Diara berjalan cepat, tugasnya hari ini adalah membuka kantor lebih awal. Jam enam pagi dia sudah menyusuri parkiran menuju gedung yang sudah tiga tahun ini menjadi tempatnya bekerja. Sebuah gedung yang berdiri di tengah kota, dengan gaya arsitektur kuno yang mencolok, berbeda dengan sekitarnya. Entah apa yang ada di pikiran pemilik gedung ini awalnya, hingga dia mendirikan bangunan nyentrik itu di blok tersendiri, jauh di belakang, jadi untuk menjangkaunya harus berjalan kurang lebih 10 menit dari parkiran. Diara mempercepat langkahnya, dia tak ingin mendapat omelan dari bosnya. Begitu sampai di depan gedung yang menjadi tujuannya, Diara memasukkan kunci ke pintu yang tingginya hampir 3 meter itu, dia mendorong pintu dengan sedikit kekuatan yang tersisa, dia belum memakan sarapannya.
“Di!” sebuah teriakan mengagetkannya tepat setelah pintu itu terbuka sempurna.
“Pak Napta.” Diara mengatakan nama bosnya dengan tak percaya, laki-laki itu sudah berdiri di sana, di dalam ruangan yang penuh dengan lukisan. Iya, Diara bekerja menjadi sekretaris pribadi Napta Dwi Ludira, pelukis yang mulai naik daun, lukisan dengan gaya surealisnya banyak dinikmati oleh pecinta lukisan. Apalagi Napta selalu menyisipkan sedikit narasi di setiap lukisannya.
“Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Pak, panggil aku Napta,” kata laki-laki itu membuat Diara menunduk.
“Bagaimana bisa, wong dia atasannya,” batin Diara.
“Kamu sudah siapkan berkas presentasi? Hari ini ada sebuah perusahaan yang ingin mengambil salah satu lukisanku, mereka ingin lukisan itu menjadi mural di dinding kantor mereka, aku harus mengalkulasi berapa tawaran yang bisa aku ajukan,” papar Napta membuat Diara mengeluarkan flasdisk yang sudah disiapkannya.
“Semua ada di sini?” lanjut Napta seraya menerima flashdisk itu dari tangan Diara.
“Iya Pak, eh Nap, di sana semuanya sudah saya ketik, kalkulasi per meter dan berapa hak lisensi sudah saya hitung. Coba dicek sekali lagi, kalau masih ada yang kurang, nanti saya perbaiki lagi,” kata Diara sambil mengikuti Napta ke ruangannya.
Diara selalu takjub dengan tata ruangan Napta, kalau biasanya meja akan membelakangi jendela, maka Napta membuat mejanya menghadap ke jendela besar yang memperlihatkan langit biru dan awan di luar sana.
“Oke semuanya bagus, kamu atur ruangan meeting, siapkan teh dan beberapa camilan, aku sudah membawanya tadi, kuletakkan di pantri,” kata Napta tanpa berpaling dari layar laptopnya.
Diara beranjak ke pantri, menyusun kue mahal yang dibeli Napta dan menyeduh teh chamomile kesukaan Napta. Laki-laki itu memiliki sisi romantis kalau berhubungan dengan teh, dia akan menghirup aromanya dalam, menyeduh satu sendok, lalu menyesapnya perlahan, kemudian dengan cangkir di tangan kanan, matanya menerawang menatap langit, entah apa yang sedang dipikirkannya. Diara tersenyum mengingat tentang perilaku Napta. Segera dia bawa kue beserta teh ke ruang meeting.
“Di, kamu jemput dia di parkiran,” kata Napta tiba-tiba, membuat Diara kaget, saat ingin memprotes, matanya bertemu dengan mata Napta yang sendu.
Dia berlalu, sambil menggerutu.
“Tamu ini tak tahu tata krama,” desisnya sepanjang jalan.
Seorang wanita muda dengan setelan blazer yang tampak mahal sedang berdiri anggun di dekat mobil sport keluaran terbaru.
“Ha, ciri-ciri nona muda yang manja,” batin Diara.
“Nona Gita?” tanya Diara disambut dengan tatapan menyelidik.
“Saya asisten pribadi Napta, silakan ikut saya,” tanpa berbasa-basi Diara melangkah kembali ke kantor.
“Jangan salahkan aku bila kamu akan kelelahan Nona,” Diara berkata pada dirinya sendiri.
“Napta, kenapa kamu memilih kantor yang jauh dari keramaian seperti ini, bukankah banyak gedung bagus di sekitar sini?” Gita langsung memberi komentar begitu sudah duduk di ruang meeting.
“Kenapa? Apakah aku tidak boleh menikmati kesepian di tengah ramainya kota ini?” balas Napta.
“Ah sudahlah, bagaimana penawaranmu?” Gita mengalah untuk tidak membahas lebih lanjut masalah kantor Napta.
Napta mempresentasikan lukisannya yang dia beri nama Bulan Dan Kerinduan, menggambarkan tentang kerinduannya terhadap sesosok wanita yang pernah hadir dan kemudian menghilang, bersamaan dengan hilangnya sang bulan.
Diara melihat Gita mengangguk-angguk antusias, dia bahkan menanda tangani kontrak bernilai fantastis itu tanpa berpikir panjang.
“Orang kaya memang tidak pernah mengecewakan kalau soal mengeluarkan uang,” pikir Diara.
Setelah berbasa-basi Gita melangkah pergi, lukisan akan diambil oleh karyawannya tepat jam makan siang.
Diara sedang membereskan ruang meeting saat Napta mengatakan bahwa dia boleh pulang sekarang, anggap bonus, kata Napta. Diara terheran, tapi kenapa harus dibantah kalau Napta sedang berbaik hati. Setelah semua pekerjaannya selesai, Diara pamit dan segera melajukan mobilnya pulang, dia ingin segera merebahkan tubuhnya di kasur.
Sesampainya di flat mungil miliknya, Diara melepas sepatu high heelsnya, merebahkan diri dan memejamkan mata, bahkan dia tak memedulikan rasa laparnya lagi. Dia hanya ingin tidur.
Sekarang jam tiga pagi. Sebuah alarm dari ponsel membangunkan Diara. Tertulis di agendanya: “Jangan lihat ke bulan.”
Di saat yang bersamaan, Diara juga mendapatkan ratusan notifikasi dari pesan yang dikirim oleh nomor-nomor acak. Isinya mengatakan, “Malam ini sangat indah. Lihatlah keluar.”
Diara merasakan perutnya melilit karena lapar, mengusap wajahnya dan berusaha mengumpulkan nyawa. Diara bangkit menuju kulkas di sudut ruang, mengambil sekotak susu dan menegak isinya seraya membuka tirai jendela flatnya. Bulan sedang bersinar biru, purnama sempurna, tapi Diara merasakan sesuatu yang ganjil di sana, Diara menajamkan matanya dan segera menyambar jaketnya, berlari menuruni tangga dan melajukan mobilnya ke kantor. Berlari Diara menuju gedung yang terlihat indah dengan pendar sinar bulan, tapi Diara tahu ada yang tidak beres. Dibukanya pintu hitam legam itu dengan kasar, berlari didakinya tangga menuju atap. Pemandangan itu membuat Diara merosot luruh pada kedua kakinya. Napta, menggantung dirinya di palang yang biasa dia gunakan untuk melatih ototnya, dan proyektor menyala di depannya, membuat sosok Napta seperti bergantung di bayangan bulan yang terlihat sempurna dari gedung ini. Dan itulah yang membuat Diara menyadari ada yang tidak beres, karena hanya gedung ini yang mempunyai proyektor besar hingga bisa membuat bayangan sebesar itu.
