Erika mendesah pelan ketika melihat saiapa yang menunggunya di area parkir basement gedung tempat tinggalnya. Dia sudah menyangka hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tetap saja rasanya tidak siap.
“Tidak apa-apa, Erika,” gumamnya untuk menguatkan diri. “Ini tempat umum, penuh CCTV dan satpam. Kau akan baik-baik saja.” Setelah merasa cukup yakin, barulah Erika menghampiri pria yang bersandar pada bodi mobilnya. Pria yang membuat Erika nyaris pingsan beberapa hari lalu. Seno Jayantaka. “Apa yang Bapak lakukan di sini?” Seno yang mendengar pertanyaan itu segera mendonggak. Pria yang sudah lewat 50 tahun itu membuang puntung rokoknya ke lantai, kemudian menginjaknya agar apinya padam. “Aku ingin bicara berdua denganmu.” “Saya mendengarkan.” “Tidak di sini Erika. Apa kau gila mau bicara di tempat umum seperti ini?” hardik Seno merasa“Bagaimana kalau kita makan siang bersama?” “Aku tidak bisa Chris,” jawab Erika berbisik sambil memegang teleponnya. “Aku ada makan siang dengan klien.” “Kalau begitu makan malam.” “Gak bisa juga. Aku sudah ada janji sama teman.” “Aku bisa kok ikut makan dengan temanmu ini,” Chris enggan mengalah. “Masalahnya tidak mungkin. Mereka akan marah kalau kau ikut. Maaf, tapi lain kali saja dan aku sedang sibuk.” Erika tak mengatakan apa-apa lagi. Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya dan kembali duduk dengan benar. Sebentar lagi kliennya akan datang. “Untuk apa dia menelepon?” tanya Kaisar yang duduk bersebelahan dengannya. “Ya?” “Untuk apa lelaki itu meneleponmu?” Kaisar mengulang pertanyaannya, kali ini sambil menatap Erika tepat di mata. “Dia ingin mengajak makan.”
Kaisar menyugar rambutnya dengan kasar. Walau enggan memikirkan ini, tapi kalimat Erika kemarin malam terus-terusan terlintas dibenaknya. Membuat dirinya tidak bisa bekerja dengan benar hari ini. Disatu sisi, Kaisar enggan menghamili istrinya, tapi dia harus melakukannya demi kelangsungan perusahaan yang sudah lumayan membaik ini. Disisi lain, dia tidak ingin bersama dengan Erika. Tapi entah mengapa, dirinya selalu berakhir di penthouse perempuan itu. “Apa sih yang kau pikirkan?” tanya Flora dengan nada ketus karena panggilannya sedari tadi diacuhkan. “Oh, maaf.” Kaisar langsung mendesah karena suddah semalam ini, tapi dia masih tidak fokus juga. “Biarkan saja dia Flora. Pasti pekerjaan di kantor hari ini banyak, jadi Kai kelelahan,” seorang pria yang duduk di depan Kaisar berbicara. “Ya. Belakangan ini memang sedang banyak kerjaan, Pa,” Kaisar menyahuti ayah mertuanya.
Semakin Erika lihat, semakin banyak keanehan yang ditemukan Erika dalam laporan keuangan yang diberikan Bima. Bukan hanya terjadi di satu atau dua tahun saat kejadian itu, tapi bahkan sudah cukup lama. Kalau ditotal-total, ada sekitar hampir 6 tahun ada tindakan korupsi. Awalnya kecil-kecilan saja, tapi makin lama makin besar dan makin sulit ditutupi. “Tahun terakhirnya, cocok dengan tahun kejadian waktu itu. Sama dengan tahun kematian Papa,” gumam Erika pelan. “Tapi siapa? Apa ada hubungan dengan Papa?” Erika kembali bergumam. Kalau dipikir-pikir lagi, ini bisa saja jadi petunjuk penging. Hanya saja saat ini Erika tidak punya gambaran apa pun soal perusahaan kala itu. Itu berarti dia harus bertanya pada orang yang lebih tahu. Kaisar. “Pak, apa anda sibuk?” Jam kerja belum benar-benar mulai, tapi Erika sudah ingin bertanya. “Masih 5 menit sebelum jam kerja,”
Kaisar merasa heran ketika melihat ayah mertuanya datang tanpa alasan jelas. Makin bingung lagi ketika pria itu hanya singgah sebentar saja. “Oh, shit.” Kaisar baru teringat sesuatu “Erika mana?” Pria itu bertanya lewat interkom pada Imel yang mengangkat panggilannya. “Mbak Erika ke toilet, Pak. Sepertinya kurang sehat karena tadi minum obat.” Tak perlu banyak waktu untuk berpikir, Kaisar langsung bangkit dari kursinya. Dia berjalan cepat keluar dari ruangan dan membiarkan pintu terbuka, kemudian melangkah ke arah toilet. Betapa terkejutnya pria berkemeja navy itu menemukan ayah mertuanya di sana. Refleks, Kaisar langsung berbalik dan bersembunyi di balik tembok. “Apa sih yang dia lakukan di sana?” geram Kaisar kesal karena dia harus menunda menemukan Erika dan memastikan perempuan itu baik-baik saja. Siapa yang sangka, begitu sang sekr
“Apa Kaisar ada?” Bima bertanya pada Erika yang tengah sibuk membolak-balik berkas. “Tentu saja dia ada. Kau ingin bertemu?” Erika menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan. Hari ini dia memang sangat sibuk. “Kau terlihat sibuk.” Bima meringis, tapi tentu saja Erika tak melihatnya. Erika tidak menjawab dan hanya mengangguk. Dia benar-benar terlalu sibuk untuk mengurusi pria pencemburu seperti Bima. Apalagi untuk urusan tidak penting.“Kalau begitu aku masuk saja ya.” Bima akhirnya menyingkir setelah Erika mengangguk padanya. Seperti biasanya, Bima langsung masuk ke ruangan sang kakak tanpa mengetuk pintu. Saking seringnya seperti itu, Kaisar bahkan langsung tahu begitu pintu terbuka. “Apalagi yang kau mau?” tanya Kaisar terlihat sama sibuknya dengan Erika, bahkan mungkin lebih sibuk lagi. “Yang jelas aku tidak datang untuk minta uang padamu.” Bima mendengkus kesal mendengar pertanyaan kakak yang hanya berbeda setahun dengan dirinya itu. “Tentu saja aku tahu, tapi
“Ini kan foto Papa.” Erika kembali memperhatikan foto itu dengan seksama. “Tidak salah. Ini memang foto Papa, tapi dengan siapa?” Erika bergumam bingung. Dalam foto itu, sang Papa berfoto dengan dua orang lain. Seorang perempuan cantik dan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu duduk di atas bahu sang papa. “Mereka siapa sih?” Erika masih saja bergumam lirih. Merasa kemungkinan ada petunjuk dalam kotak, Erika mulai memeriksa isinya satu per satu. Dia mengabaikan memory card dan mulai dengan map dan amplop yang lebih besar. “Oh, my God. Ini kan data kecelakaan Papa.” Erika memekik kaget, kemudian segera beralih pada amplop berikutnya. “Dan ini data kecelakaan Mama.” Erika mendonggak dari tumpukan berkas itu. Dia melirik satu amplop ke amplop yang lain dan terakhir berlabuh pada memory card yang teronggok di dasar kotak. Dengan geraka
Erika menghela napas ketika dia baru saja parkir di gaedung tempat penthouse-nya berada. Kebakaran tadi sore membuat energinya terkuras habis dan juga harus lembur. Sudah lewat jam 12 malam, tapi Erika baru sampai di rumah. “Hai, Sweety kok baru baru pulang jam segini?” “Hai Chris,” Erika membalas dengan nada malas. “Ada apa denganmu sih? Kok lesu banget?” pria yang sedari tadi menunggu di basement itu merangkul Erika dengan santainya. “Tangannya, please. Berat tahu.” Erika memindahkan tangan itu dengan sama malasnya. “Sebaiknya kau pulang saja. Aku lagi capek banget.” “Ya karena itu aku ingin kasih treatment buatmu.” “Gak terima kasih, silakan pulang.” Erika sudah di dalam lift ketika melambaikan tangan untuk mengusir Chris. Sayangnya pria itu kepala batu. Dia malah mengekori Erika masuk ke lift. “Dengar ya, Chris.
Kaisar mendesah pelan. Dia kelelahan mengurus kantornya yang kebakaran. Walau masih harus melakukan pemindahan barang, tapi tadi dia membiarkan Erika pulang duluan. Niatnya sih masih mau tinggal memastikan tak ada lagi berkas penting tertinggal, tapi Kaisar menyerah. Selang kurang dari 10 menit setelah kepulangan Erika, dia juga akhirnya pulang. Bukan pulang ke rumah, Kaisar malah mengambil jalan ke rumah sekretarisnya. Dia yang lelah butuh tidur nyenyak dan di tempat Erika lah Kaisar bisa mendapatkan itu. “Erika?” Kaisar memanggil begitu dia sampai di unit yang dibawah. Dia memang selalu keluar masuk dari sana, agar tidak menimbulkan kecurigaan. “Perasaan tadi dia pulang duluan. Kenapa malah belum sampai?” Kaisar bergumam sendiri karena tak menemukan sosok pemilik rumah di mana pun. Mata Kaisar pun tak sengaja menatap pintu ruangann yang selalu terkunci itu. Dia menimbang sesa