Jam delapan malam, suasana posko ramai lagi dikunjungi muda-mudi. Mereka duduk-duduk di bangku panjang halaman posko bercengkrama dengan asyik. Tak terasa sudah sebulan setengah kami berada di lokasi, tinggal sebulan setengah lagi kami di sini. Aku masih di depan komputer membuat laporan proker yang sudah di -eksekusi. Mata rasanya ngantuk berat, maka pergi ke dapur untuk membuat kopi. Ternyata di dapur ada Rasyid sedang mengambil minum di dispenser, aku hanya berdiri menunggu dia selesai. "Nih," katanya mengulurkan cangkir mug padaku. "Apa, ini?" tanyaku. Tetapi dia tidak menjawab malah langsung pergi. Hmm, ternyata secangkir kopi cappucino, aromanya sedap sekali. Masih panas, oh ... dari tadi dia di dapur menyeduh kopi? Apa dia sengaja membuat kopi untukku? Ku kejar dia sampai ke ruang tamu. "Rasyid, tumben kau buat kopi untukku?" tanyaku setelah bertemu dengannya. "Ah, itu ... sebenarnya aku buat untuk aku, cuma aku lupa kalau harus tidur cepat. Ya, kukasih kamu aja biar tida
Aku meringkuk dalam selimut, udara pagi buta ini terasa dingin sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Azdan subuh lamat-lamat terdengar, dengan malas aku bangkit untuk mengambil air wudhu. Salat subuh dulu, ah. Sudah itu baru tidur lagi. Sepertinya anak-anak belum ada yang bangun. Kulangkahkan kaki dengan gontai ke kamar mandi. Cekrek. Aku terkejut ! Mendengar pintu ruang tamu dibuka seseorang. Aku berputar badan, kulongok dari dalam, siapa yang subuh-subuh membuka pintu. Ha? Gina, mau ngapain tu anak keluar rumah subuh-subuh? Dengan sedikit berjingkat seperti takut ketahuan orang, Gina akan menyelinap keluar secara diam-diam rupanya. "Mau ke mana Gin?" tegurku sambil berjalan ke arahnya. Dia nampak gugup, ekspresinya seperti tertangkap basah melakukan perbuatan yang tidak baik. "Bukan urusanmu!" Aku terkejut dengan perkataannya yang ketus, biasanya Gina selalu bicara lemah lembut, aku juga tidak ada masalah dengannya, kenapa dia seperti itu? Gadis itu berusaha menghin
"Her ... kau lihat Aswan dak?" tanya Rasyid, sepertinya anak ini tidak ngos-ngosan. "Sudah dua hari aku tak tampak dia, Bang," jawabnya "Kalau tidak, tahu dak kau, di mana biasanya Aswan nongkrong?" tanyaku setelah menguasai napas. Bersamaan dengan itu, teman-teman yang lain berdatangan. "Maksudnya? Nongkrong?" tanyanya sambil mengernyitkan kening. "Iya ...," jawab kami serentak. "Biasanya ...." Heru menjeda ucapannya sambil berpikir."Iya, biasanya di mana?" tanyaku tidak sabaran "Kalau nongkrong biasanya di sungai, Kak, kalau nggak di WC," jawabnya polos, apa bloon? "Yeiii!" kami berteriak serentak. "Bukan nongkrong karena boker Heru ... nongkrong tempat main, tempat santai atau tempat kumpul-kumpul sama teman," kata Dedi dengan nada geram "Oh ... Bang Aswan temannya tidak banyak, cuma Aku sama Najib. Tapi dia suka pergi ke sawahnya, bahkan kadang bermalam di sawah, tidur di pondok," kata Heru "Ya, sudah. Kita bagi tugas saja, Rasyid kau pergi ke sawahnya. Aku mencari N
Setelah salat dhuha dan salat taubat, aku duduk di sebelah Gina yang masih belum sadarkan diri. Kuhapus bekas darah yang mengering di wajahnya dengan kain basah. Rasyid duduk di hadapanku, dia sudah mandi dan mengganti pakaiannya yang terkena noda darah. "Sudah kau hubungi orangtuanya, Lid?" tanyanya."Sudah, mungkin nanti zuhur sampai di sini," jawabku."Sarapanlah dulu, ini sudah hampir jam 11. Itu Murni sudah memasak nasi goreng," katanya lagi"Iya ...." Ada desiran halus mendengar perkataannya yang lemah lembut itu, apakah dia tengah memberi perhatian padaku?Baru mau beranjak, Bang Joseph datang bersama Pakdo Marlin. Aku yang meminta Bang Joseph untuk memanggil Pakdo Marlin."Apo hal, Lidia?" tanya Pakdo Marlin. Akupun menceritakan semua yang terjadi, bahkan percakapan kami dengan Gina sebelum kejadian juga kuceritakan, bagaimana Aswan memaksa untuk dicintai Gina."Pakdo, sebaiknya orang kayak Aswan, kita laporkan polisi," kataku emosi. Pakdo Marlin hanya memandangi kami, di
