Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis.
"Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.
Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil.
"Makan dulu!" ucap Vano.
Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya.
"Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya.
"Jika ada yang ingin kamu katakan, kamu bisa menemui saya di ruang kerja yang ada disebelah sana. Kamu habiskan dulu makananmu, permisi!" lanjut Vano dengan sikap yang dingin.
Mengetahui sikap Vano berubah, segera Khanza menyantap makanannya dengan terburu-buru sampai akhirnya tersedak hingga terbentuk batuk.
"Uhuk, uhuk, uhuk,"
Mendengar Khanza tersedak, Vano langsung berbalik dan memberinya minum, sembari mengusap punggung Khanza dengan lembut. Nampak jelas kepedulian Vano bukan semata karena kasihan saja. Melainkan, ia telah jatuh cinta sungguhan dengan gadis SMA yang masih berusia 18 tahun itu.
"Ayo minum, makan secara perlahan saja. Saya bisa menunggumu di sana," ujar Vano berjalan membelakanginya.
Tak lama kemudian, ia berbalik dan berkata, "Oh, tidak. Berikan, saya akan menyuapimu saja. Nanti … yang ada kamu tersedak lagi."
Vano mulai menyuapi Khanza dengan sangat hati-hati. Bahkan sisa makanan di bibirnya juga Vano bersihkan menggunakan jarinya tanpa jijik. Tentu saja perlakukan Vano itu membuat air mata Khanza menetes.
Khanza terus menatap mata Vano yang penuh dengan ketulusan. Sama halnya saat dulu ibunya menyuapi dirinya. "Ada apa denganku? Lelaki setulus ini, apakah harus aku curigai?" batinnya.
Vano sadar gadisnya menangis. Air mata itu membuatnya panik. "Hey, kamu kenapa menangis?" tanyanya dengan menyeka air mata Khanza.
"Apa saya menyuapimu terlalu banyak? Atau … masih panas, ya? Jangan nangis, saya minta maaf, ya?" Vano masih sibuk menyeka air mata Khanza dengan perlahan.
Aksi Vano terhenti ketika melihat sepasang mata yang indah itu menatap dirinya dengan penuh tanda tanya. Vano menggerakkan alisnya, pertanda jika dirinya bertanya 'ada apa'.
"Sebenarnya, sifat mana yang Tuan miliki? Kenapa sifat anda selalu berubah-ubah seperti itu?" tanya Khanza lirih.
Vano terdiam, masih menatap gadisnya lekat-lekat. Tak lama kemudian, ia tertawa sangat keras. "Haha jangan bilang kamu percaya dengan hardikan saya di kamar tadi, Khanza?" ucapnya.
Khanza mengangguk. Ia pun menjawab pelan, "Sayangnya, aku memang percaya dengan apa yang Tuan katakan di kamar tadi,"
"Kamu percaya? Khanza, saya mana mungkin menyakiti orang yang saya sayangi, saya sayang sama kamu. Tidak mungkin dong saya menyakitimu. Saya hanya kesal, karena kamu boncengan dengan teman lelakimu itu. Saya hanya cemburu sana," jelas Vano mencubit hidung Khanza.
Pandangan Khanza masih dalam kepada Vano. Ia sendiri tidak menduga jika Vano hanya menggodanya saja. Khanza pun pergi ke kamarnya dengan perasaan marah dan diiringi rasa malu.
"Khanza! Saya sangat menyayangimu. Saya cuma memiliki satu permintaan, yaitu menjadi kekasihku itu sungguhan!" teriak Vano.
Langkah Khanza terhenti, air matanya mulai menetes kembali. Kemudian langsung berlari ke kamarnya. Saat itu, dirinya bahkan tidak tahu dari segi mana Vano menyukainya seperti itu.
"Mawar, tolong kamu bicara dengan Khanza, ya. Saya masih ada beberapa pekerjaan yang masih tertunda." perintah Vano kepada anak yang menjaga vila nya.
Sejak kecil, Mawar di biayai sekolahnya oleh Vano. Menjadikannya jatuh hati kepada Tuan nya yang selalu memberikan kebaikan kepadanya.
"Baik Tuan." jawab Mawar.
Ia bergegas ke kamar di mana Khanza berada. Rupanya, Khanza tidak ada di kamar. Dengan sigap, Mawar mencarinya hingga ke atas atap, karena memang di atas sana adalah tempat yang cocok untuk menyendiri.
Tenyata memang ada di sana sedang menikmati sang mentari terbenam. Meski cuaca sedang mendung, membuat sang mentari tak terlihat sinarnya. Mawar pun mengajak Khanza untuk masuk ke kamar yang lain, kamar milik Vano pribadi.
Kamar itu hanya Vano yang boleh masuk. Mawar sengaja membawa Khanza masuk ke sana agar Khanza terkena amarah Vano. Dengan bodohnya, Khanza pun ikut saja apa yang Mawar katakan.
"Ini kamar siapa?" tanya Khanza melihat sekeliling.
"Ini kamar Tuan, berhubung kamar Nona sedang di bersihkan oleh Ibu saya, jadi sementara Nona bisa istirahat disini," jelas Mawar dengan tatapan kesal.
"Oh, terima kasih," ucap Khanza tanpa curiga.
"Saya tinggal dulu, Nona." Mawar meninggalkan Khanza di kamar Vano.
Ia juga menutup pintu kamar, kemudian menyeringai. Sejak lama, Mawar sudah mencintai Vano. Baru pertama kali Vano membawa pulang wanita ke Villa pribadinya itu.
Membuat Mawar tidak menyukai itu. Sebab, dirinya sudah menunggu Tuannya sejak lama. Di sisi lain, Khanza akhirnya bisa terlelap di kasur nanti empuk. Tak lama kemudian, Vano masuk ke kamar.
Awalnya ia marah karena ada seseorang yang masuk di kamar miliknya itu. Melihat pose tidur Khanza yang lucu, membuat amarah Vano mereda. Ia pun tidur di samping Khanza dengan perlahan, dan memeluknya dari belakang. Tentu saja pelukan itu Khanza terkejut, ia langsung lompat ke bawah.
"Tuan Vano!" teriak Khanza. "Apa yang Tuan lakukan?" imbuhnya panik.
"Tidur!" tegas Vano.
"Iya tapi mengapa harus di sampingku? Mana asal main peluk lagi," siapa yang tak kesal jika sedang terlelap dipeluk oleh pria yang tidak memiliki ikatan apapun dengannya.
"Ini kamar saya, suka hati saya dong mah berbuat apa!" ketua Vano. Ia langsung menarik tangan Khanza ke tempat tidur, lalu memeluknya dengan erat.
"Jangan bergerak! Tetaplah seperti ini Khanza, saya sangat lelah hari ini. Pekerjaan kantor tertunda karena mencarimu seharian," bisik Vano dengan tangan yang melingkar di pinggul Khanza.
Membuat Khanza risih dan tidak nyaman. Khanza berusaha melepaskannya. Akan tetapi, "Tapi Tuan tidak akan ngapa-ngapain aku, 'kan?" Khanza masih saja waspada.
"Saya tidak mungkin menikmati tubuhmu tanpa persetujuan darimu. Saya juga tidak mungkin merusak kehormatan seorang gadis yang belum memiliki ikatan resmi dengan saya. Biarlah seperti ini sebentar saja Khanza." ucapan Vano membuat hati Khanza tersentuh.
Beberapa menit kemudian, Vano melepaskan pelukannya, ia mengambil selimut dari almari dan tidur di sofa. Vano sadar, ia tak akan melakukan hal negatif, karena itu sama saja ia berbuat kejahatan.
"Tuan, anda mau kemana?" tanya Khanza masih terjaga.