Diara menekan nomor polisi, mengatakan semua apa yang dilihatnya. Diara berlari turun, menuju ruang kerja Napta, dan menemukan secarik kertas di sana.
Aku, telah menunaikan janjiku padamu Lan, kukembalikan kamu pada trahmu, pada silsilahmu, pada keluargamu. Walau bukan dalam bentuk ragamu yang kuluruhkan di laut kala itu, tapi kukembalikan kamu dalam bentuk terindah yang mampu kubuat. Kamu, akan terlukis cantik di mana seharusnya dirimu berada. Maafkan aku. Kembalilah dengan ketenangan jiwamu. Dan aku akan menyusulmu sekarang. Tunai sudah janjiku, Bulan Sriwedari.
Ada artikel tentang hilangnya seorang putri bungsu dari miliuner kenamaan di kota ini, artikel tertanggal 12-12-20, berarti sepuluh tahun yang lalu, saat Napta mulai mengawali kariernya. Diara masih mencerna, tak di abaikannya polisi yang berlalu lalang di luar sana. Saat Diara melihat surat perjanjian siang tadi dengan Gita, kumpulan repihan itu menjadi satu, Gita Sriwedari. Putri kedua miliuner itu. Lalu apa maksud Napta dengan hilangnya Bulan? Diara menyimpan catatan itu, menyembunyikannya di saku jaket.
Diara memberikan keterangan kepada polisi dan berjanji akan menjadi saksi. Lalu Diara kembali ke flatnya dengan sejuta tanya, ada apa?
Notifikasi di ponselnya sekarang ramai dengan berita kematian Napta.
Diara bergegas kembali ke flatnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dengan kondisi kantor yang tak lagi punya pemilik, Diara tak mungkin bekerja. Dia harus memikirkan untuk mencari pekerjaan lain. Setibanya di flat, Diara membuka laptopnya, mencari artikel tentang Bulan Sriwedari. Laman Google menunjukkan beberapa artikel tentang putri bungsu miliuner Hardjo Sriwedari yang mempunyai beberapa kartel bisnis di kota ini. Di sana banyak artikel yang mengatakan bahwa putri bungsu ini jatuh cinta terhadap seorang yang tidak sepadan dengan keluarganya. Seorang dari kalangan biasa, tapi tak bisa dibuktikan siapa orang itu. Banyak spekulasi menyebar, ada yang mengatakan bahwa orang itu hanya memanfaatkan Bulan, hanya ingin menguras hartanya. Artikel tentang menghilangnya Bulan yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan bahkan mengatakan Bulan dibunuh oleh laki-laki yang dicintainya tersebut, tetapi lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa membuat kasus ini masuk ke pengadilan. Bahkan siapa s
Pemakaman Napta berlangsung khidmat, pusara besar yang didesain khusus dengan lukisan Napta yang berjudul Kematian terlukis di sana. Napta sudah menuliskan semua yang harus dilakukan oleh Glagah bila dia tiada, salah satunya adalah pusara itu. Di pemakaman mewah yang berada di bukit inilah jasad Napta dibaringkan. Hanya segelintir orang yang datang, karena Glagah membatasi tamu yang datang. Gita melangkah tegap dan meletakkan mawar hitam kesukaan Napta di sana, berkumpul dengan beberapa tangkai lainnya.“Aku tak menyangka kamu pergi secepat ini. Lukisanmu akan segera menjelma menjadi mural terbagus di kota ini. Aku akan selalu mengenang karya-karyamu,” Gita mengatakan kalimat perpisahannya. Mengangguk pada Diara dan Glagah lalu pergi.Prosesi yang sedikit memakan waktu tak membuat Diara dan Glagah bisa bersantai setelahnya. Mereka segera mengurus kepindahan Diara. Barang-barang Diara tak banyak, jadi sekali angkut sudah bisa membawa semuanya. Untuk sementar
