Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 1"Ada uang sebanyak 500 ribu yang udah ketiga kalinya Mamah temuin di tas sekolah kamu dalam sebulan ini Lala, jujur, ini uang kamu dapat dari mana sebenarnya?" Aku menggebrak meja makan dan menatapnya tajam.Anak sulungku yang masih berusia 15 tahun dan masih duduk di kelas 3 SMP itu hanya terdiam di depan piring makan siangnya."Kalau Mamah lagi nanya itu dijawab, punya mulut 'kan kamu?""Lala gak tahu itu uang dari mana, kalau Mamah butuh ambil aja," katanya kemudian. Mataku melotot. "Mamah gak butuh uang ini, Mamah cuma pengen tahu, dari mana asal muasal uang yang selalu Mamah temuin di tas sekolah kamu ini, Lala?!" Aku makin geram. Pasalnya, setiap kali kutanya perihal uang yang akhir-akhir ini kutemukan di dalam tasnya itu, dia selalu menjawab dengan jawaban yang sama. Siapa yang gak naik darah?"Ada uang di dalam tas sekolah kamu, kok bisa-bisanya kamu gak tahu? Jangan sampai Mamah berpikir yang nggak-nggak, ya!" lanjutku dengan suara
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 2Baru saja sampai di menu galeri, aku sudah dibuat syok bukan main."Kenapa, Bu?" Guru itu ikut cemas ketika melihat ekspresiku.Cepat kumasukan ponsel itu ke dalam saku daster. "Gak apa-apa Pak, ini ponselnya saya simpan dulu ya, kalau misal bukan milik Lala pasti saya kembalikan.""Oh baik kalau gitu, Bu. Saya permisi.""Iya, Pak."Guru itu pergi, sementara aku cepat naik ke atas. Menghampiri Lala di kamarnya.Dor dor dor!"Lala, buka!" Aku teriak kencang."Apa sih, Mah?" Dia menyembulkan kepalanya dengan raut kesal.Kudorong pintu yang hanya dibukanya sedikit itu sambil menerobos masuk."Ada apa sih?""Milik siapa ini?" Kuangkat ponsel tadi. Menampakkannya tepat di depan wajah Lala.Seketika wajah anak itu pucat. "L-Lala ... gak tahu, Mah.""Jangan bohong."Dia menelan ludah, ekspresinya berubah tegang."Bener 'kan ini punya kamu?"Dia menggeleng, "nggak Mah, sumpah itu bukan punya Lala.""Terus kenapa ada foto kamu di dalamnya? Dan apa ini
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 3"I-iya. Tapi apa kamu yakin anak kamu sebodoh itu, Mah?""Namanya anak remaja, otaknya masih polos, dia juga belum benar-benar tahu jati dirinya. Walau jujur, Mamah berharap ini cuma mimpi, tapi nyatanya kita menemukan buktinya 'kan? Lala kena iming-iming, Mamah yakin.""Jadi Mamah yakin kalau hp ini dari si pelaku itu, Mah?"Aku mengangguk."Tapi siapa, Mah? Siapa yang berani ngasih barang semahal ini? Kita tahu Lala bukan sekolah di sekolah orang-orang berada 'kan?""Itu dia, kalau Lala gak bergaul dengan anak orang-orang kaya di sekolahnya, cuma ada dua kemungkinan Pah, dia punya kenalan orang luar sekolah atau Lala kena iming-iming orang dewasa dalam sekolah yang secara finansial, dia bisa mengusahakan barang mewah ini untuk Lala."Mata suami menyipit, "orang dewasa di sekolah? Siapa? Guru maksudnya?""Betul. Siapa lagi?""Astaga Mah, masa iya gurunya. Lala masih kecil loh dan Papah lihat di sana guru-gurunya juga udah pada tua, pada seni
