Share

Keputusan Agra

Penulis: RoseeLily
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Nathan bergerak random di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.

 

Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa.

 

"Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.” Kenapa Anda malah mondar mandir di depan pintu? Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.

 

“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.

 

“Semuanya beres?”

 

“Iya, Tuan. Rumah baru Anda sudah siap dan sudah bisa ditempati hari ini juga.”

 

Agra manggut-manggut. Memuji kerja cepat Asisten Pribadinya. Tidak pernah mengecewakan dan selalu bisa diandalkan. Siapa yang tahu kalau Nathan sedang sedih menjalankan tugas yang satu ini.

 

“Ada masalah? Kenapa wajahmu ditekuk begitu? Kau seperti anak TK yang kehilangan mainan.”

 

Anda tidak tahu saja bagaimana Nyonya menangis tersedu. Saya sampai tidak tega melihatnya. “Begini, Tuan. Tadi Nyonya menangis begitu mengetahui Anda ingin tinggal terpisah dari rumah utama. Nyonya besar berharap Anda memikirkan kembali keputusan Anda. Beliau masih sangat merindukan Anda setelah lima tahun berpisah. Nyonya ...,” menjeda. Tarikan alis Agra menandakan Nathan harus segera menuntaskan kalimatnya. “Nyonya bahkan memohon pada saya supaya bisa membujuk Anda.”

 

Agra terlihat menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan. Manik hitamnya sedikit lembab begitu membayangkan wajah Ibunda tercintanya yang menangis. Teringat pelukan erat ketika di bandara dan genggaman tangan yang tak mau terlepas ketika di dalam mobil. Selama ini hanya ibundanya yang selalu mendukung semua keputusan Agra, tetapi untuk tetap tinggal di rumah itu ... ah, rasanya Agra tidak bisa.

 

“Bagaimana, Tuan?” Nathan menginterupsi sampai fokus Agra kembali padanya.

 

“Kau tahu sendiri, Nath. Aku tidak bisa tinggal di rumah yang penuh kenangan buruk itu! Hatiku sakit setiap kali mengingat kelakuan Papah yang memaksaku bertunangan dengan Allen. Karena keegoisan papah sampai aku harus kehilangan Kinara. Terlebih lagi ketika melihat wajah ayahku, rasanya terlalu berat untuk tinggal bersama dalam satu atap. Lagi pula sejak kecil hubunganku dengan ayahku juga tidak pernah baik.”

 

“Saya mengerti, Tuan, akan saya sampaikan semuanya kepada Nyonya.”

 

“Katakan jika Mamah bisa tinggal di rumahku. Kapan pun dan berapa lama pun. Pintu rumahku selalu terbuka untuknya.”

 

“Baik, Tuan.”

 

“Sekarang kekuasaanku sudah melebihi ayahku. Aku bisa melakukan apa pun sesuai keinginan hatiku. Dia tidak bisa memaksaku lagi. Aku sudah lelah menjadi biduk caturnya. Pakaian, pendidikan, teman, bahkan istri semuanya sudah diatur olehnya. Aku lelah menjadi boneka hidupnya.”

 

Nathan menunduk dalam. Dia tahu betul bagaimana Agra melewati masa kecil hingga remaja dengan penuh tekanan. Terkekang dan terpenjara dalam kuasa ayahnya. Sebenarnya kehidupan Agra dan allen tak jauh berbeda. Sama-sama menderita. Sama-sama terluka.

 

“Kau boleh keluar.”

 

“Baik, Tuan.”

 

***

 

Agra Grissham. Laki-laki yang memiliki hati sedingin es, kaku, beku, dan tidak pernah tersentuh kehangatan. Semua orang mengatakan hidupnya penuh keberuntungan. Sukses diusia yang terbilang sangat muda. Dua puluh tujuh tahun. Siapa yang tidak berdecak kagum dengan pencapaian gemilang seorang Agra. Tanpa semua orang tahu. Dia harus membayar kesuksesan itu dengan perasaan kesepian dan rindu yang menyiksa terhadap cinta pertamanya. Kinara Amalia.

 

Uang dan kekuasaan yang dia miliki nyatanya tak bisa membuat Agra bahagia. Lima tahun berjuang di negeri orang dengan perasaan yang hancur bukanlah hal yang mudah. Dan di sinilah Agra sekarang. Duduk di kursi Presiden Direktur di sebuah perusahaan telekomunikasi terbesar di Jakarta. Sekarang dia sudah berhasil. Setelah ini tidak ada lagi yang akan mengatur hidupnya. Dia bisa bergerak kemana pun, dengan siapa pun, dan kapan pun dia mau.

 

“Mengenai perusahaan cabang bagaimana?”

 

Nathan merogoh katung celananya dan mengeluarkan benda tipis persegi panjang yang khusus berisi agenda Bosnya “Besok Anda ada jadwal berkunjung. Sekitar pukul sepuluh pagi setelah selesai rapat dengan kolega dari Jepang.”

 

“Ah, baiklah. Apa mereka sudah tahu wajahku?” tanya Agra. Kening Nathan berkerut mendapati pertanyaan dari Bossnya. Sepersekian detik dia pun mengerti. Ini pasti tentang akuisisi perusahaan komunikasi kecil yang baru berpindah pemilik.

 

“Oh. Untuk pemimpin yang baru mereka belum tahu, Tuan. Jadi besok selain berkunjung Anda juga akan diperkenalkan sebagai Presiden Direktur yang baru. Ini hanya perusahaan kecil, tidak akan terlalu menyita waktu Anda.”

 

“Baiklah.”

 

Nathan menyodorkan tumpukkan berkas. Seperti biasanya, meletakkan dengan sangat hati-hati. “Ini data para karyawan yang Anda minta, Tuan.”

 

Kening Agra berkerut rapat saat membaca deretan nama di sana. Napasnya mulai berat dengan tatapan mata tajam. Tumpukan berkas yang dibawa Nathan berhasil menyulut emosinya, yang nyaris padam beberapa saat lalu.

 

Nathan menunduk. Dia sudah tahu apa yang membuat ekspresi wajah Agra berubah total.

 

“Jelaskan padaku. Ada berapa nama Allen di dunia ini?”

 

“Mungkin ada banyak, Tuan, saya belum mencari data akuratnya, tetapi untuk nama Allen yang tetera dalam dokumen dan bekerja di perusahaan anak cabang ... sepertinya itu memang Nona Allen yang Anda maksud, putri dari keluarga Caitlin.”

 

Allen, Allen, dan Allen. Dia bosan mendengar nama wanita itu keluar masuk ke gendang telinganya. “Dia bekerja di bawahku?” tanya Agra. Nathan mengangguk berat sebagai jawaban. “Pecat saja! Aku tidak sudi melihat wajahnya lalu lalang di dekatku. Membuatku mual!” serunya dengan sorot mata tajam.

 

“Emm ... baiklah, Tuan.”

 

“Kau ragu?”

 

Bukan ragu. Mungkin lebih tepatnya Nathan merasa kasihan dengan nasib Allen. “Saya bukan ragu, Tuan, tetapi hanya kasihan dengan Nona Allen.”

 

“Kasihan?” Alis Agra terangkat. Sejak kapan seorang Allen Caitlin perlu dikasihani? Wanita sombong dan pongah sepertinya tidak perlu mendapat belas kasihan.

 

“Iya, Tuan, sudah lima tahun hidup Nona Allen berubah. Bahkan satu tahun terakhir Nona harus bekerja keras karena harus membiayai hidupnya dan sang nenek yang sakit-sakitan.”

 

“Kau tahu banyak tentang kabar wanita itu rupanya!”

 

“Maafkan saya, Tuan.” Nathan semakin menundukkan kepalanya. Dia tidak bermaksud menyinggung perasaan Agra, di belakang Agra dia memang mencari tahu tentang kabar Allen. Bahkan surat-surat yang Allen kirim untuk Agra selama lima tahun pun dia simpan rapi. Padahal Agra sudah memberi perintah untuk membakarnya. Tindakan Nathan murni didasari rasa kasihan dan keyakinan, bahwa suatu saat nanti Agra akan membutuhkan tumpukan surat itu untuk dibaca.

 

“Kau bilang wanita itu harus apa? Bekerja keras?! Cih! Apakah keluarga Caitlin jatuh miskin? Aku belum pernah mendengar berita bangkrutnya perusahaan raksasa itu. Ah, apa aku ketinggalan berita?”

 

“Tidak, Tuan. Keluarga Caitlin tidak bangkrut, hanya saja Nona Allen ....” Nathan menghentikan kalimatnya begitu melihat perubahan emosi di wajah Agra. Sepertinya mendengar nama Allen sudah menjadi alergi untuknya. Terbukti sejak tadi Agra menyebut Allen dengan sebutan ‘wanita itu’.

 

“Cukup pecat saja, Nath! Tidak perlu banyak pertimbangan. Apakah memecat satu orang bawahan saja terlalu sulit untukmu?”

 

“Baik, Tuan.”

 

Nathan pamit undur diri. Dia tidak mungkin melawan printah Bossnya. Jadi jalankan saja walaupun dengan setengah hati.

 

Tbc ....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
semangat terus berkarya kakak .........
goodnovel comment avatar
Susanti Elly Up
hai.. hai.. Thor AQ dulu ngikuti qm mulai dari NT,,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

  • More than Marriage   Tontonan Tak Bermoral

    “Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b

  • More than Marriage   Lemah dan Menyedihkan

    Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu

Bab terbaru

  • More than Marriage   Drama Sarapan

    Terkadang manusia tidak bisa membedakan antara marah dan kecemburuan. Kedua perasaan itu berbaur seperti udara dan debu. Sulit disentuh, tetapi bisa dirasakan.***Meja makan persegi panjang dengan tiga kursi di sisi kiri dan kanan meja. Di tiap ujung meja ada satu kursi yang saling berhadapan. Di atas meja tertata berbagai macam makanan, dari makanan pembuka, makanan utama, sampai makanan penutup. Lihatlah ada berapa banyak jenis minuman di atas meja. Jus jeruk, jus apel, susu segar. Ah, apakah seperti ini gambaran meja makan orang kaya?Sesaat Allen lupa kalau dirinya juga pernah ada diposisi Agra, hidup dalam kemewahan sebelum dia diusir dari rumah. Dan dia menyesali setiap tindakkan pemborosan yang dilakukan orang tuanya. Toh, pada akhirnya makanan dan minuman itu akan berakhir di tempat sampah. Memangnya sebesar apa ukuran lambung manusia? Baru diisi satu gelas air dan sepiring nasi goreng juga sudah kenyang.“Kau tidak suka menu makanannya?” tanya Agra sembari meneguk jus jeruk.

  • More than Marriage   Lemah dan Menyedihkan

    Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu

  • More than Marriage   Tontonan Tak Bermoral

    “Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b

  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

DMCA.com Protection Status