Share

Hasil Tes DNA

Author: Crearuna
last update Last Updated: 2021-05-22 00:22:57

ꦤꦮꦁ¹ huruf Jawa yang tercetak di sampul amplop dan sampul buku yang Diara temukan. Diara tak tahu artinya, sepertinya itu adalah nama seseorang atau apa. Diara meninggalkan lukisan itu dan segera menghampiri Glagah untuk menunjukkan temuannya.

“Ada apa?” tanya Glagah.

Diara menunjukkan amplop coklat itu.

“Kamu tahu artinya?” tanya Diara.

Glagah menerima amplop itu dan membaca aksara jawa yang tertera di sana.

“Na-wa-ng, Nawang,” kata Glagah setelah berpikir sekian detik.

“Nawang? Kamu bisa membaca aksara Jawa?” tanya Diara penasaran.

“Hm … ya, Nenekku selalu menyuruhku untuk menulis surat padanya dengan aksara Jawa. Dia tidak ingin aku melupakan warisan leluhur. Dia tidak ingin aku seperti anak muda jaman sekarang yang tidak tahu budaya leluhurnya,” kata Glagah membuat Diara terpana.

“Wow, aku jadi pengen kenal Nenekmu,” kata Diara tanpa sadar.

“Lupakan. Di mana kamu menemukan ini?” tanya Glagah mengalihkan pembicaraan.

“Oh iya, di balik lukisan yang judulnya Angkara,” jawab Diara.

Glagah membuka amplop itu, dan menarik isinya. Mereka membuka kertas dengan logo rumah sakit terkenal di kota ini.

“Hasil DNA Gita Sriwedari?” tanya Diara saat membukanya.

Ya, dokumen itu berisi hasil tes DNA yang menyatakan bahwa Gita Sriwedari memiliki kesamaan 99% DNA dengan Hardjo Sriwedari. Jadi memang Gita adalah anak kandung miliuner tersebut. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa harus ada tes DNA ini? Apakah ada seseorang yang ragu terhadap keabsahan Gita sebagai putri Hardjo? Nawang, bukankah Nawang adalah istri dari Hardjo, lalu kenapa dia mempertanyakan Gita anak Hardjo atau bukan?

Glagah dan Diara berpandang tak paham. Akan tetapi, sedetik kemudian potongan gambaran itu mulai menyatu.

“Apakah kamu berpikir sama sepertiku?” tanya Glagah membuat Diara mengerjapkan matanya.

“Apakah mungkin? Kalau Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang, berarti ada orang lain dalam pernikahan mereka, dan ini bisa menjadi alasan kenapa Gita memiliki nama yang berbeda dari saudaranya,” Diara mondar-mandir sambil bergumam.

“Benar. Lihat tanggalnya,” kata Glagah menunjukkan tanggal pada dokumen itu.

“12-12-17. Tahun di mana restoran Heritage didirikan dan tahun yang sama Nawang meninggal,” kata Diara mencoba mengumpulkan semua teka-teki itu.

“Keluarga ini sepertinya menyimpan banyak masalah,” kata Glagah.

Diara pusing, rahasia apa sebenarnya. Kenapa Napta terlibat semua ini? Lalu apakah Bulan tahu kalau kakaknya itu bukan saudara seibu dengan dirinya? Lalu kenapa Hardjo terlihat biasa saja dengan semua masalah ini? Apakah media tahu tentang kenyataan ini?

“Kita harus mencari tahu tentang dokumen ini. Napta pasti menyembunyikan ini bukan tanpa alasan. Aku akan menghubungi kolegaku di rumah sakit ini,” Glagah segera meraih ponselnya dan menekan nomor telepon.

Diara masih mondar-mandir sambil memijit kepalanya yang pening. Dia bahkan belum berganti pakaian.

“Kolegaku akan segera menghubungi setelah mendapatkan info,” kata Glagah.

“Sudah malam, sebaiknya kamu tidur. Besok petugas dari ekspedisi yang akan mengambil lukisan akan datang setelah matahari berada di sepenggalah hari,” lanjut Glagah.

