Pesawat Glagah dan Diara bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 7 malam. Perjalanan yang akan memakan waktu 18 jam itu membuat Diara cemas. Dia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Glagah yang tahu kecemasan Diara mencoba menenangkan.
“Kenapa kamu tidak jujur padaku tentang keluargamu?” selidik Diara mencoba untuk mengatasi kecemasannya.
“Kan sudah aku bilang tadi, kami harus berada dalam anonimitas. Dan juga sekarang bukan aku yang memegang peranan penting itu. Ayah bahkan tidak memberitahuku siapa. Aku hanya boleh tahu bahwa aku bagian dari mereka. Profesiku sebagai pengacara bisa membantu mereka,” papar Glagah sambil menghela nafasnya.
“Sepertinya Laut yang memegang peranan itu sekarang, kalau dilihat dari gelagat dia yang tahu semuanya,” Diara mencoba menebak.
“Bisa jadi. Karena setahuku memang hanya keluarga inti yang bisa menjadi penerus. Selama ini aku berpikir Ayah yang mener
Glagah melajukan mobilnya ke jalan raya Sommebakken untuk mencari pintu masuk ke Tanargevegen. Pemandangan pertanian nan hijau terhampar sepanjang jalan. Membuat Diara sejenak melupakan tentang tujuan mereka berada di sini. Perjalanan darat yang menyenangkan. Diara yang baru pertama kali ke luar negeri sungguh menikmati perjalanannya. Saat mobil mereka melintasi Snode, terlihat laut yang biru di sebelah kiri mereka.“Itu laut!” teriak Diara kegirangan.“Maaf, aku baru pertama kali ke luar negeri,” kata Diara canggung menyadari kekonyolannya.“Hahahaha, tidak apa-apa. Mulai sekarang biasakanlah, mungkin dengan uang yang kamu pegang sekarang kamu akan mulai berkeliling dunia setelah masalah ini selesai,” kata Glagah membuat Diara berpikir.“Benar juga, aku kan sekarang punya uang,” batin Diara senang, dia bertekad untuk berkeliling dunia setelah masalah ini selesai.Perjalanan mereka akhirnya tiba di al
Pagi itu Diara bangun dengan perut lapar seperti biasa. Dia mencium harum omelet dari dapur. Glagah pasti sudah membuat sarapan untuk mereka. Diara mondar-mandir di kamar antar keluar atau tidak. Setelah berulang kali berpikir akhirnya dia menyerah pada rasa lapar dan melupakan jengah yang dirasakannya.Glagah melihat Diara keluar kamar dengan piyama.“Makanlah, aku sudah membuat omelet. Sisa mashed potato kemarin masih bisa aku panaskan,” kata Glagah sambil menuang susu ke dalam gelas di depan Diara.“Sepertinya, aku harus terbiasa dengan menu ini selama kita di sini.” Diara ingin protes karena merindukan nasi.“Jangan merajuk. Wajahmu sangat lucu saat kamu merajuk,” kata Glagah. Lalu seketika menyesal mengucapkannya karena wajah Diara bersemu merah.“Kamu, bisakah tidak membuatku selalu jengah,” pinta Diara sambil menunduk dan memakan makanannya.&ldq
Bintang membaca buku harian Bulan semalaman suntuk. Dia menyadari ternyata adiknya itu harus berjuang sendirian. Bintang merasa egois sudah meninggalkan Bulan. Bahkan kini menyesal tidak bisa melihat kepergian Bulan, ah tidak, seharunya dia menyelamatkan Bulan. Bintang bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Dia tidak menyangka Gita bertindak sekeji itu. Benar kata Mamanya sebelum meninggal. Bahwa Gita akan membuat keluarga Hardjo hancur lebur. Bintang bergegas membuka nakas di meja kerjanya. Mengambil surat dari Mamanya. Dia membacanya berulang-ulang. Lalu dia menemukan arti dari surat yang sudah lama dia simpan itu. Sekarang tekadnya sudah bulat. Dia akan membalaskan kematian Bulan. Lalu merebut kembali Hardjo Company. Bintang yang selama ini dikenal lemah, akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya. Pintu rumah di ketuk saat Glagah membuat sarapan. Diara yang sedang melihat Glagah buru-buru membukakan pintu. Seketika tubuhnya membeku melihat siapa yang ada
Diara dan Glagah kembali ke Tananger saat malam beranjak datang. Perjalanan pulang tanpa lagi canggung tentang perasaan.Ponsel Glagah berbunyi tepat saat mereka sampai di rumah.[Bersiaplah, besok kita kembali ke Indonesia. Aku mempercepat kepulangan, karena ada yang harus kita urus segera di sana. Akomodasi sudah aku lampirkan. Besok jemput aku di alamat yang tertera.] Pesan dari Bintang.Mereka bergegas membereskan bawaan mereka. Dan berusaha memejamkan mata segera. Perjalanan panjang menanti mereka selanjutnya.Glagah mengetuk pintu kamar Diara, hari sudah pagi. Pesawat mereka di Stavanger akan bertolak jam 1 siang. Lebih baik bersiap dari awal.“Di, bangun, sudah pagi, mandilah, aku akan menyiapkan sarapan,” kata Glagah dari balik pintu.Diara mengucek matanya, tersadar dari mimpi. Bergegas ke kamar mandi.Glagah membuat roti bakar untuk menghemat waktu. Diara melihat Glagah sedang menuang susu ke gelas, roti bakar de
Perjalanan Surabaya-Jakarta lewat jalan tol, berjalan tanpa hambatan. Para pengikut Laut sudah memastikan jalur steril dari orang-orang Gita yang tidak tahu tentang keikutsertaan Laut dalam hal ini. Mereka menggunakan media untuk memancing fokus lawan di bandara Jakarta.“Kalian pasti lelah dengan perjalanan nonstop,” sambut Laut melihat wajah lelah Bintang, Glagah dan Diara.“Aku tak menyangka Indonesia berkembang sepesat ini,” kata Bintang.“Kamu terlalu lama menutup diri tentang Indonesia, sampai kamu lupa akan kami,” sindir Laut membuat Bintang tersenyum kecut.Diara sudah tak mampu menimpali obrolan mereka.“Oh ini yang kamu bilang sepasang kekasih itu?” ledek Laut membuat Glagah memutar bola matanya kesal.Laut tertawa melihat reaksi Glagah dan Diara yang salah tingkah.“Mereka pasangan serasi, cantik dan gagah. Ngomongin pasangan, kamu kapan akan menikah?” tanya Bintan
“Saga? Bukankah itu merujuk pada warna?” Glagah menatap Diara.“Aku tak tahu, aku hanya tak pernah melihat lukisan itu,” kata Diara saat berkas itu menampilkan lukisan yang dominan warna jingga dan semburat emas.“Mungkin Napta menjualnya sebelum kamu menjadi sekretarisnya,” kata Glagah masuk akal.Bintang dan Laut ikut mendekat, melihat lebih jelas.“Coba lihat di mana lukisan itu sekarang,” kata Laut sambil mengingat sesuatu.Glagah menskrol kursos ke bagian bawah berkas.“Museum Tan Malaka, Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,” baca Glagah.“Itu kan museum peninggalan Tan Malaka, dulu museum itu tidak terurus, pemerintah setempat sepertinya abai terhadap museum itu,” kata Diara.“Pada masa Ayah masih menjadi Menteri Budaya, aku pernah ke sana, itulah kenapa aku seperti pernah melihat lukisan itu,” kata Laut.
Media kini sedang berfokus pada Hardjo yang sudah lama tak menampakkan diri dengan alasan kesehatan. Sebenarnya banyak orang yang mengira bahwa Hardjo sengaja disembunyikan oleh Gita.Pagi ini, saat Glagah dan Diara bertolak ke Sumatera Barat, media sedang menyorot Bintang yang mengunjungi Papanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Laut sengaja hanya meminta media terbesar yang mendapatkan hak eksklusif untuk mengikuti Bintang. Media lain diharapkan untuk menunggu di luar.“Pa, aku pulang, maaf terlambat untuk menyelamatkanmu dan Bulan. Aku yang akan menuntut balas hilangnya Bulan selama ini,” kata Bintang seraya menggenggam tangan Hardjo yang hanya bisa menitikkan air matanya.Kesehatannya benar-benar berada dititik nadir.“Saya akan menjelaskan kondisi dari Tuan Hardjo,” kata dokter membuat Bintang mengikuti keluar.“Jadi begini Mas, Tuan Hardjo mengalami kelumpuhan akibat penggunaan anti drepesan
Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.Glagah mengucek matanya. Men
Glagah tiba di kepolisian pagi itu, bersama Diara, karena dia menolak ke kantor Bintang terlebih dahulu bersama Bintang.Kantor kepolisian sedang kisruh saat Glagah masuk. Lalu seseorang memanggilnya cepat.“Ada apa?” tanya Glagah penasaran karena para polisi tampak gelisah.“Wita, dia …,” polisi itu tak melanjutkan kalimatnya tapi langsung membawa Glagah ke sel di mana Wita berada.Pemandangan yang mengejutkan membuat Diara menyembunyikan dirinya di balik punggung Glagah.Wita menggantung dirinya di teralis jendela sel dengan selimut penjara. Posisinya setengah terduduk, karena jendela itu tidaklah tinggi. Kemungkinan Wita mengikat selimut ke lehernya dan menarik tubuhnya ke bawah sehingga ikatan itu mengencang dan membunuhnya.Glagah segera menekan nomor telepon Bintang. Kepolisian masih menunggu tin forensik.“Mas, sebaiknya kamu ke sini,” kata Glagah tanpa menjelaskan apa ya
“Aku mau bertemu Gita,” kata Ratih membuat semuanya kaget.Bagaimanapun juga Gita adalah cucunya. Anak itu pasti lebih menderita karena mengetahui semuanya sekarang.“Bawa aku menemuinya,” kata Ratih melihat tak ada yang mau bergerak.“Baik, aku ambilkan kursi roda saja, biar Ibu tidak capek ya,” Darma membujuk.Kemudian Glagah keluar ruangan untuk meminjam kursi roda di nurse station.“Anak itu masih bisa diselamatkan kalau saja kita tidak abai dengan pergerakan Wita,” sesal Ratih.Gita yang melihat perempuan tua itu masuk ke ruang inapnya bergidik ketakutan.Sari mendekat dan menenangkannya.“Tidak apa-apa Nduk, itu Nenekmu,” kata Sari tahu Gita ketakutan.Ratih meraih tangan Gita dan meremasnya lembut.“Maafkan Nenek terlambat untuk menyelamatkanmu ya Nduk. Nenek akan memberimu dukungan dengan hukumanmu nanti,” kata Ratih bergetar.
Glagah bergegas ke ruang di mana keluarganya beristirahat. Dia sangat merindukan mereka.“Nenek,” kata Glagah menghambur ke pelukan Neneknya.“Sudah besar, masih saja manja sama Nenek,” kata Ratih seraya memeluk Glagah erat.Diara yang melihat hal itu tersenyum.Kemudian Glagah bergantian memeluk Ayah dan Ibunya.“Kamu sehat kan?” tanya Sari sambil memegang pipi anaknya itu.“Sehat Bu,” Glagah memegang tangan Sari erat.“Ehem ..., sepertinya ada yang harus diungkapkan ini,” kata Darma sambil menatap Diara yang mematung di samping pintu.“Ah, iya lupa,” Glagah kemudian menarik Diara untuk mendekat.“Kenalkan ini Diara,” kata Glagah.Diara menyalami mereka semua.“Diara, Om, Tante, Nenek,” kata Diara.“Calon mantu Ibu?” selidik Sari.Glagah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Diara hanya m
Ratih, Darma dan Sari memulai perjalanan mereka ke Jakarta dengan jalan darat. Lewat tol maka perjalanan bisa dipercepat.“Ibu yakin Wita akan muncul?” tanya Darma sambil melirik Ratih yang diam di sampingnya.“Harus, dia harus muncul untuk mengakhiri kegilaannya. Sudah cukup masalah yang dia buat,” kata Ratih sambil menatap ke luar jendela.Hatinya berdenyut hebat, perih, mengingat anak perempuannya sudah terlalu jauh melangkah. Ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan agar Wita mau berhenti mengejar ambisinya.“Ibu jangan banyak pikiran,” kata Darma sambil memegang tangan keriput Ratih. Tangan itu yang selalu membuatnya tegar. Karena tangan itu yang terus memastikan trah Prana Jiwo selalu bisa diandalkan.“Ibu hanya takut kalau Ibu mati dan Wita masih belum bertobat. Pertanggung jawaban Ibu di akhirat akan sangat berat,” kata Ratih dengan mata mulai mengembun.“Ibu ngomong apa
