Langit terlihat lebih gelap dari biasanya. Ramalan cuaca memang menyebutkan jika hari ini akan turun hujan lebat. Di atas sana bahkan sudah terlihat kilatan-kilatan yang saling menyambar. Sepertinya benar, sebentar lagi langit akan menurunkan tetes-tetes air hujan.
Allen menggenggam secarik kertas di tangannya. Duduk dengan kaki yang gemetar. Selama perjalanan menuju bandara hatinya dipenuhi perasaan takut, sedih, dan rindu yang sudah menggebu. Semua perasaan itu silih berganti. Bercampur menjadi satu. Membuat wajah cantiknya dilingkupi kegelisahan.
Seharusnya dia tidak mengambil langkah ini karena hatinya merasakan takut, tetapi ketakutan itu terkalahkan oleh keinginan untuk berjumpa dengan seseorang. Sekadar melihat wajah lelaki yang teramat dia rindukan lima tahun belakangan. Wajah laki-laki yang menjadi cinta pertamanya.
Bandara Sukarno Hatta.
“Sudah sampai, Mbak,” ucap supir taksi sembari menghentikan laju mobilnya tepat di depan pintu masuk bandara.
“Sebentar, Pak.” Allen mengusap kasar wajahnya. Rambut panjang yang sebelumnya dikuncir ekor kuda itu dia biarkan tergerai. Jatuh ke bagian depan membingkai wajahnya yang sedih. Allen memasang masker kain di wajahnya, menggunakan kacamata hitam, dan topi beanie atau yang lebih dikenal dengan topi kupluk sebagai langkah akhir untuk penyamarannya.
Semoga dengan begini tidak ada yang bisa mengenali Allen. Tidak seorang pun. Termasuk laki-laki itu. Laki-laki yang menjadi alasan Allen ada di bandara.
“Berapa, Pak?”
Setelah semua persiapannya selesai. Allen segera membayar ongkos taksi dan bergegas memacu langkahnya. Dia membuka secarik kertas yang sudah lusuh. Nyaris robek. Beruntung tulisan tangannya masih bisa dibaca. Dadanya berdebar, dia menarik napas dalam sebelum membaca deretan kata dan angka di kertas itu. Memastikan kapan waktu kedatangan pesawat dari Prancis.
Allen mengangkat pergelangan tangannya. Melihat sudah pukul berapa sekarang. Dia takut telat. “Seharusnya sebentar lagi," gumamnya di sela-sela langkahnya yang memburu. Berpacu dengan waktu
Allen menggigit bibir bawahnya. Kedua jemarinya saling meremas begitu melihat dua orang yang sedang berdiri menampakan bagian punggung. Meskipun dari kejauhan, tetapi Allen bisa memastikan jika dua orang itu adalah orang tua dari laki-laki yang sedang dia tunggu.
“Om, Tante ... maaf aku tidak bisa bergabung dengan kalian, tetapi aku di sini. Aku juga datang untuk menyambut kedatangannya. Terima kasih karena kalian masih peduli padaku.” Allen bergumam dari kejauhan. Semoga niat tulusnya berterima kasih tetap sampai meskipun tidak dia ucapkan langsung.
Tidak berlebihan jika Allen sangat berterima kasih pada mereka. Di tengah kondisinya yang bukan lagi seorang putri dari keluarga kaya, kedua orang itu masih menyempatkan diri untuk menghubunginya. Memberi tahu tentang jadwal kedatangan putra mereka ke tanah air.
Sepuluh menit berlalu.
Allen masih berdiri dikejauhan. Bibir merah Allen mengembang begitu melihat seorang laki-laki berjalan dengan setelan tiga potong yang pas di tubuhnya. Sorot mata tajam, hidung mancung, garis wajah tegas, bibir bervolume, dan rambut yang berpomade itu selalu berhasil membuat Allen terpesona.
Tepat di belakangnya seorang Asisten Pribadi mengikuti sembari menarik sebuah koper besar. Terjadi pelukan rindu anatara anak dan orang tua, seperti pertemuan anak dan orang tua pada umumnya. Mengharu biru.
Allen yang berdiri dikejauhan hanya bisa menikmati wajah laki-laki yang selalu ada dihatinya tanpa bisa menyentuh dan bertegur sapa. Tak peduli jarak dan waktu yang sekian lama memisahkan mereka. Bagi Allen rasa cintanya pada laki-laki yang bernama Agra Grissham tidak pernah berkurang meski tergerus masa. Cinta yang dia jaga sejak usianya baru menginjak angka tiga belas tahun tidak pernah terganti oleh siapa pun.
“Selamat datang kembali, Agra. Semoga setelah ini, harimu selalu dipenuhi kebaikan. Maaf, aku tidak memiliki keberanian yang besar untuk menyapamu langsung, tapi percayalah aku selalu mendo’akan agar kau tetap dalam lindungan-Nya.”
