"Bisakah kau berhenti?""Apapun yang saat ini kau rencanakan, akan lebih baik kalau kau berhenti."Wanita yang sedang duduk bersandar seraya membenarkan posisi pengait pada gelang mutiara di pergelangan tangannya itu mengembuskan napasnya panjang. Perasaannya sedikit memburuk ketika secara tiba-tiba ia teringat akan perkataan seseorang yang memintanya untuk berhenti.Tuan Alken. Aquila terus terngiang-ngiang atas ucapannya tempo hari lalu. Kalimat yang meragukan keputusan Aquila, kalimat yang mengimbaunya untuk berhenti, kalimat-kalimat itu, kini menyeruak, mengganggu pikirannya.Aquila bangkit dari posisi duduk pada ruang kerjanya, melangkah menuju susu hangat yang terletak di atas nakas di samping ranjangnya.Fokusnya terbelah. Ia memikirkan banyak hal dalam waktu yang bersamaan.Ia sudah membuat keputusan, apa pun yang terjadi nantinya, ia harus siap untuk menanggung segala konsekuensi atas perbuatannya. Ia sudah pernah mengalami kematian, kejadian itupun hampir terulang untuk yan
Sebagai putri satu-satunya yang terlahir dari keluarga bangsawan terpandang, keluarga Charles, tentu saja nama Aquila kerap menjadi topik dalam perbincangan hangat baik dalam kalangan rakyat biasa maupun sesama bangsawan mengenai hal-hal yang berkaitan dengannya. Seperti, saat ini, acara pertemuan minum teh yang diselenggarakan oleh Nona Viscount pada wilayah Utara yang awalnya bertujuan untuk mempererat hubungan berubah menjadi sarana pergunjingan putri Charles tersebut."Apa kau sudah mendengar kabarnya? Aku dengan keluarga Charles mengundang Tuan Grand Duke Alucio untuk acara makan malam yang tertutup di kediamannya." Seorang bangsawan kelas bawah membuka topik baru pada acara minum teh yang ia selenggarakan."Sungguh? Bagaimana kau bisa tahu?" Sahut salah seorang tamu yang merasa dirinya sering ketinggalan banyak berita."Aku melihat langsung dengan kedua bola mataku ketika kereta kuda milik Tuan Alucio melaju ke arah wilayah Duke Charles.""Ah, aku juga sempat mendengar desas-de
"Yang Mulia, Selir ke-3 itu terus saja mengusikku." Ratha, yang merupakan selir termuda sekaligus selir kesukaan Kaisar Lius untuk saat ini terus saja bergelayut manja pada lengan Lius seraya mengadukan selir-selir pendahulunya yang terus saja mengganggunya, membuatnya merasa tidak nyaman berada di istana. "Yang Mulia tolong lakukanlah sesuatu, dia membuat kehidupanku terasa bagai di neraka." Kaisar Lius tersenyum tipis, baginya, Ratha sangat imut, apalagi wajah melasnya saat ia sedang meminta sesuatu, sangat menggemaskan! Ah, Kaisar Lius jadi teringat apa yang mereka lakukan malam tadi. "Tenang saja, aku pasti akan memberinya teguran." Balas Sang Kaisar. "Kau jangan memasang raut wajah bersedih seperti itu." Imbuhnya seraya merayapkan tangannya ke bawah selimut, menyentuh tubuh Ratha yang kini tak berlapiskan apa-apa. "Benarkah?" Ratha memasang wajah sumringah. "Yang Mulia memang bisa diandalkan!" "Apapun untukmu. Kalau begitu, bisakah kita melanjutkan yang semalam?" Pria tua itu
*** Kaisar Lius, orang paling berpengaruh dalam Kekaisaran itu lagi-lagi mengembuskan napasnya yang terasa berat. Keningnya mengkerut. Membahas hal-hal tadi saja sudah menyita akal sehatnya. Belum lagi, masih ada hal yang tak kalah penting, tidak, justru hal ini lebih mengkhawatirkan."Bendera merah." Kaisar Lius bergumam."Apa?" Zero berkedip, menatap bingung ayahnya yang tiba-tiba berkata demikian.Di dalam Kekaisaran Timur, bendera merah sering dikaitkan dengan pertanda buruk bahwa akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, Kaisar Lius sedang merasakan hal itu."Kau harus tahu, aku memiliki firasat bahwa Grand Duke Alucio dan Nona Charles akan bekerja sama untuk mengkhianati kita."HUH?!?!Kalimat lanjutan yang keluar dari mulut ayahnya ini sungguh tak disangka-sangka. Zero hanya bisa terdiam seraya memasang ekspresi terkejutnya.Zero menggaruk tengkuknya, itu hal yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. "Sepertinya itu mustahil.""Entahlah. Tapi kita h
"Saya akan merebut hatinya kembali."'Saya akan merebut hatinya kembali.''Saya akan merebut hatinya kembali.'"Sial." Zero mengusap wajahnya yang nampak gusar. "Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan hal itu dengan penuh percaya diri?" Ia sendiri pun bertanya-tanya, bagaimana bisa?Tadi, saat berada di hadapan Sang Kaisar, Zero merasa begitu yakin terhadap dirinya, bahwa ia dapat membuktikan apa yang ia ucapkan, namun, saat benar-benar akan melakukannya, Zero mendadak merasa gundah.Ini perasaan yang aneh. Seumur hidup, tak pernah terpikirkan olehnya bahwa akan datang hari di mana dirinya yang sibuk berupaya agar Aquila sudi melihat ke arahnya kembali. Selalunya, selama ini hanyalah Aquila yang selalu berusaha untuk dilihat oleh Zero, meskipun ujung-ujungnya Zero tak pernah menghargai usaha Aquila. Apa ini yang dinamakan karma? Huh! Semakin memikirkannya semakin membuat perasaan Zero bertambah buruk.Zero menghela napas, tangannya bergerak menutup sebuah kotak berisi kalung permata
"NONA? NONA!" Suara pintu dibuka bersamaan dengan seruan Ahn membuyarkan lamunan Aquila, wanita itu menoleh, mengapa wajah Ahn terlihat panik seperti ini?"Nona, utusan dari kerajaan datang berkunjung dengan membawakan begitu banyak hadiah!" Ahn memberi kabar.Apa?Aquila segera bangkit dari tempatnya dan melangkah menuju aula besar.Benar saja. Aula dipenuhi oleh para pekerja yang bergerak dengan tumpukan kotak kado di tangannya.Aquila menatap sangsi, tak salah lagi, tentu saja ini perbuatan Zero.Apalagi yang pria itu rencanakan?***"Selamat siang, Nona Aquila. Kedatangan kami ke sini sebagai utusan Yang Mulia Putra Mahkota untuk memberikan anda beberapa hadiah spesial yang telah beliau persiapkan. Saya harap anda dapat menerima kemurahan hati beliau." Salah satu pria berambut klimis yang merupakan utusan kerajaan berbicara kepada Aquila yang masih terdiam."Hadiah? Untukku?" Aquila memerhatikan tumpukan kotak kado yang seakan menggunung itu. "Tapi ini terlalu banyak, apa ini tida
"Aquila, ini merupakan kalung dengan liontin berlian merah yang aku dapatkan dari acara pelelangan dulu. Aku tahu kau sangat menginginkannya, aku seharusnya dulu langsung memberikannya padamu. Kau pasti merasa senang kan karena akhirnya bisa mendapatkannya? Salam hangat, Zero."Tidak. Bukannya merasa senang seperti yang Zero duga pada kartu ucapan itu, Aquila kini justru tak dapat berkata-kata, ia tak dapat mempercayai apa yang baru saja ia baca.Sorot matanya berubah dingin, tangannya bergerak tanpa sadar meremas kartu ucapan itu. "Putra mahkota sedang terang-terangan menghinaku, ya?!" Geramnya dengan ekspresi kekesalan yang terlihat jelas.***"Apa?!" Zero yang sejak tadi duduk diam pada kursi kerjanya, seketika langsung bangkit ketika mendengar laporan dari bawahannya yang ia tugaskan untuk mengantarkan hadiah.Apa tadi katanya? Aquila merasa kesal dengan hadiah yang diberikan?!"M- maafkan saya, Yang Mulia, saya hanya menjalankan tugas sesuai dengan yang anda perintahkan. Awalnya
Matahari sudah tenggelam sejak tadi, tapi Zero masih berada di dalam ruang kerjanya. Zero merenggangkan tangannya, tubuhnya terasa pegal karena ia terlalu lama berada dalam posisi duduk. Pria itu merapikan tumpukan dokumen pada atas meja kerjanya, kemudian bangkit dan berjalan ringan menuju balkon.Udara malam yang segar berembus masuk menggantikan udara pengap akibat jendela yang ditutup. Embusan angin menerpa dirinya ketika ia bertopang pada besi penyangga di balkon.Tapi, ada satu hal yang menarik perhatiannya.Zero baru menyadari, ada seekor burung merpati yang terbang ke arahnya. Hal yang membuatnya fokus adalah secarik surat yang diikatkan pada kaki burung tersebut.Sebuah surat? Kira-kira siapa pengirimnya?Tak ingin terlalu lama bertanya-tanya, ia segera melepaskan ikatan pada surat itu."Kau payah."Apa?!Baru baris pertama pada surat yang Zero baca, pria itu sudah dibuat kesal. Siapa pengirimnya? Berani-beraninya ia mengejek Putra Mahkota seperti ini?!Kalau sampai Zero tah