“Kau sudah bangun?”
Erika yang baru saja keluar dari kamarnya, tersentak mendengar suara yang tidak dia kenali. Dengan cepat dia mencari sumber suara dan langsung mendesah lega begitu melihat Queenie duduk di ruang tamu sambil nonton. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Apakah kau tidak bisa melihat?” Queenie yang juga sedang makan mie instan dalam cup, mengeluarkan garpu yang tadinya menggantung di mulut untuk berbicara. “Terima kasih sudah menjagaku semalaman, sekarang kau sudah bisa pulang.” Erika segera mengusir perempuan yang baginya sangat mengganggu itu. Dia ingin sendiri. “Sayang sekali tidak bisa.” Queenie mengutak-atik ponselnya dan memperlihatkan sesuatu pada Erika di sana. “Kekasihmu memesankan cek darah untuk di rumah dan aku bertugas untuk membantu. Lebih tepatnya aku yang akann melakukan.” “Apa?” Erika mErika mendesah pelan ketika melihat saiapa yang menunggunya di area parkir basement gedung tempat tinggalnya. Dia sudah menyangka hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi tetap saja rasanya tidak siap. “Tidak apa-apa, Erika,” gumamnya untuk menguatkan diri. “Ini tempat umum, penuh CCTV dan satpam. Kau akan baik-baik saja.” Setelah merasa cukup yakin, barulah Erika menghampiri pria yang bersandar pada bodi mobilnya. Pria yang membuat Erika nyaris pingsan beberapa hari lalu. Seno Jayantaka. “Apa yang Bapak lakukan di sini?” Seno yang mendengar pertanyaan itu segera mendonggak. Pria yang sudah lewat 50 tahun itu membuang puntung rokoknya ke lantai, kemudian menginjaknya agar apinya padam. “Aku ingin bicara berdua denganmu.” “Saya mendengarkan.” “Tidak di sini Erika. Apa kau gila mau bicara di tempat umum seperti ini?” hardik Seno merasa
“Bagaimana kalau kita makan siang bersama?” “Aku tidak bisa Chris,” jawab Erika berbisik sambil memegang teleponnya. “Aku ada makan siang dengan klien.” “Kalau begitu makan malam.” “Gak bisa juga. Aku sudah ada janji sama teman.” “Aku bisa kok ikut makan dengan temanmu ini,” Chris enggan mengalah. “Masalahnya tidak mungkin. Mereka akan marah kalau kau ikut. Maaf, tapi lain kali saja dan aku sedang sibuk.” Erika tak mengatakan apa-apa lagi. Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya dan kembali duduk dengan benar. Sebentar lagi kliennya akan datang. “Untuk apa dia menelepon?” tanya Kaisar yang duduk bersebelahan dengannya. “Ya?” “Untuk apa lelaki itu meneleponmu?” Kaisar mengulang pertanyaannya, kali ini sambil menatap Erika tepat di mata. “Dia ingin mengajak makan.”
Kaisar menyugar rambutnya dengan kasar. Walau enggan memikirkan ini, tapi kalimat Erika kemarin malam terus-terusan terlintas dibenaknya. Membuat dirinya tidak bisa bekerja dengan benar hari ini. Disatu sisi, Kaisar enggan menghamili istrinya, tapi dia harus melakukannya demi kelangsungan perusahaan yang sudah lumayan membaik ini. Disisi lain, dia tidak ingin bersama dengan Erika. Tapi entah mengapa, dirinya selalu berakhir di penthouse perempuan itu. “Apa sih yang kau pikirkan?” tanya Flora dengan nada ketus karena panggilannya sedari tadi diacuhkan. “Oh, maaf.” Kaisar langsung mendesah karena suddah semalam ini, tapi dia masih tidak fokus juga. “Biarkan saja dia Flora. Pasti pekerjaan di kantor hari ini banyak, jadi Kai kelelahan,” seorang pria yang duduk di depan Kaisar berbicara. “Ya. Belakangan ini memang sedang banyak kerjaan, Pa,” Kaisar menyahuti ayah mertuanya.
Semakin Erika lihat, semakin banyak keanehan yang ditemukan Erika dalam laporan keuangan yang diberikan Bima. Bukan hanya terjadi di satu atau dua tahun saat kejadian itu, tapi bahkan sudah cukup lama. Kalau ditotal-total, ada sekitar hampir 6 tahun ada tindakan korupsi. Awalnya kecil-kecilan saja, tapi makin lama makin besar dan makin sulit ditutupi. “Tahun terakhirnya, cocok dengan tahun kejadian waktu itu. Sama dengan tahun kematian Papa,” gumam Erika pelan. “Tapi siapa? Apa ada hubungan dengan Papa?” Erika kembali bergumam. Kalau dipikir-pikir lagi, ini bisa saja jadi petunjuk penging. Hanya saja saat ini Erika tidak punya gambaran apa pun soal perusahaan kala itu. Itu berarti dia harus bertanya pada orang yang lebih tahu. Kaisar. “Pak, apa anda sibuk?” Jam kerja belum benar-benar mulai, tapi Erika sudah ingin bertanya. “Masih 5 menit sebelum jam kerja,”
Kaisar merasa heran ketika melihat ayah mertuanya datang tanpa alasan jelas. Makin bingung lagi ketika pria itu hanya singgah sebentar saja. “Oh, shit.” Kaisar baru teringat sesuatu “Erika mana?” Pria itu bertanya lewat interkom pada Imel yang mengangkat panggilannya. “Mbak Erika ke toilet, Pak. Sepertinya kurang sehat karena tadi minum obat.” Tak perlu banyak waktu untuk berpikir, Kaisar langsung bangkit dari kursinya. Dia berjalan cepat keluar dari ruangan dan membiarkan pintu terbuka, kemudian melangkah ke arah toilet. Betapa terkejutnya pria berkemeja navy itu menemukan ayah mertuanya di sana. Refleks, Kaisar langsung berbalik dan bersembunyi di balik tembok. “Apa sih yang dia lakukan di sana?” geram Kaisar kesal karena dia harus menunda menemukan Erika dan memastikan perempuan itu baik-baik saja. Siapa yang sangka, begitu sang sekr
“Apa Kaisar ada?” Bima bertanya pada Erika yang tengah sibuk membolak-balik berkas. “Tentu saja dia ada. Kau ingin bertemu?” Erika menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya dari pekerjaan. Hari ini dia memang sangat sibuk. “Kau terlihat sibuk.” Bima meringis, tapi tentu saja Erika tak melihatnya. Erika tidak menjawab dan hanya mengangguk. Dia benar-benar terlalu sibuk untuk mengurusi pria pencemburu seperti Bima. Apalagi untuk urusan tidak penting.“Kalau begitu aku masuk saja ya.” Bima akhirnya menyingkir setelah Erika mengangguk padanya. Seperti biasanya, Bima langsung masuk ke ruangan sang kakak tanpa mengetuk pintu. Saking seringnya seperti itu, Kaisar bahkan langsung tahu begitu pintu terbuka. “Apalagi yang kau mau?” tanya Kaisar terlihat sama sibuknya dengan Erika, bahkan mungkin lebih sibuk lagi. “Yang jelas aku tidak datang untuk minta uang padamu.” Bima mendengkus kesal mendengar pertanyaan kakak yang hanya berbeda setahun dengan dirinya itu. “Tentu saja aku tahu, tapi
“Ini kan foto Papa.” Erika kembali memperhatikan foto itu dengan seksama. “Tidak salah. Ini memang foto Papa, tapi dengan siapa?” Erika bergumam bingung. Dalam foto itu, sang Papa berfoto dengan dua orang lain. Seorang perempuan cantik dan seorang anak perempuan. Anak perempuan itu duduk di atas bahu sang papa. “Mereka siapa sih?” Erika masih saja bergumam lirih. Merasa kemungkinan ada petunjuk dalam kotak, Erika mulai memeriksa isinya satu per satu. Dia mengabaikan memory card dan mulai dengan map dan amplop yang lebih besar. “Oh, my God. Ini kan data kecelakaan Papa.” Erika memekik kaget, kemudian segera beralih pada amplop berikutnya. “Dan ini data kecelakaan Mama.” Erika mendonggak dari tumpukan berkas itu. Dia melirik satu amplop ke amplop yang lain dan terakhir berlabuh pada memory card yang teronggok di dasar kotak. Dengan geraka
Erika menghela napas ketika dia baru saja parkir di gaedung tempat penthouse-nya berada. Kebakaran tadi sore membuat energinya terkuras habis dan juga harus lembur. Sudah lewat jam 12 malam, tapi Erika baru sampai di rumah. “Hai, Sweety kok baru baru pulang jam segini?” “Hai Chris,” Erika membalas dengan nada malas. “Ada apa denganmu sih? Kok lesu banget?” pria yang sedari tadi menunggu di basement itu merangkul Erika dengan santainya. “Tangannya, please. Berat tahu.” Erika memindahkan tangan itu dengan sama malasnya. “Sebaiknya kau pulang saja. Aku lagi capek banget.” “Ya karena itu aku ingin kasih treatment buatmu.” “Gak terima kasih, silakan pulang.” Erika sudah di dalam lift ketika melambaikan tangan untuk mengusir Chris. Sayangnya pria itu kepala batu. Dia malah mengekori Erika masuk ke lift. “Dengar ya, Chris.
“Apa kau baik-baik saja?” “Tidak ada yang akan baik-baik saja, setelah keguguran, Nes.” Erika tersenyum pada sahabatnya. “Sorry.” Vanessa yang tadi bertanya, meringis dan merasa bersalah. “Tidak usah merasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apa pun,” balas perempuan cantik yang baru saja memotong rambutnya jadi bob itu. “Tumben kau bisa bijak begitu.” Kali ini Lydia yang mengejek Erika. “Sebenarnya itu bukan kata-kataku, tapi kata-kata si dokter.” Kali ini, giliran Erika yang meringis. “Lagi pula, kantungnya juga kosong. Belum ada bayi di dalamnya.” “Bener juga sih, tapi kan harus tetap nunggu beberapa lama dulu kan?” Giliran Cinta yang bertanya. Empat perempuan yang bersahabat itu, kini tengah berkumpul di salah satu kafe kesukaan mereka. Walau semua sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tapi mereka menyempatkan diri berkumpul untuk menghibur Erika. “Ya, apalagi aku cuma diberikan obat dan bukan kuret. Jadi mungkin aku harus bertahan minimal tujuh bulan lagi.
“Erika.” Kaisar meneriakkan nama sang istri ketika dia tiba di rumah. “Sayang, kamu di mana?” Lelaki dengan pakaian kerja yang sudah berantakan itu, berlari menaiki tangga karena tidak mendapat jawaban. Dia juga tidak melihat sang istri di ruang tamu, maupun di dapur. Tinggal kamar yang belum diperiksa. “Sayang.” Kaisar langsung mendesah lega melihat istrinya meringkuk di atas ranjang. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Erika. Perempuan cantik itu bahkan tidak melepas pelukan pada lututnya. Dia bahkan belum mengganti baju, sejak pulang dari mengantar Queenie. “Erika.” Kaisar segera memeluk istrinya karena tahu ada yang tidak beres. Setidaknya, itu yang dikatakan sang kakak ipar. Lelaki yang terlihat makin matang itu, memang buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari Queenie. Iparnya itu tidak mengatakan sesuatu yang spesifik, tapi Kaisar tahu ada yang salah. “Queenie ternyata hamil.” Akhirnya Erika bersuara dan mendongak, setelah cukup lama berdiam diri. “Padahal dia tidak
“Aku mohon.” Erika menggumamkan kalimat pendek itu, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup. “Aku mohon kali ini berhasil.” Setelah sekali lagi menggumamkan kalimat serupa, si cantik itu membuka mata. Dia mengeluarkan stik yang sudah terendam beberapa menit pada cairan kuning dalam wadah kecil. Sayang sekali, hasilnya tidak membuat Erika senang. “Negatif lagi.” Erika mengatakan itu pada suaminya, ketika dia keluar dari kamar mandi. “Kamu tes lagi?” tanya Kaisar disertai dengan wajah prihatin. “Tentu saja aku akan terus melakukan tes, setiap kali kita selesai berhubungan,” jawab Erika dengan jujur. “Maksudku, tidak langsung juga.” “Sayang, tidak perlu buru-buru.” Selesai merapikan dasi, Kaisar langsung pergi memeluk istrinya itu. “Kita masih punya cukup banyak waktu untuk punya anak.” “Tapi ini sudah hampir dua tahun, Kai. Lydia saja sekarang sudah hamil anak kedua.” Tentu saja Erika akan mengeluh. Dia sudah sangat ingin menggendong malaikat kecil yang mirip dirinya atau
“Selamat pagi, Pak.” Kaisar menunduk ramah pada lelaki di depannya. “Halo, Kaisar.” Seorang lelaki pria tinggi besar mengulurkan tangan untuk menjabat. “Saya senang karena masih bisa menghubungi kamu.” “Saya yang harusnya senang karena Pak Herdiyanto masih mau menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan.” Tentu saja Kaisar akan menunduk sopan. “Itu karena akan sangat sayang kalau bakat sepertimu hanya bekerja sebagai ojek saja.” Pak Herdiyanto menjawab dengan senyum cerah. “Syukurnya saya melihat postingan tunanganmu kamu dan kebetulan juga ada yang baru mengajukan pengunduran diri.” “Sangat kebetulan, Pak.” Kaisar sedikit meringis ketika mendengar hal itu. “Tapi bagi saya, tidak ada kebetulan di dunia ini.” Melihat lawan bicaranya sedikit canggung, Pak Herdiyanto mengatakan hal itu diiringi dengan kedipan mata. “Semua pasti ada alasannya.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Kaisar, selain mengangguk. Dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu ke ruangannya dan melakukan wawanca
“Kenapa kau tidak pernah bilang tentang pekerjaanmu?” tanya Erika dengan mata melotot, tidak peduli kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. “Tunggu dulu Erika.” Kaisar yang tadinya masih duduk di atas motor, kini turun untuk menjelaskan. “Aku mohon jangan marah dulu. Aku punya alasan untuk semua ini.” “Yang benar saja?” Erika makin melotot. “Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika kau menyembunyikan semua ini.” “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Aku hanya ....” “Hanya ingin bersenang-senang dengan cara membonceng perempuan lain?” Erika memotong kalimat tunangannya itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Mana mungkin aku seperti itu, aku hanya .... Tunggu dulu.” Kaisar tiba-tiba saja menjadi bingung dengan apa yang dikatakan sang tunangan barusan. “Kau barusan bilang apa?” “Kau mau mengambil kesempatan dari penumpang perempuan kan?” tanya Erika tampak tidak mau menahan diri lagi. “Kau akan dengan sengaja mengerem mendadak agar nanti dada mereka b
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum