Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku
Part 7 Aku geram. Walau sudah kuperjelas masih saja anak itu berpura-pura polos. "Sadar Lala, sadar. Kamu itu lagi kena iming-iming dia. Guru itu bukan orang baik, kenapa sih kamu gak ngerti-ngerti?!" "Kena iming-iming?" "Cukup! Mamah bosan lihat wajah kamu yang sok polos itu Lala. Mulai sekarang Mamah pertegas, kamu gak boleh deket-deket guru itu lagi, paham?" Lala menatapku tajam lalu berpaling sambil mendengus kesal. Aku melakukan hal yang sama. _ Sampai di rumah suami langsung menyambut kami ke teras. "Mah, kalian pada kemana aja sih? Jam segini kok baru balik?" "Dari rumah sakit." "Rumah sakit? Habis ngapain? Siapa yang sakit?" "Habis periksa dia." Aku melirik pada Lala. Anak itu membuang muka. "Periksa apa? Kamu sakit, La?" Suami memegang kedua bahu Lala. Tapi cepat ditepisnya lagi oleh Lala. Tanpa izin permisi anak itu pun melengos pergi. "Lala sakit apa, Mah? Kok dia kayak kesel gitu?" "Sakit otak," ketusku seraya masuk ke dalam. Suami mengekor. "Hah, sakit otak?" "Udah deh Papah gak usah banyak tanya. Tanpa Mamah perjelas Papah ngerti 'kan maksud, Mamah?" "Nggak." Aku mengerling, "Mamah habis periksa keperaw*nan Lala, Pah." "Astaga Mah, terus gimana hasilnya?" "Yaa ... aman sih." "Ck tuh 'kan, Mamah itu cuma khawatir berlebihan tahu gak?" "Tapi Pah, Papah gak tahu 'kan kalau Mamah tadi sore nemuin banyak tisu bekas di kamarnya Lala?" Mata suami menyipit, "tisu bekas? Terus?" "Iya. Dan Papah tahu apa yang membuat Mamah habis kesabaran sampai akhirnya buru-buru membawa Lala ke dokter?" Suami menggeleng. "Tisu-tisu itu ternyata adalah tisu bekas air sper*a, Pah." Kedua bola mata suami melotot. "A-air spe ...." "Iya. Jadi wajar dong kalau Mamah khawatir sama itu anak?" "Tapi Mah, kok bisa tahu kalau tisu itu bekas ...." "Ya 'kan kecium baunya, Pah." "Astaga." Suami meremas dan memalingkan wajahnya. "Makanya Papah jangan suka belain Lala terus Pah, kita itu emang perlu tegas sama dia. Dia udah mulai remaja dan kita gak boleh terlalu percaya sama dia." Suami hanya diam dengan raut wajah yang sudah berubah tak karuan. "Oh ya, Papah tahu gak?" Aku bicara lagi. Suami menoleh. "Tadi pas di rumah sakit sempet-sempetnya si Lala ketemu sama si tua bangka itu." "Si tua bangka? Siapa?" "Ya siapa lagi selain gurunya yang tadi Mamah curigain itu. Keterlaluan 'kan? Si tua bangka itu sempet-sempetnya ngikutin Lala ke rumah sakit, biar apa coba?" Suami memijit pangkal matanya alih-alih merespon lagi omonganku. "Oh Mamah curiga," kataku lagi sambil menjentikan jari. Suami menoleh dengan mata memicing. "Jangan-jangan ini ada kaitannya sama hasil pemeriksaan tadi." "Maksudnya?" "Bisa jadi 'kan si tua bangka itu udah sekongkol sama dokternya supaya dokter tersebut memberikan hasil yang bukan sebenarnya sama, Mamah." "Ya Tuhan Mah, kok pikirannya sejauh itu? Gak mungkinlah, dokter juga punya kode etik. Bisa dipecat dia kalau sampai melakukan itu. Aku mendengus, "ya siapa tahu dokter itu temennya si tua bangka." Suami mengibas tangan, "udah-udah, apaan sih Mamah kok makin ngaco aja. Mendingan Mamah istirahat aja gih, udah malam juga, kasihan tuh adek tidur sendirian terus dari tadi." "Ah ya udah." Aku pun pergi ke kamar dan rebahan di dekat Arkan. *** Esok harinya "Mah, Lala berangkat ya." Anak itu mengetuk kamarku dan bicara dari luar. Aku yang masih tidur terbangun dan gegas bangkit. Maklum busui, matahari udah meninggi dan jam menunjukkan pukul tujuh lebih, tapi masih aja merem karena ngantuk semalam kebangun-bangun. "Berangkat kemana kamu?" "Sekolah dong Mah, kemana lagi?" "Gak usah. Hari ini kamu gak usah sekolah." "Loh kok gitu?" "Iya. Entar aja pas mau ujian baru kamu sekolah." "Mah, tapi 'kan sekarang juga harus sekolah. Mau banyak materi yang dikejar, Mah." "Mamah gak percaya. Sana balik lagi ke kamar kamu," tegasku. "Mah ayolah Lala mesti sekolah Mah, Lala takut, Ma-" "Nggak! Mamah bilang nggak, ya nggak. Kamu ngerti gak sih?!" Aku membentaknya kasar. Lala akhirnya tak memaksa lagi. Dia kembali naik ke atas meski dengan wajah murung. Sementara aku kembali tidur karena mata masih terasa berat. _ Brak! Aku terperanjat dalam keadaan setengah sadar. Kutengok jam dinding menunjukkan pukul 10.00 WIB. Kudengar sesuatu yang terjatuh dari lantai atas. Karena benturannya terdengar sangat kencang aku khawatir dan buru-buru keluar kamar. "Pergi! Cepet pergi dari kamarku!" Dari tangga aku dengar Lala sedang bicara dengan nada yang agak kencang. "Ngomong sama siapa itu anak? Ya ampun, jangan-jangan ...." Aku melangkah lebar-lebar sampai tak peduli walau harus melewati dua anak tangga sekaligus. "Lala!" Dia yang tengah berada di balkon kamar terkesiap dan refleks menoleh padaku. Wajahnya terlihat tegang, pelipis dan keningnya juga penuh dengan keringat. Kulihat tubuh Lala juga agak bergetar ketakutan. "Mam-ah?" "Ngapain kamu? Ada siapa di sana?" Aku melangkah pelan, menuju balkon tempat di mana ia berdiri kaku sekarang.Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 8"G-gak ada siapa-siapa, Mah.""Bohong!" Aku menyembulkan kepala pada tembok pojok balkon. Kupikir aku akan menemukan seseorang di sana, tapi nihil. "Kamu gak lagi bohong sama Mamah 'kan?"Lala menggeleng kepala."Terus ngomong sama siapa tadi kamu, hah?!""T-tadi ... Lala ngomong sendiri, Mah."Aku mendelik tajam. Lala tampak makin gugup."Maksud Lala ... tadi Lala lagi latihan akting buat nanti pentas akhir sekolah, Mah."Mataku menyipit, memberinya desakan untuk bicara jujur."Bohong! Terus tadi apa yang jatuh?""T-tadi ... itu ... pot bunga, Mah." Lala melirik ke bawah.Gegas saja aku keluar kamarnya lalu turun tanpa bicara apa-apa lagi. Kalau tadi benar ada orang, lalu di atas orangnya menghilang, aku yakin, orang itu pasti loncat ke bawah. Buktinya pot bungaku pecah."Maaah! Maah, mau kemana?" Lala ikut turun, mencoba menahanku lebih tepatnya."Diam kamu Lala! Mamah tahu kamu bohong dan kamu mencoba menyembunyikan laki-laki itu 'kan?!
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 9Aku mengerling, "habisan pake nanya, ya siapa lagi, selain Pak Darwin si tua bangka itu, Pah," ralatku."Huuuh, Papah kira." Suami melepaskan napas lega. "Emang Mamah tadi lihat Pak Darwinnya, Mah?""Iya, tadi itu pas Mamah mau lihat keluar siapa orang yang udah kabur dari kamar Lala, tiba-tiba aja Pak Darwin muncul, itu artinya beneran dia 'kan orangnya?""Oh gitu." Suami manggut-manggut. "Terus gimana lagi, Mah?""Ya udah Mamah ancam aja, kalau sekali lagi dia datang atau kelihatan deketin Lala, bakal Mamah pastikan dia dipecat dari sekolah dan kehilangan pekerjaan seumur hidup dia."Suami menarik napas berat.***"Lala! Mau kemana kamu?"Pukul 23.59, hampir jam 12 malam. Aku yang baru saja mengambil air hangat untuk susu Arkan mendadak terhenti di dekat pintu kamar.Aku dengar suara suami yang sedang teriak memanggil Lala di luar.Gegas aku menghampirinya. "Pah, ada apa?"Dia terkejut, "eh, Mah. Kok bangun?""Mamah yang harusnya nanya, Pa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 10"Kamu yang ngapain di sini, hah?!""Mam ... anu ... itu ... Lala ....""Cukup. Jelasin di rumah." Kutarik anak itu ke motor.__"Ngaku kamu. Habis ngapain kamu semalam di hotel, hah?!" Emosiku kembali memuncak. Kulempar anak itu ke sofa."Ampun Mah, ampuun.""Mah, ada apa sih?" Suami langsung datang, seperti biasa, dia akan siaga membela anaknya."Lihat ini Pah, anak kesayangan Papah, bisa-bisanya Mamah temuin dia di depan hotel."Mata suami melebar, "di depan hotel? Bener itu, La?"Lala bergeming, dia malah membuang muka dari papahnya."Dasar anak gak tahu diuntung, makin ke sini makin ngelunjak kamu, ya." Aku baru akan menarik tangannya saat suami dengan cepat mencegah. "Mah udahlah, gak usah pakai kekerasan. Lala ada di hotel mungkin karena acaranya semalam di hotel, Mamah lupa kalau semalam Lala mau pergi ke acara ulang tahun temannya? Iya 'kan La?" Suami berjongkok, mendongakan wajah Lala padanya."Ya tapi acara ulang tahun tengah mal
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 11"Hati-hati dong, Pah." Kuberi dia minum."Ngapain Mamah ke sana lagi, Mah?""Mamah gak tenang, Mamah harus tahu apa yang dilakukan Lala di sana, Pah.""Oh, ya udah kalau gitu. Terserah Mamah aja, tapi bener Mamah mau pergi sendirian?""Iya Pah, kamu di rumah aja, Mamah berangkat sekarang ya."Aku buru-buru bangkit lalu menyambar kunci motor dan melesat pergi menuju hotel Narisa.Tapi sesampainya di sana aku malah dibuat kesal. Bagian resepsionis ternyata tak bisa memberiku informasi apa-apa dengan alasan itu adalah privasi tamu."Astaga Mbak, anak saya nginap di sini semalam, saya cuma mau tahu dia nginap sama siapa? Apa benar yang dikatakan anak saya bahwa dia nginap dengan teman-temannya juga?""Mohon maaf Ibu, sekali lagi kami tidak bisa memberi tahu informasi apa pun tentang tamu kami." Perempuan muda berparas cantik itu menangkupkan kedua tangannya depan dada.Argh persetan! Akhirnya aku keluar dengan wajah kesal."Heh, ngapain?" Aku te
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 12Ah biarkan saja. Kenapa juga aku harus pusing? Bukannya sekarang anak itu sudah pandai berakting? Bisa saja itu akal-akalan dia biar aku goyah."Bawa dia pergi, Pah. Mamah gak mau lihat dia lebih lama lagi di sini," kataku akhirnya.Suami mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil. Siang ini, aku menyuruh suami mengantarkan Lala ke rumah bapaknya. Entah bagaimana nanti anak itu sekolah, aku harap bapaknya sanggup mengantar jemput Lala setidaknya sampai dia ujian selesai."Ah untuk apa juga aku peduli? Bapaknya si Lala 'kan banyak duitnya, dia bisa aja tinggal di apartemen deket-deket sini dulu atau kontrak rumah biar bisa ngejar sekolahnya Lala. Yang penting sekarang aku sudah bebas tugas, jadi kalaupun ada apa-apa sama Lala bukan lagi tanggung jawabku, tapi tanggung jawab bapaknya si Lala."__"Gimana, Pah? Apa kata Bapaknya si Lala? Dia kaget gak saat tiba-tiba Lala datang?" tanyaku ketika suami sudah kembali."Ah nggak kok Mah, gak gimana-g
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 13"Selingkuh? Haha selingkuh biar apa, Mah? Sumpah, Papah gak pernah selingkuh, ya kali Papah selingkuh, bisa diusir Papah dari sini. Lagian Papah itu udah bahagia hidup sama Mamah, buat apa Papah selingkuh?"Dari cara dia menjelaskan dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku, tampaknya suami memang tidak sedang berbohong. Ah syukurlah kalau begitu, semoga omongannya itu bisa dipercaya."Oh ya Mah, Papah belum mandi nih, Papah mandi dulu ya," katanya lagi.Aku mengangguk saja. Dia gegas bangkit menuju kamar mandi.***Esok harinya.Karena penasaran dengan apa yang sedang terjadi di toko, aku pun sengaja datang ke sana. Sekalian mau lihat Lala ke sekolah, kangen juga rasanya aku sama itu anak. Entah gimana kabar dia, dua bulan di rumah mantan suami tak pernah sekali pun aku mendengar kabarnya.Mau bertanya pada bapaknya malu, takutnya dia malah ngetawain alih-alih ngasih tahu kabar Lala.Aku naik taksi online yang sengaja kupesan, karena tak
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 14Tapi setelah kuobrak-abrik, ternyata hasilnya nihil. Aku justru tak menemukan apa pun di sana."Ah sia-sia, buang-buang waktu." Sambil menggerutu aku masuk ke dalam rumah."Ada makanannya, Mah?" tanya suami. Dia tengah menunggu Arkan yang sudah lelap depan tv."Gak Pah, Mamah lupa bawa dompet.""Astaga. Ya udah biar Papah aja yang masak ya." Dia gegas bangkit dan pergi ke dapur."Mamah juga mau masukin baju ke mesin, biar Papah sekalian jagain," kataku seraya mengekornya ke belakang. Sementara Arkan kubiarkan dalam kelambu.Sebetulnya aku tak sungguh-sungguh ingin mencuci baju, karena biasanya suami yang melakukannya. Tapi karena aku ingin mengulik informasi yang mungkin bisa aku dapatkan soal kemana perginya suami saat pagi dan sore hari, jadi aku sedikit semangat meski malam-malam begini harus memegang tumpukan baju kotor."Gimana tadi di toko, Pah?" Aku memulai obrolan.Posisi tempat masak dan tempat nyuci tak begitu jauh, jadi kami bisa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 15"Mamah mau lihat." Kuambil plastik itu paksa lalu membukanya walau tanpa seizin suami."Loh, Papah beli nasi? Kan udah sarapan, Pah. Nasi buat siapa ini?" Wajahnya mendadak pucat. "Itu emm ... buat makan siang Papah, Mah. Iya bener. Jadi tadi itu sekalian Papah lewat Papah beli nasi bungkus itu biar nanti pas waktunya makan siang, Papah gak usah nyari-nyari lagi gitu loh maksudnya," terangnya seraya senyum yang dipaksakan."Bener?" Mataku menyipit."Ya buat apa Papah bohong? Tapi kalau misalnya Mamah mau nasi itu ambil aja deh, biar nanti Papah yang beli lagi aja." "Oh oke, kebetulan Mamah lagi pengen nasi warteg, maklum busui, harus banyak makan. Mamah ambil ya nasinya," kataku enteng."Iya. Ya udah Papah berangkat lagi ya, dah, Mah."Dengan gerak-gerik yang tampak terburu-buru dia pun pergi. Sementara aku juga kembali masuk ke dalam mobil.Aku berniat kembali membuntuti suami. Karena entah kenapa meski suami sudah menjelaskan panjang leb
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 95"Sudah Maura, yang penting sekarang kamu aman di rumah Uwa."Maura mengangguk dan tiba-tiba suara teriakan menggema dari luar rumah."Maura! Aku tahu kamu ada di dalam! Keluar, Maura!"Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menoleh ke arah Maura yang duduk di kursi dengan wajah pucat pasi. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan erat, tubuhnya gemetar hebat."Wa ... tolong, Wa. Tolong Maura. Maura takut!" isaknya dengan suara bergetar.Dari luar, suara pria itu semakin menjadi. "Aku melihat sendiri kamu lari ke sini! Jangan pikir bisa sembunyi dariku! Keluar! Dasar perempuan tidak tahu diri! Berani berselingkuh di belakangku, maka harus berani menerima akibatnya!"Maura menutup telinganya sambil menangis. "Wa, dia bakal masuk nggak? Jangan biarkan dia masuk, Wa! Maura takut!"Aku menggenggam tangannya yang dingin. "Tenang, Ra. Uwa nggak akan biarkan dia menyentuh kamu."Mas Halbi yang duduk di sebelahku langsung berdiri, wajahnya meneg
