Diara memasukkan kembali buku harian Bulan ke dalam nakas. Glagah memintanya untuk segera makan. Karena sejak acara pemakaman Napta Diara belum memakan apa pun. Diara mengikuti Glagah menuju dapur. Lantai dua yang terdiri dari beberapa ruangan ini sangat besar bagi Diara yang biasa tinggal di flat kecil. Ada 4 kamar besar, ruang makan, dapur, bahkan ruang untuk bersantai. Saat dulu Napta ada Diara jarang naik ke lantai dua ini. Karena kegiatan Diara berpusat di lantai satu.
“Kita harus memastikan Gita mau bercerita nanti malam, tentang ketertarikannya terhadap lukisan Napta. Kalau yang ditulis Bulan itu benar,maka Gita tak tahu siapa Napta sebenarnya,” kata Glagah setelah mereka duduk di meja makan.
Diara mengangguk sambil menyuap nasi dan omelet yang Glagah buat.
“Makanlah, aku tidak sempat membeli bahan makanan, jadi hanya bisa memasak itu untuk hari ini,” kata Glagah.
“Ini sudah lebih dari cukup, terima kasih,” kata Diara.
“Tidak usah berterima kasih,” kata Glagah jengah.
Diara menghabiskan makanannya dan membereskan piring kotornya. Glagah sedang membuka laptopnya dan mencari artikel yang mungkin terlihat mencurigakan tentang Gita Sriwedari.
“Teh atau kopi?” tanya Diara.
“Kopi,” jawab Glagah.
Diara membuat dua cangkir kopi untuk mereka.
“Apa yang kamu temukan?” tanya Diara seraya menyesap cangkir kopinya.
Glagah memutar layar laptopnya menghadap Diara. Semua artikel hanya mengatakan bahwa Gita adalah anak emas yang pantas untuk menggantikan ayahnya mengurus bisnis. Disebutkan bahwa anak pertama Bintang Sriwedari hanyalah seniman yang tak tahu caranya berbisnis, di mana sekarang Bintang memilih untuk menetap di luar negeri. Diara ingat Bulan menulis kalau Bintang diusir oleh Gita ke luar negeri. Di artikel di sebutkan bahwa sang ayah memutuskan untuk menyerahkan tampuk kekuasaan pada Gita karena Bulan putri bungsunya menghilang. Padahal para pakar mengira Bulan yang akan menggantikan, karena Bulanlah yang paling menonjol dalam hal bisnis, semua wibawa dan tangan dingin Hardjo Sriwedari menurun pada Bulan. Tapi dengan hilangnya anak yang digadang-gadang akan membawa keberuntungan dalam kartel bisnis mereka, maka harapan satu-satunya hanya pada Gita.
“Apakah kamu merasa aneh sepertiku tentang penamaan mereka? Anak pertama Bintang, anak kedua Gita, sedang anak ketiga Bulan, bukankah aneh, seharusnya Bulan menjadi nama anak kedua kalau mereka ingin menamakan anak mereka berurutan dengan penamaan benda langit. Gita, sangat modern dan tidak cocok bersanding dengan nama keluarga mereka yang sangat Jawa,” papar Glagah membuat Diara berpikir, benar juga.
Lalu Glagah menekan artikel selanjutnya. Gita berada dalam kesulitan menghadapi taipan saingan yang lebih berpengalaman di dunia bisnis. Banyak proyek besar yang lolos dari tangan mereka, karena sepertinya Gita tidak bisa melihat peluangnya. Pada masa itu Hardjo yang sudah mengumumkan pengunduran dirinya kembali untuk memperbaiki keadaan, hingga kini sepertinya Gita hanyalah boneka dari sosok di belakangnya. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di acara sosialita, berpesta dan berpelesir ke penjuru dunia. Menghabiskan uang yang dihasilkan oleh bisnis ayahnya si meja judi.
“Wow, gaya hidup yang sangat mahal,” kata Diara sambil berdecak tak percaya.
“Ya begitulah,” Glagah menyesap kopinya.
“Bersiaplah, sudah jam 6 sore. Kenakan pakaian formal yang pantas untuk ini. Buat kesan yang membuat Gita tak menganggapmu remeh,” lanjut Glagah.
Diara berjalan menuju kamarnya. Baju formal, ah dia hanya memiliki beberapa gaun, itu pun karena dulu Napta membelikannya untuk ke pesta mendampingi Napta. Diara mematut dirinya di cermin. Sack dress berwarna merah dipadukannya dengan high heels hitam. Sepertinya dia harus membeli beberapa gaun dan sepatu lagi.
Glagah sudah siap di ruang tengah, memandang Diara dengan mata tak berkedip.
“Kenapa? Apa aku aneh?” tanya Diara.
“Ah, bukan, hanya saja kamu terlihat berbeda,”
“Ini namanya make up, mengubah manusia seketika menjadi bertopeng kepalsuan, memoles kesedihan menjadi senyuman, demi menampilkan yang terbaik,” kata Diara.
Mereka berdua mengendarai mobil Napta yang sekarang menjadi mobil Diara. Mercedes Benz keluaran terbaru, mobil listrik yang terkesan modern dan kokoh. Restoran yang mereka tuju berada di tengah kota. Restoran besar yang menyajikan makanan tradisional Jawa tapi dengan berandol harga bintang lima.
“Meja atas nama Gita Sriwedari,” kata Glagah kepada pelayan di pintu depan.
Seketika pelayan itu menghubungi temannya dan salah satu temannya keluar untuk membawa Diara dan Glagah ke ruangan tertutup di lantai dua ruangan ini.
“Nona Gita belum datang, silakan menunggu, sebentar lagi makanan akan segera disajikan,” kata pelayan itu lalu menutup pintu.
Diara mengedarkan pandang dan melihat interior ruangan yang luas ini ukiran kayu, meja dan kursi kayu yang berkesan tradisional memang menjadi ciri khas restoran ini. Diara hanya menggelengkan kepalanya membayangkan berapa harga seluruh bangunan ini.
“Apakah ini juga milik Hardjo Sriwedari?” tanya Diara.
“Iya, ini adalah restoran yang didirikan oleh Hardjo untuk istrinya, Nawang Wulan,” jawab Glagah.
Betapa besar cinta Hardjo hingga mendirikan restoran untuk istrinya yang memang dikenal suka memasak itu? Sayang Nawang Wulan meninggal karena sakit setelah restoran ini didirikan.
Gita datang bersama dengan datangnya makanan. Diara takjub dengan makanan yang datang, nasi uduk yang tersaji dengan sayur asem, ikan asin, sambal, dan lalapan. Es cao sebagai minumannya, dan agar-agar sebagai dessertnya. Diara berusaha terlihat biasa saja, makanan ini bahkan bisa didapatinya di kampung dengan harga yang sangat murah, di restoran ini harganya bisa 100 kali lipat.
“Silakan makan dulu, nanti kita bicarakan setelah mengisi perut,” kata Gita.
Glagah dan Diara memakan hidangan itu, soal rasa, memang rasanya sangat enak, pasti karena chef yang dipakai di sini adalah chef dengan keahlian yang sudah tak perlu diragukan lagi.
“Bagaimana? Makanan ini mengundang nostalgia akan kampung halaman kan?” tanya Gita membuat Glagah dan Diara mengangguk.
“Kami memang berusaha melestarikan makanan khas Indonesia yang sekarang tergerus oleh makanan dari luar, kami berusaha membuatnya seautentik mungkin dengan mendatangkan chef dan bahkan mengirim chef kami untuk belajar tentang kebudayaan ke daerah-daerah,” papar Gita.
Setelah menghabiskan makanan itu, mereka mulai berbincang tentang lukisan Napta.
“Maaf Nona, sebelumnya saya ingin bertanya bagaimana Nona tahu tentang Napta?” tanya Diara hati-hati.
“Pertanyaan bagus. Saat itu aku sedang mengikuti acara di Barcelona, acara tentang seni dan budaya, dan pada hari itu yang sedang di bahas adalah pelukis pemula yang berasal dari Indonesia, yang mereka katakan pelukis ini punya ciri khas yang akan membuat karyanya di buru. Aku penasaran, bagaimana mungkin Indonesia punya artis yang berpotensi seperti itu. Dan aku melihatnya, Napta Dwi Ludira, sungguh tampan dan berbakat, lukisan yang di buat sungguh bermakna, narasi yang selalu dia sertakan membuat lukisannya seperti hidup. Aku jatuh cinta padanya,” Gita terkekeh pelan.
“Maaf kalau kalian harus mendengar kisah percintaanku yang, yah, bisa dikatakan menyedihkan. Seorang putri pengusaha yang tak beruntung soal cinta,” lanjut Gita.
“Tidak apa-apa Nona, saya hanya terkejut saat Nona mengatakan ingin membeli semua karya Napta. Saya penasaran apa yang mendasari tindakan Nona,” kata Diara berusaha memancing Gita untuk bercerita lebih lanjut.
“Benar, aku tak rela sisa-sisa dari karya Napta jatuh ke tangan orang lain. Aku tak pernah bisa memiliki Napta, dia selalu menghindariku kalau aku sudah mulai menyatakan perasaanku. Katanya dia masih belum bisa merelakan kepergian kekasihnya. Ah, bukankah itu sangat menyebalkan? Tapi itulah Napta, dia tak pernah membalas semua perasaanku dan membiarkanku tersiksa karena sikapnya,” kata Gita seraya menghela nafasnya.
Bagaimana mungkin Napta menyukaimu kalau Napta tahu semua rahasia gelapmu, pikiran Diara dan Glagah menyatu.
“Bagaimana? Berapa penawaranmu terhadap semua lukisan Napta, ada berapa yang tersisa di sana?” tanya Gita.
“Masih ada sekitar lima puluh lukisan Nona. Per karya Nona tahu berapa harga yang selalu Napta tetapkan,” kata Gita.
“Hm … lima puluh dikali 500juta? Harga yang mahal untuk sebuah cinta bertepuk tangan ha? Ironis bukan?,” kata Gita membuat Diara bungkam.
“Kalau Nona bersedia, saya akan segera lakukan administrasinya dan legalitas jual belinya,” kata Diara disambut anggukan kepala Glagah.
“Lakukanlah, apakah pembayaran juga masih ke rekening yang sama?” tanya Gita disambut anggukan Diara.
“Baiklah, aku rasa sudah cukup pembicaraan kita. Semua administrasi bisa melalui sekretarisku dan kirim saja semua lukisan ke gudang penyimpanan kami. Alamat yang sama dengan transaksi terakhir,” kata Gita seraya bangkit dan meninggalkan Glagah dan Diara.
“Wow, itu bahkan nilai yang fantastis Di,” kata Glagah.
“Apakah itu semua berbentuk uang?” tanya Diara sarkastis tak bisa membayangkan nilai uang yang akan masuk ke rekening Napta.
“Hahahaha, sepertinya Gita tak tahu hubungan Napta dengan Bulan,” kata Glagah diiyakan oleh Diara.
Mereka lalu kembali ke gedung. Glagah menyiapkan semua dokumen yang harus dia kerjakan untuk legalitas jual beli lukisan Napta. Diara membantunya dan menyiapkan semua lukisan itu untuk siap diangkut. Dengan pelan-pelan Diara menyatukan semua lukisan itu. Saat Diara sedang mengangkat lukisan yang berjudul Angkara dari dinding, sebuah amplop coklat terjatuh. Amplop yang berukir huruf Jawa, huruf yang sama dengan yang ada di sampul buku harian Bulan.
ꦤꦮꦁ¹ huruf Jawa yang tercetak di sampul amplop dan sampul buku yang Diara temukan. Diara tak tahu artinya, sepertinya itu adalah nama seseorang atau apa. Diara meninggalkan lukisan itu dan segera menghampiri Glagah untuk menunjukkan temuannya.“Ada apa?” tanya Glagah.Diara menunjukkan amplop coklat itu.“Kamu tahu artinya?” tanya Diara.Glagah menerima amplop itu dan membaca aksara jawa yang tertera di sana.“Na-wa-ng, Nawang,” kata Glagah setelah berpikir sekian detik.“Nawang? Kamu bisa membaca aksara Jawa?” tanya Diara penasaran.“Hm … ya, Nenekku selalu menyuruhku untuk menulis surat padanya dengan aksara Jawa. Dia tidak ingin aku melupakan warisan leluhur. Dia tidak ingin aku seperti anak muda jaman sekarang yang tidak tahu budaya leluhurnya,” kata Glagah membuat Diara terpana.“Wow, aku jadi pengen kenal Nenekmu,” kata Diara tanpa sadar.“Lupakan. Di mana kamu menemukan ini?” tanya Glagah mengalihkan pembicaraan.
Prana Jiwoꦥꦿꦤꦗꦶꦮꦺꦴ¹Seseorang memperhatikan Diara dan Glagah dari kejauhan. Dia menghembuskan nafasnya berat, seolah ada beban yang tersemat. Lalu dia pergi sambil menelepon orang lain.[Kalian di mana, aku sudah menyuruh orang untuk mengambil lukisanku. Dan kalian ikutlah ke gudang, aku akan menunjukkan koleksiku,] pesan Gita di ponsel Diara.Glagah dan Diara bergegas kembali ke gedung. Setibanya mereka di sana, sudah menunggu beberapa orang dari ekspedisi yang bertugas untuk mengambil lukisan. Diara membuka pintu depan dan mempersilakan orang-orang itu mengambil lukisan. Setelah Glagah mengambil surat legalitas dan sertifikat jual beli, mereka mengikuti truk ekspedisi ke gudang penyimpanan Hardjo Company.Gedung yang sangat luas itu hanya berlantai satu. Glagah dan Diara mengikuti orang-orang itu. Gita sudah menunggu mereka di pintu. Sambil tersenyum bangga Gita mengajak Glagah dan Diara masuk dan melihat isi dari gudang itu. Diara harus menaha
Glagah memacu mobilnya ke arah yang ditunjukkan oleh peta digital di dashboard mobil. Jl. Tawangmangu. Entah apa yang akan mereka temukan di sana, itu hanya satu-satunya petunjuk untuk mengetahui ada apa ini sebenarnya. Mobil Glagah memasuki jalan kecil, dan buntu, tapi benar jalan itu berpelang Tawangmangu. Jalan itu menuju ke sebuah gerbang rumah yang berdiri kokoh. Gerbang dari kayu yang sangat tebal dan tinggi. Mereka turun dari mobil dan melihat ke sekeliling yang rimbun dengan pepohonan.Tiba-tiba pintu terbuka, orang yang membawa pesan tadi keluar dan memberi isyarat kepada Glagah dan Diara untuk masuk, membawa mobil mereka. Begitu memasuki gerbang, sebuah rumah joglo lengkap dengan pendapa, dan beberapa bangunan kecil di samping menyamping rumah inti.“Ini rumah siapa?” tanya Diara penasaran.“Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya dia tahu tentang semua ini,” kata Glagah.“Silakan menunggu di pendapa, Tuan Karya akan segera keluar,” kata orang yang
Gita sedang menghubungi seseorang. Tampak raut wajahnya gelisah. Bagaimana kebetulan ini bisa terjadi. Hah, tato ini menjadi sumber masalahnya. Tapi Ibunya bahkan tidak mau Gita menghapus tato itu. Katanya tato itu akan mengukuhkan kekuatan yang selama ini tak ter bayangkan olehnya. Orang di seberang saluran telepon berusaha meyakinkan dia, bahwa Glagah bukanlah ancaman. Tapi tetap harus dihilangkan untuk kemungkinan yang tidak diketahui nantinya. Gita tahu dia bukan anak Hardjo Sriwedari dan Nawang Wulan. Dia adalah anak dari kesalahan Hardjo yang akhirnya membuat keluarga bahagia Hardjo berada dalam kehancuran. Gita yang tahu tentang kenyataan ini 10 tahun lalu semakin liar dengan kedatangan seorang yang mengaku kalau dia adalah Ibu biologis Gita. Perempuan bernama Wita itu bahkan mengatakan tato yang hanya dia dan keluarganya yang tahu. Gita yang saat itu tak peduli dengan keberadaan tato di tubuhnya mengabaikan semua kemungkinan. Lalu saat perempuan itu masuk ke rumah ini dan mu
Pesawat Glagah dan Diara bertolak dari Bandara Soekarno Hatta tepat jam 7 malam. Perjalanan yang akan memakan waktu 18 jam itu membuat Diara cemas. Dia belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Glagah yang tahu kecemasan Diara mencoba menenangkan.“Kenapa kamu tidak jujur padaku tentang keluargamu?” selidik Diara mencoba untuk mengatasi kecemasannya.“Kan sudah aku bilang tadi, kami harus berada dalam anonimitas. Dan juga sekarang bukan aku yang memegang peranan penting itu. Ayah bahkan tidak memberitahuku siapa. Aku hanya boleh tahu bahwa aku bagian dari mereka. Profesiku sebagai pengacara bisa membantu mereka,” papar Glagah sambil menghela nafasnya.“Sepertinya Laut yang memegang peranan itu sekarang, kalau dilihat dari gelagat dia yang tahu semuanya,” Diara mencoba menebak.“Bisa jadi. Karena setahuku memang hanya keluarga inti yang bisa menjadi penerus. Selama ini aku berpikir Ayah yang mener
Glagah melajukan mobilnya ke jalan raya Sommebakken untuk mencari pintu masuk ke Tanargevegen. Pemandangan pertanian nan hijau terhampar sepanjang jalan. Membuat Diara sejenak melupakan tentang tujuan mereka berada di sini. Perjalanan darat yang menyenangkan. Diara yang baru pertama kali ke luar negeri sungguh menikmati perjalanannya. Saat mobil mereka melintasi Snode, terlihat laut yang biru di sebelah kiri mereka.“Itu laut!” teriak Diara kegirangan.“Maaf, aku baru pertama kali ke luar negeri,” kata Diara canggung menyadari kekonyolannya.“Hahahaha, tidak apa-apa. Mulai sekarang biasakanlah, mungkin dengan uang yang kamu pegang sekarang kamu akan mulai berkeliling dunia setelah masalah ini selesai,” kata Glagah membuat Diara berpikir.“Benar juga, aku kan sekarang punya uang,” batin Diara senang, dia bertekad untuk berkeliling dunia setelah masalah ini selesai.Perjalanan mereka akhirnya tiba di al
Pagi itu Diara bangun dengan perut lapar seperti biasa. Dia mencium harum omelet dari dapur. Glagah pasti sudah membuat sarapan untuk mereka. Diara mondar-mandir di kamar antar keluar atau tidak. Setelah berulang kali berpikir akhirnya dia menyerah pada rasa lapar dan melupakan jengah yang dirasakannya.Glagah melihat Diara keluar kamar dengan piyama.“Makanlah, aku sudah membuat omelet. Sisa mashed potato kemarin masih bisa aku panaskan,” kata Glagah sambil menuang susu ke dalam gelas di depan Diara.“Sepertinya, aku harus terbiasa dengan menu ini selama kita di sini.” Diara ingin protes karena merindukan nasi.“Jangan merajuk. Wajahmu sangat lucu saat kamu merajuk,” kata Glagah. Lalu seketika menyesal mengucapkannya karena wajah Diara bersemu merah.“Kamu, bisakah tidak membuatku selalu jengah,” pinta Diara sambil menunduk dan memakan makanannya.&ldq
Bintang membaca buku harian Bulan semalaman suntuk. Dia menyadari ternyata adiknya itu harus berjuang sendirian. Bintang merasa egois sudah meninggalkan Bulan. Bahkan kini menyesal tidak bisa melihat kepergian Bulan, ah tidak, seharunya dia menyelamatkan Bulan. Bintang bahkan tidak bisa memejamkan matanya. Dia tidak menyangka Gita bertindak sekeji itu. Benar kata Mamanya sebelum meninggal. Bahwa Gita akan membuat keluarga Hardjo hancur lebur. Bintang bergegas membuka nakas di meja kerjanya. Mengambil surat dari Mamanya. Dia membacanya berulang-ulang. Lalu dia menemukan arti dari surat yang sudah lama dia simpan itu. Sekarang tekadnya sudah bulat. Dia akan membalaskan kematian Bulan. Lalu merebut kembali Hardjo Company. Bintang yang selama ini dikenal lemah, akan menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya. Pintu rumah di ketuk saat Glagah membuat sarapan. Diara yang sedang melihat Glagah buru-buru membukakan pintu. Seketika tubuhnya membeku melihat siapa yang ada
Glagah tiba di kepolisian pagi itu, bersama Diara, karena dia menolak ke kantor Bintang terlebih dahulu bersama Bintang.Kantor kepolisian sedang kisruh saat Glagah masuk. Lalu seseorang memanggilnya cepat.“Ada apa?” tanya Glagah penasaran karena para polisi tampak gelisah.“Wita, dia …,” polisi itu tak melanjutkan kalimatnya tapi langsung membawa Glagah ke sel di mana Wita berada.Pemandangan yang mengejutkan membuat Diara menyembunyikan dirinya di balik punggung Glagah.Wita menggantung dirinya di teralis jendela sel dengan selimut penjara. Posisinya setengah terduduk, karena jendela itu tidaklah tinggi. Kemungkinan Wita mengikat selimut ke lehernya dan menarik tubuhnya ke bawah sehingga ikatan itu mengencang dan membunuhnya.Glagah segera menekan nomor telepon Bintang. Kepolisian masih menunggu tin forensik.“Mas, sebaiknya kamu ke sini,” kata Glagah tanpa menjelaskan apa ya
“Aku mau bertemu Gita,” kata Ratih membuat semuanya kaget.Bagaimanapun juga Gita adalah cucunya. Anak itu pasti lebih menderita karena mengetahui semuanya sekarang.“Bawa aku menemuinya,” kata Ratih melihat tak ada yang mau bergerak.“Baik, aku ambilkan kursi roda saja, biar Ibu tidak capek ya,” Darma membujuk.Kemudian Glagah keluar ruangan untuk meminjam kursi roda di nurse station.“Anak itu masih bisa diselamatkan kalau saja kita tidak abai dengan pergerakan Wita,” sesal Ratih.Gita yang melihat perempuan tua itu masuk ke ruang inapnya bergidik ketakutan.Sari mendekat dan menenangkannya.“Tidak apa-apa Nduk, itu Nenekmu,” kata Sari tahu Gita ketakutan.Ratih meraih tangan Gita dan meremasnya lembut.“Maafkan Nenek terlambat untuk menyelamatkanmu ya Nduk. Nenek akan memberimu dukungan dengan hukumanmu nanti,” kata Ratih bergetar.