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 4"Bener kayaknya ini rumahnya." Aku mengedarkan pandang ke setiap sisi rumah bercat putih dengan halaman luas itu.Rumahnya memang tak terlalu bagus tapi aku lihat ada dua mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya yang menandakan bahwa guru ini adalah orang yang berada.Dan itu artinya bukan tak mungkin 'kan kalau dia yang memberikan ponsel mahal itu pada Lala?Awalnya rumah itu tampak terlihat sepi, tapi setelah mematung sekitar tiga menit lamanya di atas motor, tiba-tiba kudengar suara gaduh dari dalam rumah tersebut."Ngapain kamu balik ke rumahku? Bukankah kamu udah punya perempuan lain yang bisa membahagiakanmu? Pergi! Anak-anak bisa trauma melihatmu datang!"Kulihat seorang wanita paruh baya tengah teriak-teriak sambil mendorong guru bernama Darwin itu keluar.Sekilas aku merasa iba ketika guru tua itu hampir tersungkur ke lantai. Tapi jika kuperhatikan lagi ucapan istrinya, Pak Darwin sepertinya sudah melakukan kesalahan yang sanga
Misteri Uang di Tas Sekolah AnakkuPart 5"Coklat dari mana ini? Perasaan tadi aku gak lihat coklat di dalam tas Lala, buku-bukunya juga udah dia keluarin."Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, aku kembali mengobrak-abrik tas sekolah Lala. Dan aku makin dibuat terkejut ketika aku menemukan setangkai bunga mawar di bagian tas paling dalam."Bunga mawar? Apa-apaan ini? Dari mana Lala mendapatkannya? Bukannya dari tadi dia gak pergi kemana-mana?" gumamku seraya membaca pesan singkat yang ditulis pada kertas kecil di tangkai bunga mawar tersebut. [Bunga yang cantik untuk Lala yang cantik. Jangan takut lagi dong, Sayang]Dengan rahang mengeras dan dada bergemuruh, refleks kulempar lagi benda-benda itu ke atas kasur. Lalu pergi ke luar kamar untuk mencari Lala."Lalaa! Lalaaa!""Mah ...." Anak itu muncul di belakangku.Aku berbalik dan mendapati wajah Lala yang sembab dengan mata yang sudah bengkak. "Mah ...." Dia tiba-tiba memelukku dengan erat."Kamu habis dari mana sih? Terus itu
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 86POV IndriHari itu, seperti biasa, aku dan Mas Halbi sedang duduk di toko sembako yang kami kelola di depan rumah. Kami tengah menunggu pelanggan datang, menikmati sejenak waktu yang tenang setelah pagi yang sibuk. Tiba-tiba, sebuah ambulans melintas dengan sirene meraung. Aku terperanjat, dan secara otomatis mataku mengikuti mobil itu. Mas Halbi yang sedang duduk di sampingku juga mengalihkan perhatian. Kami berdua melihat ambulans itu lalu berbelok."Ambulans mau ke mana itu Ndri?" tanya Mas Halbi sambil melirikku."Nggak tahu, Mas."Tak lama, tetangga yang juga melihat ambulans itu mulai berkerumun, lalu mengikuti ambulans tersebut. Penasaran, aku pun memutuskan untuk ikut keluar dan bergabung dengan mereka. Sampai akhirnya ambulans itu berhenti tepat di depan rumah Bu Een, aku melihat para petugas medis membuka pintu ambulans dan dengan hati-hati mengeluarkan seseorang yang terbaring di tandu."Astaghfirullah," gumamku pelan, terkejut s
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 85Aku menggeleng. “Nulis, Ndri. Di HP-nya.”Indri menghela napas lega. “Oalah, syukurlah. Aku kira Lala lagi sedih, makanya mengurung diri di kamar.”“Enggak, untungnya. Tadi aku lihat Lala malah semangat banget.”“Syukurlah kalau gitu. Aku cuma takut kalau Lala kenapa-kenapa.”Aku ikut tersenyum. Mungkin ini jalannya Lala untuk membuktikan sesuatu. Dan aku akan mendukungnya, sebaik mungkin.***Seperti biasa, aku dan Indri sudah bangun sejak pukul 03.00 pagi untuk menyiapkan dagangan. Kami bekerja dengan cekatan di dapur, meracik bahan-bahan agar semuanya siap sebelum subuh.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah kamar. Aku menoleh dan melihat Lala berjalan ke arah kami, masih dengan mata setengah terpejam.“Mah, Yah, hari ini Lala nggak bantuin dulu gak apa-apa kan? Lala mau lanjut nulis novel.”Aku dan Indri saling pandang. Indri tersenyum sambil mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, La. Kalau kamu mau fokus nulis, Mamah izinkan.”Mata Lala
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 84Wanita itu tersenyum sinis, "anak baik. Terus berita-berita yang dulu kami dengar itu apa Indri? Jangan kamu pikir saya nggak tahu ya, mentang-mentang saya tinggal di luar negeri. Saya bahkan tahu kalau itu udah nggak perawan kan?""Cukup!" teriak Indri tak tahan.Tapi bukannya berhenti, wanita itu malah lanjut nyerocos.“Kalian juga harusnya sadar diri! Kalian ini cuma pedagang kecil dan tukang ojek, nyari duit hanya dari hasil serbautan. Sementara anak saya? Ya kalian lihat sendirilah. Itulah sebabnya anak saya harusnya berteman dengan orang-orang yang bisa mendukung masa depannya, bukan seperti anak kalian.”Indri baru akan kembali menimpali ucapan tajam itu saat aku mengeratkan genggamanku di tangannya, memberi isyarat agar dia tetap tenang.“Bu, kalau memang Ibu keberatan anak ibu berteman dengan anak saya, sebaiknya Ibu bicarakan baik-baik dengan anak Ibu. Karena kami nggak pernah memaksa anak Ibu untuk berteman dengan anak saya," ucap
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 83Asep tersenyum. "Saya cuma mau nganterin buku buat Lala, Paman. Ini ada catatan tugas yang tadi dia belum sempat salin di sekolah. Asep juga izin mau jemput Lala belajar lagi di rumah Rina."Aku mengangguk. "Oh, gitu. Makasih ya, Sep. Lala ada di dalam, masuk aja.""Terimakasih Paman, Asep nunggu di bangku aja."Asep lalu duduk di bangku kayu dekat pohon. Aku memperhatikan anak itu sebentar. Entah kenapa, aku mulai berpikir bahwa mungkin suatu hari nanti, anak ini bisa jadi seseorang yang lebih berarti di hidup Lala.Aku menghela napas dan tersenyum kecil.Hidup memang penuh kejutan. Dulu aku selalu khawatir kalau Lala dekat dengan laki-laki, tapi kali ini, untuk pertama kalinya, aku merasa tenang.Setelah beberapa menit dan Lala tak kunjung keluar, aku pun memutuskan untuk mengajaknya ngobrol."Asep, sini sebentar," panggilku.Anak itu langsung bangkit dan berjalan ke arahku. "Iya, Paman?" tanyanya sopan.Aku menepuk teras yang ada di sebel
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 82Pagi itu, setelah semuanya siap, aku, Indri, dan Lala berdiri di depan meja dagangan, menanti pembeli pertama yang datang. Sinar matahari mulai menghangatkan udara, dan bau gorengan yang masih hangat menyeruak ke udara, mengundang selera siapa saja yang melintas di depan rumah kami.Tak butuh waktu lama, beberapa tetangga mulai berdatangan satu per satu. Ada yang membeli sekadar untuk sarapan, ada juga yang sekalian belanja banyak untuk keluarga mereka. Aku bisa melihat wajah sumringah Indri ketika dagangannya laris manis."Wiih tahu gorengnya kayak enak banget," ujar seorang pembeli.Indri tersenyum. "Alhamdulillah."Aku yang berdiri di sampingnya ikut merasa bangga. Baru hari pertama jualan, tapi responsnya sudah sangat baik. Ini memberi harapan besar bagi kami.Namun, di tengah suasana yang menyenangkan itu, tiga orang ibu-ibu tetangga tiba-tiba datang. Mereka awalnya terlihat antusias memilih gorengan dan makanan matang yang dijual Indri