Diara membawa amplop itu ke kamarnya, menyatukannya dengan buku harian Bulan. Nawang, artinya adalah langit. Diara tak bisa memejamkan matanya. Dia kembali membuka buku harian Bulan. Isinya hanya curahan hati Bulan, tidak ada yang spesifik menampilkan petunjuk untuk Diara.

Sinar matahari pagi membuat Diara membuka matanya. Semalam dia tertidur lupa menutup tirai jendelanya. Setelah membasuh muka dan berganti pakaian dia keluar kamar. Glagah sedang berada di dapur untuk memasak sarapan.

“Hm … seharusnya itu menjadi tugasku, maaf aku terlambat bangun,” kata Diara malu.

Dia masih belum terbiasa tinggal dengan orang lain, sehingga masih terbawa kebiasaan lamanya yang akan bangun setelah perutnya berbunyi.

“Tidak masalah, aku senang memasak untuk orang lain. Kerjakan saja pekerjaan yang kamu bisa,” kata Glagah.

“Hari ini kamu memasak apa?” tanya Diara penasaran.

“Oh, tadi pagi aku belanja kebutuhan dengan delivery, jadi sekarang aku bisa memasak opor ayam untukmu. Aku harap kamu masih terbiasa dengan masakan Indonesia,” kata Glagah.

“Kamu mengejekku?” Diara mencebik.

“Hahaha, aku hanya membayangkan seorang perempuan tinggal sendirian di flat sempit, kulkas yang hampir tidak ada isinya. Kompor dan peralatan masak yang bahkan terlihat tak pernah disentuh. Kamu terbiasa dengan makanan cepat saji yang bisa kamu order lewat ponselmu,” tebak Glagah membuat Diara malu.

“Oh ya baru saja kolegaku mengabari, dia sudah mendapatkan info tapi meminta kita bertemu nanti siang. Katanya dia tidak bisa mengatakan ini lewat telepon,” lanjut Glagah sambil menyajikan makanan di meja makan.

Bau harum opor ayam membuat Diara semakin lapar.

“Baiklah, aku menurut saja denganmu,” kata Diara seraya menyendok makanannya.

“Kamu pintar memasak, ini sangat enak. Aku curiga jangan-jangan kamu bukan pengacara,” kata Diara membuat Glagah tertawa.

“Aku pengacara. Aku lulusan terbaik dari fakultas hukum Universitas Indonesia pada masanya,” Glagah menyombongkan dirinya.

“Iya, itu beberapa dekade yang lalu,” ejek Diara.

Glagah ikut duduk dan makan di depan Diara. Sudah lama dia tidak merasakan suasana makan yang hangat seperti ini.

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Diara membuat Glagah salah tingkah.

“Tidak, hanya aku sudah lama tidak makan bersama orang lain, rasanya masih canggung,” elak Glagah.

“Oh ya, kamu bahkan belum mengatakan padaku tentang dirimu. Itu kalau kamu tidak keberatan,” kata Diara.

“Aku, tidak ada yang istimewa dariku. Aku berasal dari Jawa Tengah, Solo lebih tepatnya. Dari keluarga biasa saja, Ayah Ibuku hanya seorang pegawai di pemerintahan, yah dan aku anak tunggal mereka,” Glagah mengingat Ayah Ibunya yang berada di Solo.

“Wah, sebenarnya kita bertetangga, aku dari Yogyakarta,” kata Diara.

“Aku sudah lama tidak pulang,”

“Ayah Ibuku sudah lama tiada, dan yah mereka tidak meninggalkan harta yang banyak untukku, jadi, di sinilah aku sekarang.” Diara menerawang.

“Tapi sekarang uangmu bahkan melebihi itu,” kata Glagah.

“Hahaha iya ya, aku bahkan masih tidak percaya tentang hal ini,” kata Diara.

“Lalu apa yang akan kamu lakukan dengan semua uang itu?”

“Aku akan menaruhnya di rekening Yayasan sebagian, karena dengan sebagiannya saja aku sudah bisa hidup lebih dari cukup,”

“Bisa berfoya-foya malahan, atau kamu akan mulai bergaul dengan Gita?” ledek Glagah membuat Diara cemberut.

Ponsel Glagah berdering, dia mengangkatnya seraya agak menjauh dari Diara.

