Home / Romance / More than Marriage / Adnan Ramadhan

Share

Adnan Ramadhan

Author: RoseeLily
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Suara ketukkan di pintu membuyarkan lamunan Allen tentang masa lalunya yang pahit. Dia harus kembali dengan hidupnya yang sekarang. Melupakan kejadian lima tahun silam.

Pintu terbuka. Dokter dan perawat masuk untuk memeriksa kondisi Allen. Setelah semua rangkaian pemeriksaan dilakukan, akhirnya dokter memutuskan bahwa Allen sudah boleh pulang. Dia hanya kelelahan dan harus lebih memerhatikan pola makan.

“Kamu sudah boleh pulang, tetapi ingat jaga pola makan dan jangan terlalu banyak pikiran,” ucap dokter itu sambil tersenyum, "Kalau ada gejala pusing dan lainnya, kamu bisa kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan lebih serius. Apa perlu kuberikan nomorku?"

Kening Allen mengkerut. Sang dokter dengan santainya tersenyum sembari memasukkan kedua tangannya di kantung jas putih. Jas kebesaran tenaga medis. "Emmm ... terima kasih, Dok. Saya akan mengingat pesan Anda," balas Allen diikuti anggukkan kepala.

Sang dokter memberi isyarat. Dua orang perawat mengerti dan pamit undur diri.

"Jangan memanggilku terlalu formal. Adnan. Panggil Adnan saja." Mengulurkan tangan. Allen merotasi bola matanya. Dia masih belum mengerti maksud tindakan dokter di depannya. "Tidak mau menyambut uluran tanganku?"

Apa ini? Dia mengajaku berkenalan? Di rumah sakit? Yang benar saja. "Emm ... Allen."

Akhirnya Allen menyambut uluran tangan sang dokter. Dia masih mencerna situasi yang sedang terjadi. Sementara Alisa sedang mengkerut di kursi sembari mengupas jeruk. Dia juga bingung dengan situasi sekarang.

"Baiklah, Allen. Berikan nomormu, jika ada apa-apa maka aku bisa menghubungimu."

Allen membuka mulutnya. Bingung. Tentu saja. Matanya sampai melotot.

"Jangan melotot begitu, Astaga. Hahaha ... aku hanya minta nomormu. Apa tidak boleh?"

Tunggu sebentar. Otak Allen yang terlalu bodoh atau memang situasinya yang canggung. Allen masih tidak mengerti dengan tingkah dokter di depannya.

"Kamu keberatan?"

Allen mengerjap. Kesadarannya kembali terkumpul. "Eh, nanti kalau saya sakit, saya akan datang sendiri, Dok. Tidak perlu merepotkan Anda."

Justru akan sangat merepotkan jika aku tidak tahu kondisimu, Allen. "Baiklah. Pelan-pelan saja, Allen." Sang dokter merogoh kantung jasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Kartu namaku. Lengkap dengan nomor telepon dan jadwal praktekku."

"Tapi untuk apa?"

"Kamu pasti membutuhkannya. Simpan dengan baik dan jangan sampai hilang." Seringai licik tercetak jelas di wajah tampan sang dokter.

Ragu. Namun, akhirnya Allen menerima kartu namanya. "Ingat namaku Adnan. Adnan Ramadhan."

Adnan Ramadhan? Adnan ... Ramadhan ... Di mana aku pernah mendengar namanya? Sepertinya nama itu tidak asing.

Sumpah demi apa pun Allen tidak mengerti dengan keadaan ini. Dia menatap Alisa. Alisa hanya mengendikkan bahu. "Jangan tanya aku. Aku pun bingung, seumur-umur aku baru lihat ada dokter yang menggoda pasiennya sendiri. Mending makan buahnya. Habis itu kita siap-siap pulang. Aku ke administrasi dulu untuk membayar biaya perawatan."

"Aneh," gumam Allen. Meraih jeruk dan mengunyah dengan cepat. Sementara Alisa sudah keluar untuk mengurus administrasi.

Brak!

Alisa menjatuhkan tubuhnya kasar. Di tangannya terselip jumlah tagihan. Biaya rumah sakit selama beberapa jam Allen dirawat.

"Kenapa? Apa semahal itu?"

