"Saya akan merebut hatinya kembali."'Saya akan merebut hatinya kembali.''Saya akan merebut hatinya kembali.'"Sial." Zero mengusap wajahnya yang nampak gusar. "Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan hal itu dengan penuh percaya diri?" Ia sendiri pun bertanya-tanya, bagaimana bisa?Tadi, saat berada di hadapan Sang Kaisar, Zero merasa begitu yakin terhadap dirinya, bahwa ia dapat membuktikan apa yang ia ucapkan, namun, saat benar-benar akan melakukannya, Zero mendadak merasa gundah.Ini perasaan yang aneh. Seumur hidup, tak pernah terpikirkan olehnya bahwa akan datang hari di mana dirinya yang sibuk berupaya agar Aquila sudi melihat ke arahnya kembali. Selalunya, selama ini hanyalah Aquila yang selalu berusaha untuk dilihat oleh Zero, meskipun ujung-ujungnya Zero tak pernah menghargai usaha Aquila. Apa ini yang dinamakan karma? Huh! Semakin memikirkannya semakin membuat perasaan Zero bertambah buruk.Zero menghela napas, tangannya bergerak menutup sebuah kotak berisi kalung permata
"NONA? NONA!" Suara pintu dibuka bersamaan dengan seruan Ahn membuyarkan lamunan Aquila, wanita itu menoleh, mengapa wajah Ahn terlihat panik seperti ini?"Nona, utusan dari kerajaan datang berkunjung dengan membawakan begitu banyak hadiah!" Ahn memberi kabar.Apa?Aquila segera bangkit dari tempatnya dan melangkah menuju aula besar.Benar saja. Aula dipenuhi oleh para pekerja yang bergerak dengan tumpukan kotak kado di tangannya.Aquila menatap sangsi, tak salah lagi, tentu saja ini perbuatan Zero.Apalagi yang pria itu rencanakan?***"Selamat siang, Nona Aquila. Kedatangan kami ke sini sebagai utusan Yang Mulia Putra Mahkota untuk memberikan anda beberapa hadiah spesial yang telah beliau persiapkan. Saya harap anda dapat menerima kemurahan hati beliau." Salah satu pria berambut klimis yang merupakan utusan kerajaan berbicara kepada Aquila yang masih terdiam."Hadiah? Untukku?" Aquila memerhatikan tumpukan kotak kado yang seakan menggunung itu. "Tapi ini terlalu banyak, apa ini tida
"Aquila, ini merupakan kalung dengan liontin berlian merah yang aku dapatkan dari acara pelelangan dulu. Aku tahu kau sangat menginginkannya, aku seharusnya dulu langsung memberikannya padamu. Kau pasti merasa senang kan karena akhirnya bisa mendapatkannya? Salam hangat, Zero."Tidak. Bukannya merasa senang seperti yang Zero duga pada kartu ucapan itu, Aquila kini justru tak dapat berkata-kata, ia tak dapat mempercayai apa yang baru saja ia baca.Sorot matanya berubah dingin, tangannya bergerak tanpa sadar meremas kartu ucapan itu. "Putra mahkota sedang terang-terangan menghinaku, ya?!" Geramnya dengan ekspresi kekesalan yang terlihat jelas.***"Apa?!" Zero yang sejak tadi duduk diam pada kursi kerjanya, seketika langsung bangkit ketika mendengar laporan dari bawahannya yang ia tugaskan untuk mengantarkan hadiah.Apa tadi katanya? Aquila merasa kesal dengan hadiah yang diberikan?!"M- maafkan saya, Yang Mulia, saya hanya menjalankan tugas sesuai dengan yang anda perintahkan. Awalnya
Matahari sudah tenggelam sejak tadi, tapi Zero masih berada di dalam ruang kerjanya. Zero merenggangkan tangannya, tubuhnya terasa pegal karena ia terlalu lama berada dalam posisi duduk. Pria itu merapikan tumpukan dokumen pada atas meja kerjanya, kemudian bangkit dan berjalan ringan menuju balkon.Udara malam yang segar berembus masuk menggantikan udara pengap akibat jendela yang ditutup. Embusan angin menerpa dirinya ketika ia bertopang pada besi penyangga di balkon.Tapi, ada satu hal yang menarik perhatiannya.Zero baru menyadari, ada seekor burung merpati yang terbang ke arahnya. Hal yang membuatnya fokus adalah secarik surat yang diikatkan pada kaki burung tersebut.Sebuah surat? Kira-kira siapa pengirimnya?Tak ingin terlalu lama bertanya-tanya, ia segera melepaskan ikatan pada surat itu."Kau payah."Apa?!Baru baris pertama pada surat yang Zero baca, pria itu sudah dibuat kesal. Siapa pengirimnya? Berani-beraninya ia mengejek Putra Mahkota seperti ini?!Kalau sampai Zero tah
"Lalu, kapan pria itu akan datang?" Aquila mengangkat bahunya. Entahlah. Wanita itu bangkit, entah karena dorongan apa ia berinisiatif berjalan mendekati jendela, dan benar saja, perasaannya selalu tepat. Begitu Aquila melihat, gerbang utama kediaman Charles langsung terbuka lebar, sebuah kereta kuda yang besar dan mewah dengan berlambangkan lambang kerajaan terparkir pada perkarangan rumahnya. Itu pasti Zero. "Sekarang." Ujar Aquila yang menjawab pertanyaan Alaster yang sebelumnya belum ia jawab. *** Dengan tubuh tegapnya yang memakai pakaian mewah, dan cara berjalannya yang nampak berwibawa, pria itu turun, menghampiri Aquila dengan senyuman di wajahnya. "Selamat pagi, lama tidak berjumpa." Zero menyapa, menjulurkan tangannya ke arah Aquila. "Selamat pagi, Yang Mulia. Semoga dewa selalu menyertai anda." Balas Aquila dengan senyuman yang penuh dengan rasa percaya diri. Aquila menyambut uluran tangan Zero, membawanya masuk ke dalam. Ini adalah pertemuan pertama mereka setelah
"Salam hormat saya ucapkan kepada Yang Mulia cahaya kekaisaran, semoga keberkatan dewa selalu menyertai anda." Duke Charles membungkukkan punggungnya di hadapan Sang Kaisar yang tiba-tiba memanggilnya. "Ada perihal apa Yang Mulia memanggil saya ke istana?"Meskipun melontarkan pertanyaan, sebenarnya, Duke Charles sendiri memiliki dua opsi jawaban di kepalanya ; pertama, tujuan Yang Mulia Kaisar adalah untuk mengancamnya agar tetap menempatkan posisi putrinya berada di dekat Putra Mahkota, opsi kedua, Yang Mulia Kaisar hanya sekadar ingin bertanya kabar dan mempererat tali hubungan mereka sebagaimana yang ia katakan.Opsi yang kedua itu sangat amat mustahil untuk terjadi, jadi, mari kita singkirkan itu. Yang paling masuk akal untuk terjadi hanyalah pilihan pertama."Oh, ayolah, Andres, kau ini memang terlalu serius, ya. Memangnya harus ada alasan khusus untuk memanggilmu?" Kaisar Lius terkekeh, ia menyebut nama depan Duke Charles yang nyaris tidak pernah terdengar dari mulut orang lain
Hari dengan cepat berlalu, kini tibalah hari yang telah dinanti-nanti oleh Zero, hari dimana ia mengajak Aquila untuk menghabiskan waktu bersama menuju villanya yang indah.Zero sudah membayangkan hal-hal yang menyenangkan, seperti duduk bersebelahan di dalam kereta kuda sembari membahas nostalgia masa kecil yang menyenangkan, berjalan-jalan ringan sambil menikmati pemandangan alam yang indah, dan menghabiskan malam bersama. Itu semua sudah berada di dalam ekspektasi Zero, tapi...Tapi...Kenapa tiba-tiba ada pria bertubuh besar yang duduk ditengah-tengah dan memisahkan posisinya dengan Aquila?Sial.Kenapa, sih, pria ini harus ikut?Zero menoleh kepada Alaster yang duduk persis di antara dirinya dengan Aquila. Ekspresi Zero jelas memberi tanda kalau ia tidak nyaman, tapi, Alaster yang menyadari hal itu hanya memasang senyum lebarnya."Pemandangannya sangat indah, ya, Yang Mulia." Alaster tersenyum, senyum yang membuat kekesalan Zero bertambah dua kali lipat.Zero segera memalingkan w
Pagi sudah tiba, Aquila sudah siap dengan pakaian formalnya dan juga topi capulet yang indah. Bukan karena ia ingin bertemu dengan Putra Mahkota seperti yang sudah mereka janjikan sebelumnya, tapi karena hari ini ia akan bertemu dan menjalin kerja sama dengan Tuan Ares. "Selamat pagi, Yang Mulia." Aquila menyapa Zero yang ternyata sedang menunggunya di depan ruangan. Zero menjulurkan tangannya kepada Aquila, "Kau terlihat sangat cantik hari ini." Ujarnya tanpa dibuat-buat. "Terima kasih, Yang Mulia." Aquila menerima uluran tangan itu, mereka pun berlangkah beriringan menuju perahu mewah yang sudah Zero siapkan. Zero telah menyiapkan ini semua dengan sepenuh hati, ah, Aquila jadi merasa tidak enak karena membiarkan Zero terus tenggelam dalam ekspektasinya kalau hari ini akan berjalan lancar. Padahal, tanpa Zero ketahui, Alaster sudah terlebih dahulu sampai di dekat perahu, menunggu tak sabar dengan kedua tangan dilipat ke dada. "Kebetulan udaranya sangat cocok untuk menghabisk