Zero menenggak minuman beralkohol langsung dari botolnya tanpa memedulikan efek samping apa yang akan ia rasakan setelahnya. Yang Zero pedulikan hanyalah ia ingin sebentar saja merasa tenang, setidaknya ia ingin bisa lepas dari perasaan bersalah itu barang sebentar saja.Zero meringis, mencengkram kepalanya yang mulai terasa pening. Belakangan ini ia terus saja terbayang-bayang dengan peristiwa itu, peristiwa di mana ia nyaris memenggal kepala Aquila di depan umum dengan kedua tangannya sendiri.Pria itu sungguh merasa bersalah, ia sungguh tak kuasa, ingin rasanya ia menangis dan berteriak sekencang-kencangnya melampiaskan semua rasa sesak di dada.Namun yang bisa ia lakukan hanyalah terisak, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya seraya berbisik, "Aquila ... Maafkan aku..."***Zero sebenarnya mendengar suara ketukan pintu yang sedari tadi mengusik ketenangannya itu, tapi Zero memilih untuk mengabaikannya selain karena ia malas untuk bertemu siapapun, kepalanya saat ini terasa
"Selama ini, aku selalu menghormatimu dan menyanjungmu sebagai panutan, aku selalu menghormati keputusanmu dan mempercayakan kau bisa menjadi pemimpin yang baik." Iluka tersenyum getir. "Tetapi, jujur saja, belakangan ini aku mulai meragukan kredibilitasmu sebagai pemimpin." Iluka berkata dengan jujur, mengutarakan segala hal yang ada di pikirannya."Kakakku, tolong jangan mengecewakanku untuk yang kedua kalinya, ya?" Iluka tersenyum, itu kalimat terakhirnya sebelum ia memutuskan untuk angkat kaki dari ruangan ini. Menyisakan lenggang. Zero enggan untuk menjawab.Iluka melangkah dengan rasa kekecewaan yang menyeruak di dada.Sosok yang selama ini selalu ia jaga perasaannya, sosok yang selama ini selalu ia percaya dapat menjadi pemimpin yang baik ternyata hanyalah seorang bedebah yang rela mengorbankan banyak orang demi keuntungannya sendiri.Kalau kekecewaan Iluka terus berlanjut dan bertambah, bukan tidak mungkin Iluka akhirnya memutuskan untuk merebut posisi orang itu.Yah, semoga s
"Aku sudah menduganya, kau pasti berada di sini." Terdengar suara seorang pria yang berasal dari ambang pintu, Aquila refleks menoleh, wanita itu melihat sesosok pria berjubah hitam yang berjalan mendekat ke arahnya.Aquila mengernyitkan dahi, siapa pria berjubah ini? Apa pria ini tadi berbicara padanya?Pertanyaan-pertanyaan yang bersarang di kepala Aquila seketika terjawab saat pria itu membuka jubahnya lalu menyapa. "Selamat siang, Nona Aquila." Ujarnya yang disertai senyuman.Mata Aquila melebar, ia tidak menyangka akan bertemu dengan pria itu di sini. "R- Revel?"Apa yang Revel lakukan di sini?"Revel?" Aquila mengerjapkan matanya, sungguh kebetulan ia bisa bertemu dengan Revel di sini. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?"Revel tak kunjung menjawab, ia hanya menggaruk tengkuknya seraya menunjukkan ekspresi tengah berpikir, membuat Aquila jadi merasa bingung."Katakan.""Ah, tidak, sebenarnya aku tadi mengikutimu." Ujar Revel seraya mengangkat bahunya. "Kau mengikutiku?" Tanya
Udara pagi yang segar, suara burung yang berkicauan, ditambah sinar matahari yang terasa cerah namun tidak menyengat sungguh merupakan perpaduan yang sempurna bagi Aquila dalam menjalani hari. Wanita itu mulai mengambil sebuah selembar kertas yang terselip di antara beberapa tumpukan buku. Ia berpikir untuk menuangkan pemikirannya ke atas selembar kertas. Aquila menyadari, banyak pekerjaan yang terbengkalai akibat beberapa hari beristirahat, ia berniat untuk menyicil semuanya sebelum semakin menumpuk. Yang pertama, masalah bisnis yang ia jalankan, ia harus memeriksa perkembangannya. Lalu, ia juga masih belum membuat rincian anggaran yang akan ia sumbangkan ke berbagai organisasi kemanusiaan. "Yang terpenting, aku harus memastikan acara makan malam esok berjalan lancar." Gumam Aquila yang menjadikan acara makan malam itu menempati kedudukan teratas dalam skala prioritasnya. Sebenarnya acara makan malam itu hanya sekadar acara pertemuan biasa antar dua keluarga, tapi, Aquila ingin
"Oh ya, dan satu hal lagi." Alken kembali membuka mulutnya. "Aku rasa sebaiknya kita tidak perlu bertemu untuk beberapa waktu ke depan, karena jika kau sudah memulai pergerakanmu, bisa saja putra mahkota merasa curiga jika aku turut membantumu." ia menjelaskan. "Sudah aku bilang, kan, aku tidak mau ikut terseret. Jadi, bisa kau mengerti, ya?""Kau tenang saja." Aquila membalas. "Aku tidak akan membuatmu terkena imbasnya."Aquila tersenyum kecil, ke depannya, akan semakin jarang baginya untuk bertemu dengan Alken. Tapi alasan itu sangat rasional, Alken tidak mau ikut terseret atau terkena imbas atas dampak dari apa yang Aquila lakukan."Semoga beruntung, Aquila." Ujar Alken yang mengakhiri percakapan di antara mereka.***Hari ini akan menjadi hari yang sibuk bagi Aquila.Tidak, hilangkan kata 'akan', hari ini memang sudah menjadi hari yang sibuk.Meskipun acara makan malam yang sedang dipersiapkan ini bukanlah acara serius yang bersifat resmi, melainkan hanya sekadar acara yang dibuat
Ruangan itu kini hanya menyisakan Duke Charles dengan Tuan Alucio. Pasti akan terjadi percakapan serius di antara mereka, dengan dalih mengantar tamu menuju gerbang utama. Langkah kaki Aquila terasa berat, ia tahu Revel pasti bisa mengatasinya dengan baik. Meskipun begitu, ia khawatir jika sang ayah akan mengintimidasinya. *** Meskipun matanya sudah mengatakan ini saatnya untuk tidur, namun, siapa yang bisa terlelap dalam keadaan tidak tenang seperti ini? Bukannya menuruti perintah sang ayah untuk segera istirahat, langkah kaki Aquila justru membawanya menuju balkon di lantai dua, tempat sempurna di mana ia bisa melihat tubuh Duke Charles dan Revel dari atas. Duke Charles memang mengantar Revel hingga ke arah kereta kudanya, namun, meskipun Aquila tidak dapat mendengarkan percakapan mereka, terlihat jelas dari gestur tubuh mereka jika percakapan yang sedang berlangsung itu bersifat serius. Pembicaraan serius yang seperti disengajakan untuk tidak diketahui orang lain. Aquila me
Madam Gienka memang sumber informasi mengenai sihir hitam yang paling berguna. Zero membuat keputusan yang bagus dengan tidak gegabah langsung menghabisi nyawanya.Seperti biasa, Zero kembali mengunjungi sel di mana Madam Gienka berada, wanita itu terlihat lebih berkooperasi dalam menjawab pertanyaan yang diberikan akhir-akhir ini.Itu adalah tangkapan yang bagus. Berkat adanya Madam Gienka sebagai tahanan, Zero mendapat begitu banyak informasi yang ia butuhkan mengenai para penyihir hitam.Entah bagaimana Tuan Grand Duke itu bisa menangkap penyihir hitam, Zero tidak suka mengakui ini, meskipun pria itu jadi memudahkan pekerjaan Zero, tetapi Zero tidak sudi untuk mengakui kemampuannya.Harus Zero akui, akibat perbuatan Madam Gienka dan Zeline yang menyebabkan Zero melakukan hal buruk terhadap Aquila, kebencian Zero terhadap penyihir hitam jadi bertambah. Tapi, Zero tidak boleh melibatkan emosi dalam hal ini. "Selamat pagi wahai cahaya kekaisaran." Dua orang prajurit tingkat tinggi ya
"Jadi, kau sudah tahu kan apa tujuanku ke sini?"Kali ini, sorot mata Zeline berubah takut, perasaannya begitu buruk. Madam Gienka datang untuk menagih janji.Zeline merasa dipermainkan, ini tidak adil. Ia gagal mencapai tujuannya, tapi Madam Gienka tetap menagih janji. Dirinya dirugikan dalam transaksi ini."Apa ada kata-kata terakhir yang ingin kau sampaikan?" Madam Gienka tersenyum mengejek. Tanpa mengulur waktu lagi, ia mulai membaca mantra. Ia menagih janji. Ia mengambil sisa usia hidup pelanggan yang telah mengikat janji dengannya.Zeline merasa kesakitan yang teramat. Sebelum energinya benar-benar habis, ia membuka mulutnya lalu berteriak, "MADAM GIENKA AKU MENGUTUKMU!"Madam Gienka mengabaikan seruan Zeline, ia terus melanjutkan kegiatannya hingga selesai. Lalu, melepaskan tubuh Zeline begitu saja ketika ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan."Ah, menyegarkan sekali rasanya, seperti terlahir kembali." Wanita itu tersenyum senang, ia merasa kekuatannya telah pulih. Akibat d