Beranda / Semua / More than Marriage / Akhir Kisah Silam

Share

Akhir Kisah Silam

Penulis: RoseeLily
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-03 08:56:05

Setelah pertemuan keduanya, mereka sepakat untuk membatalkan pertunangan.

Agra pikir setelah pertunangannya dengan Allen batal. Dia bisa kembali ke sisi Kinara. Kekasih yang sangat dia cintai. Ternyata tidak! Kinara tetap pada pendiriannya. Memilih melepas Agra.

Sejak saat itu Agra menempatkan Allen sebagai orang yang paling dia benci. Jangankan bertegur sapa, melihat wajah Allen pun Agra tidak sudi.

***

Batalnya pertunangan mereka berakibat juga pada gagalnya penyatuan dua perusahaan raksasa.

Allen pikir semuanya sudah berakhir. Ternyata dia salah. Kenyataan yang lebih pahit harus dia rasakan.

Allen kembali ke rumah mewahnya dengan perasaan hancur. Langkahnya tertatih. Wajah putih bersih itu terlihat semakin pucat karena terus menerus menangis. Bahkan ujung hidungnya memerah.

Begitu masuk ke ruang keluarga. Allen sudah disambut oleh orang tuanya. Keduanya terlihat berdiri di ujung anak tangga. Memperlihatkan ekspresi tidak terbaca. Allen mengernyitkan alisnya. Mungkinkah orang tuanya marah karena pertunangannya dan Agra batal?

“Pergi kamu dari rumah ini. Kamu bukan anak kami!” seru Anton yang berdiri sembari berkacak pinggang. Dia menendang koper besar milik Allen.

“Pah, a-apa maksudnya?”

“Dari awal aku membesarkanmu agar kamu bisa berguna dikemudian hari. Cih, ternyata tidak. Menaklukan hati putra keluarga Grissham saja tidak bisa. Percuma aku membiayai perawatan tubuhmu!"

Allen bergeming. Dia mencoba mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari mulut ayahnya. Apa salahnya jika pertunangan itu gagal? Toh ini juga bukan keinginan Allen. Keduanya memiliki alasan masing-masing untuk tidak melanjutkan hubungan.

“Pah, tolong maafkan Allen.” Anita bersujud di kaki Anton dengan berlinang air mata.

“Mah, sebenarnya ada apa?” Allen berjalan mendekati ibunya. Merangkul bahunya dan membantu agar Anita berdiri. Bangun dari tempatnya bersimpuh.

Anita melirik Anton dengan perasaan takut. Suaminya justru membuka kelopak matanya sampai bola hitam itu nyaris keluar. “Jelaskan semuanya pada anak tolol ini. Aku sudah muak melihatnya!” seru Anton.

“Mah, sebenarnya Papah kenapa?” tanya Allen.

Anita menggigit bibirnya. Kedua pipinya masih basah karena jejak air mata. "Se-sebenarnya kamu ....”

“Dasar tidak berguna! Menjelaskan begitu saja tidak bisa." Anton turun dari anak tangga terakhir. Sekarang jaraknya dengan Allen cukup dekat.

"Pah. Apa yang terjadi?" tanya Allen dengan lelehan air mata dikedua pipinya.

"Dengar baik-baik, Allen. Kau bukanlah anakku. Ketika aku menikah dengan ibumu, kau baru berusia satu tahun. Aku mau menerimamu karena kau adalah anak perempuan. Aku pikir suatu saat nanti aku bisa menjodohkanmu dengan keluarga kaya. Menjalin hubungan keluarga agar bisnisku semakin besar. Ternyata kau merusak semua rencana yang aku susun sekian lama. Karena perjodohanmu dengan Agra batal. Maka kau tidak berguna lagi untukku!”

“A-apa itu benar, Mah?” tanya Allen dengan tubuh gemetar berusaha menggapai tangan ibunya. Anita hanya menganggukan kepala, terlalu berat untuk membuka mulutnya.

Allen terisak. Anggukan kepala dari ibunya sudah bisa menjawab semua pertanyaan Allen. "La-lalu di mana ayahku?” tanya Allen dengan napas tersengal.

“Papahmu sudah me-meninggal. Sebelum Mamah menikah dengan Papah Anton," ucap Anita.

