Mas Boy sangat bersemangat ketika tahu bahwa Mr. Airlangga membutuhkan bantuannya. Wajahnya berbinar ketika membuka pintu dan menemukan kami berdua berdiri di luar apartemennya. Tanpa berpikir panjang dia langsung meninggalkan apapun yang dia kerjakan dan setuju mengikuti kami ke apartemenku. Tentu saja setelah aku menepati janji menandatangani bukan dua atau tiga, tetapi semua novelku yang pernah terbit. Iya, dia punya semuanya, dari awal sampai akhir. Aku sempat curiga bahwa dia ini adalah seorang stalker yang tinggal di apartemen ini karena membuntuti aku. Tetapi kemudian aku tersadar bahwa aku tidak seterkenal itu untuk mempunyai seorang stalker.
Dia tidak menaruh curiga sedikitpun kepada kami. Ok, mungkin tidak terhadapku yang bertubuh mungil ini dan e hem … ternyata cukup terkenal, tetapi dengan Mr. Airlangga? Aku yakin dengan sekali dekap Mr. Airlangga akan berhasil membuat si Mas Boy ini terkulai lemas, pingsan. Tetapi si Mas Boy mengikuti kam
Kami mengamati bangunan candi Songgoriti dari kejauhan, tidak seperti dua candi sebelumnya yang sudah kami kunjungi, candi Songgoriti terlihat … well, kecil.Tumpukan batu alam yang membentuk bangunan candi tersebut sudah tidak utuh lagi, dari bentuknya mungkin hanya setengah dari bentuk bangunan original yang masih tersisa. Aku mengerutkan alis tidak yakin apa yang bisa kami temukan di tempat ini.“Kamu yakin dengan tempat ini?” bisikku ke Airlangga.“E hem.” Responnya pendek, matanya masih tetap memandang ke arah reruntuhan candi yang tidak terlalu besar itu. “Kamu siap?” lanjutnya.Aku mengangguk lalu mengikuti langkahnya berjalan ke arah candi.Suasana sangat sepi, tidak ada satupun orang terlihat berada di sekitaran sini. Mengingat minat orang Indonesia lebih suka ke mall dari pada mengunjungi tempat bersejarah, apalagi candi ini bukan apa-apa kalau di bandingkan Borobudur atau Prambanan.Kami
“Jadi ini candinya?” aku setengah berbisik ke arah airlangga. Kami berdua sekarang berdiri di hadapan candi Kidal, candi yang diangun sebagai bentuk penghormatan untuk Prabu Anusapati. Tidak seperti candi Songgoriti yang tidak lagi utuh, candi Kidal masih berdiri dengan agung dan kokoh. Bangunan candi yang tidak terlalu besar ini tampak berdiri indah dan berwibawa, masih menampakkan keagungan era dahulu. Pelataran candi tampak tertata rapi, menambah kecantikan tempat ini.“Jadi kamu suka mengunjungi tempat ini?” lanjutku lagi.Airlangga menoleh ke arahku tersenyum, “tentu saja.”“Bagaimana suasana tempat ini di jaman kamu?” tanyaku penasaran, aku melihat sekeliling, candi ini terdapat di sekitaran pemukiman warga dan sangat tertata rapi.“Bagain itu belum ada di jamanku,” dia menunjuk ke beberapa rumah penduduk di sekitar candi. “Tempat ini adalah sakral, tidak diperbolehkan ada pemukiman d
Aku sedang berada di padang rumput hijau dan sangat luas, Airlangga bersamaku. Tentu saja, dia selalu bersama denganku selama lebih dari satu bulan terakhir. Tidak ada hari yang aku lewatkan tanpa melihat senyum menawan dari wajahnya.Aku meletakkan kepala di atas pahanya, dengan lembut dia mengusap puncak kepalaku. Dunia milik kami berdua, perbedaan ratusan tahun itu tidak ada artinya. Tidak ada artinya ketika kami melewatinya berdua.Ada sesuatu yang hangat dari dalam tubuhku, energi hangat yang membuatku sangat bahagia. Membuat kami berdua bahagia. Airlangga tersenyum, senyum yang akan bisa membuatku melawan badai kehidupan. Tidak ada yang tidak mungkin dengan dia berada di sisiku.Tubuhku terguncang-guncang, sengatan lembut yang hangat menerpa wajahku. Aku menyukai sengatan hangat ini. Lagi-lagi tubuhku terguncang, lebih kencang dari sebelumnnya. Airlangga menghilang, dia tidak ada lagi di sini. Kepalaku tidak lagi terbaring di atas kedua pahanya yang kekar,
Termangu aku berdiri di depan pintu kamar hotel Airlangga, seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk membukanya. Keberanian untuk menghadapi bahwa kamar itu akan kosong, tidak berpenghuni. Walaupun tahu bodoh, di dalam hati aku terus mengemukakan penolakan demi penolakan, memberi alasan kepada diri sendiri bahwa Airlangga hanya pergi sebentar dan dia akan segera kembali. Atau mungkin saat ini dia sedang berada di kamarnya, berjibaku dengan laptop dan buku-buku seperti biasanya, dan akan memberikan senyum lebar begitu dia melihatku.Aku mengeluarkan kartu kunci elektronik dari dalam tas, dengan ragu-ragu menempelkannya ke kunci pintu. Suara klik elektronik yang menandakan kunci terbuka membuatku terlunjak, memegang gagang pintu, aku menghela napas berat sebelum mendorongnya terbuka.Kamar Airlangga tampak rapi, petugas hotel pasti sudah merapikannya tadi pagi. Tempat tidur yang berbalut seperei putih tampak halus tanpa kerutan. Kaus putih yang kemarin dia pakai tampa
Aku berdiri termenung begitu memasuki apartemen yang aku tinggalkan selama beberapa hari.Sepi.Apakah memang biasa tempat ini sesunyi ini? Buku-buku pinjaman dari Mas Boy masih tersusun rapi di sudut meja kerjaku, juga beberapa buku yang dibeli Airlangga. Semuanya masih ada di sini, hanya dia yang tidak ada.Aku berjalan memasuki kamar tidur, meninggalkan dua koper kecil yang aku bawa kembali dari Malang di depan pintu. Tidak berminat untuk membukanya, atau mungkin tidak akan pernah ingin membukanya.Merebahkan diri di atas tempat tidur yang pernah menjadi saksi kebersamaanku dengan Airlangga, aroma tubuhnya masih tertinggal di sini, di seperei, di bantal, bahkan mungkin di seluruh ruangan ini. Aku tidak akan pernah bisa melupakannya.Mataku terpejam, mengenang kembali saat-saat ini di sini, pertemuan pertama kami di tengah hujan deras di jalan tol Bandung, pertama kali aku menyadari betapa menawannya senyum Airlangga, persatuan pertama kali kami.
Mas Rio tidak pernah meninggalkan aku, dia tidur di sofa depan sementara aku meringkuk di dalam kamar yang menurut definisinya sudah berbau apek. Beberapa kali dengan gerakan sangat pelan, seperti slow motion di the Matrix dia mendorong pintu kamarku, mungkin untuk memastikan bahwa aku masih bernapas.Setelah berhari-hari didera tangisan, aku insomnia. Memejamkan mata mendadak menjadi hal yang sangat sulit dilakukan, mataku tetap terbuka, walaupun pikiranku mengelana ke mana-mana, menjelajah setiap detail kebersamaanku dengan Airlangga. I miss him so bad. Sebelum ini aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang.Aku melirik jam digital kecil di meja nakas, sudah jam tiga pagi dan aku belum tidur sedetikpun. Turun dari tempat tidur aku berjalan ke arah ruangan kecil yang aku pergunakan sebagai ruang ganti, membuka laci di mana aku menempatkan baju-baju Airlangga. Semuanya masih tertata rapi, aku menarik salah satu kaus berwara biru g
Arini dan Inge duduk terpaku di hadapanku dengan raut muka menuntut penjelasan, tentang lingkaran hitam di bawah kedua mataku yang beresiko menjadi permanen, badanku yang sekarang agak mirip dengan anak kekurangan gizi dan pastinya wajahku yang bermuram durja persis seperti tampang penyanyi melankolis di tahun 80an.Menerangkan ke dua anak ini akan menjadi sesi interogasi yang mungkin tidak akan cukup satu malam. Sedikit demi sedikit aku menggeser tempat duduk, berharap bisa melarikan diri sebelum mereka berdua menyadari, walaupun tentu saja itu tidak mungkin.“Jadi si Airlangga itu ninggalin elo?” Arini langsung to the point.“Hush …,” seru Inge, memberikan tatapan memperingatkan ke Arini yang sepertinya tidak dia gubris.Aku diam, memikirkan jawaban tepat yang bisa aku katakan ke dua sahabatku ini. Tentunya aku tidak bisa mengatakan bahwa Airlangga pergi untuk kembali ke jamannya, ke Singosari, ratusan tahun
Menuruti saran Mas Rio, hari ini aku pulang. Setelah keadaan sudah agak membaik, wajah terlihat lebih cerah dan badan mulai memberat setelah nafsu makan yang lebih teratur. Tentunya kakakku yang sekarang menjadi over protective itu tidak mengijinkan aku mengemudikan mobil sendiri, dengan tekun dia menjemput dan aku hanya tinggal duduk manis seperti sedang naik taksi online.Dia tidak pernah menyebut nama Airlangga, atau apapun yang berhubungan dengannya sepertinya takut kalau-kalau itu akan membuatku galau mengharu biru lagi. Aku mengikutinya, walaupun tiada hari tanpa ada Airlangga dalam pikiranku. Aku masih sering tidur dengan memeluk salah satu bajunya, atau sekedar melihat foto-foto yang memang sengaja aku ambil untuk waktu seperti ini, di saat dia sudah pergi.Kedua orang tuaku masih tidak tahu, buat mereka aku jarang pulang karena sedang sibuk bukan karena berhari-hari meringkuk di tempat tidur akibat patah hati.Aku memeluk Mama yang sedang
“Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh
Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M
“Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i
Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak
Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu
“Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d
“What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli
Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai
Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den