Mata Allen mulai berkaca-kaca, dia melepaskan kacamata hitamnya untuk mengusap sudut matanya yang sudah berair.
Allen memutuskan untuk pergi, tetapi rindu di hatinya belum sepenuhnya terobati. Allen mengepalkan kedua tangannya lalu bergumam, “Sebentar lagi, Tuhan. Aku ingin melihat wajahnya dari dekat, sebentar saja.”
Allen menelan salivanya, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Dia berjalan perlahan di antara kerumunan orang. Setelah jaraknya dan Agra cukup dekat, dia mengeluarkan ponsel, mematikan lampu kilat, dan mengarahkan kamera ke arah Agra. Jemari lentiknya mulai menekan layar pada benda persegi panjang itu untuk menangkap gambar. Dia bahagia, hanya karena beberapa potret wajah Agra yang berhasil dia abadikan di handphone-nya Sesederhana itu.
"Ok. Cukup!” seru Allen pada diri sendiri. Sebagai alarm bahwa dirinya harus bergegas pergi.
Kalau boleh jujur, Allen masih belum puas melihat wajah Agra, tetapi dia harus pulang. Sangat berbahaya jika penyamarannya terbongkar. Apalagi jaraknya berdiri dengan Agra cukup dekat. Dia tidak mau jika laki-laki itu melihatnya. Dia belum siap untuk bertemu langsung dengan Agra. Dan sepertinya tidak akan pernah siap.
Di tengah asiknya melepas rindu dengan orang tua. Nathan, yang merupakan Asisten Pribadinya berjalan mendekati Agra dan berbisik. Seketika Agra memutar kepalanya dan pandangan matanya langsung tertuju pada Allen.
Allen menundukkan kepalanya. “Apa aku ketahuan?” tanyanya pada diri sendiri. Allen menggenggam erat ponselnya sambil bergumam, “Aku harus pergi dari sini.” Ketika dia memutar tubuhnya, bersiap untuk melarikan diri seperti biasanya tiba-tiba dari arah berlawanan seseorang menabrak tubuh Allen.
“Maaf, Mbak, maaf. Saya jalannya kurang hati-hati, saya sedang buru-buru. Sekali lagi saya minta maaf, Mbak,” ucap ibu itu minta maaf sembari sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Tidak apa-apa, Bu. Bukan sepenuhnya salah Ibu, kok, aku juga salah, tadi aku terlalu fokus dengan handphoneku,” ucap Allen sembari tersenyum.
Ibu itu bergegas bangun dan meninggalkan Allen yang masih terduduk di lantai, hal pertama yang harus dia lakukan adalah menemukan handphonenya.
Ke mana handphoneku? Batinnya sembari memutar kepala mencari keberadaan benda tipis persegi panjang miliknya.
“Kau mencari ini?” Seorang laki-laki menyodorkan handphone tepat di wajah Allen.
TBC ....
follow IG @roseeLily16
Allen tidak berani mendongakkan kepalanya. Susah payah dia menelan saliva, kedua tangannya meremas ujung kaus yang dia kenakan.Bukankah ini suara Agra? Suara bariton ini jelas miliknya. Dalam dan lembut. Bagaimana jika Agra melihat wajahnya ada di handphoneku? Aku harus bagaimana? batin Allen.“Apa ponsel ini bukan milikmu?!” ucap Agra. Kali ini suaranya penuh penekanan.Allen semakin takut. Sekarang dia tidak lebih baik dari seekor siput yang melarikan diri. Bersembunyi di dalam cangkang yang rapuh.“I-iya, itu milikku.” Allen tetap menunduk, mengulurkan tangannya ke atas. Membuka telapak tangan selebar mungkin. Berharap Agra bersedia meletakkan ponsel di tangannya tanpa perlu keduanya bersitatap.“Bukankah tidak sopan jika berbicara tanpa melihat wajah lawan bicaramu? Terlebih lagi aku yang menolongmu menemukan benda sialan ini!” Agra menggo
Allen terbangun dengan rasa nyeri yang menjalar di sekitar punggung tangannya. Dia mengangkat tangannya dan mendapati jarum infus yang sudah tertancap di sana. Dia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya lalu menatap langit-langit.Plafon putih dengan lampu di empat sisinya sudah bisa menjelaskan sedang ada di mana dirinya. Ranjang yang dia tiduri jelas sekali bukan ranjang miliknya. Dia harus tahu bagaimana dirinya berakhir di sebuah kamar di rumah sakit.Allen memutar kepalanya. Dia melihat seseorang sedang mengupas apel dengan wajah lelah. Rambut panjangnya yang tergerai dengan kacamata bulat yang duduk manis di pangkal hidungnya menampakan kecantikan alami dari seorang Alisa. Sahabat baiknya.“A-Alisa,” ucap Allen terbata. Masih dengan suara lemah. Dia berusaha menggeser tubuhnya, tatapi sepertinya masih terasa lemas.“Allen ... astaga! Akhirnya kau bangun.” Alisa bergegas bangun.
lima tahun yang lalu. Ketika semuanya bermula. Kisah pilu yang membuat Allen sering mimpi buruk.Allen adalah gadis yang begitu sombong dan arogan. Saat itu dia baru berusia dua puluh satu tahun. Usia dewasa seharusnya, tetapi perlakuan manja orang tuanya membuat Allen sering kali bertindak sesuka hati. Dia memang memiliki segalanya, uang dan kekuasaan dari orang tuanya.Sebagai anak dari keluarga Caitlin rasanya pantas jika Allen menjadi dambaan setiap lelaki. Parasnya yang cantik dengan gelar pewaris aset keluarga Caitlin membuat banyak laki-laki bersedia menjadi pendamping hidupnya, tetapi seorang Allen hanya mencintai satu laki-laki yaitu Agra Grissham. Cinta pertamanya ketika dia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.Sebagai wanita modern dia tidak malu untuk menyatakan cinta lebih dulu, tetapi hati agra tetap tidak bisa dia miliki. Di hati Agra hanya ada satu nama. Wanita yang teramat dia cintai.Sam
Setelah pertemuan keduanya, mereka sepakat untuk membatalkan pertunangan.Agra pikir setelah pertunangannya dengan Allen batal. Dia bisa kembali ke sisi Kinara. Kekasih yang sangat dia cintai. Ternyata tidak! Kinara tetap pada pendiriannya. Memilih melepas Agra.Sejak saat itu Agra menempatkan Allen sebagai orang yang paling dia benci. Jangankan bertegur sapa, melihat wajah Allen pun Agra tidak sudi.***Batalnya pertunangan mereka berakibat juga pada gagalnya penyatuan dua perusahaan raksasa.Allen pikir semuanya sudah berakhir. Ternyata dia salah. Kenyataan yang lebih pahit harus dia rasakan.Allen kembali ke rumah mewahnya dengan perasaan hancur. Langkahnya tertatih. Wajah putih bersih itu terlihat semakin pucat karena terus menerus menangis. Bahkan ujung hidungnya memerah.Begitu masuk ke ruang keluarga.
Suara ketukkan di pintu membuyarkan lamunan Allen tentang masa lalunya yang pahit. Dia harus kembali dengan hidupnya yang sekarang. Melupakan kejadian lima tahun silam.Pintu terbuka. Dokter dan perawat masuk untuk memeriksa kondisi Allen. Setelah semua rangkaian pemeriksaan dilakukan, akhirnya dokter memutuskan bahwa Allen sudah boleh pulang. Dia hanya kelelahan dan harus lebih memerhatikan pola makan.“Kamu sudah boleh pulang, tetapi ingat jaga pola makan dan jangan terlalu banyak pikiran,” ucap dokter itu sambil tersenyum, "Kalau ada gejala pusing dan lainnya, kamu bisa kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan lebih serius. Apa perlu kuberikan nomorku?"Kening Allen mengkerut. Sang dokter dengan santainya tersenyum sembari memasukkan kedua tangannya di kantung jas putih. Jas kebesaran tenaga medis. "Emmm ... terima kasih, Dok. Saya akan mengingat pesan Anda," balas Allen diikuti anggukkan kepala.Sang dokter m
Nathan bergerak random di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa."Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.”Kenapa Anda malah mondar mandir di depan pintu?Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.
Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe
Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar
Terkadang manusia tidak bisa membedakan antara marah dan kecemburuan. Kedua perasaan itu berbaur seperti udara dan debu. Sulit disentuh, tetapi bisa dirasakan.***Meja makan persegi panjang dengan tiga kursi di sisi kiri dan kanan meja. Di tiap ujung meja ada satu kursi yang saling berhadapan. Di atas meja tertata berbagai macam makanan, dari makanan pembuka, makanan utama, sampai makanan penutup. Lihatlah ada berapa banyak jenis minuman di atas meja. Jus jeruk, jus apel, susu segar. Ah, apakah seperti ini gambaran meja makan orang kaya?Sesaat Allen lupa kalau dirinya juga pernah ada diposisi Agra, hidup dalam kemewahan sebelum dia diusir dari rumah. Dan dia menyesali setiap tindakkan pemborosan yang dilakukan orang tuanya. Toh, pada akhirnya makanan dan minuman itu akan berakhir di tempat sampah. Memangnya sebesar apa ukuran lambung manusia? Baru diisi satu gelas air dan sepiring nasi goreng juga sudah kenyang.“Kau tidak suka menu makanannya?” tanya Agra sembari meneguk jus jeruk.
Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu
“Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b
“Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.
“Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de
Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal
Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan
Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar
Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe