Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza.
"Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.
Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.
Plak!
"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi.
"Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Matang ini, sadar dong, Za!" tegas Hanif kepada sahabatnya itu.
"Iya Za, kenapa lu hanya diam. Kita mana terima lu di fitnah seperti ini. Lu harus buktikan, dong. Kalau lu nggak seperti yang Matang katakan," sahut Danu.
Saat ini, semua temannya sedang menunggu kejelasan dari Khanza yang malah sedang menikmati mie cup-nya. Khanza sendiri aslinya tidak ingin menanggapi hinaan atau bahkan ledekan Mayang sekalipun.
"Buat apa kesal? Aku tidak merasa terhina juga, kok. Apa yang dikatakan Mayang kan hanya omong kosong saja. Ngapain marah?" ujar Khanza santai.
Pertengkaran itu terhenti karena ada guru masuk ke kelas, dan kegiatan mengajar pun di mulai. Mayang mendengus, ia menganggap Khanza masih lolos karena ada guru yang masuk.
Dari luar Khanza terlihat tenang dan damai. Namun, ia berusaha tetap tegar dengan apa yang ia alami dalam hatinya. Ketegaran Khanza tentunya menutupi rasa ingin menangisnya. Kenyataannya, ia di hina sebagai simpanan lelaki hidung belang, dan itu membuat Khanza sakit hati.
***
Jam pulang sekolah berdering. Semua siswa terlihat berkumpul di depan gerbang. Khanza sangat bingung waktu itu. Ia pun berusaha menerobos siswa lain agar bisa lihat, apa yang sebenarnya terjadi.
Terkejutlah si Khanza, ia melihat mobil Vano sudah ada di gerbang sekolah dengan dia yang berdiri di depan samping mobilnya dengan mengenakan jaz hitam. Kemudian, Vano berjalan mendekati Khanza dan menyapanya.
"Sudah pulang?"
"Ayo!"
Khanza hanya diam menatap Vano dengan tatapan sendu. "Haih, kenapa pula Tuan Vano menjemputku beneran?" batinnya.
"Itu siapanya Khanza, ya? Dan mobil mewah itu … pasti bukan orang biasa!" seru seorang siwi.
"Gue bilang juga apa … Khanza itu menjadi candy-nya sugar daddy, atau malah dia ini jadi simpanan suami orang," hina Mayang.
Mayang menggunakan kesempatan itu untuk menjatuhkan harga diri Khanza. Banyak siswa yang percaya kepada Mayang karena tidak ada pembelaan dari Khanza tersendiri.
"Jaga omongan kamu. Khanza ini bukan simpanan saya. Dia ini adalah calon istri saya di masa mendatang, jadi--" ketika Vano mengungkap identitasnya, Khanza langsung menutup bibir Vano dan mengajaknya pulang.
"Udah-udah, kita pulang sekarang. Jangan hiraukan mereka lagi!" Khanza menarik lengan Vano dan masuk ke mobil.
Semua siswa terkejut dengan pernyataan Vano, yang mengakui bahwa dirinya adalah calon suami dari Khanza. Itu sangat membuat Khanza tidak nyaman.
"Lain kali jangan seperti ini, saya mohon. Saya sudah tidak bisa menerima kebaikan dari anda lagi, Tuan Vano," ucap Khanza.
"Kanza, saya ngomong apa adanya. Saya suka sama kamu," Vano menyakinkan Khanza akan perasaannya. "Dan iya, kenapa bahasamu masih saja formal begini dengan saya? Tidak nyaman sekali, Khanza. Bersikaplah seperti awal kita bertemu dulu." imbuhnya.
Khanza menatap Vano dibalik kaca mata hitamnya yang membuat Khanza semakin terdiam. Tak bisa dipercaya baginya, jika seorang Tuan Muda yang dermawan seperti Vano bisa menyukai gadis miskin dan mantan pengamen seperti dirinya.
"Pak Vano yang terhormat … cukup, ya. Jangan memberi aku beban lagi. Kebaikan anda sudah sangat banyak. Aku semakin tidak sanggup untuk melunasinya. Saya mohon, jangan lagi seperti ini." kata Khanza dengan menyatukan tangannya.
Namun Vano hanya diam saja, ia tidak mendengarkan apa yang di katakan oleh gadis yang ia sukai itu. Sebab, ia memang jatuh cinta dengannya, namun belum siap untuk mengungkapkannya.
"Saya ada pekerjaan untukmu, kau tidak mungkin akan menumpang di rumah saya selamanya, 'kan?" Vano mengalihkan pembicaraan.
"Oh, tentu saja. Apa pekerjaan itu? Aku tidak ingin merepotkanmu, aku bisa mencari pekerjaan sendiri, " tanya Khanza dengan sinis.
Vano memberikan alamat cafenya yang baru saja ia buka dalam beberapa bulan. Ia juga memberikan gitar baru untuk Khanza, karena Vano tahu gadisnya menyukai alat musik gitar.
"Apa ini? Dan gitar ini untuk apa?" Khanza merasa heran.
"Ini alamat cafe saya yang beberapa waktu lalu dibuka. Di sana masih membutuhkan vokalis untuk acara live musik. Dengan gitar ini, kamu bisa mencari uang dan membayar semua hutangmu kepada saya," jelas Vano tanpa menatap mata Khanza.
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Tuan. Biarkan saja aku mencari pekerjaanku sendiri." tolak Khanza.
Tentu saja Vano marah mendengar penolakan darinya. Ia meminta Pak Adhi untuk memberhentikan mobilnya. Lalu menyuruh Khanza untuk turun dari mobil dengan sangat kasar.
"Keluar," usir Vano masih dengan sabar.
"Apa? Di sini?" tanya Khanza.
"Keluar!" bentak Vano, ia kesal saat ini.
Khanza keluar dan brum … suara laju mobil Vano meninggalkan yang Khanza di pinggir jalan.
"Hihhh kalau aja gue nggak ada hutang sama dia, gue udah buat perkedel tuh orang. Dasar kadal kepidek!" umpat Khanza mengepalkan tangannya.
Khanza terpaksa harus jalan kaki dari jalan itu sampai kerumah. Padahal, masih membutuhkan waktu lama agar sampai rumah milik Vano itu. Tidak sengaja Hanif melewati Khanza dan menawarkan tumpangan.
"Za!" teriak Hanif.
"Hanif?"
"Kok kamu jalan kaki, sih? Bukannya tadi di jemput sama calon suami kamu, ya?" tanya Hanif.
"Dia bukan calon suamiku!" tegas Khanza.
"Tapi dengan jelas, dia mengaku bahwa kamu adalah calon istrinya. Kenapa sekarang menjadi tidak?" sahut Hanif.
Hanif tidak tega melihat sahabatnya berjalan sendirian, ia pun menawarkan tumpangan untuknya dan mengantarkannya pulang dengan cuma-cuma. Pada intinya, Hanif ingin tahu dimana sahabatnya itu tinggal sekarang.
"Yakin kamu mau ngantar aku pulang?" tanya Khanza.
"Kalau tidak yakin, tidak mungkin sekarang kamu naik di jok belakangku," jawab Hanif.
"Cewekmu?" lanjut Khanza lagi.
Hanif hanya diam saja, ia segera menghidupkan motornya dan mulai berjalan. Sama sekali tidak menjelaskan saat di singgung tentang kekasihnya.
"Nif, si Tina bagaimana kalau tau kami bocengin aku?" tanya Khanza lagi. Ia memastikan bahwa tak ada kesalahan setelah Hanif mengantarnya pulang.
Sebab, kebahagiaan Hanif bersama kekasihnya adalah harapannya. Selama bersahabat dengan dirinya, Hanif belum pernah memiliki seorang kekasih karena Hanif terlalu fokus dengannya. Khanza sendiri akan merasa bersalah jika Tina sampai mengetahui jika Hanif mengantarnya pulang.
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis."Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil."Makan dulu!" ucap Vano.Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya."Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya."Jika ada yang ing
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis."Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil."Makan dulu!" ucap Vano.Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya."Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya."Jika ada yang ing
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza."Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.Plak!"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi."Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Ma