Kami kembali ke Jakarta. Setelah lebih dari seminggu berpetualang, stok baju bersih mulai menghilang ditambah dengan rejeki nomplok yang kami ketemukan di candi Sukuh, sepertinya kembali ke Jakarta adalah suatu keharusan. Aku tidak mungkin melanjutkan petualangan dengan sekotak berlian yang bernilai ratusan juta itu di ransel punggungku. Ok, memang Mr. Airlangga yang selalu membawa ransel itu di punggungnya tetapi tetap tidak nyaman menenteng sekotak berlian itu ke mana-mana.
Mr. Airlangga menurut saja ketika aku mengusulkan ide pulang, dia langsung membikin rencana untuk menonton marathon DVD Iron man. Karena sekarang kita adalah… e hem, couple, maka aku akan merelakan koleksi Iron manku di jajah. Iya kita sudah resmi couple, bahkan sebelum sesi adegan 21++ itu kita sudah menjadi couple, tidak terkatakan tetapi sudah resmi. Apalagi ditambah kalimat romantis noveltisnya ‘kamu sudah mengambil seluruh hatiku’, yang sukses membikin aku tidur
“Pacar?” mulut Inge dan Arini melongo lebar, membuat lalat akan bebas keluar masuk tanpa hambatan. Untung café ini bersih dari lalat.Aku memberi tahu mereka dengan gaya kasual dan ‘it is not a big deal’, bahwa sekarang aku berpacaran dengan Mr. Airlangga. Sengaja aku sensor informasi tentang kolaborasi adegan panas kami, walaupun biasanya aku tidak pernah menyembunyikan rahasia apapun terhadap dua sahabat setiaku ini. Aku khawatir kalau informasi tentang kegiatan ‘panas’ kami sampai ketelinga dua perempuan lucu ini, mereka akan terkapar pingsan, ujung-ujungnya aku harus membawa mereka berdua ke rumah sakit.“Gue pikir loe nggak gitu serius sewaktu mengenalkan tuh cowok ke kita, kenapa sekarang mak jleb langsung pacaran?” Wajah Inge tampak lebih syok dibanding Arini.“Gimana lagi, gue jatuh cinta sama dia.” Kataku kasual, sambil menyeruput americano yang masih panas dari cangkirnya.
Aku menatap Mr. Airlangga yang sedang terpaku menatap risetnya. Beberapa buku yang dia beli dari toko buku tempo hari berserakan di meja dan sofa. Saat ini pandangannya terpaku ke arah laptop yang duduk dengan manis di pangkuannya. Mungkin dia memang perlu bantuan Mas Rio yang seorang IT freak, siapa tahu lebih gampang mendapatkan apapun yang sedang dia cari.Aku meletakkan secangkir kopi panas di meja, wajah Pangeranku ini tampak sangat lelah.“Terimakasih Lusia,” dia mendongak sebentar ke arahku sebelum pandangannya kembali tekun ke arah laptop.Aku meneliti buku-buku yang terbuka dan berserakan di sekelilingnya, tanganku terulur untuk mengambil salah satu buku yang tergeletak di atas meja.“Jangan ditutup, aku sedang butuh halaman itu!” sergahnya cepat, aku langsung menarik tangan, mengurungkan niatku untuk mengambil buku tersebut.“Sudah berhasil mendapatkan petunjuk berikutnya?”“Mungkin, aku ma
Dari kejauhan aku mengamati Mr. Airlangga yang sedang berenang. Entah sudah berapa lap dia lalui, tetapi sepertinya dia belum menunjukkan tanda untuk berhenti. Ketika menyentuh ujung tembok kolam renang, dia berbalik lagi, menggerakkan kedua tangan dan kakinya bak atlit renang andalan. Dia tidak tahu isi pembicaraanku dengan Mas Rio, bahwa Mas Rio mendengar kita sedang melakukan adegan 21++. Ini adalah rahasiaku dengan Mas Rio, biarkan dia fokus memecahkan teka-tekinya. Aku baru saja kembali dari mengunjungi papa dan mama, Mas Rio bolak-balik mengingatkan supaya aku segera pulang. “Mama sudah ngenes kangen kamu Lus,” begitu beberapa bunyi pesannya. Memang semenjak kehadiran Mr. Airlangga, aku belum pernah menjenguk kedua orang tuaku. Hari-hariku terlalu sibuk, sibuk ikut membantu memecahkan misteri dan juga sibuk dengan sang Pangeran. Hari ini akhirnya aku pulang juga, disamping sudah sangat kangen dengan sayur asem buatan mama. Pastinya mama senang b
Aku membentangkan tas pinggang handyman dengan sangat bangga. Di dalamnya dengan rapi terisi satu tang kecil untuk memotong apapun itu nanti, pisau lipat warna hijau, sebenarnya aku kepengin mencari warna pink tetapi apa daya disamping berbagai pilihan warna orange yang sangat standard Bob the builder itu, warna hijau adalah satu-satunya pilihan. Aku memasukkan beberapa paper clip kertas berukuran besar, di film-film itu mereka biasa membuka kunci dengan sebuah paper clip jadi tentu saja aku masukkan ini ke dalam tas, bagaimana cara kerjanya, aku tidak tahu. Dua buah lampu senter, satu untukku berwarna pink dan untuk Mr. Airlangga berwarna hitam. Beberapa bentuk obeng, plester berwana hitam just in case dan kunci inggris kecil. Aku tidak tahu persis ini bisa digunakan untuk apa, tapi karena menurutku bentuknya lucu aku langsung menaruhnya di keranjang belanjaan tadi.Mr. Airlangga memandangi tas lipat itu sambil mengerutkan kening, “untuk apa
Aku mengulurkan ponselku ke arah Mr. Airlangga, dengan tidak sabar dia meminta untuk meminjam ponsel itu setibanya kami di apartemen. Dia memandangi benda pipih dan pintar tersebut termangu-mangu, mau tidak mau aku terkikik melihatnya.“Begini Mas caranya,” kataku menekan salah satu tombol kecil untuk menyalakan benda pintar tersebut.Dia masih tidak tahu harus berbuat apa, lagi-lagi aku dibuat terkekeh. Sebagai orang yang hidup di jaman serba pintar, pemandangan ini cukup lucu.“Kamu masuk ke gallery, lalu … there!” kataku, menyerahkan ponsel yang layarnya sekarang berisi foto-foto hasil jepretan kitab Pararaton.Dia memandangi tulisan di dalam foto yang berukuran tidak terlalu besar tersebut, aku menghela napas, memang sulit berhadapan dengan makhluk dari peradapan ratusan tahun yang lalu.“May I?” Tanganku menengadah meminta ponselku kembali, dengan wajah kebingungan dia mengembalikan benda pipih itu ke
Mas Boy sangat bersemangat ketika tahu bahwa Mr. Airlangga membutuhkan bantuannya. Wajahnya berbinar ketika membuka pintu dan menemukan kami berdua berdiri di luar apartemennya. Tanpa berpikir panjang dia langsung meninggalkan apapun yang dia kerjakan dan setuju mengikuti kami ke apartemenku. Tentu saja setelah aku menepati janji menandatangani bukan dua atau tiga, tetapi semua novelku yang pernah terbit. Iya, dia punya semuanya, dari awal sampai akhir. Aku sempat curiga bahwa dia ini adalah seorang stalker yang tinggal di apartemen ini karena membuntuti aku. Tetapi kemudian aku tersadar bahwa aku tidak seterkenal itu untuk mempunyai seorang stalker.Dia tidak menaruh curiga sedikitpun kepada kami. Ok, mungkin tidak terhadapku yang bertubuh mungil ini dan e hem … ternyata cukup terkenal, tetapi dengan Mr. Airlangga? Aku yakin dengan sekali dekap Mr. Airlangga akan berhasil membuat si Mas Boy ini terkulai lemas, pingsan. Tetapi si Mas Boy mengikuti kam
Kami mengamati bangunan candi Songgoriti dari kejauhan, tidak seperti dua candi sebelumnya yang sudah kami kunjungi, candi Songgoriti terlihat … well, kecil.Tumpukan batu alam yang membentuk bangunan candi tersebut sudah tidak utuh lagi, dari bentuknya mungkin hanya setengah dari bentuk bangunan original yang masih tersisa. Aku mengerutkan alis tidak yakin apa yang bisa kami temukan di tempat ini.“Kamu yakin dengan tempat ini?” bisikku ke Airlangga.“E hem.” Responnya pendek, matanya masih tetap memandang ke arah reruntuhan candi yang tidak terlalu besar itu. “Kamu siap?” lanjutnya.Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya berjalan ke arah candi.Suasana sangat sepi, tidak ada satupun orang terlihat berada di sekitaran sini. Mengingat minat orang Indonesia lebih suka ke mall dari pada mengunjungi tempat bersejarah, apalagi candi ini bukan apa-apa kalau di bandingkan Borobudur atau Prambanan.Kami
“Jadi ini candinya?” aku setengah berbisik ke arah airlangga. Kami berdua sekarang berdiri di hadapan candi Kidal, candi yang diangun sebagai bentuk penghormatan untuk Prabu Anusapati. Tidak seperti candi Songgoriti yang tidak lagi utuh, candi Kidal masih berdiri dengan agung dan kokoh. Bangunan candi yang tidak terlalu besar ini tampak berdiri indah dan berwibawa, masih menampakkan keagungan era dahulu. Pelataran candi tampak tertata rapi, menambah kecantikan tempat ini.“Jadi kamu suka mengunjungi tempat ini?” lanjutku lagi.Airlangga menoleh ke arahku tersenyum, “tentu saja.”“Bagaimana suasana tempat ini di jaman kamu?” tanyaku penasaran, aku melihat sekeliling, candi ini terdapat di sekitaran pemukiman warga dan sangat tertata rapi.“Bagain itu belum ada di jamanku,” dia menunjuk ke beberapa rumah penduduk di sekitar candi. “Tempat ini adalah sakral, tidak diperbolehkan ada pemukiman d
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d
“What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli
Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai
Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den