"Oya, Kania ini baru lulus dari UGM ambil jurusan yang sama dengan Idhar, Kedokteran. Bedanya Idhar lulusan Unand," kata ibunya dokter Idhar. Wow, maksudnya apa toh bu? Mau pamer calon mantunya? Haddeehh auto panas nih kuping. Kucubit lagi Rani agar lekas mengakhiri percakapan yang menyiksa ini. "Oiya bu, kalau gitu kami pamit dulu, besok saja kami datang kalau Dokter Idhar ada di Puskesmas," kata Rani sambil menyalami Ibu Dokter Ilham buru-buru agar percakapan bisa di-stop. "Assalamualaikum ...," kata kami berbarengan dan buru-buru pergi, jawaban salam dari Ibu Dokter Idhar sampai tidak kami hiraukan. "Gila, ya! Ternyata Dokter Idhar sudah punya calon istri. Apa coba maksudnya ngedeketin kamu Lid?" kata Rani agak emosi setelah kami sampai di halaman depan Puskesmas. Kami berhenti di pinggir jalan utama berusaha mencari tumpangan. "Ya, nggak tahu juga, mungkin kita yang salah paham, sebenarnya dia cuma mau temenan doang." Aku menenangkan diri, padahal ... huh! Kesal banget, se
Sepanjang jalan pulang, aku hanya diam saja tak bersuara. Beberapa kali Rani berdehem dan menghela napas berat, sepertinya dia ingin bertanya apa yang tadi kami bicarakan, aku hanya menoleh sekilas padanya. Entahlah, aku jadi merasa bersalah pada Dokter Idhar. Aku tahu dia jujur jika dia dijodohkan dan menentangnya. Aku justru senang dia dijodohkan, jadi ada alasan untuk menolak perasaannya. Ah, jahat gak sih aku, nih? "Lidia, gimana kunjungannya ke rumah Dokter Idhar? Sudah jadian belum?" seru Amir setelah aku sampai posko. Sontak perkataan Amir dengan suara keras menyita perhatian semua orang, mereka pada kepo dengan masalah ini. Aku tidak menanggapi perkataan Amir langsung ngeloyor ke posko cewek, selintas kuperhatikan Rasyid sedang asyik menggergaji papan untuk plang nama. Rani tidak mengikutiku ke posko cewek, dia beralasan masih ada yang harus dikerjakan. Hais, emangnya aku percaya? Pasti dia akan bergosip masalah tadi dengan pria-pria kepo itu. Sesampainya di posko cewek ak
Jam delapan malam, suasana posko ramai lagi dikunjungi muda-mudi. Mereka duduk-duduk di bangku panjang halaman posko bercengkrama dengan asyik. Tak terasa sudah sebulan setengah kami berada di lokasi, tinggal sebulan setengah lagi kami di sini. Aku masih di depan komputer membuat laporan proker yang sudah di -eksekusi. Mata rasanya ngantuk berat, maka pergi ke dapur untuk membuat kopi. Ternyata di dapur ada Rasyid sedang mengambil minum di dispenser, aku hanya berdiri menunggu dia selesai. "Nih," katanya mengulurkan cangkir mug padaku. "Apa, ini?" tanyaku. Tetapi dia tidak menjawab malah langsung pergi. Hmm, ternyata secangkir kopi cappucino, aromanya sedap sekali. Masih panas, oh ... dari tadi dia di dapur menyeduh kopi? Apa dia sengaja membuat kopi untukku? Ku kejar dia sampai ke ruang tamu. "Rasyid, tumben kau buat kopi untukku?" tanyaku setelah bertemu dengannya. "Ah, itu ... sebenarnya aku buat untuk aku, cuma aku lupa kalau harus tidur cepat. Ya, kukasih kamu aja biar tida