“Di bersiaplah, kolegaku ingin bertemu sekarang,” kata Glagah sambil membereskan makanan di meja.

“Bukankah hari ini pihak ekspedisi akan mengambil lukisan?”

“Oh aku lupa mengatakan, mereka akan datang besok, karena hari ini petugas dari gudang penyimpanan Hardjo Company sedang mengadakan pembersihan,” terang Glagah.

Diara segera membereskan piring kotor dan mandi secepatnya.

“Kita ke mana?” tanya Diara setelah mobil Glagah melaju di jalanan ramai.

“Kita ke taman kota, kolegaku mengatakan bahwa kemungkinan ada yang tahu kalau dia mencoba mengulik tentang dokumen dari sepuluh tahun yang lalu,” kata Glagah cemas.

Mereka tiba di taman kota 30 menit kemudian. Kolega Glagah sedang duduk di bangku tengah.

“Maaf menunggu,” kata Glagah menyalami koleganya.

“Tidak apa-apa, aku hanya takut akan ada yang mengawasi kita. Tapi kelihatannya aman,” dia menoleh ke kiri dan kanan.

“Kenapa kamu ingin tahu tentang dokumen itu. Jejak dokumen itu bahkan sudah dihapus dari sistem rumah sakit. Masuk ke dalam high risk file. Saat aku mencoba memulihkan datanya, gangguan virus membuat komputer rumah sakit down,” paparnya membuat Glagah dan Diara saling bertatapan.

“Aku mempunyai salinan cetak dari dokumen itu. Tapi aku ingin tahu siapa yang memasukkan bahan untuk data itu,” kata Glagah.

“High risk file hanya dilakukan oleh para petinggi dan pemilik saham,” papar kolega Glagah.

“Oh iya, Nona ini siapa?” katanya menunjuk Diara.

“Oh kenalkan, saya Diara, teman Glagah,”

“Oh, saya Anton,”

“Baiklah, kalau tidak ada yang bisa aku lakukan lagi, aku harus kembali ke kantor, ijinku hanya sebentar. Tapi aku harap kalian tidak terlibat masalah yang menyangkut para pemilik power di kota ini,” Anton memperingatkan mereka.

¹) aksara Jawa untuk kata nawang

Related chapters

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Prana Jiwo

    Prana Jiwoꦥꦿꦤꦗꦶꦮꦺꦴ¹Seseorang memperhatikan Diara dan Glagah dari kejauhan. Dia menghembuskan nafasnya berat, seolah ada beban yang tersemat. Lalu dia pergi sambil menelepon orang lain.[Kalian di mana, aku sudah menyuruh orang untuk mengambil lukisanku. Dan kalian ikutlah ke gudang, aku akan menunjukkan koleksiku,] pesan Gita di ponsel Diara.Glagah dan Diara bergegas kembali ke gedung. Setibanya mereka di sana, sudah menunggu beberapa orang dari ekspedisi yang bertugas untuk mengambil lukisan. Diara membuka pintu depan dan mempersilakan orang-orang itu mengambil lukisan. Setelah Glagah mengambil surat legalitas dan sertifikat jual beli, mereka mengikuti truk ekspedisi ke gudang penyimpanan Hardjo Company.Gedung yang sangat luas itu hanya berlantai satu. Glagah dan Diara mengikuti orang-orang itu. Gita sudah menunggu mereka di pintu. Sambil tersenyum bangga Gita mengajak Glagah dan Diara masuk dan melihat isi dari gudang itu. Diara harus menaha

    Last Updated : 2021-05-22
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kenyataan

    Glagah memacu mobilnya ke arah yang ditunjukkan oleh peta digital di dashboard mobil. Jl. Tawangmangu. Entah apa yang akan mereka temukan di sana, itu hanya satu-satunya petunjuk untuk mengetahui ada apa ini sebenarnya. Mobil Glagah memasuki jalan kecil, dan buntu, tapi benar jalan itu berpelang Tawangmangu. Jalan itu menuju ke sebuah gerbang rumah yang berdiri kokoh. Gerbang dari kayu yang sangat tebal dan tinggi. Mereka turun dari mobil dan melihat ke sekeliling yang rimbun dengan pepohonan.Tiba-tiba pintu terbuka, orang yang membawa pesan tadi keluar dan memberi isyarat kepada Glagah dan Diara untuk masuk, membawa mobil mereka. Begitu memasuki gerbang, sebuah rumah joglo lengkap dengan pendapa, dan beberapa bangunan kecil di samping menyamping rumah inti.“Ini rumah siapa?” tanya Diara penasaran.“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya dia tahu tentang semua ini,” kata Glagah.“Silakan menunggu di pendapa, Tuan Karya akan segera keluar,” kata orang yang

    Last Updated : 2021-05-22
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kenyataan 2

    Gita sedang menghubungi seseorang. Tampak raut wajahnya gelisah. Bagaimana kebetulan ini bisa terjadi. Hah, tato ini menjadi sumber masalahnya. Tapi Ibunya bahkan tidak mau Gita menghapus tato itu. Katanya tato itu akan mengukuhkan kekuatan yang selama ini tak ter bayangkan olehnya. Orang di seberang saluran telepon berusaha meyakinkan dia, bahwa Glagah bukanlah ancaman. Tapi tetap harus dihilangkan untuk kemungkinan yang tidak diketahui nantinya. Gita tahu dia bukan anak Hardjo Sriwedari dan Nawang Wulan. Dia adalah anak dari kesalahan Hardjo yang akhirnya membuat keluarga bahagia Hardjo berada dalam kehancuran. Gita yang tahu tentang kenyataan ini 10 tahun lalu semakin liar dengan kedatangan seorang yang mengaku kalau dia adalah Ibu biologis Gita. Perempuan bernama Wita itu bahkan mengatakan tato yang hanya dia dan keluarganya yang tahu. Gita yang saat itu tak peduli dengan keberadaan tato di tubuhnya mengabaikan semua kemungkinan. Lalu saat perempuan itu masuk ke rumah ini dan mu

    Last Updated : 2021-06-12
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Perjalanan

    Pesawat Glagah dan Diara bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 7 malam. Perjalanan yang akan memakan waktu 18 jam itu membuat Diara cemas. Dia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Glagah yang tahu kecemasan Diara mencoba menenangkan.“Kenapa kamu tidak jujur padaku tentang keluargamu?” selidik Diara mencoba untuk mengatasi kecemasannya.“Kan sudah aku bilang tadi, kami harus berada dalam anonimitas. Dan juga sekarang bukan aku yang memegang peranan penting itu. Ayah bahkan tidak memberitahuku siapa. Aku hanya boleh tahu bahwa aku bagian dari mereka. Profesiku sebagai pengacara bisa membantu mereka,” papar Glagah sambil menghela nafasnya.“Sepertinya Laut yang memegang peranan itu sekarang, kalau dilihat dari gelagat dia yang tahu semuanya,” Diara mencoba menebak.“Bisa jadi. Karena setahuku memang hanya keluarga inti yang bisa menjadi penerus. Selama ini aku berpikir Ayah yang mener

    Last Updated : 2021-06-12
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Bertemu Bintang

    Glagah melajukan mobilnya ke jalan raya Sommebakken untuk mencari pintu masuk ke Tanargevegen. Pemandangan pertanian nan hijau terhampar sepanjang jalan. Membuat Diara sejenak melupakan tentang tujuan mereka berada di sini. Perjalanan darat yang menyenangkan. Diara yang baru pertama kali ke luar negeri sungguh menikmati perjalanannya. Saat mobil mereka melintasi Snode, terlihat laut yang biru di sebelah kiri mereka.“Itu laut!” teriak Diara kegirangan.“Maaf, aku baru pertama kali ke luar negeri,” kata Diara canggung menyadari kekonyolannya.“Hahahaha, tidak apa-apa. Mulai sekarang biasakanlah, mungkin dengan uang yang kamu pegang sekarang kamu akan mulai berkeliling dunia setelah masalah ini selesai,” kata Glagah membuat Diara berpikir.“Benar juga, aku kan sekarang punya uang,” batin Diara senang, dia bertekad untuk berkeliling dunia setelah masalah ini selesai.Perjalanan mereka akhirnya tiba di al

    Last Updated : 2021-06-12
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Haruskah Mengatakan Semuanya?

    Pagi itu Diara bangun dengan perut lapar seperti biasa. Dia mencium harum omelet dari dapur. Glagah pasti sudah membuat sarapan untuk mereka. Diara mondar-mandir di kamar antar keluar atau tidak. Setelah berulang kali berpikir akhirnya dia menyerah pada rasa lapar dan melupakan jengah yang dirasakannya.Glagah melihat Diara keluar kamar dengan piyama.“Makanlah, aku sudah membuat omelet. Sisa mashed potato kemarin masih bisa aku panaskan,” kata Glagah sambil menuang susu ke dalam gelas di depan Diara.“Sepertinya, aku harus terbiasa dengan menu ini selama kita di sini.” Diara ingin protes karena merindukan nasi.“Jangan merajuk. Wajahmu sangat lucu saat kamu merajuk,” kata Glagah. Lalu seketika menyesal mengucapkannya karena wajah Diara bersemu merah.“Kamu, bisakah tidak membuatku selalu jengah,” pinta Diara sambil menunduk dan memakan makanannya.&ldq

    Last Updated : 2021-06-12
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Tekat Untuk Pembalasan

    Bintang membaca buku harian Bulan semalaman suntuk. Dia menyadari ternyata adiknya itu harus berjuang sendirian. Bintang merasa egois sudah meninggalkan Bulan. Bahkan kini menyesal tidak bisa melihat kepergian Bulan, ah tidak, seharunya dia menyelamatkan Bulan. Bintang bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Dia tidak menyangka Gita bertindak sekeji itu. Benar kata Mamanya sebelum meninggal. Bahwa Gita akan membuat keluarga Hardjo hancur lebur. Bintang bergegas membuka nakas di meja kerjanya. Mengambil surat dari Mamanya. Dia membacanya berulang-ulang. Lalu dia menemukan arti dari surat yang sudah lama dia simpan itu. Sekarang tekadnya sudah bulat. Dia akan membalaskan kematian Bulan. Lalu merebut kembali Hardjo Company. Bintang yang selama ini dikenal lemah, akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya. Pintu rumah di ketuk saat Glagah membuat sarapan. Diara yang sedang melihat Glagah buru-buru membukakan pintu. Seketika tubuhnya membeku melihat siapa yang ada

    Last Updated : 2021-06-12
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Aku Sudah Siap, Mari Buat Penyambutan

    Diara dan Glagah kembali ke Tananger saat malam beranjak datang. Perjalanan pulang tanpa lagi canggung tentang perasaan.Ponsel Glagah berbunyi tepat saat mereka sampai di rumah.[Bersiaplah, besok kita kembali ke Indonesia. Aku mempercepat kepulangan, karena ada yang harus kita urus segera di sana. Akomodasi sudah aku lampirkan. Besok jemput aku di alamat yang tertera.] Pesan dari Bintang.Mereka bergegas membereskan bawaan mereka. Dan berusaha memejamkan mata segera. Perjalanan panjang menanti mereka selanjutnya.Glagah mengetuk pintu kamar Diara, hari sudah pagi. Pesawat mereka di Stavanger akan bertolak jam 1 siang. Lebih baik bersiap dari awal.“Di, bangun, sudah pagi, mandilah, aku akan menyiapkan sarapan,” kata Glagah dari balik pintu.Diara mengucek matanya, tersadar dari mimpi. Bergegas ke kamar mandi.Glagah membuat roti bakar untuk menghemat waktu. Diara melihat Glagah sedang menuang susu ke gelas, roti bakar de

    Last Updated : 2021-06-12

Latest chapter

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kematian Diakhiri Dengan Kematian

    Glagah tiba di kepolisian pagi itu, bersama Diara, karena dia menolak ke kantor Bintang terlebih dahulu bersama Bintang.Kantor kepolisian sedang kisruh saat Glagah masuk. Lalu seseorang memanggilnya cepat.“Ada apa?” tanya Glagah penasaran karena para polisi tampak gelisah.“Wita, dia …,” polisi itu tak melanjutkan kalimatnya tapi langsung membawa Glagah ke sel di mana Wita berada.Pemandangan yang mengejutkan membuat Diara menyembunyikan dirinya di balik punggung Glagah.Wita menggantung dirinya di teralis jendela sel dengan selimut penjara. Posisinya setengah terduduk, karena jendela itu tidaklah tinggi. Kemungkinan Wita mengikat selimut ke lehernya dan menarik tubuhnya ke bawah sehingga ikatan itu mengencang dan membunuhnya.Glagah segera menekan nomor telepon Bintang. Kepolisian masih menunggu tin forensik.“Mas, sebaiknya kamu ke sini,” kata Glagah tanpa menjelaskan apa ya

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Akhir Semuanya

    “Aku mau bertemu Gita,” kata Ratih membuat semuanya kaget.Bagaimanapun juga Gita adalah cucunya. Anak itu pasti lebih menderita karena mengetahui semuanya sekarang.“Bawa aku menemuinya,” kata Ratih melihat tak ada yang mau bergerak.“Baik, aku ambilkan kursi roda saja, biar Ibu tidak capek ya,” Darma membujuk.Kemudian Glagah keluar ruangan untuk meminjam kursi roda di nurse station.“Anak itu masih bisa diselamatkan kalau saja kita tidak abai dengan pergerakan Wita,” sesal Ratih.Gita yang melihat perempuan tua itu masuk ke ruang inapnya bergidik ketakutan.Sari mendekat dan menenangkannya.“Tidak apa-apa Nduk, itu Nenekmu,” kata Sari tahu Gita ketakutan.Ratih meraih tangan Gita dan meremasnya lembut.“Maafkan Nenek terlambat untuk menyelamatkanmu ya Nduk. Nenek akan memberimu dukungan dengan hukumanmu nanti,” kata Ratih bergetar.

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Aku Memintamu Kembali

    Glagah bergegas ke ruang di mana keluarganya beristirahat. Dia sangat merindukan mereka.“Nenek,” kata Glagah menghambur ke pelukan Neneknya.“Sudah besar, masih saja manja sama Nenek,” kata Ratih seraya memeluk Glagah erat.Diara yang melihat hal itu tersenyum.Kemudian Glagah bergantian memeluk Ayah dan Ibunya.“Kamu sehat kan?” tanya Sari sambil memegang pipi anaknya itu.“Sehat Bu,” Glagah memegang tangan Sari erat.“Ehem ..., sepertinya ada yang harus diungkapkan ini,” kata Darma sambil menatap Diara yang mematung di samping pintu.“Ah, iya lupa,” Glagah kemudian menarik Diara untuk mendekat.“Kenalkan ini Diara,” kata Glagah.Diara menyalami mereka semua.“Diara, Om, Tante, Nenek,” kata Diara.“Calon mantu Ibu?” selidik Sari.Glagah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Diara hanya m

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Pertanggungjawaban

    Ratih, Darma dan Sari memulai perjalanan mereka ke Jakarta dengan jalan darat. Lewat tol maka perjalanan bisa dipercepat.“Ibu yakin Wita akan muncul?” tanya Darma sambil melirik Ratih yang diam di sampingnya.“Harus, dia harus muncul untuk mengakhiri kegilaannya. Sudah cukup masalah yang dia buat,” kata Ratih sambil menatap ke luar jendela.Hatinya berdenyut hebat, perih, mengingat anak perempuannya sudah terlalu jauh melangkah. Ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan agar Wita mau berhenti mengejar ambisinya.“Ibu jangan banyak pikiran,” kata Darma sambil memegang tangan keriput Ratih. Tangan itu yang selalu membuatnya tegar. Karena tangan itu yang terus memastikan trah Prana Jiwo selalu bisa diandalkan.“Ibu hanya takut kalau Ibu mati dan Wita masih belum bertobat. Pertanggung jawaban Ibu di akhirat akan sangat berat,” kata Ratih dengan mata mulai mengembun.“Ibu ngomong apa

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Pengungkapan Yang Sebenarnya

    Glagah menghampiri Anton di ruang kerjanya.“Bagaimana?” tanya Glagah membuat Anton terkejut.“Kamu kenapa ke sini?”“Mas Bintang yang menyuruhku,” jelas Glagah membuat Anton menghela nafasnya.Anton kemudian menyerahkan flashdisk kepada Glagah.“Sungguh, keluarga ini diluar imajinasiku,” kata Anton membuat Glagah penasaran.“Kenapa?”“Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang. Bukti bahwa Nawang di racun dan meninggalkan bukan karena sakit semuanya ada di sana,” kata Anton membuat Glagah membulatkan matanya.“Jaga dirimu. Aku akan memastikan keamananmu terjamin,” kata Glagah menepuk pundak Anton.“Bisa minta tolong tanyakan pada Mas Bintang untuk menaikkan gajiku?” kelakar Anton membuat Glagah mengacungkan jempolnya.Wita berlari tanpa arah, dia harus meninggalkan kawasan kantor untuk menghindari pencarian. Kemudia

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kita Bukanlah Saudara!

    Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.Glagah mengucek matanya. Men

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Trah Yang Semestinya

    Media kini sedang berfokus pada Hardjo yang sudah lama tak menampakkan diri dengan alasan kesehatan. Sebenarnya banyak orang yang mengira bahwa Hardjo sengaja disembunyikan oleh Gita.Pagi ini, saat Glagah dan Diara bertolak ke Sumatera Barat, media sedang menyorot Bintang yang mengunjungi Papanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Laut sengaja hanya meminta media terbesar yang mendapatkan hak eksklusif untuk mengikuti Bintang. Media lain diharapkan untuk menunggu di luar.“Pa, aku pulang, maaf terlambat untuk menyelamatkanmu dan Bulan. Aku yang akan menuntut balas hilangnya Bulan selama ini,” kata Bintang seraya menggenggam tangan Hardjo yang hanya bisa menitikkan air matanya.Kesehatannya benar-benar berada dititik nadir.“Saya akan menjelaskan kondisi dari Tuan Hardjo,” kata dokter membuat Bintang mengikuti keluar.“Jadi begini Mas, Tuan Hardjo mengalami kelumpuhan akibat penggunaan anti drepesan

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Wulan Saga

    “Saga? Bukankah itu merujuk pada warna?” Glagah menatap Diara.“Aku tak tahu, aku hanya tak pernah melihat lukisan itu,” kata Diara saat berkas itu menampilkan lukisan yang dominan warna jingga dan semburat emas.“Mungkin Napta menjualnya sebelum kamu menjadi sekretarisnya,” kata Glagah masuk akal.Bintang dan Laut ikut mendekat, melihat lebih jelas.“Coba lihat di mana lukisan itu sekarang,” kata Laut sambil mengingat sesuatu.Glagah menskrol kursos ke bagian bawah berkas.“Museum Tan Malaka, Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,” baca Glagah.“Itu kan museum peninggalan Tan Malaka, dulu museum itu tidak terurus, pemerintah setempat sepertinya abai terhadap museum itu,” kata Diara.“Pada masa Ayah masih menjadi Menteri Budaya, aku pernah ke sana, itulah kenapa aku seperti pernah melihat lukisan itu,” kata Laut.

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Genderang Perang Ditalukan

    Perjalanan Surabaya-Jakarta lewat jalan tol, berjalan tanpa hambatan. Para pengikut Laut sudah memastikan jalur steril dari orang-orang Gita yang tidak tahu tentang keikutsertaan Laut dalam hal ini. Mereka menggunakan media untuk memancing fokus lawan di bandara Jakarta.“Kalian pasti lelah dengan perjalanan nonstop,” sambut Laut melihat wajah lelah Bintang, Glagah dan Diara.“Aku tak menyangka Indonesia berkembang sepesat ini,” kata Bintang.“Kamu terlalu lama menutup diri tentang Indonesia, sampai kamu lupa akan kami,” sindir Laut membuat Bintang tersenyum kecut.Diara sudah tak mampu menimpali obrolan mereka.“Oh ini yang kamu bilang sepasang kekasih itu?” ledek Laut membuat Glagah memutar bola matanya kesal.Laut tertawa melihat reaksi Glagah dan Diara yang salah tingkah.“Mereka pasangan serasi, cantik dan gagah. Ngomongin pasangan, kamu kapan akan menikah?” tanya Bintan

DMCA.com Protection Status