keluar dari mobilnya, menerima panggilan telepon Debora. Debora tersenyum mengakui, dirinya memang sudah merindukan Gerald, terlepas dari dirinya yang ingin memberi kabar akan mengundang tetangga kontrakannya ke rumah. “Pasti lagi tersenyum sekarang ya,” kata Gerald menggoda Debora dengan hembusan nafas Debora yang terdengar oleh Gerald. Gerald sudah sangat hafal apapun tentang Debora. “Ada apa Babe?” “Aku mau minta izin Gee,” jawab Debora sambil tersenyum senang. “Untuk?” tanya Gerald sambil terus melangkah memasuki lobby gedung kantornya. “T
Gerald tidak dapat menyangkal lagi jika hatinya telah terpaut pada Debora, dia rela memberikan seluruh jiwa dan raganya pada wanita yang telah mengandung anaknya itu. Gerald begitu memanjakan Debora, membuat Debora terkadang geli sendiri. Perlakuan Ginny pada Debora pun seolah tidak mau kalah dengan daddy-nya. Seolah mereka sedang berlomba untuk menyenangkan hati Debora. “Kalian ini, jangan manjakan aku seperti ini Gee. Nanti aku jadi pemalas. Tidak kamu, tidak Ginny. Ibu juga sama saja,” protes Debora saat Gerald melayani semua kebutuhannya. Bahkan satu minggu pertama sejak Debora di rumah, Gerald semakin sering di rumah dari pada ke kantor. Gerald dengan setia menemani Debora. Menggendong Debora saat waktunya mandi, dan menjadi tugas Ginny untuk menyisir rambut Debora. “Aku tahu kamu bukan pemalas, aku manjakan kamu, karena aku sayang kamu dan anak kita,” jawab Gerald dengan senyum. “Ginny juga sudah tidak sabar ingin lihat adiknya ‘kan. Jadi
Gerald tak melepaskan pandangannya dari Debora sejak aktivitas panas mereka di kamar mandi. Dia berada di dekat Debora dengan sabarnya. “Gee, geli deh, dengan sikap kamu yang seperti ini,” kata Debora merasa risih teus di perhatikan oleh Gerald dengan pandangan mesum.“Aku ‘kan kangen kamu,” jawab Gerald dengan senyum menyimpan sejuta keinginan.“Tadi ‘kan sudah puas. Berapa kali coba, hah!” tanya Debora heran. “Ini dipasang lagi ‘kan gara-gara kamu, yang tidak bisa kontrol barang kamu,” imbuh Debora sambil memegang selang oksigennya. Debora merasa sesak, karena jantungnya yang bekerja terlalu berat dengan aktifitas gila yang Gerald lakukan padanya tanpa henti, selama satu jam di kamar mandi.“Maaf,” jawab Gerald dengan senyum dan mencium tangan Debora.Kondisi Debora yang baru sadar dari koma di paksa untuk melayani nafsu Gerald yang Debora kira hanya sebent