Glagah bergegas ke ruang di mana keluarganya beristirahat. Dia sangat merindukan mereka.“Nenek,” kata Glagah menghambur ke pelukan Neneknya.“Sudah besar, masih saja manja sama Nenek,” kata Ratih seraya memeluk Glagah erat.Diara yang melihat hal itu tersenyum.Kemudian Glagah bergantian memeluk Ayah dan Ibunya.“Kamu sehat kan?” tanya Sari sambil memegang pipi anaknya itu.“Sehat Bu,” Glagah memegang tangan Sari erat.“Ehem ..., sepertinya ada yang harus diungkapkan ini,” kata Darma sambil menatap Diara yang mematung di samping pintu.“Ah, iya lupa,” Glagah kemudian menarik Diara untuk mendekat.“Kenalkan ini Diara,” kata Glagah.Diara menyalami mereka semua.“Diara, Om, Tante, Nenek,” kata Diara.“Calon mantu Ibu?” selidik Sari.Glagah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Diara hanya m
Ratih, Darma dan Sari memulai perjalanan mereka ke Jakarta dengan jalan darat. Lewat tol maka perjalanan bisa dipercepat.“Ibu yakin Wita akan muncul?” tanya Darma sambil melirik Ratih yang diam di sampingnya.“Harus, dia harus muncul untuk mengakhiri kegilaannya. Sudah cukup masalah yang dia buat,” kata Ratih sambil menatap ke luar jendela.Hatinya berdenyut hebat, perih, mengingat anak perempuannya sudah terlalu jauh melangkah. Ini adalah satu-satunya jalan yang bisa dilakukan agar Wita mau berhenti mengejar ambisinya.“Ibu jangan banyak pikiran,” kata Darma sambil memegang tangan keriput Ratih. Tangan itu yang selalu membuatnya tegar. Karena tangan itu yang terus memastikan trah Prana Jiwo selalu bisa diandalkan.“Ibu hanya takut kalau Ibu mati dan Wita masih belum bertobat. Pertanggung jawaban Ibu di akhirat akan sangat berat,” kata Ratih dengan mata mulai mengembun.“Ibu ngomong apa
Glagah menghampiri Anton di ruang kerjanya.“Bagaimana?” tanya Glagah membuat Anton terkejut.“Kamu kenapa ke sini?”“Mas Bintang yang menyuruhku,” jelas Glagah membuat Anton menghela nafasnya.Anton kemudian menyerahkan flashdisk kepada Glagah.“Sungguh, keluarga ini diluar imajinasiku,” kata Anton membuat Glagah penasaran.“Kenapa?”“Gita bukan anak Hardjo dengan Nawang. Bukti bahwa Nawang di racun dan meninggalkan bukan karena sakit semuanya ada di sana,” kata Anton membuat Glagah membulatkan matanya.“Jaga dirimu. Aku akan memastikan keamananmu terjamin,” kata Glagah menepuk pundak Anton.“Bisa minta tolong tanyakan pada Mas Bintang untuk menaikkan gajiku?” kelakar Anton membuat Glagah mengacungkan jempolnya.Wita berlari tanpa arah, dia harus meninggalkan kawasan kantor untuk menghindari pencarian. Kemudia
Gita sedang mondar-mandir di kamarnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Semuanya kacau. Dia bahkan belum bisa menerima bahwa Napta adalah kakaknya. Laki-laki yang dia cintai itu adalah kakaknya beda Ayah.“Kamu itu hanya anak yang bisa kukendalikan untuk mencapai kekuasaan,” ucapan Wita beberapa hari yang lalu kembali terngiang di telinganya.Jadi selama ini melakukan semua pekerjaan kotor hanya untuk ambisi Wita.“Mbak Gita itu baik, lembut, harusnya Mbak Gita gak kaya gini,” kata Bulan kala itu.Gita jatuh ke lantai tergugu. Kini dia menyesali semuanya.[Aku ingin bertemu.] Pesan Gita di ponsel Diara.Seketika Diara bangun dari tidurnya dan berlari ke kamar Glagah. Ini masih tengah malam. Diketuknya pintu kamar Glagah tak sabar.“Ada apa?” tanya Glagah setelah membuka pintu.“Ini,” kata Diara seraya mengangsurkan ponselnya ke wajah Glagah.Glagah mengucek matanya. Men
