Waktu demi waktu berlalu. Semua terasa begitu cepat.
Dalam waktu satu minggu ini, ada banyak hal yang Aquila lakukan, ia mendatangi banyak sekali pesta yang diadakan para bangsawan— tentunya untuk meninggalkan banyak kesan baik.
Ia juga menggunakan uang pribadinya untuk disumbangkan pada sebuah tempat penampungan anak terlantar, tentu dengan harapan namanya menjadi lebih bersih di mata rakyat.
Namun itu semua belum cukup, Zeline pasti melakukan hal yang lebih, tentu Zeline tak akan diam saja melihat Aquila melancarkan rencananya untuk terpilih menjadi Putri Mahkota. Zeline juga pasti memiliki rencananya tersendiri.
"Terima kasih, Ahn." Ujar Aquila saat Ahn selesai menata rambutnya.
Ahn mengangguk, "wajahmu terlihat lelah, Nona." Komentarnya.
"Yah, sedikit," Ucapnya pelan. "Aku lumayan lelah dengan semua rutinitas ini." gumamnya, "bahkan masih ada banyak hal yang belum aku lakukan."
"Semangat,
Rose masih berusaha menetralkan detak jantungnya, nyaris saja ia ketahuan sedang mengendap-endap ke ruangan Nona Zeline, untungnya Rose dapat menemukan tempat persembunyian yang aman. "Jadi, apa yang ingin kau laporkan?" Tanya Zeline langsung pada inti pembicaraan. Wanita itu melipat tangannya di dada, memandang skeptis, Rose pernah mengecewakan Zeline dengan memberikan informasi yang keliru, jadi kali ini Zeline tak akan menelan mentah-mentah kalimat yang Rose katakan. "Ini tentang Nona Aquila dan Viscount Falls, Nona." Ujar Rose. "Aku mendengar percakapan ini di perpustakaan, ternyata yang membuat Viscount Falls membatalkan kerja samanya dengan Baron Aideos adalah Nona Aquila." "Nona Aquila menolak untuk berinvestasi kalau Viscount Falls masih bekerja sama dengan Baron Aideos. Ini yang menyebabkan Viscount Falls memutus kerja sama secara sepihak." Lanjut Rose. "Alasan Nona Aquila berbuat demikian sungguh kekanakan, itu karena ia tidak menyukai a
"Menjijikkan." Zeline melempar sembarangan surat kabar yang baru saja ia baca itu. "Sangat menjijikkan, mencoba mengenal rakyat lebih dekat apanya?" ia mengomentari surat kabar yang tercetak wajah Aquila pada halaman pertama. "Bukankah itu sama saja ia sedang mengakui kalau ia sedang berusaha merebut hati rakyat?" "Zeline," Charelle— dayang Zeline, tiba-tiba saja masuk ke dalam ruangan. Ujung sepatu kacanya tanpa sengaja menginjak surat kabar yang baru saja dilempar Zeline. Charelle membungkuk, memungut surat kabar itu, "maksudmu, ini yang menjijikkan?" Charelle terkekeh, menunjukkan surat kabar dengan wajah Aquila tersebut. Zeline mendengus kesal, status Charelle hanyalah dayangnya, tetapi wanita itu sangat tidak sopan, seenaknya masuk ke ruangannya. "Tidak, tadi aku melihat tikus, dan itu sangat menjijikkan." "Ruangan Nona Zeline banyak tikusnya, ya?" Charelle mengangkat sebelah alisnya. "Nona, sebenta
"K— kau... Apa?!" Mata Aquila membelalak, berusaha memastikan ia tak salah dengar. "Kau menampar Nona Zeline?" Charelle mengangguk. Jelas sekali sorot ketakutan terlihat dari matanya. "Kenapa kau melakukan itu?" Aquila bertanya bingung. Wanita itu meringis, bahkan, Aquila saja tak berani melakukannya— karena ia tahu Zero akan menjadi orang pertama yang menyeretnya ke dalam lubang kematian kalau ia berani macam-macam dengan kekasihnya. Nona Theta yang mendengarkan hanya bisa menepuk dahi, "kau hanya memperpendek umurmu," Komentarnya— yang membuat Charelle semakin panik. "Nona Zeline merendahkanku!" Charelle berseru, berusaha menjelaskan penyebab perbuatannya. "Tentu aku tidak akan diam saja!" "Merendahkanmu?" Dahi Aquila terlipat, ia tebak, pasti sebelumnya terjadi perdebatan di antara mereka yang menyebabkan Zeline naik pitam— tidak mungkin Zeline tiba-tiba saja langsung merendahkan Charelle tanpa ada alasan yang jelas, ditam
"Astaga... Itu benar-benar hal yang buruk..." Countess Eliza— salah satu dayang Aquila menutup mulutnya. Ia nampak terkejut dengan hal yang baru saja Aquila ceritakan. Aquila bersandar pada dinding, wajahnya nampak frustasi. "Charelle dimasukan ke dalam penjara bawah tanah, Nona Theta juga entah diseret ke mana, dan Zero mengancamku kalau aku ikut campur." Ia mengusap wajahnya, "aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan." Aquila pikir bercerita pada Countess Eliza dapat membantunya keluar dari kebuntuan, nyatanya sama saja, Countess Eliza juga tak tahu harus berbuat apa dalam situasi seperti ini. Countess Eliza menepuk bahu Aquila— berusaha menenangkan gadis itu, "bagaimanapun juga, kau harus ingat, saat ini kau berhadapan langsung dengan sang putra mahkota, aku tak ingin kau salah langkah dan justru melakukan hal yang membahayakanmu." Wanita itu menatap dengan sorot cemas. Ahn datang, membawakan pesanan Aquila. "Ini, Nona.
Udara yang hangat, ruangan yang berisikan furnitur kayu, serta jejeran rak buku yang tertata rapi pada pojok ruangan. Aquila bersandar nyaman pada sebuah kursi kayu. Rumah ini, meskipun ukurannya sangat kecil, tapi rasanya sangat nyaman. "Ini rumahmu?" Tanya Aquila terhadap Alken yang sedang sibuk menyalakan perapian. "Tentu saja." Sahut Alken tanpa menoleh, ia masih sibuk mengurusi tumpukan kayu di tangannya. "Memangnya untuk apa aku membawamu ke rumah orang lain?" "Tidak, maksudku, untuk apa kau memiliki rumah kecil di pinggir kapital? Bukankah istana sudah sangat besar dan nyaman?" "Hmm?" Alken bangkit setelah selesai menyalakan perapian, kali ini ia kembali sibuk dengan kegiatannya yang lain. "Rumah ini aku gunakan untuk menyimpan arsip dan dokumen yang penting. Tidak ada yang mengetahui tempat ini selain kau, yah, bisa dibilang ini tempat rahasiaku." Ujarnya sembari menyeduh teh. "Oleh karena itu, jangan katakan pada sia
"Apa kau yakin Tuan Varen ada di sini?" Aquila bertanya lagi, hanya untuk memastikan. Alken mendengus, "aku kan sudah mengatakannya, lagi pula tadi kau dengar sendiri, kan, apa yang pelayan di kediaman Varen katakan? Marquis Varen sedang berada di sini." Aquila menganggukkan kepala, ia menatap perkumpulan para bangsawan di depannya, salah satu di antaranya pasti adalah Marquis Varen. "Tuan Alken, boleh aku bertanya lagi?" "Apa?" Tanya Alken sedikit ketus, "awas saja kalau pertanyaanmu tidak penting." Aquila tidak begitu mempermasalahkan sahutan Alken yang terdengar ketus, pria itu, meski cara menjawabnya terdengar menyebalkan, jawaban Alken selalu berguna dan dapat dipercaya. Aquila mundur satu langkah, lantas melakukan gerakan berputar, "bagaimana penyamaranku?" Ia bertanya, "tidak akan ada yang menyangka, kan, kalau aku adalah Nona Charles?" Alken meletakan tangan pada dagu, "hmm... Sekilas mungkin tak akan ada ya
Tentu saja Aquila tidak benar-benar berniat 'memenggal' kepala penjaga itu. Pedangnya... Hanya menggores permukaan kulit lehernya, membuat darah terkeluar. Penjaga yang satu lagi nampak membisu, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Demi melihat hal itu, Aquila langsung memanfaatkan momen ini untuk menyerangnya. Penjaga itu terjatuh sebab serangan mendadak Aquila. Saat ini tubuh Aquila berada di atasnya, mengunci pergerakan penjaga tersebut. Dengan cepat, Aquila mengeluarkan sebuah kain dari dalam jubahnya, lalu ia menutup mulut sang penjaga yang tengah memberontak dari kuncian Aquila. Ayo, bekerjalah, Aquila terus memohon dalam hatinya. Semoga obat tidur dalam dosis sangat tinggi yang ia tuangkan ke dalam kain, dapat bekerja dengan cepat, melumpuhkan penjaga itu. Sepertinya berhasil. Aquila dapat merasakan tubuh orang di depannya semakin melemas, tidak ada lagi gerakan memberontak, saat ini ia sudah tak sadarkan diri.
Aquila melipat kedua tangannya di dada, ia bersandar pada dinding sembari memandangi seseorang yang nampak mengendap-endap. Malam semakin larut, tapi, jangankan berkhayal untuk bisa berbaring di kasur seperti biasanya, Aquila justru masih saja disibukkan dengan hal-hal seperti ini. Aquila menghela napasnya, wajahnya terlihat muak, "dari mana saja kau malam-malam begini?" Ia bertanya kepada Rose yang nampak terkejut akan kehadiran Aquila secara tiba-tiba. Rose terperanjat, "n- nona, Aquila..." "Ini sudah larut malam, Nona Rose. Kenapa kau berkeliaran keluar semalam ini?" "Aku... Aku sedang..." Wajah Rose nampak tengah berpikir, "aku sedang mencari angin, Nona..." "Hmm?" Alis Aquila terangkat, ia nyaris tertawa akan kebohongan Rose yang terdengar konyol. "Kau sedang mencari angin? Benarkah?" "I-iya, Nona!" "Atau kau telah kembali dari ruangan Nona Zeline setelah melaporkan segala tindak-tandukku dari awa
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa
“Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y
“Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya
Berkat monster yang dilepaskan Yelena, beserta bala bantuan dari keluarga Charles dan Varen, prajurit istana berhasil dipukul mundur. Pertumpahan darah terjadi, waktu berjalan begitu cepat, tak disangka kekuatan istana dapat disudutkan.Di detik-detik kelumpuhannya, Kaisar mengeluarkan kartu as terakhirnya, yakni dengan melepaskan ‘Subjek Venatici’ yaitu kumpulan manusia yang telah dicuci otaknya sehingga rela melakukan apa saja demi melindungi sang kaisar, termasuk menyerahkan nyawanya sendiri. Singkatnya, mereka adalah anjing kaisar.‘Subjek Venatici’ berkaitan erat dengan negara-negara jajahan. Kaisar memerintahkan untuk menginvasi desa-desa miskin, membunuh para orang tua maupun semua penduduk, menculik anak-anak mereka dan mengumpulkannya menjadi satu. Setelahnya, Kaisar mengurung mereka, melakukan pencucian otak agar selalu tunduk pada kehendaknya dan agar mereka dapat mempersembahkan nyawa untuknya.Mereka menjalani kehidupan yang keras, saling membunuh satu sama lain untuk mem
“Satu-satunya yang bisa menemukan akses masuk itu hanyalah Nona Yelena.” Ucapnya. “Sebagai seorang penyihir, Nona Yelena dapat merasakan aliran mana di sini. Gunakan kemampuan anda, rasakan mana yang ada, jika terasa semakin kuat, bisa saja itu tandanya kita semakin dekat dengan akses masuk itu.” Ini penjelasan yang paling memungkinkan, hanya Yelena yang dapat melakukannya. "T- tapi, bagaimana kalau ternyata aku gagal dan kita hanya semakin membuang waktu?” sorot keraguan terpampang jelas dari matanya. “Kami percaya padamu, aku tahu kau bisa melakukannya.” Aquila menggenggam tangan Yelena. “Apa kau ingat saat di mana para prajurit tadi berhasil mengepungku? Aku kira nasibku akan berakhir saat itu, tapi tiba-tiba kau menggunakan kekuatanmu untuk membuat mereka melayang. Itu kau yang melakukannya, kan? Aku yakin kau menyimpan potensi yang sangat besar hanya saja kau belum menyadarinya.” Alken mengangguk kecil. “Kau bisa melakukannya.” Ia menambahkan, meyakinkan. *** Yelena memejam
“Apa?”Kabar yang baru saja disampaikan oleh salah satu pelayannya ini membuat Duke Charles membulatkan matanya.“Terjadi penyerangan pada istana?” ia bertanya, memastikan.Kalau kabar ini sampai ke telinga bangsawan lain, mereka pasti berpikir kalau kelompok penyembah kekuatan itu lah yang menjadi dalang dalam kasus ini. Tapi tidak dengan Duke Charles, pria itu tau dengan jelas siapa saja yang akan bertanggung jawab dalam hal ini.Termasuk putra dan putrinya.Sebenarnya Duke Charles tidak terkejut atas keterlibatan anak-anaknya, mudah baginya untuk mengendus rencana mereka semenjak kedatangan Grand Duke Alucio untuk makan malam bersama, ditambah lagi, kedekatan antara putrinya dengan pria itu. Tapi, yang membuatnya terkejut adalah ia tak menyangka kalau ini akan terjadi secepat ini.Timing-nya benar-benar pas dengan kabar pemberontak dari kelompok penyembah kekuatan. Hal ini sudah direncanakan dengan sangat matang.“Kumpulkan pasukan, kita akan mengirim bala bantuan untuk menyerang i