Suara yang merdu dengan petikan gitar yang sangat terampil. Seorang gadis pengamen di lampu merah kala itu. Gadis yang mampu membuat Vano Arka Wijaya (30), pria dermawan dengan bersampul brengsek dan juga dingin. Telah jatuh hati kepadanya.
Sudah sejak dua bulan lebih, Vano mencari informasi tentang gadis itu. Namanya, Khanza Aurely (18), siswi SMA negri ternama di Kota itu. Lahir dari keluarga sederhana, dengan sifat ceria dan sangat ramah. Namun, Khanza memiliki kebiasaan buruk yang mungkin sudah tidak layak bagi usianya saat ini.
Kebiasaan buruk itu, ia sering bolos pelajaran dan selalu membuat onar di sekolah. Sampai ia bertemu dengan Vano Arka Wijaya, seorang pengusaha yang sangat dermawan, namun terlihat sombong.
Akan tetapi, karena kurang kasih sayang dari orang tuanya semasa kecil, membuat pikirannya sempit tentang dunia ini. Jika orang lain pembicaraan kekeluargaan membuat masalah selesai, berbeda dengan Vano, jika uang adalah bentuk penyelesaian masalah baginya.
Khanza memiliki Adik bernama Lisa Wardani (12), tahun ini ia akan masuk ke SMP. Ayah mereka sering sakit- sakit an juga. Khanza ini mengamen tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Selama ini, ia bisa membeli buku sekolahnya sendiri dari hasil ngamen setiap ada jam kosong maupun waktu libur sekolah.
Khanza juga memiliki teman sebangku bernama Hanif Ristanto (19). Hanif ini cowok penakut, pintar dan tentunya kutu buku. Suka membela jika Khanza benar, dan menasehati Khanza ketika ia salah. Lahir dari keluarga yang cukup mampu.
Suatu hari di kelas, kebetulan hari itu ada jam kosong. Khanza bersiap-siap untuk pergi sebentar mencari uang dengan suara dan petikan gitarnya. Namun, Hanif selalu sahabatnya mencoba manahan agar Khanza tidak melakukan hal tidak baik itu. Bolos jam pelajaran, meskipun jam kosong.
"Za, kamu mau kemana, sih?" tanya Hanif curiga.
"Biasa jam kosong, kamu tahu sekali bagaimana kebiasaanku, bukan?" jawab Khanza dengan santai.
"Kamu butuh uang untuk apa lagi, sih? Aku punya jika kamu sedang membutuhkan uang. Aku harap kamu jangan bolos, ya. Aku mohon kepadamu, Za." Hanif merasa tertekan.
"Stttt jangan lagi. Hari ini aku butuh uang banyak soalnya. Sebentar lagi Si Lisa ulang tahun, dia minta sepatu. Tidak ada salahnya jika aku menurutinya," jelas Khanza.
"Aku ada, Za. Tapi aku mohon, kamu jangan bolos lagi. Ini akan berdampak buruk pada nilaimu, Za … kalau kamu di skorsing bagimana?" Hanif terpaksa berbohong, dengan harap Khanza mengurungkan niatnya untuk bolos sekolah saat jam itu.
"Jika kamu meminjamkan aku uang, lalu bagaimana cara aku mengembalikan kalau aku tidak bekerja?" tanya Khanza.
"Aku tidak terlahir dari keluarga berkecukupan sepertimu, Nif!" Khanza berlalu pergi.
Hanif sangat kecewa dengan sifat sahabatnya. Bahkan Khanza juga selalu menjadi juara umum di sekolah, tetap saja kebiasaan buruknya yang sering bolos sekolah membuat bintang baiknya menurun.
Setelah berhasil melompat dinding sekolah, ia berlari menuju semak-semak tempat dia menyimpan gitar kesayangannya.
"Semoga saja, hari ini aku mendapat banyak uang!" harapnya.
Khanza naik bis menuju terminal, ia juga segera mengganti seragam sekolahnya dengan baju biasa. Tak mungkin, jika dirinya bernyanyi di jalanan masih memakai seragam sekolah.
Ketika berjalan terburu-buru, tanpa sengaja Khanza menabrak seorang pria paruh baya di depan toilet.
Bruk!
"Aduh, hati-hati dong, Dek. Kalau jalan tuh lihat kanan kiri, jangan asal aja. Untung saya tidak jatuh," sulut pria itu.
"Maaf ya, Pak. Saya terburu-buru. Sekali lagi saya minta maaf, saya harus mengejar bus itu," Khanza berlari mengikuti bus yang hendak berangkat.
"Hah, anak jaman sekarang. Memang tidak ada sopan santunnya." gerutu pria itu.
Khanza sudah beberapa kali naik turun bis untuk bernyanyi. Namun, jumlah uang yang ia dapatkan masih belum mencapai target yang sudah ia targetkan. Ia pun berpikir untuk menyanyi lagi di lampu merah.
"Di sini lumayan juga." gumamnya.
Mau tidak mau, Khanza harus bernyanyi di sana. Ketika bernyanyi, seorang pria yang menabraknya di terminal sebelumnya, juga berhenti di lampu merah tersebut.
"Wah bertemu lagi, ya. Nih buat kamu!" ujar cap pria itu yang ternyata asisten pribadi dari seorang Bos muda (Vano).
"Eh, Bapak lagi. Hehe, ini nggak kebanyakan, ya?" tanya Khanza menerima uang tersebut.
"Uang segitu mana ada berharganya untuk saya. Pengamen seperti kamu, pasti senang kan dapat uang segitu?Cih!" desis Bos itu dengan tatapan merendahkan.
"Sama-sama dari tanah. Sama-sama menginjak tanah dan bakal balik lagi ketanah, Jadi buat apa sombong?" celetuk Khanza.
"Langit tak perlu menjelaskan kenapa dia tinggi, yang tinggi saja tidak melangit. Ini kenapa tanah sok menjadi langit?" kesal Khanza melempar uang itu ke dada Bos muda itu.
"Melihat ke atas sebagai motivasi, bukan untuk jadi rendah diri. Melihat ke bawah agar lebih bersyukur bukan agar jadi sombong. Gunung yang tinggi, besar, luas dan gagah perkasa pun tidak pernah bangga. Lalu kenapa Anda yang hanya se-jentik nya berani sombong. Malulah sama gunung! Hih kesal aku." gerutu Khanza berlari menjauh dari mobil itu.
Dialah Vano, orang yang suatu saat akan merubah kehidupan Khanza dimasa depan. Entah itu bersamanya, atau hanya menjadi jembatan karirnya saja.
"Pak Adi, carikan informasi tentang dia untuk saya. Saya akan berterima kasih atas nasehat yang berharganya itu." perintah Vano.
"Siap, Pak." jawab Pak Adi.
"Ck, buat apa sih, Van? Paling juga dia modus deh," ucap Rangga, sahabat Vano yang sudah seperti saudaranya sendiri.
Vano terus saja menatap Khanza yang saat itu bernyanyi untuk orang lain. Suaranya malah membuat ia kesal, mengingat kejadian beberapa menit lalu.
Setelah beberapa menit berlalu, Khanza melihat arloji di tangannya. Jam sudah menunjukan waktunya pulang sekolah.
"Wah harus segera kembali ke kelas nih. Bisa-bisa ditutup lagi gerbangnya. Kan tasku masih di kelas." gumam Khanza.
Sesampainya di depan kelas, kelasnya sudah kosong. Semua siswa sudah pulang karen jam kosong itu memang jam pelajaran terakhir.
Ia terus mencari tasnya karena sudah tidak ada di bangkunya. Sedangkan Hanif yang biasanya selalu menunggunya, rupanya ia juga sudah pulang lebih dahulu.
"Hanif serius nih ninggalin aku?"
"Ada apa dengannya hari ini, ya?"
"Tidak seperti biasanya, deh. Hanif memang bawel, tapi tidak pernah ninggalin aku seperti ini," gumamnya dengan masih mencari tasnya.
Tak berselang lama, seseorang muncul di belakangnya, dan menegurnya dengan sinis. "Kamu cari ini, 'kan?"
Suara siswi perempuan, ialah Tina. Seorang siswi yang telah lama ditaksir oleh sahabatnya, Hanif.
"Tasku, kok bisa bersamamu? Hanif mana?" tanah Khanza.
"Cih, nggak tau diri! Mending jauh-jauh deh dari Hanif," sulutnya.
"Dih, siapa kamu? Kenapa kamu melarang Hanif untuk dekat denganku?" tanya Khanza merapikan tasnya.
"Aku … pacar Hanif dari dua minggu lalu. Gara-gara kamu, Hanif diskorsing. Kenapa sih kamu bolos terus?" kesal Tina.
"Lah, aku yang bolos kenapa. Hanif yang diskorsing? Aku akan ke ruangan bimbingan," ujar Khanza.
"Guru bimbingan sudah pulang. Ingat, jauh-jauh dari Hanif!" hardik Tina mendorong Khanza.
Tina pergi meninggalkan Khanza di kelas. Merasa kesal dengan Khanza, Tina menjadi tega mendorong Khanza sampai terjatuh. Sejak awal, Tina memang tidak pernah menyukai Khanza.
Di perjalanan pulang, Khanza nampak sedih mengingat Hanif tidak mengangkat telfon darinya. Ia sangat menyesal jika benar Hanif di skors karena dirinya.Bagaimanapun juga, Hanif lah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Selalu membantunya di saat ia susah. Tak hanya itu saja, bahkan Hanif selalu pasang badan ketika apapun hal buruk yang terjadi menimpanya.Ia akan berinisiatif mengatakan kebenarannya besok pagi ke guru bimbingan, agar mencabut hukuman yang guru itu berikan kepada Hanif. Kemudian, dirinya siap menerima apapun hukuman dari guru bimbingan.***Sore itu, Khanza duduk di bawah rindangnya pohon rambutan. Menghitung uang hasil bernyanyinya siang tadi. Ketika sampai di uang lembaran kedua, tiba-tiba dia teringat akan Bos sombong siang itu."Hufft, rasanya aku ingin sekali menaikkan dasinya hingga tercekik dia," umpatnya."Dan aku selalu berh
Huh, kalau saja bukan aku yang salah, udah kuplitir tuh kepala orang. Main tampar pipi mulus aku yang super lembut ini, kesel deh!" gerutunya Khanza."Pipi kamu pasti baik-baik saja, kok. Tenang saja!" ujar Vano yang sudah ada di belakangnya.Khanza berbalik, melihat Vano dengan mata membelak, meyakinkan bahwa laki-laki itu adalah orang yang sama dengan yang kemarin. Khanza berbalik lagi, ia menganggap bahwa itu hanyalah khayalannya saja."Pasti berkhayal, mana ada om-om sombong itu di jalanan seperti ini? Hahaha mau apa dia? Mulung, tapi jaman sekarang pemulung sukses pun banyak," gumam Khanza."Hey, kamu berani tidak memperdulikan saya?" teriak Vano.Khanza kembali membalikkan badan. Kemudian berjalan mendekati Vano yang juga terhenti saat dirinya berbalik. Ia memberanikan diri untuk menyentuh lengan dan pipi lelaki yang baginya sombong itu. Tak hanya di bagian pipi dan l
Di sekolah, Khanza yang biasanya riang, ceria, suja jahil dan suka bernyanyi. Kini ia menjadi lebih pendiam, ia juga menjauhi Hanif, ketika mereka berpapasan saja, Khanza tidak menegurnya."Khanza kenapa ya? Apa karena aku tidak melayat ke rumahnya, terus dia ngambek? Marah gitu sama aku?" Hanif bertanya dalam hati.Ingin sekali Hanif menegurnya sahabatnya tersebut. Namun, semua itu masih ia tahan karena sang kekasih menempel terus di lengannya, seperti enggan kehilangannya. Bahkan mereka duduk bersebelahan saja, Khanza sama sekali tidak menengok ke arah Hanif.Di sekolah, kali ini Khanza tidak berulah. Jam kosong pun ia tidak membolos lagi. Ia malah menggunakan kesempatan itu untuk tidur.Ingin sekali Hanif menegur Khanza, tapi ia takut jika kakak sepupunya akan berulah lagi dengan kepadanya. Khanza adalah sahabat yang baik
Kebakaran rumah siang itu membuat trauma di ingatan mendalam bagi Khanza dan Lisa. Sesekali, air mata Khanza menetes, meratapi nasibnya yang kini tidak memiliki apapun kecuali adik dan pakaian yang masih melekat di tubuhnya.Di balik kaca mobil Vano, Khanza menyembunyikan kesedihannya dari langit. Ia baru saja kehilangan orang tuanya, lalu sekarang kehilangan rumahnya. Bahkan ia juga bingung, kenapa dirinya langsung bersedia mengikuti Vano, orang yang baru saja di kenalnya."Khanza, apa kamu baik-baik saja?" tanya Vano."Om ini siapa? Kenapa mau bantu kita berdua?" tanya Lisa."Panggilnya jangan om, dong. Panggil saja dengan nama, nama saya Vano. Usia saya memang jauh dari kalian, tapi belum pantaslah di panggil dengan sebutan itu," jelas Vano."Dia ini bos saya. Jika boleh, kamu panggil dia Tuan saja. Oke?" sahut Pak Adi."Jangan Tuan! Kamu boleh panggil say
Rupanya, Lisa mendengar semua percakapan antara Vano dan kakaknya ketika berada di ruang tamu. Ia tidak ingin kakaknya menanggung beban sendirian, Lisa pun berlari dan memeluk kakaknya. Namun tidak mengatakan jika dirinya telah mendengar semuanya."Loh, Lisa, kamu kenapa? Kok tiba-tiba meluk kakak gini, sih?" tanya Khanza heran."Kita pergi saja, yuk, Kak dari sini. Aku lihat, kakak tidak bahagia tinggal di sini," ujar Lisa masih menyembunyikan wajahnya."Sebaiknya, kita cari kosan aja gitu. Apa tidur dimana gitu lah. Aku siap kok untuk berhenti sekolah dan membantu kakak cari uang," imbuhnya.Khanza melepaskan pelukan adiknya, menatap wajah adiknya dengan jelas. Terlihat mata satu adiknya membuatnya semakin sedih. Melihat adiknya, Khanza semakin terpojok. Memang seharusnya, adiknya masih terus se
Di sekolah, Khanza juga masih menjadi seorang yang pendiam. Ia lebih memilih untuk tidur di jam istirahat. Teman sekelasnya mulai merindukan sosok Khanza yang dulu, yang sering membuat kelas menjadi ramai dan asyik."Za, nyanyi dong. Sudah beberapa hari ini, kita nggak denger suara merdu lu di kelas. Nyanyi yuk …." pinta salah satu teman sekelasnya.Khanza hanya menggelengkan kepala, lalu menyembunyikan wajahnya kembali dan merebahkan kepalanya di mejanya. Menghela napas panjang, kemudian kembali memejamkan mata."Yah ….""Potek kita, Za. Sebentar saja, sambil nunggu guru datang, Za. Gue mohon--""Ayo lah Za … sebentar aja lah. Nif, ayo dong suruh sahabat lu buat nyanyi, lagi,"Ba
Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza."Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.Plak!"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi."Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Ma
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis."Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil."Makan dulu!" ucap Vano.Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya."Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya."Jika ada yang ing
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza."Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.Plak!"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi."Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Ma