Aku meringkuk dalam selimut, udara pagi buta ini terasa dingin sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Azdan subuh lamat-lamat terdengar, dengan malas aku bangkit untuk mengambil air wudhu. Salat subuh dulu, ah. Sudah itu baru tidur lagi. Sepertinya anak-anak belum ada yang bangun. Kulangkahkan kaki dengan gontai ke kamar mandi. Cekrek. Aku terkejut ! Mendengar pintu ruang tamu dibuka seseorang. Aku berputar badan, kulongok dari dalam, siapa yang subuh-subuh membuka pintu. Ha? Gina, mau ngapain tu anak keluar rumah subuh-subuh? Dengan sedikit berjingkat seperti takut ketahuan orang, Gina akan menyelinap keluar secara diam-diam rupanya. "Mau ke mana Gin?" tegurku sambil berjalan ke arahnya. Dia nampak gugup, ekspresinya seperti tertangkap basah melakukan perbuatan yang tidak baik. "Bukan urusanmu!" Aku terkejut dengan perkataannya yang ketus, biasanya Gina selalu bicara lemah lembut, aku juga tidak ada masalah dengannya, kenapa dia seperti itu? Gadis itu berusaha menghin
"Her ... kau lihat Aswan dak?" tanya Rasyid, sepertinya anak ini tidak ngos-ngosan. "Sudah dua hari aku tak tampak dia, Bang," jawabnya "Kalau tidak, tahu dak kau, di mana biasanya Aswan nongkrong?" tanyaku setelah menguasai napas. Bersamaan dengan itu, teman-teman yang lain berdatangan. "Maksudnya? Nongkrong?" tanyanya sambil mengernyitkan kening. "Iya ...," jawab kami serentak. "Biasanya ...." Heru menjeda ucapannya sambil berpikir."Iya, biasanya di mana?" tanyaku tidak sabaran "Kalau nongkrong biasanya di sungai, Kak, kalau nggak di WC," jawabnya polos, apa bloon? "Yeiii!" kami berteriak serentak. "Bukan nongkrong karena boker Heru ... nongkrong tempat main, tempat santai atau tempat kumpul-kumpul sama teman," kata Dedi dengan nada geram "Oh ... Bang Aswan temannya tidak banyak, cuma Aku sama Najib. Tapi dia suka pergi ke sawahnya, bahkan kadang bermalam di sawah, tidur di pondok," kata Heru "Ya, sudah. Kita bagi tugas saja, Rasyid kau pergi ke sawahnya. Aku mencari N
Setelah salat dhuha dan salat taubat, aku duduk di sebelah Gina yang masih belum sadarkan diri. Kuhapus bekas darah yang mengering di wajahnya dengan kain basah. Rasyid duduk di hadapanku, dia sudah mandi dan mengganti pakaiannya yang terkena noda darah. "Sudah kau hubungi orangtuanya, Lid?" tanyanya."Sudah, mungkin nanti zuhur sampai di sini," jawabku."Sarapanlah dulu, ini sudah hampir jam 11. Itu Murni sudah memasak nasi goreng," katanya lagi"Iya ...." Ada desiran halus mendengar perkataannya yang lemah lembut itu, apakah dia tengah memberi perhatian padaku?Baru mau beranjak, Bang Joseph datang bersama Pakdo Marlin. Aku yang meminta Bang Joseph untuk memanggil Pakdo Marlin."Apo hal, Lidia?" tanya Pakdo Marlin. Akupun menceritakan semua yang terjadi, bahkan percakapan kami dengan Gina sebelum kejadian juga kuceritakan, bagaimana Aswan memaksa untuk dicintai Gina."Pakdo, sebaiknya orang kayak Aswan, kita laporkan polisi," kataku emosi. Pakdo Marlin hanya memandangi kami, di
Pagi ini, semua teman sudah berkumpul di posko cewek. Walaupun rasanya capek sekali, tapi kami harus menemukan benda yang dimaksud Kiyai Amran. Semalam aku menginap di posko cowok, karena pulang sudah jam 2 pagi diantar oleh pamannya Gina. Ustad Soleh juga menginap di posko, ketika subuh dia langsung ke masjid.Kami membagi beberapa tim, cewek-cewek menyusuri bagian dalam dan halaman depan. Bagian samping dan belakang di telusuri cowok, aku tidak mau terlibat bagian belakang apalagi di bawah pohon jeruk bali, hiiiii, sereeem!Bagian lantai kami telusuri ternyata tidak ada yang berlubang, kami cari di kamar mandi, kamar tidur dan berbagai tempat ternyata tidak ada benda yang mencurigakan. Begitu juga dengan para cowok, mereka sudah menyusuri tanah dan pepohonan tiap inchi nya diselidiki tapi hasilnya nihil.Seharian kami mencari tapi tidak menemukan apa-apa.Hari kedua kami cari di sekitar posko cowok dan rumah nyai Rudiyah tetapi masih juga belum berhasil. Bahkan Rofita turut membantu
🍂🍂🍂Kuperhatikan dari lorong bersenderkan tembok lelaki yang tengah berbincang-bincang dengan Tante Kamelia dan Om Bastian di bangku taman. Mereka nampak serius sekali, karena jaraknya yang lumayan jauh, aku tidak mendengar pembicaraan mereka. Akan tetapi aku tahu, apa yang mereka bicarakan. Rasanya menyesal kenapa mulutku tidak bisa dikondisikan, seharusnya aku membicarakan dahulu dengannya, ah ... semua sudah terjadi mau gimana lagi?"Apa yang kaulihat, Lid?" tanya Rani yang muncul tiba-tiba. Pandangannya langsung mengarah ke tempat yang tengah kuperhatikan."Semoga Rasyid mau ya, menikah dengan Gina," kata Widya yang juga ikut bersama Rani."Pernikahan bukan hal yang main-main. Kalau Rasyid tidak suka, dia berhak menolaknya," kata Rani, wah ... bijak juga ini anak."Kasihan Gina, semoga Rasyid punya rasa kasihan, secara dia anak soleh, aku yakin sisi kemanusiaan dia bisa menerimanya," kata Widya menguatkan argumennya."Bagaimana dengan Gina?" tanyaku, dari proses ruqyah tadi ak
POV Bayu Arya"Kenapa ngelihatin aku kekgitu? Awas ... aku mau mandi!" teriaknya galak sambil mendorong tubuhku.Duh ... lucunya, kalau lagi malu kayak gitu toh tingkahnya, aku terus menatapnya dengan senyum menggoda. Dia hempaskan pintu kamar mandi dengan kuat. Tenang saja cantik, akan kutaklukan kegalakkanmu nanti.Selagi dia mandi aku keluar kamar, menyuruh pelayan hotel membawa minuman hangat karena yang dingin sudah ada di kulkas, serta menyuruhnya membawa penganan pempek kesukaan istriku, kuberi mereka beberapa lembar uang, aku menyuruhnya mencari di restoran yang terkenal menyediakan makanan tersebut, juga membeli sate madura kesukaanku, dan beberapa makanan ringan. Sesampainya di kamar, kulihat istriku itu sudah selesai mandi, dia masih memakai piyama mandi warna putih, duduk di tepi ranjang sambil memainkan handphonenya. "Darimana?" tanyanya"Pesan makanan. Nanti kalau pesanan datang, terima ya? aku mau mandi," kataku melangkah ke kamar mandi"Aku gak mau, pelayannya cowok
Pov BayuSetelah akad nikah, aku kembali lagi ke hotel, sesuai perjanjian kami, kami tidak akan bermalam pertama jika resepsi belum di gelar.Kenapa aku menyetujui perjanjian konyol yang di ajukan Lidia itu. Ah, sekarang aku yang tersiksa sendiri kan? Wajah cantiknya di akad nikah tadi yang seperti bidadari turun dari kayangan sekarang jadi terbayang-bayang. Apa coba yang akan aku lakukan seharian besok Sabtu? Coba kalau ... jiah, aku benar-benar harus bersabar sekarang.Aku melangkah ke lobby hotel bintang lima di kota ini, menuju resepsionis. Aku pesan kamar presiden suit, sekarang aku tinggal di kamar VVIP. Kupesan agar kamar itu dihiasi dan didekorasi untuk bulan madu. "Untuk minggu Malam, ya!" kataku pada petugas hotel"Baik, pak," jawab petugas hotel ituAku kembali ke kamar dan rebahan, kucek status facebookku di grub relawan yang pernah aku ikuti, ternyata sudah ramai sekali. Ada yang mendoakan pernikahanku, bahkan sebagian mereka akan segera meluncur ke kota ini. Kubalas sa
Pov LidiaPersiapan pesta pernikahan tinggal dua puluh persen, undangan sudah tersebar. Mas Bayu tidak mengundang temannya sama sekali, katanya hanya akan mengabari di grup facebook. Akad nikah akan diadakan hari Jum'at selepas salat Jum'at dan resepsinya hari minggu, sudah menjadi kebiasaan di sini resepsi diadakan hari minggu, mengingat hari libur, bagi yang kerja kantoran bisa menghadiri pesta.Selama persiapan pesta Mas Bayu tinggal di hotel, Mamak bilang pamali bertemu mempelai wanita sebelum hari H. Aku dan dia hanya bisa ngobrol via telpon, rasanya kangen banget tiga hari gak ketemu sama dia. Sebelum tidur, dia pasti selalu menghubungiku dulu. "Sayang, sedang apa?" tanyanya di seberang telpon.Aku masih belum terbiasa dengan panggilannya, rasanya ada yang menggelitik di hati ini, Sayang? Ow, uwu ...."Emm, baru mau tidur Mas," kataku malu-malu meong."Oya, tadi kata Pakdo Marlin Bibi Rudiyah sudah pulang dari Rumah sakit, keadaannya juga sudah membaik, InsyaAllah besok dia ke
Aku tak kuasa menahan tangis melihat kondisi Nyai Rudiyah yang tinggal kulit berbalut tulang. Napasnya tinggal satu, dua tersengal-sengal. Rofita, Afikah dan Aida begitu senang aku datang. Aku sempatkan membeli oleh-oleh jajanan di sebuah warung sebelum ke sini."Nyai, apa kabar? Ini Lidia ... Nyai sakit kenapa tidak ngabari?" kataku tulus sambil menggenggam tangannya."Lidia ... kenapa datang jauh-jauh? terima kasih sudah datang menemuiku." "Nyai, kami akan membawa nyai ke Rumah sakit. Mau ya, nyai dirawat di rumah sakit?" "Ah, tidak usah repot-repot Lidia. Sepertinya kau membawa teman, siapa dia?" kata Nyai Rudiah sambil menoleh ke arah Mas Bayu yang dari tadi berdiri di depan pintu kamar.Aku melambai ke arahnya, Mas Bayu mendekat ke arah kami."Bibi ... Bibi harus segera sembuh," kata lelaki itu mendekat ke arah Nyai Rudiyah.Wanita tua itu tercekat, dia sangat terkejut melihat siapa yang datang. Matanya melotot, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya gemetaran. Mas Bayu mer
Walau aku sudah mendengar tadi subuh obrolan mereka, namun mendengar langsung dari mulutnya membuatku sedikit berdebar. "Maukah kau menikah denganku?" tanyanya Aku hanya tersenyum simpul, jadi dia sedang melamar nih ceritanya? "Kau melamarku di mobil yang tengah melaju?" "Kenapa? Kurang romantis, ya?" "Lamarlah pada Bapakku, minta baik-baik sama dia." "Oo, itu pasti, sampai rumahmu langsung kuminta anak gadisnya," katanya tersenyum lebar. "Kalau gitu aku sekalian ngundang Pakdo Marlin sama Nyai Rudiyah," kataku "Kenapa? Mereka bisa tahu dong kalau aku masih hidup," katanya. "Sebaiknya mereka tahu, kau tidak perlu memusnahkan rumahmu, biar mereka yang melakukan. Sekalian Mas minta maaf pada nyai Rudiyah, walau bukan diri Mas yang menghabisi anak-anaknya, namun peliharaan Mas yang melakukannya, itu sama saja jadinya. Kalau Pakdo Marlin, diakan sudah tahu juga aku pernah bertemu denganmu," kataku "Ya, baiklah jika menurutmu begitu." ****Kami memasuki lorong kediaman Pakdo M
Pagi ini aku bangun tidur lebih cepat, kulihat di handphone menunjukkan pukul 4 pagi. Aku segera melaksanakan salat Tahajud, kuminta Allah agar segera membebaskan lelakiku itu dari pasungan jin yang menguasainya selama ini.Aku masih terbayang bagaimana Kiyai Amran sangat kesulitan menaklukkannya, hingga Kiyai Amran kuwalahan menangkis serangan dari Mas Bayu. Ah, pria itu benar-benar sakti, dikeroyok beberapa orang saja menang. Semua orang sampai takut-takut menyerangnya. Sehingga dia dilumpuhkan pakai senapan obat bius. Ah, sudah seperti memburu harimau sungguhan.Selepas mengaji aku bergegas ke musola ingin ikut salat subuh berjamaah. Ternyata masih lima belas menit lagi Azan Subuh. Aku segera memasuki masjid yang masih lenggang belum ada jamaah putri yang datang. Aku duduk mengambil tempat paling depan. Rencana mau kusambung tilawahku sambil menanti Azan Subuh. Tiba-tiba beberapa jamaah pria datang, suara sandal dan obrolan jelas terdengar, karena tempat wanita dan pria dibatasi se
Pov LidiaKami akhirnya benar-benar pergi siang ini ke Merangin. Bapak sebenarnya keberatan, karena aku baru sembuh dari sakit, namun lelaki itu meyakinkannya bahwa dia akan menjagaku. Andika kuminta menemaniku, tapi dia menolak beralasan kalau dia sudah banyak tertinggal mata kuliah sewaktu menungguku di rumah sakit.Kami berangkat selepas salat zuhur, sesudah makan siang. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, aku duduk di sebelahnya memandang lurus ke depan."Tidurlah, biar badanmu lebih sehat. Atur kursinya, agar bisa berbaring nyaman," katanya Kutarik besi pengatur kursi, namun posisinya tidak juga berubah."Gimana sih ngaturnya ini?" gerutuku, karena sudah berusaha tetapi belum juga kursi itu rebah.Lelaki itu menepikan mobilnya ke badan jalan, ditariknya besi pengatur itu sehingga kursi itu rebah, jaraknya yang tertalu dekat denganku membuat dada ini mendesir, tercium aroma tubuhnya seperti dulu, aroma yang pernah kucium ketika berboncengan motor dengannya. Ku
Pov. Bayu Arya"Apakah kau sudah mendapat apa yang kau cari dengan keliling dunia, Mas?" tanya gadis itu. Dia menatap air sungai yang tenang, setenang wajahnya yang kini dibalut jilbab, sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Aku menyukai cara berpakaian dia sekarang, dia lebih terlihat anggun dan mempesona. "Aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya aku cari, aku melakukan semua itu sebenarnya hanya pelarian, mencoba melupakan istriku, namun semakin aku melupakannya, justru luka itu semakin dalam." "Kau sudah menuntut ilmu sampai ke Universitas nomor satu di dunia, bahkan dua Universitas paling top di dunia dengan biaya yang sangat mahal. Namun, pernahkah kau berpikir untuk mencari ilmu agama, bekal untuk menuju kehidupan yang akan kekal abadi di akherat?" Kata-kata gadis itu menohok ke relung hati yang paling dalam. Aku tidak bisa berkata apapun, aku hanya terdiam seribu bahasa."Mas Bayu ... mungkin kegersangan hatimu karena kau belum menemukan petunjuk dan hidayah dari Allah. Car
POV Bayu Arya Gadis itu sekali pandang sudah membuatku jatuh hati, lentik bulu matanya, hidungnya yang bangir, senyumnya yang ... aduh, tidak bisa kujelaskan karena aku benar-benar mabuk dibuatnya. Aku tahu, Aslan yang memilih gadis itu untuk meneruskan keturunan keluarga Aslan. Namun, aku juga mencintainya sedalam-dalamnya.Sudah tiga puluh tahun usiaku, namun baru kali ini aku merasakan jatuh cinta pada wanita, ternyata jatuh cinta itu sangat membuatku bahagia dan bersemangat. Tidak butuh waktu yang lama untuk menyuntingnya jadi pendamping hidupku. Aku tidak lagi hidup sendiri, karena ada belahan jiwa yang bisa kusalurkan rasa kasih sayang dalam jiwaku.Tidak ada yang mengenal namaku Bayu Arya selain paman Ja'far dan Bibi Rudiyah. Mereka semua mengenalku Bagindo Aslan, maka ketika ijab qobul aku memakai nama Bagindo Aslan. Namun, satu yang tidak kusadari, Paman Ja'far menulis nama lengkapku ketika menjadi saksi pernikahan Sumarlin, bocah yang kuselamatkan nyawanya memakai racikan a