"Boleh nanya gak?" tanyaku."Tanya aja.""Ini, kenapa photo Rasyid banyak banget ya di kameramu? Jangan-jangan kamu suka ya sama dia?""Ah, Lidia ini ...." Bukannya menjawab, dia malah mencubitku manja."Iya, suka ya sama Rasyid?" Dia mengangguk pelan malu-malu."Sstt, jangan kuat-kuat ngomongnya, aku malu," katanya sambil menempelkan jari telunjuk kebibirnya."Ai, ngapain malu, itu Widya terang-terangan suka sama Bang Joseph gak malu." Aku berusaha berbicara normal walau hati rasanya mencelot. Ah, gini rasanya cowok yang kita taksir, ditaksir juga oleh temen kita. Sekarang aku tahu rasanya di posisi Rani dan Widya. "Rasyid itu tipe aku banget. Papaku pasti suka punya menantu seperti dia." Alamak, dia tipeku juga, marimar! Mana sudah ngomongin jadi mantu? Aku aja berpikir kalau Rasyid menyukaiku saja sudah untung."Ngapa kau tidak mengakui perasaanmu sama dia?" tanyaku. Yah, masih pura-pura tegar. Ya Allah, aku tahu bagaimana perasaan para istri yang suaminya di rebut pelakor ka
Proker ekonomi masyarakat Alhamdulillah lancar jaya. Masyarakat pedagang pasar menyambut antusias dibentuknya koperasi unit desa(KUD) yang bergerak di bidang simpan pinjam dan permodalan. Di dukung oleh dinas koperasi dan usaha kecil, KUD mendapatkan suntikan dana awal 20 juta rupiah. Pengurus sudah di bentuk, tinggal dilatih manajemen dan pembukuan. Ternyata bukan hanya pedagang saja yang mendaftar jadi anggota namun para petani juga tertarik bergabung, rata-rata mereka ingin lepas dari jeratan lintah darat yang menghisap hidup mereka dengan riba yang tak terkendali. Yah, tidak di pungkiri semua ini berkat Bang Ikhram yang memberi chanel di lembaga pemerintah, juga dukungan penuh pemerintah desa dan kecamatan. Setelah acara aku, Rani, Ilham, Gina dan Amir mampir ke warung bakso yang kami kunjungi bersama Dokter Idhar. Ngomong-ngomong tentang dokter Idhar, sudah hampir satu minggu aku tidak bertemu dengannya. Mungkin karena dia mendengar aku sudah sembuh makanya dia tidak perlu meng
"Oya, Kania ini baru lulus dari UGM ambil jurusan yang sama dengan Idhar, Kedokteran. Bedanya Idhar lulusan Unand," kata ibunya dokter Idhar. Wow, maksudnya apa toh bu? Mau pamer calon mantunya? Haddeehh auto panas nih kuping. Kucubit lagi Rani agar lekas mengakhiri percakapan yang menyiksa ini. "Oiya bu, kalau gitu kami pamit dulu, besok saja kami datang kalau Dokter Idhar ada di Puskesmas," kata Rani sambil menyalami Ibu Dokter Ilham buru-buru agar percakapan bisa di-stop. "Assalamualaikum ...," kata kami berbarengan dan buru-buru pergi, jawaban salam dari Ibu Dokter Idhar sampai tidak kami hiraukan. "Gila, ya! Ternyata Dokter Idhar sudah punya calon istri. Apa coba maksudnya ngedeketin kamu Lid?" kata Rani agak emosi setelah kami sampai di halaman depan Puskesmas. Kami berhenti di pinggir jalan utama berusaha mencari tumpangan. "Ya, nggak tahu juga, mungkin kita yang salah paham, sebenarnya dia cuma mau temenan doang." Aku menenangkan diri, padahal ... huh! Kesal banget, se
Sepanjang jalan pulang, aku hanya diam saja tak bersuara. Beberapa kali Rani berdehem dan menghela napas berat, sepertinya dia ingin bertanya apa yang tadi kami bicarakan, aku hanya menoleh sekilas padanya. Entahlah, aku jadi merasa bersalah pada Dokter Idhar. Aku tahu dia jujur jika dia dijodohkan dan menentangnya. Aku justru senang dia dijodohkan, jadi ada alasan untuk menolak perasaannya. Ah, jahat gak sih aku, nih? "Lidia, gimana kunjungannya ke rumah Dokter Idhar? Sudah jadian belum?" seru Amir setelah aku sampai posko. Sontak perkataan Amir dengan suara keras menyita perhatian semua orang, mereka pada kepo dengan masalah ini. Aku tidak menanggapi perkataan Amir langsung ngeloyor ke posko cewek, selintas kuperhatikan Rasyid sedang asyik menggergaji papan untuk plang nama. Rani tidak mengikutiku ke posko cewek, dia beralasan masih ada yang harus dikerjakan. Hais, emangnya aku percaya? Pasti dia akan bergosip masalah tadi dengan pria-pria kepo itu. Sesampainya di posko cewek ak
Jam delapan malam, suasana posko ramai lagi dikunjungi muda-mudi. Mereka duduk-duduk di bangku panjang halaman posko bercengkrama dengan asyik. Tak terasa sudah sebulan setengah kami berada di lokasi, tinggal sebulan setengah lagi kami di sini. Aku masih di depan komputer membuat laporan proker yang sudah di -eksekusi. Mata rasanya ngantuk berat, maka pergi ke dapur untuk membuat kopi. Ternyata di dapur ada Rasyid sedang mengambil minum di dispenser, aku hanya berdiri menunggu dia selesai. "Nih," katanya mengulurkan cangkir mug padaku. "Apa, ini?" tanyaku. Tetapi dia tidak menjawab malah langsung pergi. Hmm, ternyata secangkir kopi cappucino, aromanya sedap sekali. Masih panas, oh ... dari tadi dia di dapur menyeduh kopi? Apa dia sengaja membuat kopi untukku? Ku kejar dia sampai ke ruang tamu. "Rasyid, tumben kau buat kopi untukku?" tanyaku setelah bertemu dengannya. "Ah, itu ... sebenarnya aku buat untuk aku, cuma aku lupa kalau harus tidur cepat. Ya, kukasih kamu aja biar tida
Aku meringkuk dalam selimut, udara pagi buta ini terasa dingin sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Azdan subuh lamat-lamat terdengar, dengan malas aku bangkit untuk mengambil air wudhu. Salat subuh dulu, ah. Sudah itu baru tidur lagi. Sepertinya anak-anak belum ada yang bangun. Kulangkahkan kaki dengan gontai ke kamar mandi. Cekrek. Aku terkejut ! Mendengar pintu ruang tamu dibuka seseorang. Aku berputar badan, kulongok dari dalam, siapa yang subuh-subuh membuka pintu. Ha? Gina, mau ngapain tu anak keluar rumah subuh-subuh? Dengan sedikit berjingkat seperti takut ketahuan orang, Gina akan menyelinap keluar secara diam-diam rupanya. "Mau ke mana Gin?" tegurku sambil berjalan ke arahnya. Dia nampak gugup, ekspresinya seperti tertangkap basah melakukan perbuatan yang tidak baik. "Bukan urusanmu!" Aku terkejut dengan perkataannya yang ketus, biasanya Gina selalu bicara lemah lembut, aku juga tidak ada masalah dengannya, kenapa dia seperti itu? Gadis itu berusaha menghin
"Her ... kau lihat Aswan dak?" tanya Rasyid, sepertinya anak ini tidak ngos-ngosan. "Sudah dua hari aku tak tampak dia, Bang," jawabnya "Kalau tidak, tahu dak kau, di mana biasanya Aswan nongkrong?" tanyaku setelah menguasai napas. Bersamaan dengan itu, teman-teman yang lain berdatangan. "Maksudnya? Nongkrong?" tanyanya sambil mengernyitkan kening. "Iya ...," jawab kami serentak. "Biasanya ...." Heru menjeda ucapannya sambil berpikir."Iya, biasanya di mana?" tanyaku tidak sabaran "Kalau nongkrong biasanya di sungai, Kak, kalau nggak di WC," jawabnya polos, apa bloon? "Yeiii!" kami berteriak serentak. "Bukan nongkrong karena boker Heru ... nongkrong tempat main, tempat santai atau tempat kumpul-kumpul sama teman," kata Dedi dengan nada geram "Oh ... Bang Aswan temannya tidak banyak, cuma Aku sama Najib. Tapi dia suka pergi ke sawahnya, bahkan kadang bermalam di sawah, tidur di pondok," kata Heru "Ya, sudah. Kita bagi tugas saja, Rasyid kau pergi ke sawahnya. Aku mencari N
Setelah salat dhuha dan salat taubat, aku duduk di sebelah Gina yang masih belum sadarkan diri. Kuhapus bekas darah yang mengering di wajahnya dengan kain basah. Rasyid duduk di hadapanku, dia sudah mandi dan mengganti pakaiannya yang terkena noda darah. "Sudah kau hubungi orangtuanya, Lid?" tanyanya."Sudah, mungkin nanti zuhur sampai di sini," jawabku."Sarapanlah dulu, ini sudah hampir jam 11. Itu Murni sudah memasak nasi goreng," katanya lagi"Iya ...." Ada desiran halus mendengar perkataannya yang lemah lembut itu, apakah dia tengah memberi perhatian padaku?Baru mau beranjak, Bang Joseph datang bersama Pakdo Marlin. Aku yang meminta Bang Joseph untuk memanggil Pakdo Marlin."Apo hal, Lidia?" tanya Pakdo Marlin. Akupun menceritakan semua yang terjadi, bahkan percakapan kami dengan Gina sebelum kejadian juga kuceritakan, bagaimana Aswan memaksa untuk dicintai Gina."Pakdo, sebaiknya orang kayak Aswan, kita laporkan polisi," kataku emosi. Pakdo Marlin hanya memandangi kami, di