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 94Mas Halbi menghela napas lagi. "Iya, mereka nggak tahu yang sebenarnya. Itu sebabnya kamu nggak perlu ambil hati. Percuma. Kita nggak akan bisa mengubah cara mereka berpikir."Aku menggeleng. "Tapi sakit, Mas. Mereka ngomong tentang Lala seakan-akan dia itu barang bekas yang nggak pantas buat siapa-siapa."Mas Halbi menatapku penuh empati. "Lala bukan barang. Lala anak kita. Dan kita tahu siapa dia sebenarnya. Kita tahu bagaimana dia berjuang. Kita tahu dia bukan seperti yang mereka katakan."Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata suamiku."Yang penting kita ada buat dia. Jangan biarkan mereka membuat kita kehilangan kepercayaan pada anak kita sendiri," lanjut Mas Halbi.Aku menyandarkan kepala ke bahunya, berusaha mengambil kekuatan dari kehadirannya. "Aku cuma capek, Mas. Aku udah capek dengar orang ngomongin anak kita seolah-olah anak kita itu nggak ada harganya.""Aku tahu." Mas Halbi membalas dengan suara rendah. "Makanya kita gak usah
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 93Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini semakin sesak mendengar obrolan-obrolan yang terus diarahkan pada Lala. Kenapa sih orang-orang ini seperti tidak bisa berhenti membahas pernikahan? Seolah-olah hidup seseorang hanya akan dianggap sempurna kalau sudah menikah."Iya Ndri, lihat tuh si Maura, anak Bibi. Dia udah nikah di usia 17 tahun, sekarang anaknya usia 7 tahun, udah kayak bestie. Siapa yang bakal nyangka kalau dia ternyata udah punya anak," kata salah satu saudaraku lagi, seolah menambahkan beban di suasana yang sudah cukup berat.Aku melirik Maura yang sedang duduk di pojok ruangan. Dia tampak asyik dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil sambil mengetik sesuatu. Sementara anaknya yang berusia 7 tahun tampak sibuk melahap sepiring nasi di dekatnya."Maura, coba kamu ceritakan sama saudaramu ini, Nak. Mbak Lala, biar dia cepat mau nikah," Bibiku menimpali lagi, seolah sengaja ingin mempermalukan Lala di depan banyak orang.M
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 92"Maaf loh, bukannya menghina. Tapi kan ini kenyataannya, Ndri."Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku merasa muak. "Iya, Bu. Nanti coba saya bicara sama Lala."Bu Atun tersenyum puas. "Iya. Mumpung Juragan Danu juga masih belum ada yang srek tuh. Kali aja kalau sama Lala, dia mau.""Iya, Bu," jawabku seadanya.Setelah membayar belanjaan, aku segera pulang dengan hati yang berat. Langkahku terasa lebih lambat dari biasanya, pikiranku dipenuhi dengan percakapan tadi di warung.Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ibu yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya, mengiris bawang untuk persiapan memasak."Kata mereka, apa lebih baik Lala dijodohin aja, Bu?" tanyaku, meletakkan belanjaan di meja.Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Dijodohin sama siapa?"Aku menghela napas. "Ya, sama siapa aja. Sama Juragan Danu misalnya."Ibu langsung melotot. "Husssh! Ngaco kamu, Ndri! Tua bangka begitu, masa mau
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 91Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung saling berpandangan."Astaghfirullah, kok masih aja ada orang kayak gitu?" gumam salah seorang ibu yang berdiri tak jauh dariku."Iya, ya. Bukannya introspeksi, malah makin menjadi," timpal yang lain.Aku menarik napas panjang dan menoleh ke arah ibu. Jujur, aku selalu kepikiran kalau soal anak. Aku yang punya masalah dengan Bu Een, kenapa jadi Lala yang kena sumpah serapah? Ya Allah semoga saja, Engkau jauhkan anak hamba dari segala mata jahat.Mas Halbi, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. "Sudah, Ndri. Lanjutkan saja pembagian sembakonya. Jangan sampai hal tadi mengganggu niat baik kita."Aku mengangguk dan kembali fokus ke apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin kejadian barusan merusak suasana.Satu per satu, warga kembali maju untuk mengambil sembako."Indri, kamu benar-benar perempua
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn