"Hei, Bangun! Sudah sampai ini." Lamat-lamat terdengar suara. Tubuhku ada yang menggoncang-goncang. Aku terbangun, ah sepertinya aku tertidur diatas motor. "Bangun, sudah sampai," kata lelaki itu. Kubuka mata sepenuhnya, aku sudah sampai di depan posko cowok. Segera aku turun dari motor. lelaki itu segera memutar balik kendaraannya, langsung tancap gas melaju membelah jalanan. "Hei ...," panggilku melambai ke arahnya. "Yah ... main pergi saja, aku belum bilang terima kasih. Belum tahu namanya siapa? Ah, sudahlah ... siapapun dirimu terima kasih banyak, ya," kataku sambil menatap titik hingga lelaki itu menghilang dari pandangan. Dengan gontai aku berjalan masuk ke dalam posko. "Assalamualaikum," ucapku Ah ... sepertinya posko sepi, apakah orang-orang belum pulang? "Walaikumsalam." Terdengar jawaban dari ruang tengah, itu suara mbak Zarima. Segera aku menuju ruang tengah, kulihat mbak Zarima sedang rebahan sambil membaca majalah, di sampingnya dedek Zidan tengah tertidur den
"Hei, Bangun! Sudah sampai ini."Lamat-lamat terdengar suara. Tubuhku ada yang menggoncang-goncang. Aku terbangun, ah sepertinya aku tertidur diatas motor."Bangun, sudah sampai," kata lelaki itu.Kubuka mata sepenuhnya, aku sudah sampai di depan posko cowok.Segera aku turun dari motor. lelaki itu segera memutar balik kendaraannya, langsung tancap gas melaju membelah jalanan."Hei ...," panggilku melambai ke arahnya."Yah ... main pergi saja, aku belum bilang terima kasih. Belum tahu namanya siapa? Ah, sudahlah ... siapapun dirimu terima kasih banyak, ya," kataku sambil menatap titik hingga lelaki itu menghilang dari pandangan.Dengan gontai aku berjalan masuk ke dalam posko."Assalamualaikum," ucapkuAh ... sepertinya posko sepi, apakah orang-orang belum pulang?"Walaikumsalam."Terdengar jawaban dari ruang tengah, itu suara mbak Zarima.Segera aku menuju ruang tengah, kulihat mbak Zarima sedang rebahan sambil membaca majalah, di sampingnya dedek Zidan tengah tertidur dengan pulasny
Gina tampak cantik sekali dengan balutan kebaya panjang, kain borkatnya sampai kelantai seperti selayer. Jilbab putih lebar berhiaskan manik-manik keemasan sangat serasi dipadukan baju kebaya putih dan rok batik lebar, mengembang. Sangat cantik dan elegan. Rasyid mengenakan jas hitam dan celana hitam senada. Lapisan dalam memakai kemeja putih lengan panjang dan dasi kupu-kupu. Sangat berkelas sekali, memang dasarnya anaknya gagah, dipakein baju keren ya tambah gagah. Rasyid tersenyum ke arah kami. Tapi ... ya ampun, senyum tipis yang cool itu bukan milik Rasyid, kenapa tiba-tiba si pemilik wajah rupawan itu ada di hadapanku, aku tercekat, bengong seperti orang tolol. "Lihat Rasyid gak pake ngagap gitu juga kali, ntar kemasukan laler tu mulut," kata Sarah sambil kedua tangannya menangkupkan mulutku. Ufh, aku terkejut ... kutepis tangan Sarah yang masih berada di mulutku. Ah, di mana wajah rupawan itu perginya? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri mencarinya. Kenapa dia tadi memakai
Lamat-lamat ku dengar suara laki-laki sedang berbincang, heboh sekali sampai tertawa-tawa. Kubuka mataku, oh dimana ini? Kenapa tanganku terikat di belakang? Mulutku juga di tutup pakai kain. Aku berada di sebuah pondok bambu, di depanku terdapat tiga orang lelaki yang tengah menyalakan api unggun. Suara keretek api unggun membuatku tidak bisa mendengar apa yang tengah mereka bicarakan. Aku mencoba bangkit, berusaha akan kabur. Namun, owww aku terjatuh, rupanya kakiku juga diikat. Suara gedebug, membuat mereka menoleh kearahku, mata mereka menyalang, aku tidak tahu harus berbuat apa, badanku menggigil ketakutan, apa yang akan mereka perbuat?"Woi ... sudah bangun rupanya?" tanya seorang lelaki menghampiriku dan diikuti kedua temannya. Aku terjatuh dalam posisi terngkurap, badanku tidak bisa digerakkan akibat ikatan ini."Lepaskan ikatan kakinya, Bujang!" ucap salah seorang diantara mereka."Ai, nanti kabor pulak," kata pria yang dipanggil Bujang."Kau kasih obatlah biar pingsang," k
Sebelum Aswan mendekat kearah my Hero, dia mengambil sesuatu dari balik baju jaketnya, dilemparnya sesuatu itu kearah my Hero, asap pekat kehijaun menyebar dari benda itu."Bagus, Aswan! Racuni dia, buat dia mampus sekalian!" kata Bos Tabri berteriak sambil terkekeh-kekeh.What?? Racun??Aku bergidik ngeri, setelah mendengar racun, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Terbayang perkataan Pakdo Marlin tentang racun bercampur magis desa Manau. Terbayang pula perkataan Kiyai Amran tentang racun Sriti yang dimiliki leluhur Aswan. Aku benar-benar takut, kupejamkan mata, aku tidak mampu menyaksikan apa yang bakal terjadi."Aaarggghh," terdengar sebuah teriakan.Aku bertambah memejamkan mata, jika tanganku tidak terikat mungkin aku juga menutup telinga ini."Siapa, kau?" tanya sebuah suara, itu seperti suara Aswan. Kubuka sedikit mata, mencoba mengintip apa yang terjadi.What? Aku membuka mata ini penuh, terkesima, pemandangan di depan sungguh tidak aku duga, my Hero sudah memi
🎵🎼🎵🎶🎼🎸🎤🎼🎵🎶Trauma akibat penculikan itu tidaklah berlarut-larut. Aku mampu melakukan trauma healing dibantu teman-teman yang tidak pernah meninggalkan aku sendirian. Mereka kwatir komplotan Bos Tabri akan mencelakaiku lagi. Bahkan beberapa anak lelaki dikomandoi Bang Joseph sudah menyatroni rumah Aswan, namun sayang Aswan kini bak ditelan bumi, orangtuanya pun tak tahu di mana rimbanya.Mimpi-mimpi penculikan mengerikan itu tidak pernah datang lagi. Berkat pertolongan lelaki misterius itu, aku merasa percaya diri dan tidak ketakutan lagi, namun ... ah, namun bayangan lelaki itu makin lekat di kepalaku, tidak bisa pergi ... semakin kulupakan, bayangannya semakin jelas, ada di mana-mana. Sepertinya aku sudah gila, kadang wajah-wajah yang kutemui berubah menjadi wajahnya menyatapku dengan senyum tipisnya yang cool itu. Akupun jadi sering tersenyum sendirian, atau menatap seseorang dengan pandangan aneh, kata teman-temanku.Oh, ya Allah ... gejala apa ini? Jika di kampung ini a
Hari minggu terakhir di desa ini. Minggu depan kami sudah meninggalkan lokasi. Hari minggu pagi aku habiskan menyusuri pasar kalangan, bersilaturahim dengan para pedagang pasar dan memberikan mereka kenang-kenangan, sebuah stiker yang kubuat bertuliskan KUD Harapan Jaya, di bawah stiker tertulis by KKN desa Manau. Rani dan Widya ikut denganku, sedangkan anak-anak yang lain akan memasang plang nama jalan, nama gang, plang nama RT, RW dan pengurus desa lainnya. Sedangkan Plang KUD yang masih bermarkas di salah satu ruangan kantor desa sudah dipasang kemaren.Alhamdulillah uang beasiswa dari Astra Indonesia sudah cair jumat kemaren, sebesar satu juta rupiah, kusuruh Rani mengambilnya di ATM waktu pergi ke kota kabupaten kemarin sebesar lima ratus ribu, sisanya untuk bayar SPP semester depan sebesar 450 ribu rupiah.Uang lima ratus ribu itu rencana untuk membeli baju kenang-kenangan untuk Rofita, Atikah, Aida dan nyai Rudiyah. Kami menjelajah los baju-baju. Akhirnya aku dapat kaos oblon
"Apa kabar, Lidia?" tanya lelaki itu, senyuman dan tatapan itu ... uh, membuatku meleleh ..."Baik. Nggg, kok tahu namaku Lidia?" tanyaku tak lepas memandangnya sambil tersenyum malu-malu."Itu ... barusan temanmu memanggilmu Lidia" Dagunya mengarah pada rombongan Widya."Oh ... kenalkan, namaku Lidia Khairunnisa. Hmm, dirimu siapa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan. Pria di hadapanku tersenyum lebar. Disambut jabat tanganku dengan erat dan hangat."Aku Bayu ... Bayu Arya," ujar pria itu, senyumnya masih terus menghiasi wajah tampannya. Oh, namanya Bayu Arya, nama Arya mengingatkan aku akan pendekar di drama kolosal Tutur Tinular, Arya Kamandanu. Yah ... jagoannya sama sih dengan Arya Kamandanu.Aku melepaskan jabat erat tangannya, takut terbawa suasana. Padahal uuh, berat sekali melepasnya."Oo, namanya Bayu?" Dia mengangguk, senyum itu oh ... tidak juga lekang, aku benar-benar meleleh sekarang. Tidak akan kulepaskan dirimu, tampan."Baiklah ... aku akan memanggilmu Mas Bayu ya