Erika menunggu dengan gelisah di dalam kamarnya. Dia sudah berhasil mengirimkan ancaman untuk Kaisar dan Reino. Dua pria itu tadi tidak mengatakan apa-apa, sehingga Erika menutup teleponnya duluan. Namun dia tahu Kaisar pasti akan menghubunginya duluan. Kini hari sudah mulai menjelang malam dan sampai sekarang belum ada satu pun panggilan atau pesan dari Kaisar. Ini membuat Erika sangat kecewa. “Apa dia benar-benar tidak peduli lagi padaku?” gumam Erika dalam keremangan kamarnya. Dia belum menyalakan lampu. Namun ternyata apa yang ditakutkan Erika sama sekali tidak terbukti. Semenit setelah dia bergumam pelan, ponselnya berdenting pelan. Kaisar mengirimkan pesan. [Kaisar A. Jayantaka: Kudengar kau mencariku.] Erika menghembuskan napas kasar karena kesal melihat pesan yang sangat singkat itu. Padahal tadi dia sudah mengancam, tapi masa iya cuma itu yang dikatakan Kaisar. [Erika Cantik: Aku ingin bertemu.] [Kaisar A. Jayantaka: Maaf, tapi tidak bisa. Apapun itu, katakan lewat ch
“Hei, Erika.” Erika tersenyum ketika melihat salah satu sahabatnya melambai. Dia bergegas mendatangi meja tempat 3 orang lainnya duduk. “Sorry aku terlambat,” gumam Erika seraya duduk di kursi kosong. “Ngerti kok. Sekarang kan sudah jadi selebriti full time,” ejek Vanessa dengan raut wajah sok kesal yang dibuat-buat. “Ck. Apaan sih,” gerutu Erika dengan bibir mencebik. “Aku bukan selebritis loh ya. Aku masih seperti yang biasa aja, cuma di media sosial.” “Tapi sekarang full time di sana kan?” Cinta bertanya. “Iya sih. Soalnya lagi males kerja kantoran.” Erika mengedikkan bahunya. “Emang. Kerja kantoran itu gak enak tau. Tiap hari kerjanya cuma lembur.” Giliran Lydia yang mengeluh. Mendengar keluhan dengan wajah cemberut itu, semua orang tertawa riang. Ini sangat menyenangkan bagi Erika, terutama karena sudah lama dia tidak tertawa seriang ini. Sudah lebih dari 7 bulan sejak kasusnya terungkap di publik. Dan sudah 4 bulan sejak pertemuan terakhir Erika dengan Kaisar. Pertemu
Erika yang berbaring di atas ranjang masih menatap amplop yang diberikan Queenie. Isinya sangat mencengangkan, sampai dia perlu melihatnya beberapa kali. Seperti yang dilakuannya sekarang. “Ini gila,” gumam Erika membaca kertas itu sekali lagi. “Ini benar-benar gila.” Erika bangun dari posisi berbaringnya. Dia kembali membaca isi kertas tadi dengan seksama, tak lupa membandingkan dengan yang ada di internet. Sejujurnya, sebagian isi kertas itu sulit dimengerti Erika. Namun setidaknya ada kalimat kesimpulan yang masih bisa dicerna dan bagian itulah yang membuatnya tercengang. “Bagaimana bisa aku dan Queenie bersaudara?” pekik Erika melempar kertas itu ke sembarang arah. Ya. Amplop yang diberikan Queenie berisi hasil tes dna. Erika tidak tahu dari mana perempuan itu mendapat sampel untuk tes, tapi Erika curiga itu terjadi saat Queenie menginap di rumahnya. Melihat tanggal yang tertera pada hasil tes itu, Erika menjadi yakin dengan hipotesisnya. Tanggalnya sekitar 7 bulan lalu.
