"Kita pergi ke mana?" Kiana menatap penuh tanya. "Bukankah ini jalan yang berbeda dengan undangan yang tertera?" lanjutnya.
"Bukankah Anda ingin membawa Kumey kembali?" tanya Lukas. Kiana sama sekali tidak bisa menebak, bagaimana cara Lukas dan yang lain mempermainkan lawan. Ia hanya menyadari satu hal, kalau acara malam ini bukanlah acara biasa. Bisa jadi, mereka sengaja menyebar untuk membuat lawan tidak berkumpul dan menyerang."Strategi kalian cukup rumit. Tidak masalah. Aku memang sedikit terganggu, tapi saat ini aku sudah lumayan mengerti," ujar Kiana."Apa yang Nona ketahui?" tanya Lukas. Ia juga sama, tidak bisa menebak apa yang sedang Kiana rencanakan."Sesuatu yang tidak kau pahami." Lukas ingin tertawa. Kiana jauh lebih menarik baginya. Ia pernah menyerang Kiana saat itu ketika nama Kiana menjadi perbincangan hangat dan topik utama di antara kelompoknya. Namun, kali ini Lukas mengetahui pesona yang Kiana miliki. Pesona yang tTempat itu terletak di tengah-tengah hutan. Begitu sepi dan sunyi. Bahkan, tirai tebal yang sudah Kiana sibakkan, hanya menunjukkan adanya sebuah panggung dan beberapa kursi VVIP. Cukup besar untuk dikatakan sebagai petunjuk biasa."Tempat apa ini?" gumam Kiana. Kiana hampir lengah. Ia terlalu fokus dengan kesunyian sehingga tidak terlalu memperhatikan sekitar.Dor!Dor!Dor! Kiana mengambil pistol yang ia selipkan di pahanya. Ia menekan pelatuknya tanpa ragu. Serangannya sama sekali tidak meleset. Ia begitu ahli dan sangat lihai meski lawan menyerangnya dengan peluru yang sama.Dor!Dor!Dor! Lagi-lagi, suara tembakan terdengar sangat nyaring. Wajah Kiana terkena darah, namun darah musuh yang mengenainya. Jas yang sangat cantik sudah ternoda. "Bajingan itu, beraninya dia menipuku!" gertak Kiana sembari mengepalkan tangannya dengan erat.
"Der, apa yang mau kau lakukan?" pekik Ken. Ia menarik Delice yang hendak melakukan sesuatu."Telinga mereka tuli," ujar Delice. "Kalau hanya berteriak, hanya sebagian yang keluar," sambungnya. Loid melihat tangan Delice yang sedang menggenggam sesuatu. Ia bahkan menelan air liurnya. Bibirnya tiba-tiba saja meringis menahan kengerian."Der, kau berniat membunuh mereka?" pekik Loid."Oh, maksudmu bom ini?" tanya Delice sembari menunjukkan bom yang ia genggam. "Ledakannya hanya membuat kulit mereka terkelupas. Tidak mungkin mereka mati," lanjutnya. Ken menepuk keningnya sendiri. Loid juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka tidak mengerti lagi apa yang ada di dalam otak Delice."Terserah kau saja. Lakukan apa yang mau kau lakukan," kata Ken."Tentu saja," jawab Delice tanpa ragu. "Loid, aku akan melakukannya dan kau yang harus membereskannya," sambungnya."Apa katamu? Aku?" teriak Loid."Kalian berdua," jawab Delice."Ka
Nick sudah sampai di tempat tujuannya. Ia langsung menemui Kumey yang diserahkan oleh Tuan Don padanya."Cantik," puji Nick. Akan tetapi, suara Nick seperti sebuah boomerang bagi Kumey. Ia menatap penuh dengan kebencian yang ia luapkan untuk Nick. Begitu menjijikkan Nick di pandangan mata Kumey. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Nick tanpa rasa bersalah. Kumey masih diam. Ia sedang menyiapkan sebuah kata untuk memaki Nick. Perasaan benci yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. "Menyingkir dariku! Bajingan!" teriak Kumey."Padahal belum terjadi apa-apa di antara kita," ujar Nick sembari mengusap bibir Kumey. "Kita hanya sebatas berciuman malam itu. Setidaknya, sekarang kau bukanlah wanita yang memiliki ciuman terburuk," sambungnya.Cuih! Kumey meludahi wajah Nick. Sebuah lelucon bagi Nick, tapi bagi Kumey hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dibicarakan begitu santai. Rasa jijik menyelimuti diri Kumey. Ia mual mel
Apa yang dilihat oleh para pembunuh bayaran yang menginginkan nyawa mantan tentara bayaran? Setelah sebuah ujung pistol menempel di kepalanya, yang terjadi bukanlah ketakutan, namun malah sebaliknya. Tatapan mata yang tidak bergetar sama sekali. Tubuh yang tetap berdiri dengan kekuatan kaki yang menompang tanpa kenal takut. Siapa yang memegang pistol dan siapa yang merasa terbunuh hanya dengan tatapan mata yang begitu yakin akan menang? Keadaan seperti terbalik.“Kalau kau ingin membunuhku, seharusnya kau tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kenapa kau harus bicara dan tidak langsung tembak saja, hah?” ujar Oscar sembari memegang pistol tersebut supaya tetap menemel di kepalanya.“Kau benar-benar tidak takut mati?”&n
Di pelabuhan, Zavier menunggu bantuan. Apapun yang ada di depannya, meski sekuat apa tenaga yang ia miliki, tetap saja, Zavier tidak bisa bergerak tanpa persiapan. Apalagi, Zavier mengamati Brandon yang sama sekali tidak menunjukkan kemampuan apapun. Hal itu menjadi pertimbangan untuk Zavier supaya tidak gegabah karena harus bertarung sembari melindungi bukanlah hal yang mudah dilakukan."Apalagi yang sedang kau tunggu?" tanya Brandon. "Ayo kita melihat ke sana," sambungnya. "Tunggu sebentar lagi. Kita tidak bisa gegabah msuk ke sebuah sarang yang kita tidak tahu seperti apa penghuninya," ujar Zavier. "Kita sedang menunggu bantuan? Berapa orang? Satu kelompok? Mereka hebat?" cerocos Brandon."Memangnya butuh berapa orang?" tanya Zavier. Ia membalikkan ocehan Brandon yang panjang terdengar."Hm …" Brandon nampak berpikir keras. "Lebih dari dua puluh," jawab Brandon. "Hah?" pekik Zavier. "Kenapa membutuhkan banyak sekali orang?" tanya Zavier.
Rael tidak henti-hentinya menatap layar ponsel. Ia melihat dengan hati yang dipenuhi oleh amarah. Di mana, Tuan Don sengaja melakukan video call dengan Rael untuk menunjukkan bahwa Nyonya Dum sedang berada dalam bahaya kalau dirinya tidak melakukan keinginan Tuan Don dengan patuh. Tidak ada secarik harapan. Semuanya hancur lebur. Rael tidak tahu harus berbuat apa. Ravin duduk di samping Rael. Ia menjelaskan dengan suara berbisik apa yang terjadi dalam video tersebut. Percuma Rael terus menatap tapi ia tidak bisa melihat. Ia membutuhkan orang lain untuk menjelaskan secara rinci. "Apa yang kau lakukan?" tanya Rael. Tiba-tiba saja Ravin bergerak cepat merebut ponsel Rael."Aku menutup teleponnya. Kak, jangan dengarkan jika kau sendiri merasa enggan," kata Ravin. "Bagaimana dengan wajah ibu? Apa ibu terluka?" tanya Rael. Kelebihannya seperti tidak berguna saat Rael dalam situasi yang tidak mendukungnya."Ayah hanya menggunakan ibu sebagai u
Mereka semua tidak berkutik hanya karena Oscar mulai bertarung dengan Rie sembari mengambil kesempatan untuk melemparkan senjata seperti pisau kecil atau besi runcing. Oscar memilih titik vital, di mana mereka yang terkena serangan akan langsung lumpuh dan tidak berkutik."Kau semakin lihai," ucap Rie."Kenapa? Kau mulai iri lagi dengan kemampuanku?" balas Oscar. Setiap kali Oscar menangkis serangan dari Rie, ia merasakan sesuatu yang tidak wajar. Keanehan yang begitu jelas. Meski Rie tidak berlatih selama ini, dia tidak mungkin menjadi begitu lemah. Pukulan dari Rie hanya terasa seperti menggelitik kulitnya. Oscar tidak merasa terancam, bahkan tindakan Rie terlihat sedang melindunginya bukan ingin membunuhnya."Rie, apa yang sedang kau rencanakan?" tanya Oscar dengan suara yang sangat lirih."Aku sedang bermain-main. Bukankah cukup menyenangkan membunuhmu secara perlahan?" balas Rie. Oscar memegang lengan Rie yang meny
Orva memiliki sebuah insting yang sangat peka. Ia merasa sesuatu yang aneh akan terjadi. Sepanjang perjalanan mencari Kiana, ia merasa tidak tenang sedikitpun. Orva akhirnya memutar motornya. Ia mengikuti jejak Oscar yang sengaja tidak dihapus. Orva berhenti ketika jejak itu mulai masuk lebih jauh lagi. Orva menemukan beberapa tempat persembunyian yang belum lama dibuat. Orva membawa sebuah teropong kecil yang ia gantungkan di lehernya. Ia mengamati dari jarak yang cukup jauh. Segerombolan orang, juga beberapa orang yang mencurigakan."Hal berbahaya seperti ini, bagaimana mungkin Kak Oscar menghadapinya sendiri tanpa melibatkan aku?" gumam Orva. Orva di lema antara tugasnya dan tanggungjawab saling melindungi sesama saudara. Perjuangan mereka berdua tidaklah mudah untuk mencapai titik damai. Orva mengingat sesuatu. Kalimat yang tiba-tiba saja terlintas di benak Orva.'Orva, lakukan apapun yang tidak akan membuatmu me