Home / Thriller / Misteri Kematian Sang Pelukis / Kita Bukanlah Saudara!

Share

Kita Bukanlah Saudara!

Author: Crearuna
last update Huling Na-update: 2024-10-29 19:42:56

Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.

“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.

Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.

“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.

Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.

[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.

Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.

“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.

“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.

Glagah mengucek matanya. Men

Locked Chapter
Ituloy basahin ang aklat na ito sa APP

Kaugnay na kabanata

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Pengungkapan Yang Sebenarnya

    Glagah menghampiri Anton di ruang kerjanya.“Bagaimana?” tanya Glagah membuat Anton terkejut.“Kamu kenapa ke sini?”“Mas Bintang yang menyuruhku,” jelas Glagah membuat Anton menghela nafasnya.Anton kemudian menyerahkan flashdisk kepada Glagah.“Sungguh, keluarga ini diluar imajinasiku,” kata Anton membuat Glagah penasaran.“Kenapa?”“Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang. Bukti bahwa Nawang di racun dan meninggalkan bukan karena sakit semuanya ada di sana,” kata Anton membuat Glagah membulatkan matanya.“Jaga dirimu. Aku akan memastikan keamananmu terjamin,” kata Glagah menepuk pundak Anton.“Bisa minta tolong tanyakan pada Mas Bintang untuk menaikkan gajiku?” kelakar Anton membuat Glagah mengacungkan jempolnya.Wita berlari tanpa arah, dia harus meninggalkan kawasan kantor untuk menghindari pencarian. Kemudia

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Pertanggungjawaban

    Ratih, Darma dan Sari memulai perjalanan mereka ke Jakarta dengan jalan darat. Lewat tol maka perjalanan bisa dipercepat.“Ibu yakin Wita akan muncul?” tanya Darma sambil melirik Ratih yang diam di sampingnya.“Harus, dia harus muncul untuk mengakhiri kegilaannya. Sudah cukup masalah yang dia buat,” kata Ratih sambil menatap ke luar jendela.Hatinya berdenyut hebat, perih, mengingat anak perempuannya sudah terlalu jauh melangkah. Ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan agar Wita mau berhenti mengejar ambisinya.“Ibu jangan banyak pikiran,” kata Darma sambil memegang tangan keriput Ratih. Tangan itu yang selalu membuatnya tegar. Karena tangan itu yang terus memastikan trah Prana Jiwo selalu bisa diandalkan.“Ibu hanya takut kalau Ibu mati dan Wita masih belum bertobat. Pertanggung jawaban Ibu di akhirat akan sangat berat,” kata Ratih dengan mata mulai mengembun.“Ibu ngomong apa

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Aku Memintamu Kembali

    Glagah bergegas ke ruang di mana keluarganya beristirahat. Dia sangat merindukan mereka.“Nenek,” kata Glagah menghambur ke pelukan Neneknya.“Sudah besar, masih saja manja sama Nenek,” kata Ratih seraya memeluk Glagah erat.Diara yang melihat hal itu tersenyum.Kemudian Glagah bergantian memeluk Ayah dan Ibunya.“Kamu sehat kan?” tanya Sari sambil memegang pipi anaknya itu.“Sehat Bu,” Glagah memegang tangan Sari erat.“Ehem ..., sepertinya ada yang harus diungkapkan ini,” kata Darma sambil menatap Diara yang mematung di samping pintu.“Ah, iya lupa,” Glagah kemudian menarik Diara untuk mendekat.“Kenalkan ini Diara,” kata Glagah.Diara menyalami mereka semua.“Diara, Om, Tante, Nenek,” kata Diara.“Calon mantu Ibu?” selidik Sari.Glagah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Diara hanya m

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Akhir Semuanya

    “Aku mau bertemu Gita,” kata Ratih membuat semuanya kaget.Bagaimanapun juga Gita adalah cucunya. Anak itu pasti lebih menderita karena mengetahui semuanya sekarang.“Bawa aku menemuinya,” kata Ratih melihat tak ada yang mau bergerak.“Baik, aku ambilkan kursi roda saja, biar Ibu tidak capek ya,” Darma membujuk.Kemudian Glagah keluar ruangan untuk meminjam kursi roda di nurse station.“Anak itu masih bisa diselamatkan kalau saja kita tidak abai dengan pergerakan Wita,” sesal Ratih.Gita yang melihat perempuan tua itu masuk ke ruang inapnya bergidik ketakutan.Sari mendekat dan menenangkannya.“Tidak apa-apa Nduk, itu Nenekmu,” kata Sari tahu Gita ketakutan.Ratih meraih tangan Gita dan meremasnya lembut.“Maafkan Nenek terlambat untuk menyelamatkanmu ya Nduk. Nenek akan memberimu dukungan dengan hukumanmu nanti,” kata Ratih bergetar.

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kematian Diakhiri Dengan Kematian

    Glagah tiba di kepolisian pagi itu, bersama Diara, karena dia menolak ke kantor Bintang terlebih dahulu bersama Bintang.Kantor kepolisian sedang kisruh saat Glagah masuk. Lalu seseorang memanggilnya cepat.“Ada apa?” tanya Glagah penasaran karena para polisi tampak gelisah.“Wita, dia …,” polisi itu tak melanjutkan kalimatnya tapi langsung membawa Glagah ke sel di mana Wita berada.Pemandangan yang mengejutkan membuat Diara menyembunyikan dirinya di balik punggung Glagah.Wita menggantung dirinya di teralis jendela sel dengan selimut penjara. Posisinya setengah terduduk, karena jendela itu tidaklah tinggi. Kemungkinan Wita mengikat selimut ke lehernya dan menarik tubuhnya ke bawah sehingga ikatan itu mengencang dan membunuhnya.Glagah segera menekan nomor telepon Bintang. Kepolisian masih menunggu tin forensik.“Mas, sebaiknya kamu ke sini,” kata Glagah tanpa menjelaskan apa ya

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Bayangan Kematian Saat Purnama

    Diara berjalan cepat, tugasnya hari ini adalah membuka kantor lebih awal. Jam enam pagi dia sudah menyusuri parkiran menuju gedung yang sudah tiga tahun ini menjadi tempatnya bekerja. Sebuah gedung yang berdiri di tengah kota, dengan gaya arsitektur kuno yang mencolok, berbeda dengan sekitarnya. Entah apa yang ada di pikiran pemilik gedung ini awalnya, hingga dia mendirikan bangunan nyentrik itu di blok tersendiri, jauh di belakang, jadi untuk menjangkaunya harus berjalan kurang lebih 10 menit dari parkiran. Diara mempercepat langkahnya, dia tak ingin mendapat omelan dari bosnya. Begitu sampai di depan gedung yang menjadi tujuannya, Diara memasukkan kunci ke pintu yang tingginya hampir 3 meter itu, dia mendorong pintu dengan sedikit kekuatan yang tersisa, dia belum memakan sarapannya.“Di!” sebuah teriakan mengagetkannya tepat setelah pintu itu terbuka sempurna.“Pak Napta.” Diara mengatakan nama bosnya dengan tak percaya, laki-laki itu sudah be

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kejutan Selanjutnya

    Diara bergegas kembali ke flatnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dengan kondisi kantor yang tak lagi punya pemilik, Diara tak mungkin bekerja. Dia harus memikirkan untuk mencari pekerjaan lain. Setibanya di flat, Diara membuka laptopnya, mencari artikel tentang Bulan Sriwedari. Laman Google menunjukkan beberapa artikel tentang putri bungsu miliuner Hardjo Sriwedari yang mempunyai beberapa kartel bisnis di kota ini. Di sana banyak artikel yang mengatakan bahwa putri bungsu ini jatuh cinta terhadap seorang yang tidak sepadan dengan keluarganya. Seorang dari kalangan biasa, tapi tak bisa dibuktikan siapa orang itu. Banyak spekulasi menyebar, ada yang mengatakan bahwa orang itu hanya memanfaatkan Bulan, hanya ingin menguras hartanya. Artikel tentang menghilangnya Bulan yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan bahkan mengatakan Bulan dibunuh oleh laki-laki yang dicintainya tersebut, tetapi lagi-lagi tidak ada bukti yang bisa membuat kasus ini masuk ke pengadilan. Bahkan siapa s

    Huling Na-update : 2024-10-29
  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Buku Harian Bulan

    Pemakaman Napta berlangsung khidmat, pusara besar yang didesain khusus dengan lukisan Napta yang berjudul Kematian terlukis di sana. Napta sudah menuliskan semua yang harus dilakukan oleh Glagah bila dia tiada, salah satunya adalah pusara itu. Di pemakaman mewah yang berada di bukit inilah jasad Napta dibaringkan. Hanya segelintir orang yang datang, karena Glagah membatasi tamu yang datang. Gita melangkah tegap dan meletakkan mawar hitam kesukaan Napta di sana, berkumpul dengan beberapa tangkai lainnya.“Aku tak menyangka kamu pergi secepat ini. Lukisanmu akan segera menjelma menjadi mural terbagus di kota ini. Aku akan selalu mengenang karya-karyamu,” Gita mengatakan kalimat perpisahannya. Mengangguk pada Diara dan Glagah lalu pergi.Prosesi yang sedikit memakan waktu tak membuat Diara dan Glagah bisa bersantai setelahnya. Mereka segera mengurus kepindahan Diara. Barang-barang Diara tak banyak, jadi sekali angkut sudah bisa membawa semuanya. Untuk sementar

    Huling Na-update : 2024-10-29

Pinakabagong kabanata

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kematian Diakhiri Dengan Kematian

    Glagah tiba di kepolisian pagi itu, bersama Diara, karena dia menolak ke kantor Bintang terlebih dahulu bersama Bintang.Kantor kepolisian sedang kisruh saat Glagah masuk. Lalu seseorang memanggilnya cepat.“Ada apa?” tanya Glagah penasaran karena para polisi tampak gelisah.“Wita, dia …,” polisi itu tak melanjutkan kalimatnya tapi langsung membawa Glagah ke sel di mana Wita berada.Pemandangan yang mengejutkan membuat Diara menyembunyikan dirinya di balik punggung Glagah.Wita menggantung dirinya di teralis jendela sel dengan selimut penjara. Posisinya setengah terduduk, karena jendela itu tidaklah tinggi. Kemungkinan Wita mengikat selimut ke lehernya dan menarik tubuhnya ke bawah sehingga ikatan itu mengencang dan membunuhnya.Glagah segera menekan nomor telepon Bintang. Kepolisian masih menunggu tin forensik.“Mas, sebaiknya kamu ke sini,” kata Glagah tanpa menjelaskan apa ya

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Akhir Semuanya

    “Aku mau bertemu Gita,” kata Ratih membuat semuanya kaget.Bagaimanapun juga Gita adalah cucunya. Anak itu pasti lebih menderita karena mengetahui semuanya sekarang.“Bawa aku menemuinya,” kata Ratih melihat tak ada yang mau bergerak.“Baik, aku ambilkan kursi roda saja, biar Ibu tidak capek ya,” Darma membujuk.Kemudian Glagah keluar ruangan untuk meminjam kursi roda di nurse station.“Anak itu masih bisa diselamatkan kalau saja kita tidak abai dengan pergerakan Wita,” sesal Ratih.Gita yang melihat perempuan tua itu masuk ke ruang inapnya bergidik ketakutan.Sari mendekat dan menenangkannya.“Tidak apa-apa Nduk, itu Nenekmu,” kata Sari tahu Gita ketakutan.Ratih meraih tangan Gita dan meremasnya lembut.“Maafkan Nenek terlambat untuk menyelamatkanmu ya Nduk. Nenek akan memberimu dukungan dengan hukumanmu nanti,” kata Ratih bergetar.

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Aku Memintamu Kembali

    Glagah bergegas ke ruang di mana keluarganya beristirahat. Dia sangat merindukan mereka.“Nenek,” kata Glagah menghambur ke pelukan Neneknya.“Sudah besar, masih saja manja sama Nenek,” kata Ratih seraya memeluk Glagah erat.Diara yang melihat hal itu tersenyum.Kemudian Glagah bergantian memeluk Ayah dan Ibunya.“Kamu sehat kan?” tanya Sari sambil memegang pipi anaknya itu.“Sehat Bu,” Glagah memegang tangan Sari erat.“Ehem ..., sepertinya ada yang harus diungkapkan ini,” kata Darma sambil menatap Diara yang mematung di samping pintu.“Ah, iya lupa,” Glagah kemudian menarik Diara untuk mendekat.“Kenalkan ini Diara,” kata Glagah.Diara menyalami mereka semua.“Diara, Om, Tante, Nenek,” kata Diara.“Calon mantu Ibu?” selidik Sari.Glagah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Diara hanya m

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Pertanggungjawaban

    Ratih, Darma dan Sari memulai perjalanan mereka ke Jakarta dengan jalan darat. Lewat tol maka perjalanan bisa dipercepat.“Ibu yakin Wita akan muncul?” tanya Darma sambil melirik Ratih yang diam di sampingnya.“Harus, dia harus muncul untuk mengakhiri kegilaannya. Sudah cukup masalah yang dia buat,” kata Ratih sambil menatap ke luar jendela.Hatinya berdenyut hebat, perih, mengingat anak perempuannya sudah terlalu jauh melangkah. Ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan agar Wita mau berhenti mengejar ambisinya.“Ibu jangan banyak pikiran,” kata Darma sambil memegang tangan keriput Ratih. Tangan itu yang selalu membuatnya tegar. Karena tangan itu yang terus memastikan trah Prana Jiwo selalu bisa diandalkan.“Ibu hanya takut kalau Ibu mati dan Wita masih belum bertobat. Pertanggung jawaban Ibu di akhirat akan sangat berat,” kata Ratih dengan mata mulai mengembun.“Ibu ngomong apa

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Pengungkapan Yang Sebenarnya

    Glagah menghampiri Anton di ruang kerjanya.“Bagaimana?” tanya Glagah membuat Anton terkejut.“Kamu kenapa ke sini?”“Mas Bintang yang menyuruhku,” jelas Glagah membuat Anton menghela nafasnya.Anton kemudian menyerahkan flashdisk kepada Glagah.“Sungguh, keluarga ini diluar imajinasiku,” kata Anton membuat Glagah penasaran.“Kenapa?”“Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang. Bukti bahwa Nawang di racun dan meninggalkan bukan karena sakit semuanya ada di sana,” kata Anton membuat Glagah membulatkan matanya.“Jaga dirimu. Aku akan memastikan keamananmu terjamin,” kata Glagah menepuk pundak Anton.“Bisa minta tolong tanyakan pada Mas Bintang untuk menaikkan gajiku?” kelakar Anton membuat Glagah mengacungkan jempolnya.Wita berlari tanpa arah, dia harus meninggalkan kawasan kantor untuk menghindari pencarian. Kemudia

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Kita Bukanlah Saudara!

    Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.Glagah mengucek matanya. Men

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Trah Yang Semestinya

    Media kini sedang berfokus pada Hardjo yang sudah lama tak menampakkan diri dengan alasan kesehatan. Sebenarnya banyak orang yang mengira bahwa Hardjo sengaja disembunyikan oleh Gita.Pagi ini, saat Glagah dan Diara bertolak ke Sumatera Barat, media sedang menyorot Bintang yang mengunjungi Papanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Laut sengaja hanya meminta media terbesar yang mendapatkan hak eksklusif untuk mengikuti Bintang. Media lain diharapkan untuk menunggu di luar.“Pa, aku pulang, maaf terlambat untuk menyelamatkanmu dan Bulan. Aku yang akan menuntut balas hilangnya Bulan selama ini,” kata Bintang seraya menggenggam tangan Hardjo yang hanya bisa menitikkan air matanya.Kesehatannya benar-benar berada dititik nadir.“Saya akan menjelaskan kondisi dari Tuan Hardjo,” kata dokter membuat Bintang mengikuti keluar.“Jadi begini Mas, Tuan Hardjo mengalami kelumpuhan akibat penggunaan anti drepesan

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Wulan Saga

    “Saga? Bukankah itu merujuk pada warna?” Glagah menatap Diara.“Aku tak tahu, aku hanya tak pernah melihat lukisan itu,” kata Diara saat berkas itu menampilkan lukisan yang dominan warna jingga dan semburat emas.“Mungkin Napta menjualnya sebelum kamu menjadi sekretarisnya,” kata Glagah masuk akal.Bintang dan Laut ikut mendekat, melihat lebih jelas.“Coba lihat di mana lukisan itu sekarang,” kata Laut sambil mengingat sesuatu.Glagah menskrol kursos ke bagian bawah berkas.“Museum Tan Malaka, Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,” baca Glagah.“Itu kan museum peninggalan Tan Malaka, dulu museum itu tidak terurus, pemerintah setempat sepertinya abai terhadap museum itu,” kata Diara.“Pada masa Ayah masih menjadi Menteri Budaya, aku pernah ke sana, itulah kenapa aku seperti pernah melihat lukisan itu,” kata Laut.

  • Misteri Kematian Sang Pelukis   Genderang Perang Ditalukan

    Perjalanan Surabaya-Jakarta lewat jalan tol, berjalan tanpa hambatan. Para pengikut Laut sudah memastikan jalur steril dari orang-orang Gita yang tidak tahu tentang keikutsertaan Laut dalam hal ini. Mereka menggunakan media untuk memancing fokus lawan di bandara Jakarta.“Kalian pasti lelah dengan perjalanan nonstop,” sambut Laut melihat wajah lelah Bintang, Glagah dan Diara.“Aku tak menyangka Indonesia berkembang sepesat ini,” kata Bintang.“Kamu terlalu lama menutup diri tentang Indonesia, sampai kamu lupa akan kami,” sindir Laut membuat Bintang tersenyum kecut.Diara sudah tak mampu menimpali obrolan mereka.“Oh ini yang kamu bilang sepasang kekasih itu?” ledek Laut membuat Glagah memutar bola matanya kesal.Laut tertawa melihat reaksi Glagah dan Diara yang salah tingkah.“Mereka pasangan serasi, cantik dan gagah. Ngomongin pasangan, kamu kapan akan menikah?” tanya Bintan

DMCA.com Protection Status