Kiana sudah mengenakan gaun yang Renza pilihkan tempo hari. Ia duduk di kursi rias.
"Aku sudah belajar hal ini demi mendandaniku," kata Renza."Sungguh?" tanya Kiana. Renza mendandani Kiana. Ia belajar beberapa hari demi melakuka hal itu. Memberikan kesan terindah diusia Kiana yang tujuh belas tahun. Usia mereka sama, namun Renza ingin mengerahkan semuanya demi Kiana."Pelan-pelan. Awas saja kalau kau membuat rambutku rontok," ucap Kiana."Tenang saja. Aku akan membuatmu sangat cantik malam ini." Perlahan, sentuhan tangan Renza menyulap Kiana menjadi sangat cantik. Rambut yang dirias sangat indah. "Lihatlah. Kau sangat cantik. Jika kau menikah nanti, aku bisa mengajari Ayah atau Daddy untuk merias rambutmu," kata Renza."Terima kasih! Kau memang yang terbaik.""Memujiku hanya ada maunya saja," kata Renza."Yang penting aku sudah memuji."Zeki mendapatkan suatu masalah. Sejak ia menginjakkan kakinya di Jepang, ia sudah diserang oleh segerombolan orang yang tidak ia kenal. Zeki sempat lengah. Pertahanan dirinya berkurang. Itu sebabnya ia berjalan menahan sakit karena pahanya terkena luka tembak. Zeki tidak hidup dengan baik. Ia mengurus segala pekerjaan dan juga melanjutkan penyelidikan. Zeki pergi ke sebuah daerah yng tidak terlalu ramai. Sejak ia memutuskan untuk melepaskan Kiana, Zeki menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang bisa ia lakukan. Zeki menginap di salah satu hotel. Malam itu, ada langkah kaki yang perlahan-lahan membuat Zeki waspada. Musuh yang ada di Jepang tidak seperti di New York. Mereka terlihat de
"Kau kembali?" Suara Gerald menyeruak masuk telinga menyambut kedatangan Zeki."Sedikit ada masalah tapi sudah berhasil aku hindari, Paman," kata Zeki. Zeki dua hari tidak kembali. Gerald khawatir, namun tanpa perintah dari atasan, ia tidak bisa melakukan suatu gerakan. Dena Group sengaja membuat semuanya seolah-olah tenang dan tidak saling peduli. Itu adalah sebuah jeratan yang akan membuat lawan menganggap romantisme diantara mereka telah mati."Obati lukamu dengan benar," kata Gerald."Luka seperti ini, tidak akan membunuhku." Gerald memberikan Zeki obat supaya tidak membuat lukanya infeksi lagi. Terlihat dari perban yang melilit pahanya, bercak darah segar masih terus keluar dari lukanya."Jangan kekanak-kanakan. Luka seperti ini tidak akan membuatmu mati saat ini, tapi bisa membunuhmu kemudian hari," kata Gerald."Terima kasih, sudah mengkhawtirka
Di lantai teratas, Tuan Don tengah memandangi dunia. Ia bisa melihat keindahan dunia yang tercakup oleh pandangannya. Ia bersama dengan Brian dan juga wanita yang berada di atas kursi roda. Wanita tersebut tampak linglung. Keadaannya tentu saja tidak baik-baik saja. Bahkan terbilang jauh dari kata itu."Brian, aku sudah mengatakan untuk melaporkan semuanya, bukan? Kenapa kau tidak mengatakan tentang kepergian Nick ke jepang? Apa yang dia lakukan di sana? Rencana? Rencana seperti apa, dan juga tujuannya. Apa kau bisa jelaskan?" tanya Tuan Don."Maaf, Tuan!" Brian menunduk dengan sopan."Apa dia sudah mulai meluncurkan rencananya untuk mengusik Exjen Vosaihe?" tanya Tuan Don. Entah apa hubungan Tuan Don dan Tuan Exjen. Mereka terlihat seperti memiliki dendam lama."Tidak, Tuan. Nick sedang menjaga anak perusahaan yang lain," jawab Brian. "Ada seseorang yang mulai mengusik dan dia harus segera diseles
Klub adalah tujuan pertama yang akan Delice datangi setelah ia membangunkan sebuah insting liar yang sudah lama terkubur dari dewa kematian. Ia akan menemui satu orang lagi yang bisa ia percaya. Di dalam klub, Delice juga sudah mendapatkan informasi tentang perkumpulan yang diadakan oleh para pengkhianat meski mereka hanyalah bawahan."Sampai kapan kita akan menunggu?""Kita tunggu saja perintah.""Apa kalian sudah bosan bersenang-senang?""Kita semua tentu saja sudah menunggu hari itu. Hari yang sudah ditentukan." Suara itu terdengar sampai luar ruangan. Delice berdiri tegap, berhadapan dengan dua orang yang tidak ia kenal. Dua orang tersebut terlihat sedang berjaga. Tidak selang lama, terdengar suara pertarungan yang sepi, senyap, tapi menggemparkan. Delice mengangguk dan tersenyum."Aku kalah cepat dari yang muda," gumam Delice.
“Orangtua gila! Cepat turun, sialan!” hardik Renza. “Hahaha... kalau hanya seperti ini, seharusnya kau mampu. Kau pria atau bukan? Dasar bocah lemah!” Tuan Dogan duduk di atas sofa yang berada dipunggung Renza. Renza berlatih mati-matian padanya meski Tuan Dogan berpihak pada yang namanya uang. Artinya, ia hanya bergerak jika uang yang ia dapatkan jauh lebih besar. Renza menjadikannya guru karena kelebihan yang bisa Renza lihat. Renza tidak pernah meminta informasi karena ia tahu kalau hal itu tidak akan mungkin ia dapatkan. Renza tidak dekat dengan Tuan Dogam karena ia hanya mengambil ilmu yang berguna darinya. “Sudah berapa kali kau berlatih tapi liar yang ada dalam dirimu sama sekali tidak ada,” kat
Dua pria paruh baya, sama-sama menikmati pembicaraan diantara mereka berdua. Mereka bicara santai sembari menikmati hidangan yang menemani mereka. Sajian makanan lezat memenuhi meja bundar yang menjadi penyekat diantara mereka.“Bagaimana cara saya harus menghadapi putri Anda, Tuan?”“Kenapa Anda terlihat gelisah? Apa Anda mulai terusik, Tuan Don?” Pria tersebut menjawab pertanyaan dengan pertanyaan yang lain.“Siapa yang bisa mengusik saya?”“Entahlah!” jawab pria paruh baya yang ada di depan Tuan Don.“Anda boleh melakukan apapun kalau pasar gelap bisnis antara kita selesai, tapi Anda tidak boleh menyentuh putri saya.”“Jangan khawatir, Tuan Dexel. Tidak akan ada yang terjadi karena saya sudah menempatkan orang-orang terhebat yang selama ini ikut masuk ke dalam kategori j
Anak perusahaan ketiga dari HG Group, lebih sulit digapai dibandingkan dua anak perusahaan yang sudah dihancurkan. Akan tetapi, mereka yang memiliki misi tidak kehilangan akal. Seorang pria memberikan ancaman kepada Naura. Namun, Naura tetap terlihat sangat tenang. Seperti segala kendali ada pada tangannya."Hei, Tuan! Apa kau tahu, kenapa aku mencari bocah yang sedang bersamaku?" tanya Naura."Pasti kau khawatir kalau bocah itu kenapa-kenapa." Pria tersebut bicara dengan sangat percaya diri."Salah!" Naura menengadah. Ia menatap atap gedung yang memiliki tingkat lebih rendah dibandingkan dengan gedung lainnya. "Karena aku sedang mengkhawatirkan kalian!" imbuhnya. Naura menunjuk ke atas. Eren sedang berdiri di atas atap. Menunjukkan kotornya kemeja putih yang melekat ditubuhnya karena darah. Pria yang meremehkan kekuatan wanita, langsung terbelalak."Tidak! Tidak mungkin! B
Naura dan Eren berdiri saling membelakangi. Mereka dikepung layaknya mangsa yang empuk untuk dijadikan makanan yang mengenyangkan perut. Naura tidak langsung bertindak. Dia hanya berdiri mematung tanpa senjata apapun. Ben dan yang lain mulai mendekat. Mereka tidak sabar ingin menguji kemampuan Nyonya yang selama ini diangungkan, tapi terlihat lemah."Apa kalian sudah selesai berbisik? Bisa kita mulai?" ujar Ben dengan nada suara yang sangat arrogant."Eh? Kau belum tahu?" balas Naura. Ia mendelik karena terkejut. "Permainannya sudah dimulai," sambungnya."Ka--kapan?" pekik Ben."Lima belas menit yang lalu," jawab Naura."Apa? Hei, Nyonya! Karena aku bersikap sopan padamu, kau jadi seenaknya bicara, ya?" teriak Ben."Tidak. Aku tidak asal bicara," kata Naura."Jangan bercanda!" bentak Ben. Eren melirik tajam. Ia yang biasanya liar