Alisa mengusap kasar wajahnya. "Bukan soal mahalnya! Tapi kurasa dokter itu sungguh-sungguh jatuh hati padamu!" seru Alisa. Allen menautkan alisnya. "Biaya rumah sakitmu sudah dibayar olehnya. Iya, dokter Adnan yang membayarnya."

"Apa?! Aku harus menemuinya!" Allen bersiap turun dari ranjang.

"Dia sudah pulang. Kurasa kamu harus menyimpan nomornya. Ah, sial. Gara-gara dokter itu juga aku sampai lupa!" Alisa bangkit. Manghampiri Allen dengan tatapan tajam. "Sekarang kamu senang, hah? Masuk rumah sakit hanya karena laki-laki jahat itu!” Alisa mengumpati Agra.

“Jangan begitu. Bukan dia yang salah. Aku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku. Seharusnya aku menjaga jarak darinya. Mungkin karena jarakku terlalu dekat akhinya ketahuan. Lagi pula berhentilah mengatakan dia jahat. Aku juga jahat, Al. ‘Kan aku yang menyebabkan Agra kehilangan Kinara.”

Alisa melotot. Menatap Allen dengan bola mata nyaris keluar. Bagi Alisa tetap saja Agra itu jahat. Agra hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa tahu Allen juga menderita. “Sampai kapan kamu akan terus membelanya? Padahal selama ini dia tidak tahu kamu masih bernapas atau tidak!” Menyodorkan apel yang sudah dikupas. “Makanlah! Tidak lucu jika kamu mati hanya karena Agra! Aku akan mengantarmu pulang. Mau pulang ke kontrakan apa ke rumah nenekmu?”

“Aku menginap di kontrakanmu, yah?” Allen tersenyum lebar menerima apel dari sahabatnya. Alisa memang yang terbaik. Selalu mengerti dirinya.

“Kamu pikir kontrakanku itu bandara? Seenaknya saja pulang dan pergi. Besok masuk tidak?”

Allen terkekeh mendengar sahabatnya mengomel terus-menerus. “Tentu saja. Kalau tidak masuk gajiku bisa dipotong. Obat nenek sudah mau habis, Al. Untung aku punya tabungan.”

“Disaat seperti masih ingat gaji!” mendengkus kesal, “Jika uangmu kurang kamu bisa pinjam uangku. Aku tahu obat nenekmu itu mahal. Tapi ingat kamu harus mengembalikan uangku setelahnya. Dua kali lipat.”

Allen tertawa. Sepanjang pertemanannya dengan Alisa, Allen tahu betul watak sahabatnya yang memang berhati malaikat. Jangankan membayar dua kali lipat, Allen bahkan lupa berapa jumlah uang yang sudah dia pinjam dari Alisa. Sangking seringnya.

“Kamu memang yang terbaik.” Mengacungkan jempol dengan mata berkedip-kedip.

“Hentikan itu! Aku mual melihatnya!”

***

Allen Caitlin, wanita dewasa yang sudah menginjak usia 26 tahun. Jangan ditanya bagaimana ciri-ciri fisiknya. Yang pasti dia sangat cantik sampai bisa membuat banyak laki-laki diluar sana jatuh hati padanya. Dengan sabar menunggu sampai Allen bisa membuka hati. Namun, menaklukan hati seorang Allen rasanya tidak akan mudah.

Diusianya yang terbilang cukup untuk membina rumah tangga. Allen justru masih betah melajang. Bahkan sebagian wanita di luar sana mungkin sudah memiliki dua orang anak, tetapi kisah cintanya memang tak semulus jalan toll yang bebas hambatan. Ada banyak kerikil dan tanjakkan yang membuatnya enggan untuk berganti status.

Hambatan terbesar mungkin adalah hatinya. Hatinya tak bisa menerima orang lain. Tidak ada tempat untuk laki-laki lain. Hatinya sudah terisi penuh oleh laki-laki yang justru membencinya setengah mati. Agra Grissham.

Untuk saat ini Allen hanya ingin fokus dengan pekerjaannya, menjadi operator di salah satu perusahaan telekomunikasi di Jakarta. Hanya sebagai operator. Bukan jabatan yang terlalu penting dan tinggi. Dia bahkan sering mengambil kerjaan lain di hari libur demi bisa menghasilkan uang lebih banyak. Kebutuhan sehari-hari untuknya dan sang nenek yang sakit-sakitan harus dia penuhi sendiri. Sudah satu tahun belakangan neneknya sakit dan memerlukan obat-obatan yang harganya cukup mahal.

Bagaimana dengan ibunya? Diam-diam tanpa sepengetahuan ayah tirinya, Anita sering mengirimi Allen uang, tetapi Allen tidak menggunakan uang itu sepeserpun. Karena hanya uang yang dikirim, tanpa ada tambahan bertanya kabar atau kesehatannya. Setidaknya bertanya bagaiamana Allen melalui hidup yang begitu menyiksa. Tidak! Anita tidak pernah bertanya kabar putrinya. Mungkin lupa karena memiliki putri yang tidak berguna seperti Allen.

“Jadi kamu tidak mendapat satu pun foto Agra?” Alisa menjatuhkan pantatnya di kasur lantai. Meluruskan kaki dan bersandar di tembok.

“Iya. Semuanya di hapus oleh Agra.” Allen berjalan ke lemari baju, tangannya cekatan mencari piyama milik Alisa. Keduanya sudah terbiasa bertukar pakaian. “Aku mandi duluan, yah. Lengket.” Menyomot handuk yang tergantung di stand hanger. “Lagian salahku juga. Seharusnya aku langsung kabur begitu dapat fotonya.”

“Tapi handphone-mu aman, ‘kan?”

“Aman, sih. Agra melemparnya tidak terlalu keras.” Menarik napas dalam dengan bahu yang naik turun. “Ada sih yang retak.” Kening Alisa berkerut. “Hatiku yang retak. Mungkin patah. Ah, kurasa malah sudah hancur lebur.”

“Jadi sudah tidak berharap lagi dengan Agra?”

“Sayangnya ....” Gelengan kepala menjadi jawaban bahwa Allen tetap menggantungkan harapan pada manusia angkuh bernama Agra.

Alisa hanya menghela napas panjang. Tidak ingin terlalu menghakimi Allen. Bagaimanapun cinta Allen pada Agra benar-benar tulus. Agra hanya terlalu buta untuk menyadarinya.

Allen menghilang di dalam kamar mandi. Terdengar suara keran air yang menyala. Sementara Alisa, tubuhnya berangsur turun dengan pandangan yang sayup-sayup memudar.

Tbc ....

Related chapters

  • More than Marriage   Keputusan Agra

    Nathan bergerak random di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa."Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.”Kenapa Anda malah mondar mandir di depan pintu?Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.

  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

  • More than Marriage   Tontonan Tak Bermoral

    “Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b

Latest chapter

  • More than Marriage   Drama Sarapan

    Terkadang manusia tidak bisa membedakan antara marah dan kecemburuan. Kedua perasaan itu berbaur seperti udara dan debu. Sulit disentuh, tetapi bisa dirasakan.***Meja makan persegi panjang dengan tiga kursi di sisi kiri dan kanan meja. Di tiap ujung meja ada satu kursi yang saling berhadapan. Di atas meja tertata berbagai macam makanan, dari makanan pembuka, makanan utama, sampai makanan penutup. Lihatlah ada berapa banyak jenis minuman di atas meja. Jus jeruk, jus apel, susu segar. Ah, apakah seperti ini gambaran meja makan orang kaya?Sesaat Allen lupa kalau dirinya juga pernah ada diposisi Agra, hidup dalam kemewahan sebelum dia diusir dari rumah. Dan dia menyesali setiap tindakkan pemborosan yang dilakukan orang tuanya. Toh, pada akhirnya makanan dan minuman itu akan berakhir di tempat sampah. Memangnya sebesar apa ukuran lambung manusia? Baru diisi satu gelas air dan sepiring nasi goreng juga sudah kenyang.“Kau tidak suka menu makanannya?” tanya Agra sembari meneguk jus jeruk.

  • More than Marriage   Lemah dan Menyedihkan

    Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu

  • More than Marriage   Tontonan Tak Bermoral

    “Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b

  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

DMCA.com Protection Status