Pagi ini, semua teman sudah berkumpul di posko cewek. Walaupun rasanya capek sekali, tapi kami harus menemukan benda yang dimaksud Kiyai Amran. Semalam aku menginap di posko cowok, karena pulang sudah jam 2 pagi diantar oleh pamannya Gina. Ustad Soleh juga menginap di posko, ketika subuh dia langsung ke masjid.Kami membagi beberapa tim, cewek-cewek menyusuri bagian dalam dan halaman depan. Bagian samping dan belakang di telusuri cowok, aku tidak mau terlibat bagian belakang apalagi di bawah pohon jeruk bali, hiiiii, sereeem!Bagian lantai kami telusuri ternyata tidak ada yang berlubang, kami cari di kamar mandi, kamar tidur dan berbagai tempat ternyata tidak ada benda yang mencurigakan. Begitu juga dengan para cowok, mereka sudah menyusuri tanah dan pepohonan tiap inchi nya diselidiki tapi hasilnya nihil.Seharian kami mencari tapi tidak menemukan apa-apa.Hari kedua kami cari di sekitar posko cowok dan rumah nyai Rudiyah tetapi masih juga belum berhasil. Bahkan Rofita turut membantu
🍂🍂🍂Kuperhatikan dari lorong bersenderkan tembok lelaki yang tengah berbincang-bincang dengan Tante Kamelia dan Om Bastian di bangku taman. Mereka nampak serius sekali, karena jaraknya yang lumayan jauh, aku tidak mendengar pembicaraan mereka. Akan tetapi aku tahu, apa yang mereka bicarakan. Rasanya menyesal kenapa mulutku tidak bisa dikondisikan, seharusnya aku membicarakan dahulu dengannya, ah ... semua sudah terjadi mau gimana lagi?"Apa yang kaulihat, Lid?" tanya Rani yang muncul tiba-tiba. Pandangannya langsung mengarah ke tempat yang tengah kuperhatikan."Semoga Rasyid mau ya, menikah dengan Gina," kata Widya yang juga ikut bersama Rani."Pernikahan bukan hal yang main-main. Kalau Rasyid tidak suka, dia berhak menolaknya," kata Rani, wah ... bijak juga ini anak."Kasihan Gina, semoga Rasyid punya rasa kasihan, secara dia anak soleh, aku yakin sisi kemanusiaan dia bisa menerimanya," kata Widya menguatkan argumennya."Bagaimana dengan Gina?" tanyaku, dari proses ruqyah tadi ak
Memandang bukit Manau ternyata sudah menjadi kebiasaanku di awal pembukaan hari. Bulir-bulir padi di sawah mulai menguning. Pemandangan yang indah ini mampu sedikit mengusir kegalauan di hati. Huuuufffhhh! Kuhirup napas dalam-dalam, aku berharap Rasyid bisa mengambil keputusan yang tepat setelah Istikharah. Masih menunggu dua hari lagi, sesuai permintaannya meminta waktu tiga hari untuk mengambil keputusan. Apapun keputusannya aku akan tetap mendukungnya, itu adalah jalan hidup yang Allah pilihkan untuknya. Dengan gontai kulangkahkan kaki menyusuri pematang sawah menuju posko cowok. Bulir padi yang telah menguning ini kata Nyai Rudiyah satu minggu lagi akan dipanen. Tidak terasa ternyata sudah hampir dua bulan kami di sini. Sesampainya di posko cowok kulihat mbak Zarima sedang memasak, bersama Nurulia. Astagfirullah ... aku lupa kalau hari ini piket. Aku segera bergabung dengan mereka membantu apa saja yang bisa kukerjakan. "Bagaimana keadaan Gina, Lid?" tanya mbak Zarima yang
Setelah membawa perbekalan dalam tas, tak lupa kubawa kamera digital Gina, dia sudah memasrahkan barang itu untuk digunakan keperluan kegiatan kami. Segera kami berkumpul di posko cowok. "Kabar gembira, oi ... kabar gembira!" Ilham berteriak, ketika aku baru tiba di posko cowok, langsung saja aku dan Rani berlari ke arahnya, kepo tahu, ada apa? "Kabar gembira apa, Ham?" tanya Dedi, yang lain ikut berkumpul. "Barusan Rasyid menelpon, katanya dia sudah mengambil keputusan. Dia sudah mantap mau menikah dengan Gina," kata Ilham masih menggenggem HP-nya "Alhamdulillah ...," ujar kami serempak. Alhamduliillah, Rasyid bisa mengambil keputusan secepat ini. Semoga berkah ... tak terasa bulir bening mengalir di pipi ini, aku turut bahagia, ya ... jujur dari hati yang paling dalam, aku terharu dan bahagia. Aku bisa secepatnya menghapus perasaan ini, semua ini tidak sedalam yang dibayangkan. "Pernikahannya lima hari lagi di Ponpes Buya Amran. Mereka akan menikah resmi bukan siri. Rasyid s