"Bagaimana kondisi Arisha, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Dareen begitu Dokter Aldo selesai membaca hasil pemeriksaan darah Arisha. "Nona Arisha cuma syok. Beruntung pelaku menggunakan obat bius dosis rendah." "Tapi, kenapa dia masih belum sadar?" Dareen tak mampu menyembunyikan kecemasannya melihat mata Arisha masih tertutup rapat. "Selain karena syok dan sisa-sisa pengaruh obat bius, sepertinya dia juga mengalami kelelahan mental. Apakah dia sedang memiliki banyak masalah akhir-akhir ini?" Dokter Aldo juga memandang prihatin pada Arisha. "Mungkin Anda perlu melakukan pengamanan ekstra untuk melindunginya." "Aku sudah mengirim lelaki bajingan itu ke penjara," sahut Dareen geram. "Tapi, terima kasih atas saran Anda, Dok. Akan aku pertimbangkan." "Baiklah. Setelah ini, Nona Arisha boleh dipindah ke ruang perawatan." "Terima kasih, Dok!" Dareen merasa lega mengetahui tak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Arisha. Jiwa gadis itu mungkin benar-benar terguncang karena
"Jangan salah paham! Aku tidak bermaksud untuk mempermainkanmu, tapi … hanya itu satu-satunya cara yang terlintas di kepalaku untuk dapat melindungimu dari mantan calon suamimu dan lelaki yang sejenisnya."Tatapan garang Arisha melunak. Kalau dipikir-pikir, masuk akal juga solusi yang ditawarkan Dareen."Apa kamu menawarkan ini juga untuk menyelamatkan diri dari wanita itu?"Sesaat Dareen terkejut, tapi akhirnya dia paham siapa yang dimaksud Arisha dengan wanita itu.Awalnya dia tidak berpikir ke arah sana. Pertanyaan Arisha membuka matanya. Benar juga. Dengan menjalani pernikahan kontrak bersama Arisha, dia bukan hanya melindungi Arisha, tapi juga menolong diri sendiri dari rongrongan Davina."Saling menguntungkan, bukan? Ini win-win solution. Bagaimana? Kamu bersedia?"Setelah berpikir sejenak, Arisha akhirnya setuju. "Baiklah, tapi ingat … kamu harus menepati setiap poin dalam kontrak ini. Terutama yang menyatakan bahwa tidak ada kontak fisik tanpa persetujuan kedua belah pihak.""
"Yeay! Benaran Daddy sama Mommy mau jadi pengantin?" Sorot mata Silla berbinar cerah, menatap Dareen dan Arisha bergantian. Gadis itu masuk ke kamar Arisha diam-diam dan dikagetkan dengan perkataan Dareen. Dareen dan Arisha saling lempar pandang. Arisha jadi salah tingkah. Pipinya merona merah. Bak seorang gadis remaja yang tertangkap basah sedang berpacaran oleh orang tuanya, Arisha tak berani membalas tatapan lekat Silla. "Daddy …." Silla mengguncang lengan Dareen. Dareen terperanjat. "Eh, ya. Kenapa, Sayang?" "Ih, Daddy! Silla nanya, benaran Mommy Arisha bakal jadi mommy Silla?" Dareen turun dari kursi dan berjongkok di hadapan Silla. "Silla kenapa bisa berada di sini? Ini masih malam lho. Yuk, tidur lagi!" "Nggak mau." Silla menggeleng. "Daddy belum jawab pertanyaan Silla." Silla memasang wajah cemberut. Dareen menghela napas panjang. Silla memang keras kepala dan tak mudah menyerah jika keinginannya belum tercapai. "Kalau daddy jawab, Silla janji akan tidur lagi?" Sil
"Siapa pun pilihanmu, selama kau merasa nyaman dengannya, aku tak akan melarang," lirih Tuan Hart dengan suara serak. "Kapan kalian akan melaksanakan pernikahan?""Masih mencari waktu yang tepat, tapi kupastikan tidak akan melewati bulan depan.""Dalam waktu sebulan ya? Itu tidak lama lagi." Tuan Hart seakan berbicara pada diri sendiri, berusaha untuk bangkit.Cepat-cepat Dareen membantu ayahnya. "Ayah mau ke toilet?"Tuan Hart tak menyahut. Ia hanya beranjak turun dari ranjang. Dareen pun terpaksa memapahnya tanpa bertanya lagi dan mengiringi saja ke mana langkah ayahnya terayun pergi.Tuan Hart membuka brankas, mengeluarkan kotak berwarna hitam. Pada bagian tengah kotak itu terdapat ukiran logo huruf H yang dicetak dengan tinta emas—simbol keluarga Hart yang merupakan keturunan bangsawan.Tuan Hart menatap sendu pada kotak yang berada dalam genggamannya. Berulang kali ia menghela napas panjang dan dalam, sebelum akhirnya menyerahkan kotak tersebut kepada Dareen."Ambillah dan berika
"Tante, gimana sih? Tante janji bakal menggagalkan pernikahan Kak Dareen. Mana buktinya?" "Sabar, Davina! Tante juga lagi pusing nih." Nyonya Rosalind memijat pelipisnya. Otaknya benar-benar buntu, tak lagi mampu memikirkan ide untuk menyabotase rencana pernikahan Dareen. "Tinggal dua hari lagi, Tante … dua hari lagi!" Davina gusar. "Coba kalau Tante nggak ngelarang aku buat nyamperin Kak Dareen, aku pasti sudah berhasil menjebaknya." "Davina, bisa diam, tidak?!" hardik Nyonya Rosalind. "Tante juga lagi mikir. Jangan merecoki tante dengan omelan yang bikin tante tambah pusing!" Nyonya Rosalind kesal bukan main. Terlebih saat mengetahui semua aksesnya untuk menemui dan berkomunikasi dengan Dareen telah diblokir. Bodyguard Dareen bertebaran di mana-mana dan memantau gerak-geriknya seperti pengawal bayangan. "Ah, serah deh! Aku kecewa sama Tante. Mending aku shopping!" Davina menyambar tasnya dari atas sofa. Hampir dua minggu dia dan Nyonya Rosalind mendiami apartemen yang dikont
"Dareen!" Sofia langsung tegak menyambut Dareen yang memasuki ruangannya.Mendengar nama Dareen disebut, Davina yang duduk seperti seorang pesakitan di hadapan Sofia pun melesat menyongsong lelaki itu."Kak Dareen, tolong aku! Aku tidak mau dipenjara!"Dareen menepis tangan Davina yang akan merangkulnya, berharap dapat bersandar pada lelaki pujaannya."Bisa tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Tante?" Dareen tegak tidak jauh dari meja Sofia."Mari duduk dulu!" kata Sofia, mendahului Dareen bergerak menuju sofa mini di sisi kanan ruang kerjanya.Sementara langkah Davina yang ingin memburu Dareen terhenti setelah dua orang karyawan Sofia mencekal lengannya."Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!"Tak ada seorang pun yang peduli pada jeritan Davina.Dareen dan Sofia duduk dalam satu meja. Sofia mulai menceritakan permasalahan yang berkaitan dengan Davina."Jadi, begini Dareen … dia … ketahuan oleh salah satu karyawan tante saat sedang berusaha merusak gaun pengantin milik Arisha—""B
"Dareen! Keterlaluan kamu ya!" Nyonya Rosalind merangsek masuk ke ruang kerja Dareen tanpa mengetuk pintu dan dengan wajah merah padam. "M–maaf, Tuan. S–saya sudah menjalankan perintah Anda dan menyampaikan kepada Nyonya Rosalind bahwa Anda sangat sibuk, tapi Nyonya Rosalind tetap memaksa naik untuk menemui Anda." Bi Minah gemetar, takut Dareen akan murka kepadanya. Bi Minah hafal betul tabiat Dareen. Lelaki itu paling benci bila konsentrasi kerjanya diganggu. "Bibi boleh keluar." "Hah!" Bi Minah tercengang. Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding. Dareen sama sekali tidak memarahinya. Bahkan, nada bicara Dareen terdengar datar. Ah, sungguh sebuah ketenangan sebelum badai. Daripada menyerahkan nyawa dihantam badai kemurkaan Dareen, lebih baik ia segera menghindar. "Permisi, Tuan." Tinggallah Dareen dan Nyonya Rosalind yang saling beradu tatap. "Jadi begini caramu menyambut kedatangan istri ayahmu, hah? Suka ataupun tidak, aku tetap ibumu, Dareen!" Dareen tersenyum mengejek.
"Nona Davina, Anda boleh pulang!" kata aparat polisi sambil membuka gembok sel tahanan Davina. Davina yang duduk, bersandar lesu di pojok ruangan melompat kaget dengan perasaan suka cita dan setengah tak percaya. "Aku bebas, Pak?" "Ya." "Terima kasih, Pak!" Davina tersenyum lebar, keluar dari ruangan sempit dan lembap itu. Begitu matanya menangkap sosok Nyonya Rosalind, ia menghambur memeluk sang tante. "Aku tahu Tante pasti akan membebaskan aku." "Ayo, cepat! Kita harus berkemas!" Walau tak mengerti apa maksud perkataan Nyonya Rosalind, Davina mengimbangi langkah tergesa-gesa wanita paruh baya itu, meninggalkan kantor polisi. Tiba di apartemen, Nyonya Rosalind menurunkan dua koper besar dari atas lemari. "Kita tidak punya banyak waktu. Bereskan barang-barangmu!" titah Nyonya Rosalind, mulai memindahkan pakaiannya dari dalam lemari ke koper. "Tante, kita mau ke mana? Bukankah kita akan menggagalkan pernikahan Kak Dareen?" tanya Davina bingung. Sejenak Nyonya Rosalind menjeda
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak