***
Suasana menegang. Seluruh rakyat, dengan debaran di dadanya, kini tengah menjadi saksi eksekusi mati salah satu bangsawan yang bernama Aquila Sapphire de Charles.
Aquila dihukum atas dasar percobaan pembunuhan kekasih putra mahkota, Zeline Jane Aideos.
Ketegangan semakin meningkat. Semua mata tertuju pada Aquila yang terpaksa tertunduk dihadapan Zero, sang putra mahkota. Tangan dan kaki Aquila terikat, mulutnya tersumpal, namun ia masih bisa memberikan tatapan bengisnya kepada Zero. Aquila bersumpah, ia akan menuntut balas atas penghinaan ini.
Suara langkah prajurit. Seorang prajurit menyerahkan sebilah pedang kepada sang putra mahkota— orang yang akan mengeksekusi Aquila.
Rakyat menyaksikan kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Sebagian merasa takut, sebagiannya lagi merasa lega karena menganggap pemberontak telah ditaklukan.
Zero menatap pedang itu lalu menatap manik mata Aquila secara bergantian. Tatapan Zero berubah sendu. Karena bagaimanapun, Aquila adalah teman pertamanya, terlalu banyak kenangan yang telah ia habiskan dengan perempuan yang tengah tertunduk dihadapannya ini.
Tidak. Zero harus melakukan ini. Karena cewek di depannya ini nyaris merenggut nyawa kekasihnya.
Zero mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Bersiap menebas leher sahabat pertamanya ini.
Seluruh saksi tanpa sadar menahan napas.
"AQUILAAAAAAA!!!!"
***
Alena terperanjat saat seseorang menepuk bahunya.
"Kamu baca apa, sih?"
Alena menatap orang yang tengah mengganggunya. Itu Calyn, sahabat perempuannya.
Calyn duduk disamping Alena, membuat cewek itu spontan menggeser posisinya.
"Aku ngomong kok dicuekin?" Calyn cemberut. "Eh, ini kan novel yang kemarin baru kamu beli." Calyn mengambil buku novel itu, ia membolak-balikkan halamannya.
Novel itu berjudul cinta sejati, berkisah tentang gadis bangsawan berstatus rendah yang merantau ke Kapital, disana ia bertemu dengan sang Pangeran Putra Mahkota, lalu mereka saling jatuh cinta. Tapi tak semudah itu, karena cinta mereka terhalang oleh sang penjahat yang bernama Aquila yang juga mencintai putra mahkota.
Alurnya memang sangat klise, tapi entah mengapa memiliki banyak peminat.
Alena salah satunya.
Alena bahkan sampai bergabung ke komunitas pembenci Aquila yang beranggotakan nyaris lima ribu orang.
"Balikin!" Alena mengambil kembali novel itu. "Ini lagi seru-serunya, tau! Akhirnya, Aquila si Nenek Sihir dapet hukuman yang setimpal!" Alena menjelaskan dengan mata berbinar, ia bahkan memiliki julukan tersendiri untuk tokoh Aquila.
Calyn mengangguk-angguk tanpa minat. Berbeda dengan Alena yang maniak novel, ia sama sekali tak suka membaca. Menurutnya, kegiatan itu membuatnya mengantuk.
"Aku seneng banget, akhirnya Pangeran Zero sama Putri Zeline bisa hidup bahagia selamanya! Dan si pengacau akhirnya mati!" Alena berucap menggebu-gebu, ia sangat menyukai scene tadi. Rasanya, kadar kebencian Alena terhadap Aquila dari satu sampai sepuluh adalah sebelas.
Calyn mengangguk lagi, meskipun ia tak begitu paham. Ia teringat sesuatu. "Eh, ayo kita ke kantin, udah ditunggu sama temen-temen yang lain." Cewek itu bangkit, lalu menarik lengan Alena untuk mempercepat langkahnya.
***
"Sini, Alena." Lea tersenyum menepuk-nepuk kursi kosong disampingnya, memberi isyarat kepada Alena untuk duduk disitu.
Alena mengangguk, ia menghampiri lalu tersenyum tipis.
Jujur saja, Alena lebih suka menyendiri, teman-temannya disini kadang membuatnya merasa risih. Tapi Alena bukanlah orang yang pandai bergaul, maka dari itu ia memilih bertahan dengan teman-temannya ini.
"Tadi udah aku pesenin minum." Anne menggeser gelas yang berisikan air jeruk. "Ngomong-ngomong makasih, ya, udah bantuin ngerjain tugas aku yang udah numpuk dari semester kemarin." Anne tersenyum manis.
Alena mengangguk canggung. "Sama-sama." Cicitnya.
Lea merangkul pundak Alena, "oh iya, kemarin kan aku udah minta tolong kamu buat ngerjajn tugas aku. Sekarang udah selesai belum?" Matanya menatap Alena penuh harap.
Alena menunduk, menghindari tatapan mata itu. "Be- belum..." ujarnya tak enak.
"Kok gitu?" Lea melepaskan rangkulan, ia menatap sedih, "bukannya kamu udah janji?"
"Aku..." Alena menggantungkan ucapannya, "bakal aku kerjain."
"Nah, gitu dong." Lea tersenyum manis.
Dibelakangnya, ada Calyn yang tengah tersenyum sambil menatap ponselnya. "Alena, aku ada urusan sebentar. Aku tinggal dulu, ya?"
Alena menatap tak rela, diantara segerombolan teman-temannya disini, ia paling nyaman saat bersama Calyn. Tapi apa daya, mau tak mau Alena mengiyakan.
Sepeninggal Calyn, Alena hanya diam saja disini, tak ikut menimbrung percakapan mereka.
Alena merupakan siswi terpintar di angkatannya, tapi Alena payah sekali dalam bergaul, Alena tak pernah berani menolak keinginan teman-temannya, meski keinginan itu merugikannya. Alena juga selalu berusaha menjaga perasaan mereka.
Tak jarang orang mendekati Alena karena tujuan tertentu. Tapi, sial, Alena tak pernah berani menghempas benalu-benalu itu.
Satu-satunya hal yang membuatnya bahagia adalah membaca buku. Selain itu ... Ah, berbincang dengan Kent, kekasihnya jugalah hal yang sangat membahagiakan!
Ngomong-ngomong, Alena jadi merindukan cowok itu.
"Teman-teman, aku pergi sebentar, ya," Alena bangkit, tanpa menunggu respon dari kawan-kawannya, ia beranjak begitu saja.
***
"Kent pasti suka." Alena tersenyum, ia menenteng sebuah plastik yang berisi pie. Tadi Alena sempat mampir untuk memberikan ini kepada kekasihnya.
Langkahnya terlihat riang, senyumnya mengembang cerah. Bagi Alena, Kent adalah pacar terbaik yang pernah ada!
"Kent enggak ada di sini."
Senyum Alena memudar saat mendengar jawaban dari salah satu teman Kent. Kekasihnya tidak ada di kelas? Lalu dimana lagi?
"Oh, kalau begitu, makasih, ya." Alena mengangguk sopan lalu berbalik.
Langkah kakinya bergerak tanpa memiliki tujuan yang jelas. Alena bahkan tidak sadar kalau ia sudah berada di halaman kampus.
"Mau sampai kapan kita ngumpet-ngumpet terus?"
Alena spontan menoleh saat mendengar suara itu, tidak ada siapa-siapa disana. Alena menggaruk tengkuknya, merasa bingung.
"Kamu sabar sebentar lagi, ya?" Kali ini terdengar suara lainnya, seperti suara laki-laki.
Alena mengernyit, ia hafal dengan jelas itu suara siapa. Itu suara Kent, kekasihnya.
"Iya, tapi aku udah enggak tahan lagi."
Suara ini berasal dari balik sebuah pohon besar. Dengan rasa penasaran yang meluap-luap, Alena melangkah mendekat.
Alena memiliki penglihatan yang lemah, mungkin karena terlalu banyak bersinggungan dengan buku, entahlah.
"Honey, kamu percaya, 'kan sama aku? Sabar sedikit lagi, ya? Kamu tau 'kan aku cuma sayang sama kamu?"
Tubuh Alena membeku. Ia benar-benar tak mempercayai apa yang disaksikannya saat ini.
Kekasihnya, Kent, tengah mencium bibir seorang wanita. Kedua orang itu terlihat begitu mesra, bahkan mereka tak menyadari kehadiran Alena yang hanya berjarak satu meter dari mereka.
Kejutan bertubi-tubi. Air matanya menetes saat tau orang yang dicium Kent adalah sahabat terdekatnya.
"Calyn..." Alena berucap lirih dengan sedikit terisak. Air matanya semakin bercucuran.
Calyn langsung melepas ciumannya saat mendengar suara Alena. Calyn terperanjat, ia sama terkejutnya, begitupun dengan Kent.
"A... Lena..." Calyn terbata-bata, berusaha memberi pembelaan namun lidahnya terasa kelu.
Alena marah luar biasa, ia tak pernah tau kalau dikhianati akan terasa sesakit ini. Ingin rasanya menampar wajah kedua orang di depannya ini. Tapi apa daya, tubuhnya serasa membeku.
"Alena, Baby, i can explain it to you." Kent panik setengah mati, ia bahkan tanpa sadar berbicara dengan bahasa aslinya.
Kent perlahan meraih pergelangan tangan Alena, maniknya menatap mata Alena yang berkaca-kaca, "kamu tadi salah liat..."
Alena menepis dengan kasar genggaman tersebut. Ia menatap bengis. Alena tidak sebodoh itu untuk mempercayai perkataan orang di hadapannya.
Tapi apa daya, emosi kini lebih menguasai pikirannya. Air matanya menetes lagi. Alena segera berbalik, berlari secepat yang ia bisa. Hari ini benar-benar hari yang buruk.
"ALENA!" Kent memanggil, berusaha menyusul langkah gadis itu.
Alena semakin terisak, pandangannya terasa kabur karena air mata yang membendung. Ia tak tahu sedang melangkah ke arah mana, yang jelas, ia ingin berada sejauh mungkin dari cowok itu.
"Alena, jangan kesitu!" Kent berseru lagi. Tapi, seperti yang sudah-sudah, Alena tak mengindahkan.
Alena berhenti sesaat, "JANGAN IKUTI AKU!" ia balas berteriak, menumpahkan emosinya yang telah menumpuk.
"ALENA, AWAS!" Kent berteriak lagi.
Awas? Apa maksudnya?
Alena telat menyadari, laju sebuah mobil dari arah berlawanan. Saat ia menoleh, kendaraan itu benar-benar berada persis di hadapannya. Tak ada waktu untuk menghindar.
BRUKK!
Tubuh Alena terpental jauh, Alena masih berusaha mencerna semua ini. Tubuhnya tak bisa digerakkan, darah segar mengalir dari kepalanya.
"ALENA!" Kent berlari menghampiri, menatap tubuh Alena yang begitu mengenaskan.
Alena tersenyum sinis. Jadi inilah akhir hayatnya? Dikhianati lalu mati persis dihadapan orang yang mengkhianatinya?
Ia mati konyol.
***
Alena mengerjap beberapa kali. Kepalanya terasa pening akibat cahaya yang menerobos jendela.
Ia melenguh, tangannya bergerak menyentuh kepalanya.
"AQUILA!"
Alena terdiam, ia masih tak paham apa yang sedang terjadi?
Seorang lelaki dengan bola mata merah menyala menghampirinya, tubuh tegapnya memberikan pelukan hangat terhadap Alena. "Aquila, kau sudah sadar rupanya!" Ujar lelaki itu.
***
"A... Aquila?" Alena membeo. Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di kepalanya, tapi rasa pening yang kini tengah menghantam kepalanya tanpa ampun membuat ia memutuskan untuk tetap diam saja. "Katanya kau mendadak pingsan saat menghadiri pesta minum teh kerajaan?" Cowok aneh ini memeluknya semakin erat. "Huhuhu! Aku pikir seseorang telah meracunimu!" Cowok itu mengguncangkan bahu Alena, membuat rasa pusingnya menjadi dua kali lipat. "Sebenarnya bagaimana kau bisa pingsan?" Orang ini terus berbicara tanpa henti, Alena memegangi kepalanya yang berdenyut parah. "Argh—" Alena menekan pelipisnya, ia benar-benar merasa pusing. "Aquila?!" Sosok di depannya menatap khawatir, "tabib! Aku akan memanggil tabib!" Alena buru-buru menahan lengan orang itu, "nggak perlu," ujarnya dengan suara lemah, "aku mau istirahat aja," Alena menarik selimutnya hing
*** Aquila duduk tenang di salah satu kursi yang dihiasi dengan ornamen ukiran. Tidak, sebenarnya dia tidak benar-benar tenang, ia kini tengah merasa sangat gelisah. Aquila tengah menghadiri pertemuan minum teh tidak resmi berdua dengan putra mahkota, ulangi, hanya berdua. Perasaan tidak tenang menyelimuti hatinya, di satu sisi, tokoh putra mahkota merupakan tokoh favoritnya, dalam novel, ada banyak narasi yang menjelaskan tentang ketampanan sang putra mahkota. Selain itu, sifat protektifnya pada sang peran utama wanita juga membuat Aquila kagum. Masalahnya, kini 'Aquila' harus berhadapan dengannya sebagai seorang antagonis. Ditambah lagi, dalam novel, Zero adalah malaikat maut Aquila. Sialan. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Putra mahkota memasuki ruangan. Pintu besar terbuka, masuklah seorang laki-laki yang diiringi dua pengawal di kanan dan kirinya. Zero, sang putra mahkota menarik kursi persis di depan Aquila. T
"Zeline!" Zeline tersenyum lemah, menatap ekspresi khawatir putra mahkota. Tangannya bergerak mengelus pucuk kepala kekasih protektifnya itu. "Aku tidak apa-apa." Seolah tahu kekhawatiran Zero, Zeline menjawab sebelum ditanya. Zero langsung memeluk Zeline erat, seakan takut kehilangan. "Orang yang jahatin kamu ... Semuanya bakal aku habisi," bisiknya tepat di telinga Zeline. Zeline merasa sekujur tubuhnya merinding, ia menggeleng kuat-kuat, "jangan, yang mulia." Meski tak yakin, sepertinya ia dapat menebak siapa yang menuangkan racun pada minumannya. Zero menatap mata Zeline, ia benar-benar tak mengerti mengapa Zeline bisa sebaik ini? Zeline tersenyum manis, membuat kedua lesung pipitnya terlihat jelas. Zeline tak ingin Zero menghukum Aquila karena ia sendiri memiliki rencana yang jauh lebih baik. *** Terdengar suara dari goresan tinta yang beradu dengan secarik kertas. Aquila, lagi-lagi tengah membu
Masih di hari yang sama. Aquila tengah berjalan-jalan di taman dengan sebuah roti di tangannya. Sebenarnya makan sambil berjalan itu tidak sesuai dengan etika yang diajarkan disini, hanya saja Aquila sudah terbiasa melakukan itu di kehidupan sebelumnya. Aquila merasa semakin betah disini. Benar-benar dunia yang begitu indah. Ia menghirup udara segar, rasanya sungguh berbeda dengan udara di tempatnya dulu. Matanya dimanjakan dengan banyak sekali tanaman dan bunga-bunga yang indah dan berwarna-warni. Suasananya benar-benar indah, sepertinya tak akan ada hal yang bisa merusak moodnya. "ADIKKU SAYANG~" Atau mungkin ada. Alaster, berlari kecil ke arah adiknya, di tangannya ada sebuah kotak besar. Apa lagi yang akan dilakukan orang berisik ini? "Adikku, tebak apa yang kubawa?" Alaster menunjukkan kotak itu dengan perasaan bangga. Jangan menyuruhku menebaknya! Aku tidak tau! Aq
Di dalam novel, Charelle Eora Varen adalah tokoh yang sangat berpengaruh terhadap jalan cerita. Aslinya, Charelle lah yang pertama kali menyebarkan rumor tentang rencana pembunuhan yang dilakukan oleh Aquila. Saat itu, rumor menyebar dengan begitu cepat. Baik di kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Hanya saja, di latar waktu yang sekarang, rumor telah menyebar lebih cepat dari aslinya, Aquila tak tahu darimana asalnya. Saat ini, Aquila akan berencana menggunakan Charelle sebagai alat supaya rumor buruk ini cepat mereda. Charelle adalah orang yang paling tepat untuk itu, karena sifatnya yang sangat supel dan memiliki banyak koneksi, rumor dapat menyebar dengan begitu cepatnya jika Charelle yang memulainya. Maka disinilah Aquila. Aquila turun dari kereta kudanya, ia kini telah sampai di kediaman Marquis Varen. Saat Aquila menapakkan kakinya, ia langsung disambut dengan hangat oleh beberapa pengawal di sana.
Lega sekali rasanya. Pada pagi hari ini, Aquila bangun dengan perasaan berbunga-bunga serta semangat yang meluap. Ia masih tak percaya ia telah berhasil mengatakannya. Terserah kalau ada yang berpikir dirinya berlebihan, tapi bagi Aquila ini adalah salah satu pencapaian yang besar. Pada kehidupan sebelumnya, saat ia masih menjadi seorang 'Alena' begitu sulit rasanya untuk mengemukakan pendapatnya, ia selalu takut akan reaksi orang lain atau kalau pendapatnya tidak sesuai dengan opini orang lain. Tapi kini, ia berhasil mengatakan semua unek-uneknya di depan Yang Mulia. Sekali lagi, rasanya begitu lega. "Nona, hari ini kau terlihat begitu bahagia." Komentar Ahn, yang kini tengah menata rambut Aquila, seperti biasanya. "Eh, begitukah?" Aquila tersenyum, ia tidak dapat menahan senyumnya. "Nona Ahn, apakah hari ini ada jadwal yang harus aku hadiri?" Ahn, yang kali ini sedang sibuk berkutat dengan pengait pada kalung perm
Revel Rex Alucio. Sedikit latar belakang tentangnya. Grand Duke Alucio adalah anak resmi dari raja dan ratu terdahulu. Beberapa puluh tahun yang lalu, saat kekaisaran ini masih dipimpin oleh raja terdahulu, saat itu raja memiliki seorang anak dari permaisuri yang resmi serta seorang anak dari selir. Kekacauan dimulai saat sang raja meninggal, tentu saja, sebagai pewaris tahta yang resmi, anak dari sang permaisuri akan dinobatkan menjadi raja berikutnya. Namun saat itu terjadi kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh anak sang selir yang iri. Alhasil, anak dari permaisuri, sang pewaris resmi, berhasil diasingkan ke tempat yang tak seorangpun tahu. Sedangkan kini, anak dari sang selir berhasil dinobatkan sebagai raja saat ini. Tanpa ada yang tahu, anak dari sang pewaris resmi ternyata telah memiliki keturunan, ia bernama Revel Rex Alucio— seorang pria dengan aura menyeramkan yang sedang berada dihadapan Aquila saat ini. S
"Yang Mulia, ini uang yang kau hilangkan." Zero yang saat itu tengah merasa linglung karena tidak sengaja menghilangkan sejumlah dana yang nantinya akan digunakan untuk menyelenggarakan sebuah acara langsung merasa senang saat Aquila menyerahkan sejumlah uang dari dalam kotak kecil. "Kau menemukannya?" Zero kecil bertanya dengan sumringah. Aquila kecil yang saat itu memakai dress berwarna merah muda hanya menggeleng. "Tidak, ini tabunganku." Aquila tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi susunya. "Tunggu. Tapi kenapa kau memberikannya padaku?" Tanya Zero keheranan. "Aku tidak ingin kau dimarahi ibunda ratu." Balas Aquila tulus. *** Zero memijat pelipisnya, entah mengapa secara tiba-tiba ia teringat salah satu kenangan masa kecilnya bersama Aquila. "Yang Mulia, kau sedang memikirkan apa?" Tanya Zeline yang berada di sampingnya. Zero tak menggubris. Ia bahkan tak menyadari kehadiran perempuan itu di sampingnya
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa
“Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y
“Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya
Berkat monster yang dilepaskan Yelena, beserta bala bantuan dari keluarga Charles dan Varen, prajurit istana berhasil dipukul mundur. Pertumpahan darah terjadi, waktu berjalan begitu cepat, tak disangka kekuatan istana dapat disudutkan.Di detik-detik kelumpuhannya, Kaisar mengeluarkan kartu as terakhirnya, yakni dengan melepaskan ‘Subjek Venatici’ yaitu kumpulan manusia yang telah dicuci otaknya sehingga rela melakukan apa saja demi melindungi sang kaisar, termasuk menyerahkan nyawanya sendiri. Singkatnya, mereka adalah anjing kaisar.‘Subjek Venatici’ berkaitan erat dengan negara-negara jajahan. Kaisar memerintahkan untuk menginvasi desa-desa miskin, membunuh para orang tua maupun semua penduduk, menculik anak-anak mereka dan mengumpulkannya menjadi satu. Setelahnya, Kaisar mengurung mereka, melakukan pencucian otak agar selalu tunduk pada kehendaknya dan agar mereka dapat mempersembahkan nyawa untuknya.Mereka menjalani kehidupan yang keras, saling membunuh satu sama lain untuk mem
“Satu-satunya yang bisa menemukan akses masuk itu hanyalah Nona Yelena.” Ucapnya. “Sebagai seorang penyihir, Nona Yelena dapat merasakan aliran mana di sini. Gunakan kemampuan anda, rasakan mana yang ada, jika terasa semakin kuat, bisa saja itu tandanya kita semakin dekat dengan akses masuk itu.” Ini penjelasan yang paling memungkinkan, hanya Yelena yang dapat melakukannya. "T- tapi, bagaimana kalau ternyata aku gagal dan kita hanya semakin membuang waktu?” sorot keraguan terpampang jelas dari matanya. “Kami percaya padamu, aku tahu kau bisa melakukannya.” Aquila menggenggam tangan Yelena. “Apa kau ingat saat di mana para prajurit tadi berhasil mengepungku? Aku kira nasibku akan berakhir saat itu, tapi tiba-tiba kau menggunakan kekuatanmu untuk membuat mereka melayang. Itu kau yang melakukannya, kan? Aku yakin kau menyimpan potensi yang sangat besar hanya saja kau belum menyadarinya.” Alken mengangguk kecil. “Kau bisa melakukannya.” Ia menambahkan, meyakinkan. *** Yelena memejam
“Apa?”Kabar yang baru saja disampaikan oleh salah satu pelayannya ini membuat Duke Charles membulatkan matanya.“Terjadi penyerangan pada istana?” ia bertanya, memastikan.Kalau kabar ini sampai ke telinga bangsawan lain, mereka pasti berpikir kalau kelompok penyembah kekuatan itu lah yang menjadi dalang dalam kasus ini. Tapi tidak dengan Duke Charles, pria itu tau dengan jelas siapa saja yang akan bertanggung jawab dalam hal ini.Termasuk putra dan putrinya.Sebenarnya Duke Charles tidak terkejut atas keterlibatan anak-anaknya, mudah baginya untuk mengendus rencana mereka semenjak kedatangan Grand Duke Alucio untuk makan malam bersama, ditambah lagi, kedekatan antara putrinya dengan pria itu. Tapi, yang membuatnya terkejut adalah ia tak menyangka kalau ini akan terjadi secepat ini.Timing-nya benar-benar pas dengan kabar pemberontak dari kelompok penyembah kekuatan. Hal ini sudah direncanakan dengan sangat matang.“Kumpulkan pasukan, kita akan mengirim bala bantuan untuk menyerang i