"Mau bagaimana lagi? Kita tidak mungkin tidur seranjang, bukan? Saya takut kalau saya khilaf, jadi kamu tidurlah di situ dengan nyenyak, oke? Lalu, biarkan saya tidur disini," ucap Vano menyelimuti dirinya.
"Aku yakin, Tuan Vano ini adalah orang yang baik, buktinya dia tidak melecehkan aku. Jika dia orang jahat, dia pasti sudah memaksaku, tadi," gumam Khanza dalam hati.
"Khanza, satu lagi. Jangan panggil saya dengan sebutan Tuan Vano. Cukup kau panggil namaku saja. Kelak, kamu akan menjadi--" ucapan Vano belum juga selesai, ia sudah tertidur.
Khanza langsung melihat pria yang telah menjaganya selama ia dalam kesulitan itu. Rupanya, Vano sudah terlelap. Membuat Khanza semakin bersalah karena ia melihat alis yang mengkerut dari wajah Tuannya. Tanda jika orang sedang memiliki beban dan membutuhkan sandaran.
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Suara yang merdu dengan petikan gitar yang sangat terampil. Seorang gadis pengamen di lampu merah kala itu. Gadis yang mampu membuat Vano Arka Wijaya (30), pria dermawan dengan bersampul brengsek dan juga dingin. Telah jatuh hati kepadanya.Sudah sejak dua bulan lebih, Vano mencari informasi tentang gadis itu. Namanya, Khanza Aurely (18), siswi SMA negri ternama di Kota itu. Lahir dari keluarga sederhana, dengan sifat ceria dan sangat ramah. Namun, Khanza memiliki kebiasaan buruk yang mungkin sudah tidak layak bagi usianya saat ini.Kebiasaan buruk itu, ia sering bolos pelajaran dan selalu membuat onar di sekolah. Sampai ia bertemu dengan Vano Arka Wijaya, seorang pengusaha yang sangat dermawan, namun terlihat sombong.Akan tetapi, karena kurang kasih sayang dari orang tuanya semasa kecil, membuat pikirannyasempit tentang dunia ini. Jika orang lain pembicaraan kekeluargaan membuat masalah selesai, berbeda dengan Vano, jika uang adalah b
Di perjalanan pulang, Khanza nampak sedih mengingat Hanif tidak mengangkat telfon darinya. Ia sangat menyesal jika benar Hanif di skors karena dirinya.Bagaimanapun juga, Hanif lah satu-satunya orang yang mau berteman dengannya. Selalu membantunya di saat ia susah. Tak hanya itu saja, bahkan Hanif selalu pasang badan ketika apapun hal buruk yang terjadi menimpanya.Ia akan berinisiatif mengatakan kebenarannya besok pagi ke guru bimbingan, agar mencabut hukuman yang guru itu berikan kepada Hanif. Kemudian, dirinya siap menerima apapun hukuman dari guru bimbingan.***Sore itu, Khanza duduk di bawah rindangnya pohon rambutan. Menghitung uang hasil bernyanyinya siang tadi. Ketika sampai di uang lembaran kedua, tiba-tiba dia teringat akan Bos sombong siang itu."Hufft, rasanya aku ingin sekali menaikkan dasinya hingga tercekik dia," umpatnya."Dan aku selalu berh
Khanza hanya menyentuh bahu Vano dengan lembut. Menandakan jika Vano harus berhenti dan mulai mendengarkan Neneknya. Selanjutnya, Khanza pergi mendekati Nenek Vano dan mencium tangannya, kemudian berlari pergi."Nek, saya pamit. Selamat sore," pamit Khanza tanpa basa-basi lagi.Menatap Vano yang seperti tak ingin menyerah, Khanza semakin sulit untuk melepasnya. Sementara itu, ada Neneknya yang terbaring lemah di ranjang. Semakin membuatnya tak kuasa menahan egonya."Tuan, sampai bertemu lain waktu. Permisi!" ucap Khanza.Sebelum ia keluar, Khanza juga mencium tangan kedua orang tua Maria juga, Sembari menangis, Khanza berlari keluar meninggalkan rumah mewah Vano dengan hati yang hampa.Alam sedang berpihak kepadanya. Hujan turun begitu derasnya sehingga b
Setelah selesai acara kelulusan, Vano mengajak Khanza makan bersama. Tempat yang sudah Vano siapkan rupanya sangat dekat dengan vila milik Vano. Di sana, Vano telah menyiapkan semuanya dengan rapi. Dimana ada musik, bunga, hidangan yang lezat, serta suasana romantis menyelimuti tempat tersebut."Kenapa harus di tutup sih matanya?" tanya Khanza."Namanya juga kejutan. Harus di tutup dong matanya," ucap Vano sembari menuntun kekasih hatinya ke tempat tujuan."Iya, kenapa juga harus pakai kain?" lanjut Khanza semakin penasaran."Sstt, jangan kacaukan kejutan ini. Nikmati alurnya, dan jangan banyak protes, oke?" bisik Vano.Dengan lembut, Khanza dibawa duduk di kursi depan meja makan ya
Vano terus menutupi robekan baju di punggung Khanza dengan telapak tangannya. Semua orang tertuju dengan kekompakan mereka. Hanif yang cemburu, tidak suka melihat kebersamaan Khanza dan Vano pun memutuskan untuk pergi. Acara telah usai, Vano tetap masih bersama dengan Khanza turun panggung."Kita berjalan hati-hati saja, ya. Saya akan mengantarmu ke ruang ganti," ujar Vano."Tunggu!" tahan Khanza."Ada apa, sayang?" ucapan sayang Vano membuat Khanza tersipu."Tuan Vano, maaf saya menyela. Tapi, saya hendak mengatakan sesuatu kepada Tuan saat ini juga!" Kepala sekolah tiba-tiba datang dan meminta Vano untuk mengikutinya ke ruangannya.Wajah Khanza nampak pucat sekali. Ia takut jika Vano akan meninggalkan dirinya disaat seperti itu
Luka ditangan Vano, diketahui oleh Khanza. Seketika langsung berubah panik dan menarik tangan Vano. "Tangan Tuan, terluka? Biarkan aku bersihkan dulu darahnya, kebetulan aku selalu membawa plester luka di tasku," ucap Khanza dengan kepanikannya."Obati dulu lukamu. Lihatlah, tanganmu memar seperti ini. Saya tidak tega melihat tanganmu yang seperti ini Khanza," tutur Vano dengan penuh cinta.Khanza tetap keras kepala membalut luka Vano. Uraian rambut Khanza menambah rasa cinta Vano kepadanya. Baginya, wanita akan cantik jika rambutnya terurai seperti itu.Seolah, terdengar suara musik romantis yang membuatnya jatuh kedalam manisnya wajah Khanza. Gadis berusia 18 tahun itu ternyata menyadari kekasihnya tengah menatapnya. Kemudian, ia pun bertanya, "Ada apa Tuan?""Tuan, kenapa anda sangat baik
Bab selanjutnyaDi tempat lain, ternyata Vano sudah menunggu Khanza sangat lama di cafe yang sebelumnya sudah Vano katakan. Saking lamanya menunggu, Vano sampai tertidur di sana.Tak perlu dipungkiri lagi, Vano memang benar-benar menyukai gadis SMA itu. Sejak awal pertemuannya, Khanza sudah membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.Vano ini memiliki dua sahabat, salah satunya adalah Justin. Sang pemilik cafe yang akan Khanza tempat bekerja."Heh, sang pangeran ternyata tertidur. Aku jadi semakin penasaran dengan gadis kecil itu." gumam Justin dalam hati.Tak lama kemudian, sampai juga Khanza di cafe itu. Melihat Vano juga ada di sana, membuatnya menjadi sedikit canggung. Justin, selaku manager cafe, menyambut kedatangan Khanza dengan ramah. Mereka juga berkenalan dan memulai negosiasi.
Bab selanjutnyaApakah ini yang membuat dia tadi memelukku sangat lama? Jika dari dekat, dia terlihat tampan.Tuan Vano, aku juga menyukaimu, tapi siapa aku ini? Aku tak pantas untukmu." ungkap Khanza dalam hati."Jangan menatap seperti itu, saya laki-laki normal Khanza. Jangan salahkan saya, kalau saya bisa memakanmu malam ini juga. Jika kamu tidak segera menjauhkan tubuhmu, saya bisa lakukan apa yang tak seharusnya terjadi," ucap Vano masih dengan memejamkan matanya."Hah?" membuat Khanza terkejut danVano langsung menariknya, hingga gadis kecilnya berada tepat di atas tubuhnya. Khanza pun meronta-ronta, tubuh mungilnya tidak bisa mengalahkan tubuh besarnya Vano. Gadis 18 tahun ini tak bisa di bandingkan dengan Vano pria berusia 30 tahun yang gemar berolah raga. Mereka sudah sangat mengantu
Vano mengambilkan makanan untuk Khanza. Ia juga memberikan Khanza segelas susu hangat. Perlakuan baik Vano membuat Khanza sendiri menjadi bingung. Ia tidak tahu yang mana sifat Vano sebenarnya. Sekejap, ia berubah menjadi malaikat, dan sekejap lagi berubah menjadi Iblis."Tuan Vano …." panggil Khanza dengan suara manja di telinga Vano.Vano tersenyum tentunya. Ia juga melihat Khanza memainkan tangannya dari bawah meja seperti anak kecil."Makan dulu!" ucap Vano.Memang tak ada yang perlu dibantah. Khanza menurut kali ini. Dia tidak ingin membuat Vano kembali marah padanya. Sebab, yang dia lihat saat itu, kemarahan Vano belum reda sepenuhnya."Saya selesai," kata Vano mendorong piringnya."Jika ada yang ing
Ketik di lampu merah, motor Hanif berhenti tepat di samping mobil Vano. Tak sengaja, Vano melihat mereka sedang membonceng dengan sangat mesra. Itu pandangan dari Vano."Bos! Bukankah itu Nona Khanza?" tanya Pak Adi.Vano mencari dimana Khanza berada. Ketika menemukan dimana gadisnya berada, ia kesal dan turun dari mobilnya. Cemburu membakar hatinya saat itu. Ia menarik tangan Khanza untuk ikut masuk ke mobilnya. Lalu meminta Pak Adi untuk pulang menggunakan kendaraan umum."Pak Vano?" ucap Khanza."Turun! Ikut saya sekarang!" bentak Vano mencengkram tangan mungil Khanza dengan erat sehingga membuat Khanza kesakitan."Sakit Pak, lepasin aku--" keluh Khanza."Woy Bro. Sorry, nih. Jangan kasar-kasarlah sama cewek.
Khanza hanya cuek tak menanggapi pernyataan Mayang tersebut. Ia terus memakan mienya dengan nikmat. Mayang sangat kesal karena Khanza tidak tepancing amarahnya. Lagi-lagi Mayang mencari keburukan dari Khanza."Lihat ponselnya, wah ini keluaran terbaru. Ck ck, bagi tips dong cara mengaet Om-om tajir. Dan berapa harganya kamu menemani Om itu dalam waktu semalam?" lanjut Mayang membelai rambut Khanza.Lagi-lagi Khanza tidak memperdulikan ucapan Mayang. Malah Hanif lah yang merasa kesal dengan ucapan buruknya. Ia lalu menampar Mayang dengan keras.Plak!"Hanif! Kamu apa-apaan, sih. Kamu belain orang nggak bener seperti ini, hah? Apa kamu juga pernah di kasih jatah olehnya?" Mayang penuh dengan emosi."Khanza, kok, lu diam saja, sih? Lu sedang di hina Ma