Rupanya, Lisa mendengar semua percakapan antara Vano dan kakaknya ketika berada di ruang tamu. Ia tidak ingin kakaknya menanggung beban sendirian, Lisa pun berlari dan memeluk kakaknya. Namun tidak mengatakan jika dirinya telah mendengar semuanya.
"Loh, Lisa, kamu kenapa? Kok tiba-tiba meluk kakak gini, sih?" tanya Khanza heran.
"Kita pergi saja, yuk, Kak dari sini. Aku lihat, kakak tidak bahagia tinggal di sini," ujar Lisa masih menyembunyikan wajahnya.
"Sebaiknya, kita cari kosan aja gitu. Apa tidur dimana gitu lah. Aku siap kok untuk berhenti sekolah dan membantu kakak cari uang," imbuhnya.
Khanza melepaskan pelukan adiknya, menatap wajah adiknya dengan jelas. Terlihat mata satu adiknya membuatnya semakin sedih. Melihat adiknya, Khanza semakin terpojok. Memang seharusnya, adiknya masih terus sekolah dengan benar.
"Lihatlah, Tuan Vano telah memberi seragam baru untuk kita. Jangan berpikir akan putus sekolah lagi, ya …," ucap Khanza dengan lemah.
"Tidurlah, hari sudah larut. Besok, kamu harus sekolah, bukan?" imbuhnya.
Lisa terus memperhatikan wajah kakaknya yang sendu. Ia mengusap kedua pipi Kakaknya dengan lembut. Seraya bertanya, "Kak, boleh nggak kalau aku tanya hal penting kek kakak?"
"Boleh dong, mau nanya apa?" senyum Khanza membuat hati Lisa teduh.
"Sebenarnya--"
"Tuan Vano itu siapa, sih? Lalu, apa hubungan kakak dengan Tuan Vano itu?"
Pertanyaan yang akan sulit dijawab oleh Khanza. Sebab, dirinya juga tidak tahu mengapa Vano sangat baik kepadanya. Bahkan sampai memberikan jaminan hidup kepada dirinya serta adiknya itu.
"Em, nggak usah di jawab juga nggak papa, kok, Kak. Aku tidak ingin menambah beban pikiran kak Khanza. Aku bersedia dan sabar menunggu setelah kakak siap menceritakan nanti." lanjut Lisa dengan senyumannya.
Ia kembali ke kamarnya, begitupun dengan Khanza yang seakan adiknya mulai curiga terhadap hubungannya dengan Vano. Pria dewasa yang baru saja Khanza kenal.
Namun, Khanza yang sekarang menjadi berbeda. Usianya masih muda, ceria dan penuh semangat dulunya. Kini, keceriaan itu hilang seketika semenjak orang tuannya tiada.
"Ibu, Ayah, aku harus bagaimana sekarang? Tuan Vano itu seseorang yang tidak mudah ditebak. Terkadang, dia baik dan kadang juga dia berkata kasar. Aku harus bagaimana Ibu, Ayah? Aku merasa sendiri sekarang ini, apakah kalian mendengar keluhanku ini? ," Khanza mulai menangis.
Kamarnya yang di berikan Vano untuknya, kamar yang kedap akan suara. Sekeras apapun Khanza menangis, tak ada seorang pun yang akan mendengarkan tangisannya.
Ia terus saja menangis semalaman. Hingga akhirnya kelelahan dan tertidur di sofa kamar tersebut. Entah dari mana Vano bisa masuk kedalam kamar itu, ia pun menggendong Khanza, kemudian memindahkannya ke ranjang serta menyelimutinya.
"Lihatlah, kamu kelelahan seperti ini," bisiknya.
"Mengapa kamu terus bersedih, Khanza. Apa namun tidak bahagia di sini? Jujur, saya suka kepadamu, Khanza." Vano pergi dengan mengecup kening Khanza.
Tak mungkin jika Vano tidak menyukai Khanza. Ia begitu tertarik dengan semua yang bersangkutan dengan gadis pengamen itu. Berjalan melewati pagar rumah, kemudian menoleh ke arah kamar Khanza.
***
Pagi hari, Khanza merasa aneh. Ia merasa tidur di sofa malam itu, dan ketika pagi hari, ia sudah mendapati tubuhnya di atas ranjang dengan selimut besar yang sebelumnya tidak ada di atas ranjang.
"Semalam kayaknya aku tidur di sofa, deh. Lalu, kenapa jadi sampai di sini? Apakah aku tidur berjalan?" gumam Khanza bingung.
"Hish, bodo amat lah! Lebih baik sekarang aku mandi. Rumah ini agak jauh juga dari sekolah. Nanti, yang ada aku malah telat lagi."
Setelah Khanza siap untuk berangkat ke sekolah, ia keluar kamar dengan tergesa-gesa. Takut akan terlambat ke sekolah, karena jauhnya jarak dari rumah itu ke sekolah.
Namun, betapa kagetnya dia. Ketika ia keluar, Vano dan Lisa rupanya sudah menunggunya di meja makan. Awalnya Khanza enggan untuk sarapan, tapi tatapan Vano kepadanya membuat ia tahu, bahwa Vano ingin Khanza duduk di sampingnya dan sarapan bersama.
"Setelah ini, saya akan antar kalian ke sekolah, ya. Bekal kalian juga sudah di siapkan oleh Engkom, 'kan?" kata Vano ramah. Benar-benar berubah dalam seketika.
"Ok!" Lisa tentu saja senang.
"Tidak!" tolak Khanza.
"Tidak, sekolah saya dengan Lisa berlawanan arah, jika salah satu dia antara kami tidak naik angkutan umum, maka kami akan terlambat," lanjutnya.
"Kakak ini!" desis Lisa dalam hati.
Lisa mengamati Vano dan Kakaknya. Ia merasa jika hubungan mereka tidak sesederhana itu. Lisa melihat ada harapan indah untuk kakaknya di dalam diri Vano.
Kepergian, kemalangan dan takdir buruk dalam diri Khanza sudah cukup bagi Lisa, adiknya. Ia tak mampu lagi melihat mata kesedihan dalam kakaknya itu.
Apalagi, setelah kepergian orang tuanya, Lisa melihat senyum pada wajah kakaknya semakin memudar. Lisa juga yakin jika Vano menyukai kakaknya itu. Namun, Khanza lah yang belum mengerti akan sinyal cinta dari Vano.
"Tuan, sebaiknya kita berangkat sekarang. Supaya Tuan bisa mengantar Kak Khanza ke sekolah juga!" seru Lisa melahap roti terakhirnya. Ia juga berlari lebih dulu ke mobil tanpa menunggu kakaknya.
Dalam perjalanan, Vano masih diam meski di sampingnya ada Khanza. Mereka duduk di kursi depan, sedangkan Lisa duduk di depan di samping Pak Adi.
"Di sini sekolahku. Terima kasih Tuan Vano, terima kasih Pak Adi, dadah semuanya …." pamit Lisa dengan mulut comelnya.
Setelah mengantar Lisa, kini Vano dan Pak Adi akan mengantar Khanza ke sekolahnya. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka. Suasana di dalam mobil begitu sunyi dan penuh ketegangan.
Sesampainya di gerbang sekolah, Khanza cepat-cepat membuka pintu mobil, lalu berpikir untuk berlari setelah itu, agar Vano tidak membuatnya sibuk sebelum masuk sekolah.
"Terima kasih, di sini saja Pak Adi. Aku tidak ingin teman-teman yang lain melihatku keluar dari mobil ini," ucap Khanza.
"Pulang sekolah saya akan menjemputmu. Jangan berpikir untuk ngamen lagi, aku ada pekerjaan untukmu," tegas Vano menahan pintu mobilnya.
Khanza hanya tersenyum tipis saat itu. Vano terus saja memandanginya sampai sudah tidak terlihat lagi. Vano menghela napas panjang, lalu menertawakan dirinya sendiri karena telah menyukai gadis sekolah berusia 18 tahun.
"Tuan, kok Khanza ini berubah, ya. Saat awal kita kenal dia … dia adalah gadis periang, banyak bicara juga. Sekarang jadi manis, pendiam dan tidak banyak bicara, Tuan," celetuk Pak Adi.
"Mulai menjadi penggosip, kah?" kesal Vano.
Tuan Vano meminta Pak Adi untuk segera menuju kantornya. Pada dasarnya, Vano memang lelaki yang lembut dan penuh tutur kata yang tegas. Ia hanya tidak ingin Khanza dan adiknya mengalami kesulitan hidup lagi setelah itu
Di sekolah, Khanza juga masih menjadi seorang yang pendiam. Ia lebih memilih untuk tidur di jam istirahat. Teman sekelasnya mulai merindukan sosok Khanza yang dulu, yang sering membuat kelas menjadi ramai dan asyik."Za, nyanyi dong. Sudah beberapa hari ini, kita nggak denger suara merdu lu di kelas. Nyanyi yuk …." pinta salah satu teman sekelasnya.Khanza hanya menggelengkan kepala, lalu menyembunyikan wajahnya kembali dan merebahkan kepalanya di mejanya. Menghela napas panjang, kemudian kembali memejamkan mata."Yah ….""Potek kita, Za. Sebentar saja, sambil nunggu guru datang, Za. Gue mohon--""Ayo lah Za … sebentar aja lah. Nif, ayo dong suruh sahabat lu buat nyanyi, lagi,"Ba
Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza."Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.Plak!"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi."Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Ma
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis."Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil."Makan dulu!" ucap Vano.Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya."Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya."Jika ada yang ing
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis."Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil."Makan dulu!" ucap Vano.Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya."Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya."Jika ada yang ing
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza."Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.Plak!"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi."Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Ma