Glagah menghampiri Anton di ruang kerjanya.“Bagaimana?” tanya Glagah membuat Anton terkejut.“Kamu kenapa ke sini?”“Mas Bintang yang menyuruhku,” jelas Glagah membuat Anton menghela nafasnya.Anton kemudian menyerahkan flashdisk kepada Glagah.“Sungguh, keluarga ini diluar imajinasiku,” kata Anton membuat Glagah penasaran.“Kenapa?”“Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang. Bukti bahwa Nawang di racun dan meninggalkan bukan karena sakit semuanya ada di sana,” kata Anton membuat Glagah membulatkan matanya.“Jaga dirimu. Aku akan memastikan keamananmu terjamin,” kata Glagah menepuk pundak Anton.“Bisa minta tolong tanyakan pada Mas Bintang untuk menaikkan gajiku?” kelakar Anton membuat Glagah mengacungkan jempolnya.Wita berlari tanpa arah, dia harus meninggalkan kawasan kantor untuk menghindari pencarian. Kemudia
Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.Glagah mengucek matanya. Men
Media kini sedang berfokus pada Hardjo yang sudah lama tak menampakkan diri dengan alasan kesehatan. Sebenarnya banyak orang yang mengira bahwa Hardjo sengaja disembunyikan oleh Gita.Pagi ini, saat Glagah dan Diara bertolak ke Sumatera Barat, media sedang menyorot Bintang yang mengunjungi Papanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Laut sengaja hanya meminta media terbesar yang mendapatkan hak eksklusif untuk mengikuti Bintang. Media lain diharapkan untuk menunggu di luar.“Pa, aku pulang, maaf terlambat untuk menyelamatkanmu dan Bulan. Aku yang akan menuntut balas hilangnya Bulan selama ini,” kata Bintang seraya menggenggam tangan Hardjo yang hanya bisa menitikkan air matanya.Kesehatannya benar-benar berada dititik nadir.“Saya akan menjelaskan kondisi dari Tuan Hardjo,” kata dokter membuat Bintang mengikuti keluar.“Jadi begini Mas, Tuan Hardjo mengalami kelumpuhan akibat penggunaan anti drepesan
“Saga? Bukankah itu merujuk pada warna?” Glagah menatap Diara.“Aku tak tahu, aku hanya tak pernah melihat lukisan itu,” kata Diara saat berkas itu menampilkan lukisan yang dominan warna jingga dan semburat emas.“Mungkin Napta menjualnya sebelum kamu menjadi sekretarisnya,” kata Glagah masuk akal.Bintang dan Laut ikut mendekat, melihat lebih jelas.“Coba lihat di mana lukisan itu sekarang,” kata Laut sambil mengingat sesuatu.Glagah menskrol kursos ke bagian bawah berkas.“Museum Tan Malaka, Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,” baca Glagah.“Itu kan museum peninggalan Tan Malaka, dulu museum itu tidak terurus, pemerintah setempat sepertinya abai terhadap museum itu,” kata Diara.“Pada masa Ayah masih menjadi Menteri Budaya, aku pernah ke sana, itulah kenapa aku seperti pernah melihat lukisan itu,” kata Laut.
Perjalanan Surabaya-Jakarta lewat jalan tol, berjalan tanpa hambatan. Para pengikut Laut sudah memastikan jalur steril dari orang-orang Gita yang tidak tahu tentang keikutsertaan Laut dalam hal ini. Mereka menggunakan media untuk memancing fokus lawan di bandara Jakarta.“Kalian pasti lelah dengan perjalanan nonstop,” sambut Laut melihat wajah lelah Bintang, Glagah dan Diara.“Aku tak menyangka Indonesia berkembang sepesat ini,” kata Bintang.“Kamu terlalu lama menutup diri tentang Indonesia, sampai kamu lupa akan kami,” sindir Laut membuat Bintang tersenyum kecut.Diara sudah tak mampu menimpali obrolan mereka.“Oh ini yang kamu bilang sepasang kekasih itu?” ledek Laut membuat Glagah memutar bola matanya kesal.Laut tertawa melihat reaksi Glagah dan Diara yang salah tingkah.“Mereka pasangan serasi, cantik dan gagah. Ngomongin pasangan, kamu kapan akan menikah?” tanya Bintan