Erika mendesah pelan. Dia sudah mendapat hasil tes DNA dirinya dan Queenie beberapa hari lalu. Hasilnya, tentu saja mereka saudara seayah. Tidak dapat dipercaya, tapi ternyata Pramudya Wiratama bukan pria sebaik itu. Lalu karena hal itulah Erika belakangan ini lebih banyak menyindiri. Dia sedang merenungkan, apakah sang ibu tahu kalau sesungguhnya sang ayah adalah pria beristri? Apakah sebenarnya semua pria di dunia ini brengsek? “Kurasa tidak. Masih ada Kaisar,” gumam Erika sambil menikmati green tea latte less sugar dengan low fat milk-nya. Kebetulan dia sedang duduk di cafe yang ada di mal. Erika kembali mendesah ketika mengingat kalau sebelumnya Kaisar itu cukup brengsek juga. Berselingkuh termasuk brengsek kan? “Permisi. Apa kamu Erika?” Seorang pria paruh baya mendekat dan bertanya. “Oh, iya. Ada yang bisa dibantu?” tanya Erika sopan. “Maaf, anakku di sana adalah penggemarmu. Bisakah dia berfoto bersama dan mendapatkan tanda tangan?” “Oh.” Erika cukup terkejut dengan pert
“Maaf, wawancara untuk pegawai barunya di sebelah mana ya?” Erika bertanya pada resepsionis gedung. “Oh, untuk marketingnya perusahaan manufaktur itu ya, Mbak?” Tanpa mendengar jawaban, si resepsionis langsung memberikan buku tamu untuk ditukar dengan akses masuk. “Lantai 3 ya. Nanti belok kiri ruangan paling ujung.” Tak lupa juga si resepsionis menjelaskan. “Makasih ya,” Erika menjawab dengan senyuman. Resepsionis itu melepas Erika dengan senyuman, namun dia terlihat sedikit bingung. Rasanya dia pernah melihahat perempuan barusan, tapi tidak ingat di mana. Sudah mendapat akses masuk, Erika pergi ke tempat yang diberitahu oleh resepsionis tadi. Dia yang hari ini berdandan maksimal bak seorang pencari kerja, mendapat perhatian orang-orang yang kebetulan lewat. Erika yang memang sudah cantik, tentu saja akan menarik perhatian. Apalagi ketika dia sudah berdandan dan menguarkan bau yang wangi. “Selamat pagi.” Erika menyapa orang-orang yang duduk menunggu giliran wawancara,
Erika dan Kaisar pada akhirnya duduk berhadapan di sebuah café, tak jauh dari tempat wawancara tadi. Tak ada yang bicara dan itu membuat suasana makin canggung, terutama setelah apa yang tadi Erika katakan di lift. “Apa kau akan terus diam?” Erika yang akhirnya duluan berbicara, masih dengan raut wajah sedih dan sakit hati. “Memangnya apa yang perlu kita bicarakan?” Kaisar balas bertanya, kemudian menyesap smoothies yang tadi dia pesan. “Apa yang perlu dibicarakan?” Kedua alis Erika terangkat naik. “Kau serius bertanya soal itu?” Kaisar tidak menjawab. Dia hanya mengedikkan bahu, menccoba untuk terlihat santai saja. Padahal sesungguhnya Kaisar sedang menahan diri untuk tak memeluk atau mencium Erika. Jujur saja dia rindu, namun lagi-lagi pikiran konyolnya lebih mendominasi. Rasa bersalah kini memaksa Kaisar untuk tidak mengharapkan yang muluk-muluk. Hal yang selalu ditertawakan kedua sahabatnya, tapi itulah yang selalu Kaisar tekankan agar tidak lagi membuat Erika terluka. “
Erika merasa benar-benar merasa kesal. Perempuan yang baru sampai di rumah itu, melempar tasnya dengan sembarangan gara-gara emosi. Padahal tadi Erika sudah sempat pergi menenangkan diri dengan spa, tapi tidak mempan. Erika sungguh tak habis pikir dengan apa yang dipikirkan Kaisar, ditambah dengan kemacetan. Itu sungguh membuat dia sudah ingin memukul kepala pria itu dengan ujung heels-nya. “Tenang Erika, tenang. Kau masih punya rencana cadangan untuk membuatnya sedikit menderita,” gumam Erika pada dirinya sendiri. Tepat setelah Erika selesai bicara, ponselnya berbunyi. Walau sedang kesal, tapi Erika tetap mengangkatnya. Apalagi setelah melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. “Ya, Om? Bagaimana apakah berhasil?” tanya Erika dengan lembut. “Kontrak kerjanya sudah terkirim? Jadi aku bisa mulai per kapan?” Senyum Erika makin merekah mendengar jawaban dari seberang sambungan teleponnya. Dia senang sekali bisa bekerja sama dengan orang ini, apalagi yang dia panggil om itu be
“Aku tidak mau ikut,” gumam Kaisar malas-malasan. “Yang benar saja, Kai. Kita akan kena denda dalam jumlah yang besar kalau tidak datang,” keluah Reino memelototi sahabatnya. “Itu kan salahmu. Siapa suruh tanda tangan kontrak tanpa melihat baik-baik.” Kaisar yang berbaring di sofa, menghindari pandangan Reino. “Ya, mana aku tahu kalau dia akan berpikiran untuk semena-mena begitu.” Reino membela diri. “Mana mungkin Reino tahu kalau ternyata Erika seiseng itu. Lagi pula ini hanya pertemuan biasa, Kai. Kau tidak akan sendiri ada aku dan Rei juga.” Viktor ikut membujuk sahabatnya itu. “Jangan jadi penakut.” “Aku bukan penakut.” Kaisar langsung bangkit, ketika mendengar ejekan Reino barusan. Kalau hanya bertemu klien sungguhan, Kaisar tentu tidak akan takut. Masalahnya ini adalah Erika. Dia takut kalau tiba-tiba goyah dengan keputusannya, ketika perempuan yang sesungguhnya dia sayangi itu muncul lagi. Lagi pula, Erika sepertinya sudah berniat yang tidak-tidak dengan memanggil mere