Diara memasukkan kembali buku harian Bulan ke dalam nakas. Glagah memintanya untuk segera makan. Karena sejak acara pemakaman Napta Diara belum memakan apa pun. Diara mengikuti Glagah menuju dapur. Lantai dua yang terdiri dari beberapa ruangan ini sangat besar bagi Diara yang biasa tinggal di flat kecil. Ada 4 kamar besar, ruang makan, dapur, bahkan ruang untuk bersantai. Saat dulu Napta ada Diara jarang naik ke lantai dua ini. Karena kegiatan Diara berpusat di lantai satu.“Kita harus memastikan Gita mau bercerita nanti malam, tentang ketertarikannya terhadap lukisan Napta. Kalau yang ditulis Bulan itu benar,maka Gita tak tahu siapa Napta sebenarnya,” kata Glagah setelah mereka duduk di meja makan.Diara mengangguk sambil menyuap nasi dan omelet yang Glagah buat.“Makanlah, aku tidak sempat membeli bahan makanan, jadi hanya bisa memasak itu untuk hari ini,” kata Glagah.“Ini sudah lebih dari cukup, terima kasih,” kata Diara.“Tidak usah berterima kasih
ꦤꦮꦁ¹ huruf Jawa yang tercetak di sampul amplop dan sampul buku yang Diara temukan. Diara tak tahu artinya, sepertinya itu adalah nama seseorang atau apa. Diara meninggalkan lukisan itu dan segera menghampiri Glagah untuk menunjukkan temuannya.“Ada apa?” tanya Glagah.Diara menunjukkan amplop coklat itu.“Kamu tahu artinya?” tanya Diara.Glagah menerima amplop itu dan membaca aksara jawa yang tertera di sana.“Na-wa-ng, Nawang,” kata Glagah setelah berpikir sekian detik.“Nawang? Kamu bisa membaca aksara Jawa?” tanya Diara penasaran.“Hm … ya, Nenekku selalu menyuruhku untuk menulis surat padanya dengan aksara Jawa. Dia tidak ingin aku melupakan warisan leluhur. Dia tidak ingin aku seperti anak muda jaman sekarang yang tidak tahu budaya leluhurnya,” kata Glagah membuat Diara terpana.“Wow, aku jadi pengen kenal Nenekmu,” kata Diara tanpa sadar.“Lupakan. Di mana kamu menemukan ini?” tanya Glagah mengalihkan pembicaraan.
Prana Jiwoꦥꦿꦤꦗꦶꦮꦺꦴ¹Seseorang memperhatikan Diara dan Glagah dari kejauhan. Dia menghembuskan nafasnya berat, seolah ada beban yang tersemat. Lalu dia pergi sambil menelepon orang lain.[Kalian di mana, aku sudah menyuruh orang untuk mengambil lukisanku. Dan kalian ikutlah ke gudang, aku akan menunjukkan koleksiku,] pesan Gita di ponsel Diara.Glagah dan Diara bergegas kembali ke gedung. Setibanya mereka di sana, sudah menunggu beberapa orang dari ekspedisi yang bertugas untuk mengambil lukisan. Diara membuka pintu depan dan mempersilakan orang-orang itu mengambil lukisan. Setelah Glagah mengambil surat legalitas dan sertifikat jual beli, mereka mengikuti truk ekspedisi ke gudang penyimpanan Hardjo Company.Gedung yang sangat luas itu hanya berlantai satu. Glagah dan Diara mengikuti orang-orang itu. Gita sudah menunggu mereka di pintu. Sambil tersenyum bangga Gita mengajak Glagah dan Diara masuk dan melihat isi dari gudang itu. Diara harus menaha
Glagah memacu mobilnya ke arah yang ditunjukkan oleh peta digital di dashboard mobil. Jl. Tawangmangu. Entah apa yang akan mereka temukan di sana, itu hanya satu-satunya petunjuk untuk mengetahui ada apa ini sebenarnya. Mobil Glagah memasuki jalan kecil, dan buntu, tapi benar jalan itu berpelang Tawangmangu. Jalan itu menuju ke sebuah gerbang rumah yang berdiri kokoh. Gerbang dari kayu yang sangat tebal dan tinggi. Mereka turun dari mobil dan melihat ke sekeliling yang rimbun dengan pepohonan.Tiba-tiba pintu terbuka, orang yang membawa pesan tadi keluar dan memberi isyarat kepada Glagah dan Diara untuk masuk, membawa mobil mereka. Begitu memasuki gerbang, sebuah rumah joglo lengkap dengan pendapa, dan beberapa bangunan kecil di samping menyamping rumah inti.“Ini rumah siapa?” tanya Diara penasaran.“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya dia tahu tentang semua ini,” kata Glagah.“Silakan menunggu di pendapa, Tuan Karya akan segera keluar,” kata orang yang
Gita sedang menghubungi seseorang. Tampak raut wajahnya gelisah. Bagaimana kebetulan ini bisa terjadi. Hah, tato ini menjadi sumber masalahnya. Tapi Ibunya bahkan tidak mau Gita menghapus tato itu. Katanya tato itu akan mengukuhkan kekuatan yang selama ini tak ter bayangkan olehnya. Orang di seberang saluran telepon berusaha meyakinkan dia, bahwa Glagah bukanlah ancaman. Tapi tetap harus dihilangkan untuk kemungkinan yang tidak diketahui nantinya. Gita tahu dia bukan anak Hardjo Sriwedari dan Nawang Wulan. Dia adalah anak dari kesalahan Hardjo yang akhirnya membuat keluarga bahagia Hardjo berada dalam kehancuran. Gita yang tahu tentang kenyataan ini 10 tahun lalu semakin liar dengan kedatangan seorang yang mengaku kalau dia adalah Ibu biologis Gita. Perempuan bernama Wita itu bahkan mengatakan tato yang hanya dia dan keluarganya yang tahu. Gita yang saat itu tak peduli dengan keberadaan tato di tubuhnya mengabaikan semua kemungkinan. Lalu saat perempuan itu masuk ke rumah ini dan mu
Pesawat Glagah dan Diara bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 7 malam. Perjalanan yang akan memakan waktu 18 jam itu membuat Diara cemas. Dia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Glagah yang tahu kecemasan Diara mencoba menenangkan.“Kenapa kamu tidak jujur padaku tentang keluargamu?” selidik Diara mencoba untuk mengatasi kecemasannya.“Kan sudah aku bilang tadi, kami harus berada dalam anonimitas. Dan juga sekarang bukan aku yang memegang peranan penting itu. Ayah bahkan tidak memberitahuku siapa. Aku hanya boleh tahu bahwa aku bagian dari mereka. Profesiku sebagai pengacara bisa membantu mereka,” papar Glagah sambil menghela nafasnya.“Sepertinya Laut yang memegang peranan itu sekarang, kalau dilihat dari gelagat dia yang tahu semuanya,” Diara mencoba menebak.“Bisa jadi. Karena setahuku memang hanya keluarga inti yang bisa menjadi penerus. Selama ini aku berpikir Ayah yang mener
Glagah tiba di kepolisian pagi itu, bersama Diara, karena dia menolak ke kantor Bintang terlebih dahulu bersama Bintang.Kantor kepolisian sedang kisruh saat Glagah masuk. Lalu seseorang memanggilnya cepat.“Ada apa?” tanya Glagah penasaran karena para polisi tampak gelisah.“Wita, dia …,” polisi itu tak melanjutkan kalimatnya tapi langsung membawa Glagah ke sel di mana Wita berada.Pemandangan yang mengejutkan membuat Diara menyembunyikan dirinya di balik punggung Glagah.Wita menggantung dirinya di teralis jendela sel dengan selimut penjara. Posisinya setengah terduduk, karena jendela itu tidaklah tinggi. Kemungkinan Wita mengikat selimut ke lehernya dan menarik tubuhnya ke bawah sehingga ikatan itu mengencang dan membunuhnya.Glagah segera menekan nomor telepon Bintang. Kepolisian masih menunggu tin forensik.“Mas, sebaiknya kamu ke sini,” kata Glagah tanpa menjelaskan apa ya
“Aku mau bertemu Gita,” kata Ratih membuat semuanya kaget.Bagaimanapun juga Gita adalah cucunya. Anak itu pasti lebih menderita karena mengetahui semuanya sekarang.“Bawa aku menemuinya,” kata Ratih melihat tak ada yang mau bergerak.“Baik, aku ambilkan kursi roda saja, biar Ibu tidak capek ya,” Darma membujuk.Kemudian Glagah keluar ruangan untuk meminjam kursi roda di nurse station.“Anak itu masih bisa diselamatkan kalau saja kita tidak abai dengan pergerakan Wita,” sesal Ratih.Gita yang melihat perempuan tua itu masuk ke ruang inapnya bergidik ketakutan.Sari mendekat dan menenangkannya.“Tidak apa-apa Nduk, itu Nenekmu,” kata Sari tahu Gita ketakutan.Ratih meraih tangan Gita dan meremasnya lembut.“Maafkan Nenek terlambat untuk menyelamatkanmu ya Nduk. Nenek akan memberimu dukungan dengan hukumanmu nanti,” kata Ratih bergetar.
Glagah bergegas ke ruang di mana keluarganya beristirahat. Dia sangat merindukan mereka.“Nenek,” kata Glagah menghambur ke pelukan Neneknya.“Sudah besar, masih saja manja sama Nenek,” kata Ratih seraya memeluk Glagah erat.Diara yang melihat hal itu tersenyum.Kemudian Glagah bergantian memeluk Ayah dan Ibunya.“Kamu sehat kan?” tanya Sari sambil memegang pipi anaknya itu.“Sehat Bu,” Glagah memegang tangan Sari erat.“Ehem ..., sepertinya ada yang harus diungkapkan ini,” kata Darma sambil menatap Diara yang mematung di samping pintu.“Ah, iya lupa,” Glagah kemudian menarik Diara untuk mendekat.“Kenalkan ini Diara,” kata Glagah.Diara menyalami mereka semua.“Diara, Om, Tante, Nenek,” kata Diara.“Calon mantu Ibu?” selidik Sari.Glagah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Diara hanya m
Ratih, Darma dan Sari memulai perjalanan mereka ke Jakarta dengan jalan darat. Lewat tol maka perjalanan bisa dipercepat.“Ibu yakin Wita akan muncul?” tanya Darma sambil melirik Ratih yang diam di sampingnya.“Harus, dia harus muncul untuk mengakhiri kegilaannya. Sudah cukup masalah yang dia buat,” kata Ratih sambil menatap ke luar jendela.Hatinya berdenyut hebat, perih, mengingat anak perempuannya sudah terlalu jauh melangkah. Ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan agar Wita mau berhenti mengejar ambisinya.“Ibu jangan banyak pikiran,” kata Darma sambil memegang tangan keriput Ratih. Tangan itu yang selalu membuatnya tegar. Karena tangan itu yang terus memastikan trah Prana Jiwo selalu bisa diandalkan.“Ibu hanya takut kalau Ibu mati dan Wita masih belum bertobat. Pertanggung jawaban Ibu di akhirat akan sangat berat,” kata Ratih dengan mata mulai mengembun.“Ibu ngomong apa
Glagah menghampiri Anton di ruang kerjanya.“Bagaimana?” tanya Glagah membuat Anton terkejut.“Kamu kenapa ke sini?”“Mas Bintang yang menyuruhku,” jelas Glagah membuat Anton menghela nafasnya.Anton kemudian menyerahkan flashdisk kepada Glagah.“Sungguh, keluarga ini diluar imajinasiku,” kata Anton membuat Glagah penasaran.“Kenapa?”“Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang. Bukti bahwa Nawang di racun dan meninggalkan bukan karena sakit semuanya ada di sana,” kata Anton membuat Glagah membulatkan matanya.“Jaga dirimu. Aku akan memastikan keamananmu terjamin,” kata Glagah menepuk pundak Anton.“Bisa minta tolong tanyakan pada Mas Bintang untuk menaikkan gajiku?” kelakar Anton membuat Glagah mengacungkan jempolnya.Wita berlari tanpa arah, dia harus meninggalkan kawasan kantor untuk menghindari pencarian. Kemudia
Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.Glagah mengucek matanya. Men
Media kini sedang berfokus pada Hardjo yang sudah lama tak menampakkan diri dengan alasan kesehatan. Sebenarnya banyak orang yang mengira bahwa Hardjo sengaja disembunyikan oleh Gita.Pagi ini, saat Glagah dan Diara bertolak ke Sumatera Barat, media sedang menyorot Bintang yang mengunjungi Papanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Laut sengaja hanya meminta media terbesar yang mendapatkan hak eksklusif untuk mengikuti Bintang. Media lain diharapkan untuk menunggu di luar.“Pa, aku pulang, maaf terlambat untuk menyelamatkanmu dan Bulan. Aku yang akan menuntut balas hilangnya Bulan selama ini,” kata Bintang seraya menggenggam tangan Hardjo yang hanya bisa menitikkan air matanya.Kesehatannya benar-benar berada dititik nadir.“Saya akan menjelaskan kondisi dari Tuan Hardjo,” kata dokter membuat Bintang mengikuti keluar.“Jadi begini Mas, Tuan Hardjo mengalami kelumpuhan akibat penggunaan anti drepesan
“Saga? Bukankah itu merujuk pada warna?” Glagah menatap Diara.“Aku tak tahu, aku hanya tak pernah melihat lukisan itu,” kata Diara saat berkas itu menampilkan lukisan yang dominan warna jingga dan semburat emas.“Mungkin Napta menjualnya sebelum kamu menjadi sekretarisnya,” kata Glagah masuk akal.Bintang dan Laut ikut mendekat, melihat lebih jelas.“Coba lihat di mana lukisan itu sekarang,” kata Laut sambil mengingat sesuatu.Glagah menskrol kursos ke bagian bawah berkas.“Museum Tan Malaka, Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,” baca Glagah.“Itu kan museum peninggalan Tan Malaka, dulu museum itu tidak terurus, pemerintah setempat sepertinya abai terhadap museum itu,” kata Diara.“Pada masa Ayah masih menjadi Menteri Budaya, aku pernah ke sana, itulah kenapa aku seperti pernah melihat lukisan itu,” kata Laut.
Perjalanan Surabaya-Jakarta lewat jalan tol, berjalan tanpa hambatan. Para pengikut Laut sudah memastikan jalur steril dari orang-orang Gita yang tidak tahu tentang keikutsertaan Laut dalam hal ini. Mereka menggunakan media untuk memancing fokus lawan di bandara Jakarta.“Kalian pasti lelah dengan perjalanan nonstop,” sambut Laut melihat wajah lelah Bintang, Glagah dan Diara.“Aku tak menyangka Indonesia berkembang sepesat ini,” kata Bintang.“Kamu terlalu lama menutup diri tentang Indonesia, sampai kamu lupa akan kami,” sindir Laut membuat Bintang tersenyum kecut.Diara sudah tak mampu menimpali obrolan mereka.“Oh ini yang kamu bilang sepasang kekasih itu?” ledek Laut membuat Glagah memutar bola matanya kesal.Laut tertawa melihat reaksi Glagah dan Diara yang salah tingkah.“Mereka pasangan serasi, cantik dan gagah. Ngomongin pasangan, kamu kapan akan menikah?” tanya Bintan