Media kini sedang berfokus pada Hardjo yang sudah lama tak menampakkan diri dengan alasan kesehatan. Sebenarnya banyak orang yang mengira bahwa Hardjo sengaja disembunyikan oleh Gita.Pagi ini, saat Glagah dan Diara bertolak ke Sumatera Barat, media sedang menyorot Bintang yang mengunjungi Papanya untuk pertama kali setelah sekian lama. Laut sengaja hanya meminta media terbesar yang mendapatkan hak eksklusif untuk mengikuti Bintang. Media lain diharapkan untuk menunggu di luar.“Pa, aku pulang, maaf terlambat untuk menyelamatkanmu dan Bulan. Aku yang akan menuntut balas hilangnya Bulan selama ini,” kata Bintang seraya menggenggam tangan Hardjo yang hanya bisa menitikkan air matanya.Kesehatannya benar-benar berada dititik nadir.“Saya akan menjelaskan kondisi dari Tuan Hardjo,” kata dokter membuat Bintang mengikuti keluar.“Jadi begini Mas, Tuan Hardjo mengalami kelumpuhan akibat penggunaan anti drepesan
“Saga? Bukankah itu merujuk pada warna?” Glagah menatap Diara.“Aku tak tahu, aku hanya tak pernah melihat lukisan itu,” kata Diara saat berkas itu menampilkan lukisan yang dominan warna jingga dan semburat emas.“Mungkin Napta menjualnya sebelum kamu menjadi sekretarisnya,” kata Glagah masuk akal.Bintang dan Laut ikut mendekat, melihat lebih jelas.“Coba lihat di mana lukisan itu sekarang,” kata Laut sambil mengingat sesuatu.Glagah menskrol kursos ke bagian bawah berkas.“Museum Tan Malaka, Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat,” baca Glagah.“Itu kan museum peninggalan Tan Malaka, dulu museum itu tidak terurus, pemerintah setempat sepertinya abai terhadap museum itu,” kata Diara.“Pada masa Ayah masih menjadi Menteri Budaya, aku pernah ke sana, itulah kenapa aku seperti pernah melihat lukisan itu,” kata Laut.
Perjalanan Surabaya-Jakarta lewat jalan tol, berjalan tanpa hambatan. Para pengikut Laut sudah memastikan jalur steril dari orang-orang Gita yang tidak tahu tentang keikutsertaan Laut dalam hal ini. Mereka menggunakan media untuk memancing fokus lawan di bandara Jakarta.“Kalian pasti lelah dengan perjalanan nonstop,” sambut Laut melihat wajah lelah Bintang, Glagah dan Diara.“Aku tak menyangka Indonesia berkembang sepesat ini,” kata Bintang.“Kamu terlalu lama menutup diri tentang Indonesia, sampai kamu lupa akan kami,” sindir Laut membuat Bintang tersenyum kecut.Diara sudah tak mampu menimpali obrolan mereka.“Oh ini yang kamu bilang sepasang kekasih itu?” ledek Laut membuat Glagah memutar bola matanya kesal.Laut tertawa melihat reaksi Glagah dan Diara yang salah tingkah.“Mereka pasangan serasi, cantik dan gagah. Ngomongin pasangan, kamu kapan akan menikah?” tanya Bintan