Erika mendesah pelan. Dia sudah mendapat hasil tes DNA dirinya dan Queenie beberapa hari lalu. Hasilnya, tentu saja mereka saudara seayah. Tidak dapat dipercaya, tapi ternyata Pramudya Wiratama bukan pria sebaik itu. Lalu karena hal itulah Erika belakangan ini lebih banyak menyindiri. Dia sedang merenungkan, apakah sang ibu tahu kalau sesungguhnya sang ayah adalah pria beristri? Apakah sebenarnya semua pria di dunia ini brengsek? “Kurasa tidak. Masih ada Kaisar,” gumam Erika sambil menikmati green tea latte less sugar dengan low fat milk-nya. Kebetulan dia sedang duduk di cafe yang ada di mal. Erika kembali mendesah ketika mengingat kalau sebelumnya Kaisar itu cukup brengsek juga. Berselingkuh termasuk brengsek kan? “Permisi. Apa kamu Erika?” Seorang pria paruh baya mendekat dan bertanya. “Oh, iya. Ada yang bisa dibantu?” tanya Erika sopan. “Maaf, anakku di sana adalah penggemarmu. Bisakah dia berfoto bersama dan mendapatkan tanda tangan?” “Oh.” Erika cukup terkejut dengan pert
“Maaf, wawancara untuk pegawai barunya di sebelah mana ya?” Erika bertanya pada resepsionis gedung. “Oh, untuk marketingnya perusahaan manufaktur itu ya, Mbak?” Tanpa mendengar jawaban, si resepsionis langsung memberikan buku tamu untuk ditukar dengan akses masuk. “Lantai 3 ya. Nanti belok kiri ruangan paling ujung.” Tak lupa juga si resepsionis menjelaskan. “Makasih ya,” Erika menjawab dengan senyuman. Resepsionis itu melepas Erika dengan senyuman, namun dia terlihat sedikit bingung. Rasanya dia pernah melihahat perempuan barusan, tapi tidak ingat di mana. Sudah mendapat akses masuk, Erika pergi ke tempat yang diberitahu oleh resepsionis tadi. Dia yang hari ini berdandan maksimal bak seorang pencari kerja, mendapat perhatian orang-orang yang kebetulan lewat. Erika yang memang sudah cantik, tentu saja akan menarik perhatian. Apalagi ketika dia sudah berdandan dan menguarkan bau yang wangi. “Selamat pagi.” Erika menyapa orang-orang yang duduk menunggu giliran wawancara,
Erika dan Kaisar pada akhirnya duduk berhadapan di sebuah café, tak jauh dari tempat wawancara tadi. Tak ada yang bicara dan itu membuat suasana makin canggung, terutama setelah apa yang tadi Erika katakan di lift. “Apa kau akan terus diam?” Erika yang akhirnya duluan berbicara, masih dengan raut wajah sedih dan sakit hati. “Memangnya apa yang perlu kita bicarakan?” Kaisar balas bertanya, kemudian menyesap smoothies yang tadi dia pesan. “Apa yang perlu dibicarakan?” Kedua alis Erika terangkat naik. “Kau serius bertanya soal itu?” Kaisar tidak menjawab. Dia hanya mengedikkan bahu, menccoba untuk terlihat santai saja. Padahal sesungguhnya Kaisar sedang menahan diri untuk tak memeluk atau mencium Erika. Jujur saja dia rindu, namun lagi-lagi pikiran konyolnya lebih mendominasi. Rasa bersalah kini memaksa Kaisar untuk tidak mengharapkan yang muluk-muluk. Hal yang selalu ditertawakan kedua sahabatnya, tapi itulah yang selalu Kaisar tekankan agar tidak lagi membuat Erika terluka. “
Erika merasa benar-benar merasa kesal. Perempuan yang baru sampai di rumah itu, melempar tasnya dengan sembarangan gara-gara emosi. Padahal tadi Erika sudah sempat pergi menenangkan diri dengan spa, tapi tidak mempan. Erika sungguh tak habis pikir dengan apa yang dipikirkan Kaisar, ditambah dengan kemacetan. Itu sungguh membuat dia sudah ingin memukul kepala pria itu dengan ujung heels-nya. “Tenang Erika, tenang. Kau masih punya rencana cadangan untuk membuatnya sedikit menderita,” gumam Erika pada dirinya sendiri. Tepat setelah Erika selesai bicara, ponselnya berbunyi. Walau sedang kesal, tapi Erika tetap mengangkatnya. Apalagi setelah melihat nama yang tertera pada layar ponselnya. “Ya, Om? Bagaimana apakah berhasil?” tanya Erika dengan lembut. “Kontrak kerjanya sudah terkirim? Jadi aku bisa mulai per kapan?” Senyum Erika makin merekah mendengar jawaban dari seberang sambungan teleponnya. Dia senang sekali bisa bekerja sama dengan orang ini, apalagi yang dia panggil om itu be
“Aku tidak mau ikut,” gumam Kaisar malas-malasan. “Yang benar saja, Kai. Kita akan kena denda dalam jumlah yang besar kalau tidak datang,” keluah Reino memelototi sahabatnya. “Itu kan salahmu. Siapa suruh tanda tangan kontrak tanpa melihat baik-baik.” Kaisar yang berbaring di sofa, menghindari pandangan Reino. “Ya, mana aku tahu kalau dia akan berpikiran untuk semena-mena begitu.” Reino membela diri. “Mana mungkin Reino tahu kalau ternyata Erika seiseng itu. Lagi pula ini hanya pertemuan biasa, Kai. Kau tidak akan sendiri ada aku dan Rei juga.” Viktor ikut membujuk sahabatnya itu. “Jangan jadi penakut.” “Aku bukan penakut.” Kaisar langsung bangkit, ketika mendengar ejekan Reino barusan. Kalau hanya bertemu klien sungguhan, Kaisar tentu tidak akan takut. Masalahnya ini adalah Erika. Dia takut kalau tiba-tiba goyah dengan keputusannya, ketika perempuan yang sesungguhnya dia sayangi itu muncul lagi. Lagi pula, Erika sepertinya sudah berniat yang tidak-tidak dengan memanggil mere
“Ini gila. Aku tidak mungkin melakukan ini.” Kaisar mengomel, sembari mondar-mandir di dalam ruangan. “Kita tidak punya pilihan lain, Kai. Erika memintamu.” Viktor mengedikkan kedua bahunya. Kaisar mengacak rambutnya dengan frustasi. Walau dia memang tidak punya pilihan lain lagi, tapi masa iya dia tiba-tiba jadi pengawal? Demi apapun, Kaisar sama sekali tidak punya pengalaman. Jangankan pengalaman, Kaisar bahkan tak tahu bela diri. Memegang pistol pun tak pernah. Dia cuma punya modal menyetir mobil. “Kita bayar saja dendanya.” “Apa kau gila?” Reino langsung berteriak mendengar yang barusan dikatakan sahabatnya itu. “Dendanya itu bukan berjumlah puluhan juta, Kai.” Reino masih mengomel dengan nada tinggi. “Bayaran selama setahun saja sudah lebih dari setengah milyar, apalagi dendanya yang 5 kali lipat. Apa kau gila?” Kaisar melempar dirinya ke atas sofa. Angka yang sangat fantastis untuk seorang Erika Wiratama. Kaisar saja bingung dari mana perempuan itu mendapat uang sebanyak
Kaisar mondar mandir di dalam kamar yang dia pilih. Dia dengan terpaksa memilih kamar yang di lantai bawah. Inginnya sih di lantai atas saja untuk menghindari Erika yang harusnya tidur di lantai bawah, tapi percuma. Perempuan itu akan mengekori. “Kau harus mengawalku selama 24 jam. Akan lebih efisien jika kamar kita berdekatan. Kau harusnya bersyukur aku tidak memintamu tidur di kamarku.” Itu yang tadi Erika katakan. Ya. Harusnya Kaisar bersyukur. Karena kalau dia tidur di kamar perempuan itu, dia tak yakin bisa menahan diri. “Lama-lama aku bisa gila,” gumam pria itu mengacak rambutnya. Kaisar kemudian menatap sekitarnya. Dia kini menempati kamar bekas ruangan balas dendam Erika. Kini kamar itu telah menjelma menjadi kamar yang lebih normal dari sebelumnya. Tak ada lagi kertas rencana balas dendam yang tertempel di temboknya. “Setidaknya dia sudah jadi lebih baik.” Kaisar masih bergumam sendiri. Merasa sudah perlu pergi mandi, Kaisar keluar dari kamar. Kebetulan di kamar i
“Hei, Erika.” Lydia melirik ke belakang sahabatnya dengan ragu-ragu. Ada rasa risih terlihat jelas di wajahnya. “Kenapa Kaisar harus berdiri di belakangmu?” bisik Lydia melanjutkan apa yang ingin dia katakan. Erika tak langsung menjawab. Dia menoleh terlebih dulu dan menatap lelaki yang berdiri di belakangnya, sebelum mengangguk sebagai jawaban. “Ya. Memang harus seperti itu. Dia kan bodyguard-ku.” “HAH?” Vanessa langsung memekik mendengar jawaban sahabatnya itu. Saat ini, Erika dan para sahabatnya sedang duduk manis untuk makan pagi menjelang sore di sebuah cafe. Hal yang sudah agak lama direncanakan, namun baru terlaksana sekarang. Tenttu saja sebagai bodyguard, Kaisar harus ikut. Kaisar yang sudah mendapat briefing singkat dari Hadi-pengawal pribadi milik sahabatnya-Reino, sudah cukup tahu apa yang perlu dia lakukan. Dalam kondisi makan siang seperti ini, Kaisar bisa mengambil tempat duduk yang dekat dengan Erika. Sayangnya perempuan itu menolak. Dia ingin Kaisar berdiri