Allen terduduk di lantai. Seperti disambar petir di siang bolong. Tubuh kecilnya bergetar hebat. Hilang sudah kesombongan yang selalu dia banggakan selama ini. Ternyata nasibnya tidak lebih baik dari orang yang sering dia rendahkan. Semua potret kelakuan jahatnya selama ini berkelebat di kepala, jika bisa dia ingin mendatangi satu per satu orang yang pernah dia sakiti lalu meminta maaf pada mereka.

“Sekarang pergi dari rumahku!” Anton menaikkan tangannya. Telunjuknya mengarah langsung ke pintu yang terbuka.

Allen mendongakkan kepalanya. Menatap wajah ayahnya dengan tatapan sedih. Berharap masih ada cinta di hati ayahnya. Namun, Allen tidak menemukannya.

Allen menundukkan kepalanya. Dari seorang putri yang begitu dimanja, dalam sekejap dia berubah menjadi orang asing yang terhina di mata Papahnya. Dengan mata basah dia bertanya, “Jika aku pergi dari rumah ini ... aku harus tinggal di mana, Pah?”

“Itu bukan urusanku!” pekiknya kencang.

Tubuh Allen seperti diguyur air es. Sakit tak terperih. "Mah, aku harus ke mana? Selama ini aku hanya tahu jika aku punya kalian. Jika kalian seperti ini, aku harus berlindung pada siapa lagi?” tanyanya dengan napas memburu.

“Allen ... Mamah minta maaf, Nak. Mamah tidak bermaksud menyembunyikan semuanya darimu. Mamah pikir pertunanganmu dan Agra akan berjalan lancar." Anita mendekati Allen.

“Arg ...!" Allen berteriak sembari memukul keras dadanya. “Aku harus ke mana, Mah?”

“Berdiri, Sayang. Jangan seperti ini. Untuk sementara kamu bisa tinggal di rumah Nenekmu. Ini alamatnya.” Anita menyodorkan kotak yang sudah lapuk. Termakan waktu. Ada alamat di secarik kertas dan beberapa foto sebagai bukti bahwa Allen adalah anak dari Anita.

“Mamah tega mengusirku? Membiarkan aku tinggal tanpa dirimu?"

Anita hanya bisa menunduk dalam.

“Mah, walaupun susah. Ayo kita hidup bersama-sama. Kita bisa memulai hidup baru dengan Nenek,” ucap Allen polos sembari menggenggam tangan Ibunya. Dia masih berharap Anita memiliki cinta yang besar untuknya sehingga Anita mau meninggalkan gemerlapnya hidup yang diberikan Anton.

“Kemari!” Anton menarik tangan Anita sampai wanita berambut ikal itu berdiri di belakangnya. “Kau mau ikut dengan putrimu yang tidak berguna dan hidup miskin atau tetap denganku? Hidup dalam kemewahan! Jawab!”

Anita tidak menjawab. Dia hanya menundukkan kepalanya. Allen menggigit bibir bawahnya yang gemetar sekuat tenaga, kedua tangannya mengepal, kuku-kukunya mencengkeram kuat telapak tangannya. Namun, dia tidak merasakan sakit. Hanya hatinya yang sakit.

Allen memusatkan kekuatan di kakinya. Dia bangun. Meraih koper dan berjalan mendekati Anton dan Anita. “Untuk terakhir kalinya. Aku ingin menghormati kalian sebagai orang tua yang telah membesarkanku."

Allen mengulurkan tangannya. Dia hanya ingin mencium punggung tangan Anton dan Anita. Namun, Anton bergeming. Beruntung Anita masih diperbolehkan memeluk putrinya.

“Maafkan Mamah, Nak.” Anita terisak dalam pelukan Allen.

“Mamah tidak perlu minta maaf. Mamah tidak salah.” Allen mengusap air mata yang membasahi kedua pipi Ibunya. “Jaga diri Mamah. Semoga Mamah selalu bahagia. Aku pamit.” Allen meraih tangan Anita. Mencium punggung tangannya dengan lelehan air mata yang jatuh. Tak terhitung berapa jumlahnya.



TBC .......

TBC ....

Bab terkait

  • More than Marriage   Adnan Ramadhan

    Suara ketukkan di pintu membuyarkan lamunan Allen tentang masa lalunya yang pahit. Dia harus kembali dengan hidupnya yang sekarang. Melupakan kejadian lima tahun silam.Pintu terbuka. Dokter dan perawat masuk untuk memeriksa kondisi Allen. Setelah semua rangkaian pemeriksaan dilakukan, akhirnya dokter memutuskan bahwa Allen sudah boleh pulang. Dia hanya kelelahan dan harus lebih memerhatikan pola makan.“Kamu sudah boleh pulang, tetapi ingat jaga pola makan dan jangan terlalu banyak pikiran,” ucap dokter itu sambil tersenyum, "Kalau ada gejala pusing dan lainnya, kamu bisa kembali ke sini untuk melakukan pemeriksaan lebih serius. Apa perlu kuberikan nomorku?"Kening Allen mengkerut. Sang dokter dengan santainya tersenyum sembari memasukkan kedua tangannya di kantung jas putih. Jas kebesaran tenaga medis. "Emmm ... terima kasih, Dok. Saya akan mengingat pesan Anda," balas Allen diikuti anggukkan kepala.Sang dokter m

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-03
  • More than Marriage   Keputusan Agra

    Nathan bergerak random di depan ruangan Agra. Beberapa hari ini Agra memberinya tugas yang tak biasa. Berkaitan dengan perasaan. Tentu saja Nathan si manusia batu tidak akan suka pekerjaan yang menguras emosi. Dia lebih suka bergelut dengan angka dan kurva, menghitung keuntungan perusahaan Bosnya.Telepon di meja Sekretaris berdering. Nathan menoleh. Sepertinya dia tahu telepon dari siapa."Baik, Tuan.” Leni menutup panggilan telepon. Berjalan mendekati Nathan. “Tuan Nathan, Tuan Agra sudah menunggu Anda.”Kenapa Anda malah mondar mandir di depan pintu?Nathan mengibaskan tangan. Leni mengerti dan pamit undur diri.“Tuan.” Nathan masuk ke dalam ruangan Agra setelah mengetuk pintu. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas. Meletakkan kertas-kertas itu di atas meja dengan sangat hati-hati. Terakhir membubuhkan sebuah kunci di atasnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-23
  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-09
  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-10
  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-11
  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

    Terakhir Diperbarui : 2023-11-20

Bab terbaru

  • More than Marriage   Drama Sarapan

    Terkadang manusia tidak bisa membedakan antara marah dan kecemburuan. Kedua perasaan itu berbaur seperti udara dan debu. Sulit disentuh, tetapi bisa dirasakan.***Meja makan persegi panjang dengan tiga kursi di sisi kiri dan kanan meja. Di tiap ujung meja ada satu kursi yang saling berhadapan. Di atas meja tertata berbagai macam makanan, dari makanan pembuka, makanan utama, sampai makanan penutup. Lihatlah ada berapa banyak jenis minuman di atas meja. Jus jeruk, jus apel, susu segar. Ah, apakah seperti ini gambaran meja makan orang kaya?Sesaat Allen lupa kalau dirinya juga pernah ada diposisi Agra, hidup dalam kemewahan sebelum dia diusir dari rumah. Dan dia menyesali setiap tindakkan pemborosan yang dilakukan orang tuanya. Toh, pada akhirnya makanan dan minuman itu akan berakhir di tempat sampah. Memangnya sebesar apa ukuran lambung manusia? Baru diisi satu gelas air dan sepiring nasi goreng juga sudah kenyang.“Kau tidak suka menu makanannya?” tanya Agra sembari meneguk jus jeruk.

  • More than Marriage   Lemah dan Menyedihkan

    Allen duduk di lantai. Bersandar di tembok pantri dengan kedua kaki di tekuk. Mendaratkan kepalanya di tempurung kaki. Di meja ada tujuh cangkir yang berisi kopi hitam. Dan tiga cangkir lagi masih kosong. Helaan napas berat lolos dari mulutnya. Sesekali Allen meremas kepalanya frustrasi.“Sudah kopi ke berapa?”Allen mendongakkan kepala. Anita berdiri di mesin pembuat kopi sedang menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.“Bangunlah. Sebentar lagi jam istirahat. Kamu mau karyawan lain tahu keadaanmu yang menyedihkan?” Anita tertawa ringan. Allen pun ikut tertawa.“Apa aku terlihat menyedihkan?”Anita tidak menjawab. Dia hanya memiringkan kepala sambil tersenyum.“Harus aku kemanakan cangkir-cangkir ini?”“Satu, dua, tiga ....” Anita menghitung jumlah cangkir. “Tujuh cangkir kopi dan kamu belum berhasil? Memang apa yang kurang?”“Aku tidak tahu. Pak Agra tidak mengatakan apa pun. Dia hanya bilang kalau kopi buatanku rasanya aneh, berantakkan, dan buruk.”“Mau kubantu?” Anita menawarkan bantu

  • More than Marriage   Tontonan Tak Bermoral

    “Kenapa, kau malu?”“Tidak juga, tapi ‘kan tidak enak dilihatin begitu.” Wanita itu tertawa. Tiap tawanya yang menyapu gendang telinga Allen hanya menambah sakit di hatinya. Beruntung hati Allen sekuat baja. Hidupnya sudah ditempa dengan berbagai macam masalah. Sampai detik ini dia masih bisa menahan semuanya. Berusaha untuk tidak menangis melihat suaminya bermain gila dengan wanita lain.“Memangnya kau tidak malu?” tanya wanita itu.“Biasa saja, dia hanya sekertaris baruku.”Benar. Aku hanya sekertarismu di kantor dan istri kontrak ketika di rumah. Kau sungguh ingin memberikan tontonan gratis padaku? Wah, seharusnya aku beli popcorn sebelum masuk ke ruanganmu, Allen membatin.Allen mendongakkan kepala sembari tersenyum dia berucap, “Apa lain kali saya perlu pakai kacamata, Pak?”Allen tertawa, “Tidak apa-apa, Bu. Santai saja, anggap saja di ruangan ini hanya ada kalian berdua.”Wanita itu tersipu malu mendengar ucapan Allen, sementara Agra menahan perasaan marah karena Allen terlihat b

  • More than Marriage   Yang Pertama

    “Buka matamu, Allen.”Agra membelai lembut pipi Allen. Menyingkirkan anak rambut yang jatuh di pipinya. “Apa kau terpaksa melayaniku.” Memegang dagu Allen dan mendongakkan. Satu kecupan lagi jatuh di puncak hidung istrinya.Allen memberanikan diri membuka mata. Perlahan cahaya kekuningan menyeruak masuk ke retina matanya. Allen terkejut, sejak kapan Agra mematikan lampu utama? Dan mengganti dengan lampu tidur yang terletak di sudut kanan ranjang. Lampu yang bahkan tidak bisa menerangi semua sudut kamar.Degup jantung Allen berpacu lebih cepat. Dirinya yang berada di atas ranjang dengan lawan jenis, berpakaian serba tipis, dan sekarang cahaya redup yang membuat suasana semakin panas. Bahkan aroma kelopak bunga mawar mulai menguar. Dia ingat ketika pertama kali naik ke ranjang ada kelopak bunga yang sengaja ditebar.“Kau takut?”Allen mengangguk. Tentu saja dia takut. Ini yang pertama baginya. Pikiran Allen tidak fokus, jantungnya tidak berfungsi dengan baik, dan tubuhnya bahkan gemetar.

  • More than Marriage   Sentuhan Pertama

    “Ingat tugasmu hanya satu, Allen! Kau lupa?”“Tidak.”“Apa?”“Memuaskanmu di atas ranjang.”“Bagus. Jadi ... kau tidak perlu repot-repot menjadi istri yang baik. Aku tidak butuh kau pintar masak, mencuci piring dan bajuku. Melakukan apa pun yang tidak penting sama sekali. Kau hanya perlu memberiku pelayanan terbaik. Di sana _” Agra menunjuk ranjang besar di belakangnya. Tempat paling intim dari sebuah hubungan. “Di atas ranjang,” sambungnya. Agra tersenyum puas. Sekalipun Allen menutupi air matanya, Agra tentu tahu tubuh Allen sedang gemetar. Dan dia suka melihat wanita itu ketakutan. “Buka lemarinya, ambil kotak yang ada di dalam.”Allen menarik napas dan mengembuskan perlahan. Pelan sekali, takut terdengar oleh Agra. Betapa gusar napasnya. Sementara suaminya sudah merebahkan diri di kasur dengan kedua tangan terangkat ke belakang sebagai bantalan kepala. Kening Allen berkerut begitu melihat kotak berwarna merah tua dengan pita ungu muda di atasnya. Dia segera membawa kotak itu ke de

  • More than Marriage   Selepas Pernikahan

    Allen menatap wajahnya di depan cermin. Bingkai kesedihan tercetak jelas di sana. Riasan tipis, kalung dan anting berlian tersemat di kedua telinganya. Satu set perhiasan pemberian Agra. Dia tidak punya banyak uang untuk membeli barang mewah seperti itu. Rambutnya terangkat ke atas dan hanya menyisakan anak rambut di sekitar pelipis. Leher jenjang sampai tulang selangkanya terekspos.Allen sudah melakukan relaksasi berkali-kali, dari bergerak kecil, menarik dan mengembuskan napas. Semuanya tidak berguna. Ada perasaan yang tak bisa diceritakan. Menyesal? Mungkin saja.“Haah ....” Lenguhan panjang lolos dari mulutnya. Diremasnya gaun putih berpayet.Menikah dengan orang yang dicintai, siapa pun pasti bahagia, tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Allen inginkan. Bagaimana dia bisa tersenyum. Dia hanya seorang diri di hari istimewanya. Tanpa siapa pun mendampingi.“Nona, aku mohon jangan menangis lagi.” Seorang penata rias memperingatkan. Dia sudah merias wajah Allen sebanyak tiga kal

  • More than Marriage   Perjanjian Pra Nikah

    Deg! Allen memukul kedua telinganya, pasti dia salah dengar. Mungkin telinganya mulai bermasalah. “Ah, maaf sepertinya telinga saya bermasalah. Saya tidak dengar apa yang Bapak katakan.”Agra berbalik badan. Menatap Allen dengan seksama, sementara Allen berusaha melawan rasa gugupnya dengan tetap tersenyum. “Maafkan saya, akhir-akhir ini saya memang kurang sehat. Jadi sering hilang fokus. Bapak bicara apa tadi?” tanyanya.“Kubilang menikahlah denganku!”“Eh?”Dengan menikahimu maka aku bebas menyiksamu semauku. Jangan harap aku akan memberimu banyak cinta. Aku tidak akan membangun surga untukmu. Sebaliknya, akan kubangun neraka agar kau menderita. Sama seperti diriku. Selamanya kau akan hidup dalam ketakutan dan kesedihan dalam ikatan yang kubuat. Dengan begitu kita impas, Agra membatin lalu berucap setelahnya,“Jika kau bersedia menikah denganku, maka aku akan mempekerjakan kalian lagi. Bagaimana? Kau bisa menolong Alisa, juga bisa menolong hidupmu sendiri. Hutangmu padaku lunas, dan

  • More than Marriage   Utang Masa Lalu

    Pantri menjadi salah satu tempat paling nyaman di perusahaan. Allen bisa menumpahkan segala perasaannya di sini. Di temani secangkir kopi dan suasana hening. Tentu saja.“Hey, cantik.” Alisa meraih gelas yang sedang di genggam Allen. Menenggak isinya sampai tandas. Dia meletakan kardus berisi tumpukan barang-barangnya di meja yang sama. Bersisian dengan kardus milik Allen. “Bola matamu bisa keluar jika kamu terus melotot begitu.”Allen yang bingung dengan isi kardus di depannya hanya bisa melotot dengan mulut sedikit terbuka. Pada bagian atas tumpukan barang ada name tage Alisa yang terletak sembarang. Sama persis seperti isi kardus miliknya. “Lisa. Apa maksudnya ini?!” Menggoyang kardus milik Alisa.Alisa hanya mengendikan bahu lalu berucap santai, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengundurkan diri.”“What the ....” Allen memejamkan matanya. Menar

  • More than Marriage   Laki-laki Berhati Dingin

    Allen menatap nanar amplop putih di depannya. Kedua tangannya mengepal sampai kuku tajamnya terasa menancap di telapak tangan. Buku-buku kukunya sudah berubah kemerahan. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Ingin marah dan berteriak, tetapi hanya akan membuatnya malu dan membuang energi percuma.“Maafkan saya, Allen. Sungguh saya tidak berniat memecatmu,” ucap laki-laki yang duduk di depannya. Memangku kedua tangan di atas meja kerja. Laki-laki bertubuh gemuk dengan kepala yang jarang ditumbuhi rambut, dia adalah Manajer di perusahaan tempat Allen bekerja.“Pak, tolong berhenti minta maaf padaku. Jika memang Bapak tidak berniat memecat saya, kenapa tetap Bapak lakukan?”“Saya terpaksa, Allen. Maaf.”“Pak, jangan mengatakan maaf terus. Paling tidak Bapak harus menjelaskan kenapa saya dipecat? Memangnya apa salah saya? Saya pekerja yang baik, tekun, dan tidak pe

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status